Harts Saja Tidak Dapat
Menimbulkan Ketenteraman
Menimbulkan Ketenteraman
Adalah keliru bahwa melalui harta dapat timbul kztenteraman. Melalui harta saja, tidak ~ dapat timbul ketenteraman. Jika ada harta, tetapi kesehatan buruk, misalnya lambung sakit, maka apakah itu merupakan suatu kehidupan surga? Dan itu diketahui bahwa harta juga tidak dapat memberi ketenteraman.
Hal yang sebenamya adalah, orang yang menjalin hubungan dengan Allah, dialah yang . dari segala segi memiliki kehidupan surgawi. Sebab, Allah itu Mahakuasa untuk menjauhkan bala-bencana dan musibah-musibah, Berta untuk menghindarkan kerugiankerugian di bidang harta. Atau, balamusibah itu tetap muncul, tetapi Dia menganugerahkan kekuatan dan semangat sedemikian rupa sehingga orang tersebut dapat menghadapinya secara penuh.
Sekian banyak sarana yang penfing bagi kesehatan manusia, sarana sarana itu tetap ticlak dimiliki oleh seorang raja sekali pun. Justru, semua itu berada di dalam satu tangan, yaitu di tangan Raja bagi sekalian raja (Allah Taala). Kepada siapa saja yang Dia kehendaki, akan Dia berikan saranasarana tersebut.
Sebagian orang tampak bahwa mereka memiliki banyak uang. Namun, mereka lumpuh dan menderita sakit parch. Kehidupan ini terasa sangat pahit bagi mereka. Jadi, ratusan juts penderitaan yang dialami manusia, siapa yang menanggulanginya? Dan kalau pun ada kedukaan, maka siapa yang dapat menganugerahkan kesabaran yang tinggi? Hanya Allah yang dapat menganugerahkannya.
Kesabaran juga merupakan sesuatu yang bernilai tinggi. Yaitu yang tidak memberi kesempatan kepada kedukaan untuk datang menyelubungi pads scat-'scat terjadi bala-bencana dan musibah-musibah. Sebagian orang kaya adalah demikian, yakni pads waktu sehat walafiat mereka sangat sombong dan takabur. Dan sedikit saja memperoleh penderitaan maka mereka menjerit-jerit seperti anak kecil. Sekarang, siapa yang dapat kita sebutkan tidak pernah mengalami peristiwa-peristiwa seperti itu? Serta pars kenalan yang tidak pernah mengalami kedukaan? Tidak ada satu Hama pun yang dapat kita sebutkan. Siapa yang dapat meraih kehidupan surgawi ini? Hanyalah dia yang memperolelifadhl/karunia dari Allah. Oleh karena itu ini merupakan suatu kekeliruan, yakni dengan sekedar melihat kain putih bersih milik seseorang lalu dikatakan bahwa dia rnenjalani kehidupan surgawi. Datajigilah orang itu dan tanyakan, maka kalian akan tabu berapa banyak petaka yang akan dia ceritakan. Dengan sekedar melihat kain………….. ………?
Mengenai itulah Dia berfirman bahwa Dia membinasakan mereka lalu juga tidak akan peduli terhadap anakketurunan mereka. Dari itu diketahui bahwa seorang muttaqi clan saleh yang meninggel clunia, maka anakketurunannya akan dipedulikan oleh Allah.
Sebagaimana hal itu dapat diketahui melalui ayat ini: "Wa kaana abuuhumaa shaallhan -- [sedang ayahnya adalah seorang yang saleh]" (Al-Kahfi:83). Kebaikan dan kesalehan ayah anak itu yang telah membuat Khaidir dan Musa yang merupakan rasul yang tegar itu sebagai tukang, untuk memperbaiki dinding - mereka [yang rubuh]. Dari itu diketahui betapa tingginya derajat orang tersebut.
Allah Taala tidak menyinggung tentang anak-anak itu. Dikarenakan Dia merupakan Sattaar (Naha Penyelubung), oleh sebab itu berdasarkan aspek penyelubungan dan karena memang untuk memaparkan kemuliaan sang ayah, maka tidak dipaparkan tentang anak-anak tersebut.
Di dalam kitab-kitab terdahulu juga terdapat keterangan semacam itu, yakni dipelihara sampai tujuh keturunan. Hz.Daud a.s. bersabda: "Saya tidak pernah melihat anak-keturunan orang muttaqi mengemis-ngemis minta makanan."
Ringkasnya, kebahagiaan merupakan rezeki dari Allah, yang tidak diperoleh orang-orang lain [kecuali pars harnba-Nya]. (Malfuzhat, Add. Nazir Isvlaat, London, 1984,, jld.3, h.335-336 / MI 31.01.2001).
(336-342)
Tiga Jalan Untuk Mengetahui
Kebenaran
Kebenaran
Sejauh yang terpikir oleh saya, ada tiga jalan untuk mengetahui kebenaran. Pertama, nas-nas Quran dan Hadits. Kedua, akal. Dan ketiga, dukungan-dukungan Allah Taala. SiAobL saja yang mau, silahkan minta pembuktiannya pads saya dari ketiga sarana ini. Namun, mintalah sebagai insan, bukan dengan cara biadab. Saya mengundang semua pihak, walau setiap harinya harus mengeluarkan biaya seratus rupis sekali pun. Namun, minta/tanyakanlah dengan cara yang manusiawi. Sekarang, orang-orang banyak yang bersikap menjauh. Tidak mau menelaah Kitab, tidak mau merenungkan dan tidak mau memikirkan. Mereka melakukan hal-hal seperti orang-orang yang biadab, bahkan lebih buruk dari itu. Cara seperti itu bertentangan dengan takwa.
Jika ada orang yang disegani oleh mereka, maka hendaknya orang itu memberi penjelasan kepada mereka. Jika ada orang berada yang menasihati mereka, maka diharapkan akan takut. Semoga Allah memenuhi, yakni muncul orang berada yang mau memberi perhatian ke arah ini dan menasihati mereka. Orang berada itu hendaknya berpikiran bahwa di dalam Islam tengah terjadi perpecahan. Hal itulah yang harus dihapuskan.
Ringkasnya, saya menginginkan agar dengan cara spa pun orang-orang ini kembali ke jalan yang benar. Dengan melakukan penentangan terhadap saya, tetap saja tidak akan berhasil, sebab Allah Taala sendiri sedang menampakkan dukungan-dukunganNya. Sebuah parit kecil memang dapat dibendung hanya dengan sebuah bate bats saja. Namun, air Samawi, siapa pula yang dapat membendungnya?
Ini adalah pekerjaan Allah. Kalian dapat saja meniup Jilin dan mematikannya. Namup, tidak ada seorang pun yang dapat memadamkan bulan dan matahuri. Pekerjaan-pekerjaan Allah jaull lebih tinggi. Manusia tidak dapat menggapainya. Balon tidak bisa mencapai ke'sana, dan tidak pula kereta api. Ini juga merupakan keagungan Ilahi. Itu merupakan bukti kebenaran Allah Taala. Perkara-perkara Samawi adalah tinggi. la semakin tinggi dan menjulang tinggi. (Mafuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, j1d.3, h.342 / MI 31.01.2001).
Sunnah Allah Taala Mengenai Azab
Seseorang menyampaikan kepada Hz.Masih Mau'ud a.s.: "Yang Mulia, dari kampung says delapan orang mengirimkan sepucuk Surat, meminta bahwa jika Yang Mulia memang benar, maka turunkanlah azab kepada mereka." Hz.Masih Mau'ud a.s. menjelaskan:
Dalam pekerjaan Allah Taala tidak ada yang tergesa-gesa. [Lihatlah), bagaimana penderitaan-penderitaan telah diberikan kepada Rasulullah s.a.w.. Dan sebagian penentang ada yang begitu lancang dan bejadnya schingga mereka mengatakan: "Jika engkau benar, maka turunkanlah hujan batu alas kami." Namun, pads saat itu tidak ada hujan batu yang menimpa mereka.
Bukanlah sunnah Allah Taala untuk menurunkan azab pads saat itu juga. Jika ads yang melontarkan cacimakian kepada Allah Taala, maka apakah pads saat itu juga azab akan turan?
Azab turun pads waktunya. Yakni, tatkala kejahatan itu terbukti. Lekhram adalah seorang Ariya yang banyak sekali melontarkan caci-makian kepada Rasulullah s.a.w.. Akhirnya Allah Taala menghukumnya akibat kejahatan-kejahatan dan kelancangannya. Dan lidah itu sendiri yang menjadi pisau belati lalu menjadi penyebab kematiannya. Melalui pisau itu die telah tersayat-sayat.
Jadi, Bukanlah sunnah Allah Taala bahwa pads saat itu juga Dia menurunkan azab. Betapa bodoh- dan malangnya orang-orang ini. Mereka meminta-Ininta, azab, tetapi petunjuk tidak mereka mints. (Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, jld.3, h.342-343 / MI 31.01.2001).
Suku Bangsa Bukanlah Sesuatu Yang
Dapat Dibanggakan
Dapat Dibanggakan
Seseorang mengatakan: "Ini juga merupakan kritikan yang dilontarkan oleh orang-orang, yakni: 'Sebagai seorang sayyid (keturunan ahlulbait Rasulullah s.a.w. –pent'.) pun kamu mau bai'at kepada seorang ummaly (pengikut)?"' Hz.Masih Mau'ud a.s. bersabda:
Allah Taala menjadi suka bukan karena bentuk tubuh, dan bukan pula karena suku-bangsa. Pandangan-Nya selalu tertuju pads ketakwaan. "Inns akramakum Indallaahi atqaakum " (A IHujural:14). Yakni, di sisi Allah, orang yang paling mulia di antam kamu adalah yang paling bertakwa dari antaramu.
Itu sama-sekali pemyataanpemyataan yang kosong, bahwa: "Aku adalah seomng sayyid. Aku seorang mughaL Aku seorang pathan. Aku seorang syekh." Jika seseorang berbangga diri berdasarkan suku bangsanya, maka kebang,,aan seperti itu sia-sia saja. Setelah mati, segenap status suku bangsa itu akan hilang. Di sisi Allah Taala, status suku bangsa itu tidak ads artinya. Dan ticlak, ads seorang pun yang dapat memperoleh najal/keselamat- an hanya alas . dasar statusnya yang berasal dari kelompok keluarga mulia. . Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Hz.Fatimah: "Wahai Fatimah, jangan engkau berbangga diri karena engkau putri nabi." Di sisi Allah tidak ads perlalcuan berdasarkan suku-bangsa. Di sane, derajat-derajat yang akan diraih, adalah berdasarkan ketakwaan. Suku‑bangsa dan kabilah-kabilah ini merupakan identitas clan sistim di dunia. Hal itu tidak ada kaitannya sedikit pun dengan Allah Taala. Kecintaan Allah Taala timbul karena ketakwaan. Dan hanya ketakwaanlah yang mengakibatkan derajat-derajat tinggi.
Jika ada seorang sayyid, lalu dia masuk Kristen dan mencaci-maki Rasulullah s.a.w., make apakah ada yang dapat mengatakan bahwa Allah Taala akan memberikan najat/keselamatan kepadanya karena dia keturunan Rasulullah? Dan bahwa dia akan masuk ke dalam surga?
"Innad diina 'indallaahil islaam" (Ali 1mran:20). Di sisi Allah Taala, agama benar yang memberikan najat/keselamatan adalah Islam. Jika ada yang merupakan Kristen, atau Yahudi, atau [Hindu] Arya, di sisi Allah mereka itu tidak layak memperoleh kemuliaan. Allah Taala telah menghapuskan status kaum dan suku-bangsa. Penggolongan itu hanyalah untuk sistim dan identitas di dunia.
Namun, says telah menyimak secara mendalam, bahwa derajat-derajat yang diraih di sisi Allah Taala, penyebabnya hanyalah takwa. Barangsiapa muttaqi, dia akan masuk ke dalam surga. Allah Tula telah membuat keputusan untuknya. Di sisj Allah Taala, yang mulia adalah yang bertakwa.
Kemudian firman-Nya: "Innamaa yataqabbalullaahu minal‑ muttaqiin (Al-Maidah:28). Yakni, aural-aural dan doe-doe para muttaqi-lah yang dikabulkan. Di situ tidak dikatakan: "minas-sayyidiin -- dari kalangan para sayyid."
Kemudian bagi orang-orang muttaqi Dia berfirman: "Mayyal.laqillaaha yaj'allahuu makhrajaaw rya yarzuqhu min haitsu laa yahtasib " (Ath-Thalaq:3-4). Yakni, orang muttaqi itu memperoleh jalan keluar dalam setiap
kesulitan. Kepadanya diberikan rezeki dari tempat-tempat yang tidak dia perkirakan. Nah, sekarang katakanlah, apakah janji ini diberikan kepada para sayyid, ataukah kepada para muttaqi?
Kemudian difirmankan bahwa hanya orang muttaqi-lah yang merupakan wali/sahabat Allah Taala. Janji ini tidak diperuntukkar bagi para sayyid. Kedudukan ape lagi yang lebih tinggi daripada wilayat (kewalian/persahabatan)? Ini pun diraih oleh orang muttaqi. Sebagiar. orang menyatakan wilayat itu lebih tinggi dari nuhuwwal (kenabian). Dan mereka mengatakan bahwa kewalian seorang nabi adalah lebih tinggi dari kenabiannya. Wujud seorang nabi itu pads hakikatnya paduan due hal: kenabian ' dan kewalian. Melalui kenabian dia menyebarkan hukumhukum dan syariat kepada manusia. Sedangkan kewalian, melalui itu dia meqlafin hubungan dengan Allah. Kemudian difirmankan: "Dzaalikal kitaabu laa rayba fiihi hudal lilmullaqiin – [inilah Kitab yang tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang muttaqi]" (Al-Baqarah:3). Di situ tidak dikatakan: "hudal lissayyidiin – petunjuk bagi para sayyid."
Ringkasnya, Allah Taala itu menghendaki ketakwaan. Ya, meniang para sayyid itu lebih dituntut agar bergabung ke sini. Sebab, mereka merupakan anak-keturunan dari orang muttaqi. Oleh sebab itu, merupakan kewajiban mereka untuk bergabung paling pertama. Bukannya berperang dengan Allah Taala, dan menuntut bahwa [karunia pengutusan] ini merupakan hak para sayyid. Apa saja yang Dia kehendaki, Dia lakukan. "Dwalika fadhlullaahi yu-tiihi mayyasyaa-u wallaahu dzul fadhlil 'azhiim -[yang demikian itu adalah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar]" (AI-Jumuah:5).
Hal ini ~w same saja seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yakni: "Mengapa kenabian jatuh ke tangan Bani Ismail?!" Mereka tidak tabu bahwa: "Tilkal ayyaamu nudaawiluhaa bainan naasi -- [mass kejayaan dan kekalahan itu Kami gilirkan di antara manusia]" (Ali Imran:141).
Jika ada yang melawan Allah Tlaala, maka die akan menjadi orang yang ditolak/terkutuk. Dia (Allah) dapat mempersoalkan kepada setiap orang. Namun, tidak ada yang dapat mempersoalkan-Nya. (Malfichat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, j1d.3, h.343344 / MI 31.01.2001).
(344-346)
Jemaat Dan Aklilak Melia
Memperbaiki akhlak adalah pekerjaan sangat sulit. Selama manusia tidak menelaah diri sendiri, ishlahperbaikan itu tidak akan terjadi. Akhlak-akhlak buruk yang berhubungan dengan lidah, menimbulkan pennusuhan. Oleh karena itu, kalian hendaknya senantiasa mengendalikan lidah kalian.
Lihat, seseorang tidak dapat memusuhi orang tertentu yang dia yakini sebagai orang yang menghendaki kebaikan terjadi pada dirinya. Jadi, betapa bodohnya orang yang tidak sayang terhadap jiwanya sendiri, dan nieneniptkati nyawanya dalam bahaya. Yakni orang. yang tidak melakukan hal balk melalui kemampuan-kemampuan yang is miliki, dan yang tidal: membenahi potensi-potensi akhlaknya.
Sikapilah setiap orang dengan leniah lembut dan dengan akhlak yang balk. (Ma4fuzhaf, Add.Nazir Isyaat, London, 1984, j1d. 3, h. 346 / MI 10.11.99).
(346-347)
WARGA JEMAAT YANG LEMAH
D”Sebenarnya secara intern seluruh warga Jemaat tidak berada dalam satu derajat. Apakah seluruh gandum yang ditanam akan tumbuh sama? Banyak sekali biji-biji yang gugur, dan ada sebagian yang dimakan burung-burung, sebagian lagi ada yang tidak tumbuh karena hal-hal lain. Ringkasnya, orang-orang yang bijak tidak dapat menyia-nyiakan [gandum-gandum] tersebut.
Demikian pula Jemaat yang dibangun Allah Ta’ala sama seperti tanam-tanaman, oleh karena itu pastui perkembangannya berdasarkan prinsip tersebut. Jadi, hendaknya dibiasakan agar saudara-saudara kalian yang lemah dibantu dan diberi kekuatan. Betapa tidak tepat apabila ada dua orang bersaudara, yang satu pandai berenang, sedangkan yang lain tidak; maka apakah bukan menjadi kewajiban sang saudara untuk menyelamatkan saudaranya itu atau membiarkannya tenggelam? Merupakan kewajiban baginya untuk menyelamatkan saudaranya dari tenggelam.
Untuk itu di dalam Quran Syarif tertera: Ta’aawanuu ‘alal birri wat- taqwaa (“tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa” – Al-Maidah, 3). Pikullah beban saudara-saudara kalian yang lemah. Kalian hendaknya terjun di kalangan orang-orang yang lemah dalam iman dan harta secara praktis. Orang-orang yang lemah secara jasmaniah pun hendaknya diobati. Tidak ada suatu Jemaat dapat dikatakan Jemaat selama orang-orang yang lemah tidak dibantu dibantu oleh orang-orang yang kuat. Dan bentuknya adalah selubungilah mereka. Inilah yang telah diberikan kepada para sahabah,”Janganlah kalian mengusik kelemahan orang-orang Muslin yang baru, sebab kalian pun dahulu lemah seperti itu.”
Demikian pula penting agar yang besar mengkhidmati yang kecil, dan bersikaplah dengan kecintaan serta lemah-lembut. Lihat, suatu Jemaat tidak dapat dikatakan Jemaat apabila satu sama lain saling memakan, dan apabila bertemu duduk bersama mulai membicarakan tentang saudara yang miskin serta terus saja menjelek-jelekkannya, menghinakan orang-orang yang lemah dan miskin serta memandangnya dengan pandangan hina serta penuh kebencian.
Sama sekali janganlah berbuat demikian. Justru dengan berkumpul itu timbul kekuatan serta persatuan yang mendatangkan kecintaan dan melahirkan berkat-berkat. Saya melihat dalam perkara-perkara kecil saja pun timbul perselisihan. Akibatnya para penetntang – yang senantiasa memperhatikan setiap perkara kecil yang timbul di kalangan kita – masalah-masalah sederhana mereka tampilkan di surat-surat kabar dengan membesar-besarkannya, dan mereka menyesatkan banyak orang. Akan tetapi jika kelemahan-kelemahan intern tidak ada, bagaimana mungkin ada yang berani menerbitkan artikel-artikel seperti itu dan menyesatkan orang-orang melalui penerbitan berita-berita demikian?
Mengapa itu yang dilakukan, bukannya pengembangan potensi-potensi akhlak? Dan hal itu baru akan dapat dilakukan apabila rasa solidaritas, kecintaan, kepemaafan dan kasih-sayang dibudayakan. Dan hendaknya rasa kasih-sayang, solidaritas serta sikap menyelubungi kelemahan diutamakan dari segenap sikap lainnya. Dalam perkara-perkara kecil hendaknya jangan langsung menggunakan cengkraman-cengkraman kasar, yang dapat melukai hati serta menimbulkan kepedihan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 347-348).
PERSAUDARAAN & SOLIDARITAS
DALAM JEMAAT
DALAM JEMAAT
“Jemaat kita tidak akan tumbuh subur selam di antara kita tidak ada rasa sependeritaan (solidaritas). Hendaknya yang telah diberikan kekuatan penuh mencintai yang lemah. Saya mendengar kalau ada seseorang yang menyaksikan kesalahan orang lain maka dia tidak mensikapinya dengan akhlak. Justru dia membenci dan mensikapinya dengan rasa muak, padahal seharusnya dia mendoakan orang itu, mencintainya, dan memberikan pemahaman kepadanya dengan lemah-lembut dan akhlak. Akan tetapi bukannya demikian, dia semakin membencinya. Jika tidak dimaafkan, tidak ada sikap solider, dengan demikian akan terus saja runtuh dan akhirnya buruk. Allah Ta’ala tidak menyukai hal itu.
Jemaat baru dapat terbentuk apabila sebagian bersikap solider (peduli) terhadap sebagian lainnya, lalu menyelimuti kelemahan. Apabila kondisi ini terbentuk barulah akan menjadi satu wujud, sehingga satu sama lain menjadi kaki tangan, dan satu sama lain saling menganggap lebih daripada saudara sekandung.
Ada putra seseorang melakukan kesalahan, lalu hal itu diselubungi, dan ia dinasihati secara tersendiri. Rasa solidaritas terhadap saudara kandung saja tidak menginginkan agar kita menampilkan selebaran [tentang kelemahannya]. Tatkala Allah Ta’ala menjadikan saudara, lalu beginikah hak-hak para saudara? Persaudaran duniawi saja tidak melepaskan cara-cara ukhuwwah (persaudaraan).
Saya melihat Mirza Nizamuddin dan sebagainya. Ia memiliki kehidupan yang bebas, namun apabila ada masalah mereka bertiga jadi bersatu [menentang saya]. Memang juga sebagai faqir, hidup memisahkan diri. Kadang-kadang manusia mengambil pelajaran dari hewan, monyet, atau anjing.
Cara ini tidak beberkat, yaitu timbulnya perpecahan di dalam. Allah Ta’ala pun mengingatkan para sahabah tentang sikap dan nikmat persaudaraan (ukhuwwah). Jika mereka membelanjakan gunung emas sekali pun, mereka tidak akan dapat memperoleh persaudaraan yang telah mereka raih melalui Rasulullah saw.. Seperti itu jugalah Allah Ta’ala telah menegakkan Jemaat ini. Dan persaudaraan seperti itu jugalah yang akan Dia tegakkan di sini.
Saya memiliki harapan yang sangat besar terhadap Allah Ta’ala. Dia telah berjanji: "Jaa'ilul ladziinat- taba'uuka fauqal ladziina kafaruu ilaa yaumil qiyaamah " – (akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau unggul atas orang-orang yang mengingkari engkau” - (Ali Imran, 56).
Saya betul-betul mengetahui, Dia akan menegakkan suatu Jemaat yang unggul hingga Hari Kiamat atas orang-orang yang ingkar. Akan tetapi hari-hari yang merupakan masa-masa cobaan serta saat-saat kelemahan ini, diberikan kesempatan pada setiap orang untuk mengadakan ishlah (perbaikan) dan mengubah kondisi dirinya.
Perhatikanlah. Saling menghinakan, menyakiti hati orang-orang lain dengan kata-kata kasar serta menganggap hina orang-orang yang lemah dan rendah adalah dosa besar.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 348-349)
(349-350)
KENAJISAN DUSTA
”Al-Quran Syarif juga telah menyatakan dusta itu sebagai najis dan rijsun. Sebagaimana difirmankan: "Fajtanibur rijsa minal autsaani wajtanibuu qaulaz- zuur – (“maka jauhilah kenajisan yaitu berhala-berhala dan jauhilah perkataan dusta” – Al Hajj, 31).
Lihatlah, di sini duts disebandingkan dengan berhala, dan pada hakikatnya dusta pun merupakan berhala juga. Jika tidak, mengapa [pendusta] meninggalkan kebenaran lalu beralih ke sisi lain? Sebagaimana dalam berhala itu tidak ada hakikat apapun, demikian pula dalam dustapun tidak ada yang lain kecuali kepalsuan.
Kepercayaan terhadap pendusta menjadi runtuh sedemikian rupa, sehingga kalau pun dia berkata benar tetap saja dianggap dalam ucapannya masih terdapat campuran dusta. Jika para pendusta itu ingin supaya dusta mereka berkurang, tidak dapat mereka kurangi dengan cepat. Mereka harus kerja-keras untuk jangka masa yang panjang, barulah mereka akan terbiasa berkata benar.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 350).
Maraknya Dosa dan Penangkalnya
... ”Demikian pula tengah berlangsung berbagai macam perbuatan buruk dan kejahatan. Ringkasnya, dunia telah dilanda topan dan banjir dosa, dan bendungan pada sungai [dosa-dosa] ini seakan-akan telah pecah.
Sekarang pertanyaannya adalah, dosa-dosa yang sedang berlangsung bagai ulat-ulat ini, apakah ada suatu cara untuk menjauhkan bala ini? Dan dunia yang telah dipenuhi oleh kekotoran dan racun serta dosa-dosa ini apakah dapat menjadi bersih kembali atau tidak?
Hampir setiap agama dan segenap umat merasakan persoalan tersebut, dan di tempat masing-masing ada saja cara penanggulangan terhadap dosa yang mereka kemukakan. Namun, dari pengalaman diketahui bahwa obat penawar bagi racun ini tidak dimiliki oleh siapa pun di antara mereka. Dengan menggunakan cara pengobatan mereka, justru penyakit semakin parah, bukannya berkurang.
Misalnya, kita sebut saja agama Kristen. Agama ini telah menetapkan keimanan terhadap kematian Al-Masih isebagai pengobatan (penanggulangan) dosa, bahwa, “Sebagai pengganti kami Al-Masih telah digantung di tiang salib oleh tangan orang-orang Yahudi, dan dengan demikian beliau menjadi terkutuk. Kutukan terhadap beliau itulah yang telah memberi berkat kepada kami.”
Itu meruakan falsafah aneh yang tidak dapat dipahami pada zaman dan usia mana pun> Bagaimana mungkin kutukan dapat mengakibatkan berkat? Dan bagaimana mungkin kematian seseorang dapat menjadi sarana kehidupan bagi yang lain?.
Saya menganggap tidak perlu untuk meneliti cara pengobatan orang-orang Kristen ini dengan standar dalil-dalil akal (logika), kecuali, jika di dunia Kristen tampak bahwa di sana tidak ada dosa lagi? Namun tatkala tampak bahwa di sana justru kehidupan dijalani jauh lebih hina dari binatang, maka kita menjadi lebih heran lagi terhadap cara pengobatan dosa seperti itu. dan terpaksa dikatakan bahwa jauh lebih baik jika dikatakan [akidah] penebusan dosa itu tidak ada. Justru penebusan dosa itulah yang telah mengalirkan sungai ketidsakpedulian terhadap larangan apa pun. Lagi pula hal itu sedikit pun tidak ada kaitannya dengan pengampunan dosa.
Demikian pula halnya cara-cara memperoleh najat (keselamatan) yang telah dirumuskan oleh orang-orang lain. Cara-cara itu tidak pernah mampu memberlakukan maut (kematian) terhadap kehidupan dosa. Kemudian, juga terlihat bahwa kaum-kaum yang bejad dan jahat, mereka tetap tidak mau berhenti [melakukan dosa] walaupun telah menyaksikan mukjizat-mukjizat serta nubuatan‑nubuatan.
Apa kurangnya mukjizat-mukjizat Hadhrat Musa a.s.? Tidakkah Bani Israil telah menyaksikan Tanda-tanda yang jelas? Namun katakanlah, apakah pada diri mereka telah terbentuk ketakwaan, rasa takut trehadap Tuhan, dan kebaikan secar sempurna yang diinginkan Hadhrat Musa? Akhirnya Akhirnya kaum itu telah menjadi pemenuhan dari "Dhuribat 'alaihimudz dzillatu wal maskanah i(ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan – Al-Baqarah, 62).
Kemudian, lihatlah orang-orang yang telah menyaksikan mkjizat-mukjizat Hadhrat Al-Masih. sejauh mana pada diri mereka telah tertanam asas-asas kebaikan, ketakwaan dan kesetiaan? Justru salah seorang dari antara mereka sendiri yang berdiri menunjukkan beliau kepada petugas (tentara) dengan mengucapkan salam, sehingga beliau tertangkap. iDan yang lainnya melontarkan kutukan di hadapan beliau sendiri. Dengan menyaksikan semua hal itu, timbul pertanyaan: Apa yang benar-benar dapat menghentikan manusia dari dosa?” (Malfuzat, jld. III, hlm. 350-352).
CARA PENGOBATAN YANG BENAR TERHADAP DOSA
”Menurut saya, rasa takut dan gentar terhadap Allah Ta’ala adalah suatu hal yang menimbulkan maut (kematian) pada kehidupan dosa manusia. Tatkala rasa takut sejati timbul di dalam kalbu maka muncul gerakan untuk memanjatkan doa, sedangkan doa adalah sesuatu yang menjauhkan kelemahan-kelemahan manusia. Oleh karena itu hendaknya penjatkanlah doa. Allah Ta’ala juga berjanji, "Ud'uuni astajib lakum – (berdoalah, Aku akan kabulkan – Al-Mu’min, 61).
Kadang-kadang manusia terkecoh, yakni sampai suatu jangka waktu panjang dia memanjatkan doa untuk maksud tertentu tetapi maksudnya tersebut tidak tercapai, sehingga dia pun menjadi panik. Hendaknya jangan panic, melainkan tetaplah panjatkan doa dengan penuh kesabaran.
Doa itu dikabulkan, namun kadang-kadang manusia tidak mengetahui, sebab manusia tidak tahu apa akibat dan buah-buah dari doanya out, sedangkan Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui Hal-hal Ghaib melakukan hal-hal yang berguna bagi manusia. Itulah sebabnya manusia yang bodoh berpikiran bahwa doa-doanya tidak dikabulkan, padahal baginya – berdasarkan pengetahuan Allah Ta’ala – itulah yang bermanfaat baginya, yakni doa tersebut dalam bentuk demikian (sebagaimana diinginkan) tidak dikabulkan. Justru dikabulkan dalam bentuk lainnya.
Permisalannya adalah bagaikan seorang anak kecil yang melihat dan meminta bara api merah dari ibunya. Apakah seorang ibu bijak akan memberikannya kepada anak itu? Tidak akan pernah. Begitu juga mengenai doa, kadang-kadng juga berlaku bentuk demikian.
Ringkasnya, jangan pernah merasa letih memanjatkan doa-doa. Doa itu merupakan sesuatu yang memberikan kekuatan dan nur dari Allah, dan dengan itu manusia dapat mengalahkan keburukan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 352).
(352-369)
PERBEDAAN MIMPI ORANG MUKMIN DAN ORANG KAFIR
“Allah Ta’ala telah menanamkan benih wahyu dan ilham di dalam diri setiap orang, sebab jika benih ini tidak ditanamkan maka hujjah (argumentasi) tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu, jika ada nabi yang datang maka untuk memahami nubuwwat, wahyu dan ilhamnya, Allah Ta’ala telah meletakkan suatu amanat di dalam fitrat setiap orang, dan amanat itu adalah mimpi.
Jika seseorang tidak pernah melihat mimpi benar, maka bagaimana mungkin dia dapat mempercayai bahwa hal-hal semacam ilham dan itu ada? Dan dikarenakan sifat Allah Ta’ala adalah, “Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus-‘ahaa (Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya” – Al-Baqarah. 287), maka Dia telah menanamkan benih itu di dalam diri semua orang.
Saya berpendapat bahwa seorang bejat dan fasiq serta penjahat pun kadang-kadang melihat mimpi benar, dan kadang kadang juga mendapat ilham -- tidak peduli apakah mereka mengambil manfaat atau tidak dari kondisi itu. Tatkala orang kafir dan orang mukmin keduanya sama-sama mendapat mimpi benar, maka persoalannya adalah: apa beda antara keduanya?
Perbedaan yang benar adalah, mimpi-mimpi orang kafir sangat sedikit yang terbukti benar, sedangkan mimpi-mimpi orang mukmin banyak sekali yang terbukti benar. Jadi, perbedaan pertama adalah banyak sedikitnya; yang kedua, bagi orang mukmin unsur bisyarat (kabar-suka) lebih banyak, dan hal itu tidak ada dalam mimpi orang kafir. Ketiga, mimpi orang mukmin itu bersih dan jernih, sedangkan mimpi orang kafir tidak bersih. Keempat, mimpi orang mukmin memiliki derajat yang tinggi.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 369).
WAA'IZH (PEMBERI NASIHAT) DAN MUBALLIGH JEMAAT
Hal ini sangat penting, yakni mempersiapkan waa’izh (pemberi nasihat) bagi Jemaat. Namun jika antara mereka dan para waa’izh lainnya tidak ada perbedaan maka tidak ada gunanya. Waa'izh ini hendaknya sedemikian rupa, yakni pertama-tama mengadakan ishiah (perbaikan) pada diri mereka sendiri dan menciptakan suatu perubahan suci dalam tingkah-laku mereka, sehingga dampak suri-tauladan baik mereka itu akan mengena pada diri orang-orang lain.
Baiknya kondisi amal perbuatan merupakan wu’uzh (nasihat) yang paling baik. Orang-orang yang hanya sekedar memberikan nasihat tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya maka mereka tidak akan dapat memberi pengaruh yang baik terhadap diri orang-orang lain. Bahkan kadang-kadang nasihat mereka itu menyebarkan kecenderungan untuk menghalalkan segala hal, sebab ketika para pendengar melihat bahwa pemberi nasihat (waa’izh) itu sendiri tidak mengamalkannya maka mereka sama-sekali akan menganggap ucapan-ucapannya itu sebagai omong kosong belaka.
Oleh karena itu hal paling pertama yang sangat penting bagi seorang waa’izh (pemberi nasihat) adalah bentuk pengmalan mereka. Hal kedua yang penting bagi para waa’izh adalah mereka harus memiliki ilmu yang benar dan penguasaan terhadap akidah-akidah saya serta permasalahan-permasalahan di sekitar itu. Segala sesuatu yang saya paparkan di hadapan dunia, mereka pertama-tama harus memahami hal itu dengan sebaik-baiknya. Dan jangan mereka memiliki ilmu pengetahuan yang setengah-setengah serta tidak lengkap, sehingga mereka akan malu di hadapan para penentang, dan apabila ada yang mengkritik maka mereka akan panik untuk menjawabnya.
Ringkasnya, memiliki ilmu pengetahuan yang benar adalah penting. Dan hal ketiga adalah, mereka harus mempunyai kekuatan serta keberanian sedemikian rupa, sehingga mereka memiliki lidah dan kalbu untuk para pencari kebenaran. Yakni dengan keberanian penuh dan keperkasaan mereka dapat menzahirkan kebenaran tanpa ada rasa macam apa pun.
Kekayaan seorang yang kaya, atau keberanian seorang yang perkasa, atau kekuasaan yang dimiliki penguasa, tidak dapat memberikan pengaruh kepada hatinya dalam mengutarakan kebenaran. Ketiga hal ini jika mereka miliki maka barulah waa’izh (pemberi nasihat) Jemaat kita ini akan dapat berguna.
Keberanian dan semangat ini akan menciptakan suatu daya magnit (daya tarik) yang akan terus menarik kalbu-kalbu manusia ke arah Jemaat. Namun daya magnit dan daya tarik ini membutuhkan dua hal, yang tanpa keduanya maka daya tersebut tidak akan dapat timbul. Pertama, ilmu-pengetahuan yang sempurna; kedua, takwa. Suatu ilmu tidak akan berguna tanpa ketakwaan, sedangkan ketakwaan tanpa adanya ilmu pengetahuan tidak akan dapat berjalan (berlangsung)..
Demikianlah sunnah Allah. Tatkala manusia memperoleh ilmu yang sempurna maka rasa malu dan segan akan lenyap dari dirinya. Jadi ketiga hal ini hendaknya ada di dalam diri para waa’izh (pemberi nasihat) kita yang sempurna. Dan hal ini saya inginkan adalah karena banyak seka.i surat yang saya terima serta menanyatakan apa jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu? Apa penjelasan bagi kritikan-kritikan tertentu? iSekarang, bagaimana dapat diberikan jawaban-jawaban demikian banyak terhadap surat-surat tersebut? Jika orang-orang ini sendiri dapat meraih ilmu yang benar dan pengenalan yang mendalam serta menelaah secara cermat buku-buku saya, maka tentu mereka tidak akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan seperti itu.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 369-370).
.
PEMBIMBING YANG BENAR TIDAK AKAN BERBUAT KHIANAT
Seseorang yang diutus dari Allah adalah kewajibannya untuk menghapuskan kelemahan dari dalam Jemaatnya. Pembimbing yang benar tidak akan pernah mampu berbuat khianat. Jika ada orang yang demikian -- yakni dia tidak peduli terhadap cara dan tingkah-laku seseorang walau bertentangan dengan perintah Allah serta Rasul-Nya – maka pahamilah bahwa dia itu tidak datang dari Allah untuk mengadakan ishlah (perbaikan), melainkan setan merupakan sahabat dekatnya.
Seorang pembimbing yang benar, apa saja [keburukan/kelemaham] yang dia lihat maka dia perbaiki. Ya, memang benar bahwa dia tidak ingin menimbulkan kehinaan dan kenistaan bagi siapa pun, namun dia akan mendeteksi penyakit-penyakit orang yang sakit, lalu memaparkan cara pengobatannya.” (Malfuzat, jld. III, hlm 371-372).
PENTINGNYA PENGAMALAN
”Ingatlah, Jemaat saya tidak untuk hal-hal seperti orang-orang dunia biasa yang menjalan hidup, Mereka sekedar melalui lidah saja menyatakan bahwa mereka telah masuk ke dalam Jemaat ini tetapi tidak menganggap perlu untuk mengamalkannya. Persis seperti itu kondisi orang-orang Islam yang malang, yakni tanyakanlah, “Apakah kalian muslim?” maka mereka akan menjawab, “Syukur, Alhamdulillah.” Namun mereka tidak mengerjakan shalat dan tidak menghormati kewajiban-kewajiban dari Allah. Oleh Karen aitu saya tidak menginginkan kalian membuat ikrat [baiat] melalui lidah saja dan tidak membuktikannya melalui anal. Itu adalah kondisi yang tidak berguna, Allah Ta’ala tidak menyukainya. Dan kondiri dunia inilah yang menuntut sehingga Allah Ta’ala telah menegakkan saya untuk ishlah (perbaikan). Jadi, sekarang jika ada yang menjelin hubungan dengan saya lalu dia tidak memperbaiki kondisi dirinya serta tidak meningkatkan kekuatan-kekuatan amalnya – bahkan [menganggap] ikrar melalui lidah itu saja yang dia anggap memadai – berarti melalui perbuatannya itu dia menekankan tentang tidak perlunya keberadaan saya. Jadi, jika melalui perbuatan itu kalian ingin membuktikan bahwa kedatangan saya ini tidak berguna maka apa artinya kalian menjalin hubungan dengan saya?
Jika kalian menjalin hubungan dengan saya maka penuhilah apa-apa yang menjadi maksud dan tujuan kedatangan saya, sedangkan maksud dan tujuan kedatangan saya adalah perlihatkanlah ke hadapan Allah Ta’ala saya? Jika kalian menjalin hubungan dengan saya maka penuhilah apa-apa yang menjadi maksud dan tujuan kedatangan saya, sedangkan maksud tujuan kedatangan saya adalah perlihatkanlah ke hadapan Allah Ta’ala keikhlasan dan kesetiaan kalian serta amalkanlah ajaran Quran Karim sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabah. Pelajarilah apa-apa yang menjadi kehendak (tujuan sejtai Quran Syarif dan amalkanlah.
Di hadapan Allah Ta’ala tidaklah cukup dengan sekedar pernyataan melalui lidah saja sedangkan dalam hal amal tidak ditemukan suatu cahaya dan upaya gigih. Ingat, Jemaat yang ingin ditegakkan Allah Ta’ala itu tidak dapat hidup tanpa amal. Ini adalah jemaat luar biasa yang persiapannya telah bermula sejak masa Adam. Tidak ada seorang nabi pun yang telah datang ke dunia ini dan tidak mengabarkan tentang imbauan ini.
Oleh karenanya, hargailah hal itu, dan cara menghargainya adalah buktikanlah melalui amal kalian bahwa kalian memang kelompok orang yang benar.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 371).
PENGKHIDMATAN YANG MEMBUAT PANJANG UMUR
”Orang-orang yang memiliki gejolak semangat sejati untuk [menjadi pengkhidmat] agama umur mereka akan dipanjangkan. Dan yang tertera di dalam hadits-hadits bahwa pada zaman Masih Mau’ud umur-umur akan dipanjangkan, artinya yang telah diajarkan kepada saya adalah bahwa orang-orang yang nantinya akan merupakan pengkhidmat-pengkhidmat agama umur-umur mereka akan dipanjangkan, sedangkan yang tidak dapat menjadi pengkhidmat mereka akan [diperlakukan] seperti kerbau tua, yakni kapan saja majikan menghendaki kerbau itu akan disembelih. Sedangkan yang merupakan khadim (pengkhidmat) sejati dia akan menjadi kesayangan Allah,dan Allah Ta’ala segan untuk mencabut nyawanya. Untuk itulah difirmankan, “Wa ammaa man yanfa’un-naasa fayamkutsu fil-ardhi (ada pun yang memberi manfaat bagi manusia ia akan tetap tinggal di bumi – Ar-Raa’d, 18).” (Malfuzat, jld. III, hlm. 372).
(372-373)
JANGAN KECEWA TERHADAP ALLAH TA’ALA
”Janganlah kecewa terhadap Allah, dan menyesali Allah Ta’ala bahwa Dia tidak memberikan pertolongan adalah suatu kesalahan besar, sebab ujian-ujian selalu menimpa orang-orang beriman. Rasulullah saw. terus-menerus menanggung penderitaan selama 13 tahun [di Mekkah]. Beliau saw. pergi ke THaif dan dilempari batu. Pada saat itu, ketika tubuh beliau telah berlumuran darah, betapa beliau telah memperlihatkan contoh keteguhan serta kesetiaan [terhadap Allah]. Dan betapa sucinya ucapan yang keluar dari mulut beliau, yakni: "Ya Allah, aku akan tetap menanggung semua penderitaan ini selama Engkau ridha."
Keberadaan ujian (cobaan) itu penting. Cobaan-cobaan melandan para nabi dan pasa shidiq. Lihatlah Hadhrat Al-Masih, betapa hebatnya cobaan yang menimpa beliau, sampai beliau terpaksa berkata, "Eli, Eli, lama sabaqtani – (wahai Tuhan-ku, wahai Tuhan-ku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Orang-orang Yahudi menangkap beliau dan menggantung beliau di tiang salib.
Ringkasnya, orang mukmin hendaknya jangan taku, dan janganlah kecewa terhadap Allah.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 373).
(373-375)
MENGHARGAI TANDA SAMAWI
”Jalan yang sedang saya tempuh ini tujuannya masih jauh. Saya tidak meninggalkan sarana-sarana, namun saya juga tidak menyembah sarana-sarana itu. Dengan karunia-Nya Allah Ta’ala telah menganugerahkan sebuah Tanda (mukjizat), saya menghargainya. Tetapi jika Diatidak menzahirkan Tanda itu tetap saja tidak mengapa. Namun sekarang bagi Tanda tersebut adalah penting agar saya menghargainya. Setiap orang hendaknya memeriksa kejujuran, keteguhan dan kekuatannya sendiri. Saya tidak melarang siapa pun [memanfaatkan sarana-sarana]” (Malfuzat, jld. III, hlm.375).
PENYEMBAH SARANA
Penyembah sarana adalah lebih buruk dari penyembah batu. Walau pun penyembahan terhadap batu-batu merupakan suatu penyakit demam panas, sedangkan penyembahan terhadap sarana merupakan demam kronis, yang telah membinasakan dunia. Ingatlah, orang yang menumpukan kalbunya pada sarana-sarana berarti dia itu tenggelam dalam syirik.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 375).
(375-378)
KEMUNGKINAN HADHRAT MARYAM MENIKAH
Maulwi Mubarak Ali menyampaikan, “Hudhur, orang-orang memaparkan dalil berikut ini sebagai bukti bahwa Maryam tidak menikah sepanjang hidupnya, yakni: “Wal latii ahshanat farjahaa — [dan ingatlah Maryam yang memelihara kehomatannya' (Al-Anbiya, 92)." Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau'ud a.s. menjelaskan:
“Kata muhshanaat di dalam Quran Syarif sendiri digunakan bagi perempuan-perempuan yang menikah. Arti dari “Wal latii ahshanat farjahaa — [dan ingatlah Maryam yang memelihara kehomatannya' (Al-Anbiya, 92) adalah dia telah memelihara dirinya dari perzinahan. Lalu dari mana pula datangnya bahwa beliau tidak menikah sepanjang hidup beliau?” (Malfuzat, jld. III, hlm. 378).
(378-398)
TANGGUNGJAWAB NABI DAN ISTIGHFAR
Nabi datang dengan membawa tanggung-jawab yang sangat besar, oleh karena itu tatkala dia telah menyelesaikan tugasnya, dan dia dapat istirahat dari tabligh maka waktunya itu merupakan saat untuk membayar kepada Allah Ta’ala. Pada waktu-waktu seperti itu siapa saja yang dianugerahkan karunia oleh Allah Ta’ala, hendaklah dia gunakan untuk mengucapkan istighfar kepada Allah.
Sesuai dengan cara itulah Rasulullah saw. juga telah memperoleh perintah Ilahi, "Fa sabbih bi hamdi rabbika was taghfirhu innahuu kaana tawwaabaa – (tattkalai orang-orang sudah masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan engkau dan mohon ampulah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat – An-Nashr, 4).
Allah Ta’ala suci dari segala kekurangan, sedangkan segala kelalaian manusia yang terjadi dalam memenuhi tanggungjawab itu............. maka panjatkanlah istighfar untuk hal itu. Seseorang yang memperoleh ribuah tugas adalah pentingnya baginya [berbuat demikian].
Rasulullah saw. datang dengan membawa tujuan-tujuan yang sangat agung.
Ringkasnya, itu merupakan suatu pembayaran yang beliau berikan kepada Allah Ta’ala. Dan di situ telah diberikan isyarah pertama terhadap keberhasilan penuh beliau. Dan surah itu seakan-akan merupakan suatu surah panggilan bagi kewafatan Rasulullah saw., sebab beliau telah menyelesaikan tugas-tugas yang untuk itulah beliau diutus. Dan hal yang sebenarnya adalah pekerjaan-pekerjaan itu berlangsung berdasarkan karunia Allah Ta’ala. Pahala itu diperoleh secara Cuma-cupa.
Seseorang yang dalam hal itu mementingkan dirinya sendiri, malas, dan bersikap pamer, berarti dia itu luput dari pahala yang sebenarnya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 398-399).
(399-403)
MEMBUNYIKAN TEROMPET BAGI PENGANTIN
tMian Allah Bakhs Amritasari mengatakan: “Hudhur, apa pendapat Tuan mengenai terompet yang dibunyikan bagi psangan pengantin?” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab:
“Para fuqaha membenarkan pengumuman dengan menggunaka n gendering pada waktu nikah. Hal itu adalah untuk menjadi semacam kesaksian bagi pengadilan yang bisa terjadi belakangan. Kita hendaknya memperhatikan apa yang menjadi tujuan substansial di situ, yakni apakah hal itu dilakukan untuk mengumumkan, ataukah untuk menampakkan sesuatu kehebatan dan ketinggian martabat?
Teah diketahui bahwa pernikahan-pernikahan yang dilakukan secara diam-diam, menimbulkan kemudharatan (kerugian), yakni ketika terjadi perkara pengadilani maka timbul pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Ringkasnya, untuk menghentikan kerusakankerusakan tersebut dan untuk menjadi suatu kesaksian maka pengumuman dengan menggunakan genderang dibenarkan. dan dalam kondisi seperti itu membunyikan terompoet tidak dilarang. Bahkan dalam acara-acara terkait seperti itu membagi-bagikan manisan dan semacamnya sebenarnya juga untuk tujuan tersebut, yakni supaya orang-orang lain mengetahuinya dan agar tidak terjadi kerusakan (fitnah). Namun kini tujuan yang semula itu telah hilang lalu berganti hanya sebagai tradisi semata, dan banyak lagi hal lain yag timbul berkaitan dengan itu.
Jadi, jangan nyatakan hal itu sebagai tradisi, melainkan itu merupakan hal-hal penting untuk menghalalkan suatu hubungan kekeluargaan. Ingatlah, hal-hal yang menimbulkan manfaat bagi manusia semaka sekali tidak dilarang oleh syariat, sebab tujuan syariat sendiri adalah untuk memberikan manfaat kepada manusia.
Bermain kembang api dan pertunjukan-pertunjukan lainnya sama sekali dilarang, sebab hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi manusia. Kecuali kemudaratan, tidak ada paedahnya. Dan membunyikan terompet itu pun dibenarkan dalam kondisi bahwa yang menjadi tujuan di situ adalah untuk menyebarkan pengumuman tentang pernikahan tersebut, dan supaya garis keturunan menadi terpelihara, sebab jika garis keturunan tidak terpelihara maka timbul ancaman zina, dan Allah Ta’ala telah menzahirkan kemurkaan yang besar atas hal itu, sampai-sampai Dia Dia telah memberikan perintah untuk merajam (mendera ?) pelaku zina. Oleh karena itu pengadaan pengumuman tersebut adalah penting.
Akan tetapi, jika yang menjadi tujuan adalah untuk pamer, kefasikan (kedurhakaan) dan keburukan, atau untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan ishlah (perbaikan) serta ketakwaan maka hal itu dilarang. Landasan syariat adalah kelembutan bukan kekerasan, “Laa yukallifullaahu nafsan illa waus’aha (Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai kemampuannya – Al-Baqarah, 287). (Malfuzat, jld. III, hlm. 403-404).
PEREMPUAN-PEREMPUAN YANG MENYANYI
PADA SAAT PERNIKAHAN
Kemudian timbul lagi pertanyaan: “Perempuan-perempuan remaja dari pihak pengentu perempuan maupun pengantin laki-laki yang berkumpul di dalam rumah lalu mereka menyanyi-nyanyi, hal itu bagaimana?” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Sebenarnya hal ini pun sama saja. Jika lagu-lagu itu tidak kotor dan suci maka tidaklah mengapa. Ketika Rasulullahsaw. datang ke Madinah maka anak-anak perempuan berkumpul menyanyikan lagu-lagi yang menyanjung beliau.
Ada seorang sahabi yang menyanyikan syair dengan suara merdu di dalam mesjid maka Hadhrat Umar r.a. melarangnya. Sahabi itu mengatakan, “Saya telah memperdengarkannya di hadapan Rasulullah saw. dan beliau tidak melarangnya." Bahkan Rasulullah saw. sekali lagi mendengarkan syairnya itu dan menyebut rahmatullaah baginya, dan kepadanya Rasulullah saw. sering mengatakan bahwa dia selalu menjadi syahid.
Ringkasnya, jika bukan lagu-lagu yang berisikan kefasikan dan keburukan maka tidak dilarang. Namun kaum laki-laki hendaknya jangan ikut duduk di dalam pertemuan-pertemuan para perempuan seperti itu. Dan ingatlah, dimana terdapat sedikit saja peluang bagi kefasikan dan keburukan, hal itu dilarang.... Itu adalah hal-hal yang mengenainya manusia dengan sendirinya dapat meminta fatwa dari kalbunya. Sesuatu hal yang bertentangan dengan takwa dan keridhaan Allah, tidak akan bermanfaat bagi manusia, itu dilarang.
Kemudian,. yang mengeluarkan belanja berlebih-lebihan, itu berarti dia melakukan dosa besar. Jika ada yang berbuat pamer, maka hal itu dosa. Ringkasnya, hal apa pun yang di dalamnya terdapat sedikit saja unsur berlebih-lebihan, pamer, kefasikan, dan yang menimbulkan kemudharatan bagi manusia dilarang, sedangkan yang bersih dari itu semua, tidak dilarang serta bukan dosa, sebab hal yang sebenarnya di situ adalah yang dibenarkan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 404-405).
(405-408)
AJARAN SAYA
Di dalam Kisyti Nuh (Bahtera Nuh) saya telah menuliskan ajaran saya. Dan penting bagi setiap orang untuk mengerti hal itu. Hendaknya Jemaat di setiap kota mengadakan jalsah (pertemuan), lalu buku itu dibacakan kepada semua orang. Utuslah seseorang yang mampu dan memiliki kefasihan untuk membacakannya. Sebab jika dibagi-bagikan begitu saja maka 15 000 buku tidak akan cukup. Dengan cara ini maka buku itu akan tersebar juga, dan kesatuan yang kita inginkan akan mulai timbul di dalam Jemaat.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 408).
(408-422)
KISAH SEORANG FAQIR
“Semakin manusia terhindar dari kondisi penuh gejolak nafsu, semakin banyak keinginannya terpenuhi. Di dalam dada orang susah-payah terdapat api, dan dia tenggelam dalam suatu bencana. Ketenangan dalam kehidupan di dunia ini adalah terbebas dari gejolak nafsu.
Diceritakan ada seseorang yang pergi menunggang kuda, di perjelanan ada seorang faqir sedang duduk, yang untuk menutup kemaluannya (auratnya) saja pun dia sulit. Orang itu bertanya kepada sang faqir, “Hai faqir, bagaimana keadaan anda?” Faqir itu menjawab, "Seseorang yang seluruh keinginannya telah terpenuhi, bagaimana keadaannya?"
Orang itu heran, "Bagaimana mungkin seluruh keinginan anda telah terpenuhi?” Faqir itu menjawab, “Ketika seluruh keinginan telah ditinggalkan maka seakan-akan semuanya telah diperoleh.”
Kesimpulannya adalah, tatkala [manusia] ingin mendapatkan semuanya maka yang ada hanyalah penderitaan. Namun, apabila [manusia] mencukupi [diri seadanya] lalu meninggalkan semua [keinginan], maka seolah-olah semua itu telah dia peroleh. Najat (keselamatan) atau mukti (ketentraman) itu ialah adanya kelezatan dan tidak adanya penderitaan.
Kehidupan penuh derita tidak baik di dunia ini, dan tidak baik pula di akhirat. Orang-orang yang bekerja keras dan membersihkan kalbu mereka, seolah-olah mereka menguliti diri sendiri, sebab kehidupan ini walau bagaimana pun akan habis (berakhir), karena ia seperti sepotong es, bagaimana pun kalian menyimpannya di dalam peti-peti dan dibalut dalam kain, tetap saja dia meleleh. Seperti itu jugalah, betapa pun hebatnya upaya dilakukan untuk menegakkan kehidupan, yang benar (pasti) adalah ia akan habis. Hari demi hari sedikit banak akan terjadi perubahan padanya. Di dunia ini terdapat para dokter dan juga para tabib, namun tidak satu pun ada yang memberi resep umur kekal.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 422).
(422-423)
ISLAM SATU-SATUNYA JALAN
Sebagian orang yang berfitrat lemah berpendapat, bahwa yang ada (yang penting) memang beribadah kepada Allah Ta’ala, tidak peduli di dalam agama mana pun. Akan tetapi mereka tidak mengetahui, bahwa tsekian banyak agama yang ada pada masa kini di antaranya tidak ada (memiliki) pengaruh dan nur-nur serta berkat-berkatnya, ia tidak lain kecuali memberikan kutipan kisah-kisah terdahulu. Dan tidak lain ia hanya menghubungkannya pada janji-janji di masa mendatang, padahal buah dan pengaruhnya didapati pada setiap waktu dan dan di setiap zaman. Dan di dunia ini juga seorang Muslim sejati menikmati buah-buah itu.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 423-424).
(424-425)\
BERDUSTA SAMA DENGAN MEMBUNUH
Pada tanggal 11 Oktober 1902 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menasihati seorang yang baru masuk Jemaat, Maulvi Hamid Hussain. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Sebaiknya anda menetap di sini lima atau tujuh hari. Tidak baik bila anda pulang begitu cepat dan dengan tekad demikian. Dalam urusan-urusan dunia pun duniapun orang-orang betapa banyak melakukan penyelidikan dan penelaahan. Pada hakikatnya orang yang tergesa-gesa membentuk suatu pendapat, dia juga menjerumuskan orang lain ke dalam cobaan.
Jadi, mengungkapkan pendapat yang berlawanan dengan kenyataan yang sebenarnya sama dengan membunuh. Banyak sekali hal yang semakin dalam disimak oleh manusia maka tampak semakin bagus hasilnya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 425).
(425-426)
SARANA UNTUK MENGENALI AGAMA YANG BENAR
Ada pertanyaan dari Maulwi Hamid Hussein: "Penganut dari segenap agama menganggap bahwa agama mereka adalah benar. Bagaimana kita dapat mengambil keputusan tentang itu?", Hadhrat .Masih Mau'ud a.s. menjelaskan:
Masalahnya adalah, pada masa sekarang ini, bahkan sejak dahulu, untuk mengenali agama yang benar adalah mutlak bahwa bahwa di dalam agama tersebut harus terdapat dua hal. Pertama, ajarannya suci, dan akal serta hati sanubari manusia tidak keberatan terhadap ajaran itu, sebab tidaklah mungkin bahwa hal-hal yang berasal dari Allah itu tidak suci. Kedua, rangkaian dukungan Samawi terpaut dengan agama itu sedemikian rupa, sehingga melalui itu manusia dapat mengenali Tuhan serta menyaksikan segenap Sifat-Nya, sehingga manusia jadi dapat terhindar dari dosa.
Walau pun manusia masuk ke dalam agama yang benar, tetapi jika pada agama itu tidak terdapat perahu, berarti sama seperti mata air yang berada di suatu tempat yang di kelilingi gunung-gunung atau dinding, atau berada di tengah-tengah belukar penuh duri yang dengan cara apa pun kita tidak dapat mencapainya. Jadi, mata air yang seperti itu tidak berguna bagi diri-kita.
Ringkasnya, syarat yang mutlak adalah di dalam agama itu harus terdapat sarana-sarana sedemikian rupa yang melaluinya dapat timbul makritat Ilahi secara jelas. Ini juga suatu hal yang jelas, bahwa manusia lebih banyak dirundung musibah sedemikian rupa, yakni dia mengalami berbagai macam petaka, kesulitan serta kesusahan dan sebagainya, sehingga semua itu menggerogotinya clan menghalanginya menuju Tuhan. Dan karena hal-hal itulah timbul suatu jurang pemisah antara manusia dengan Tuhan.
Jadi, di dalam suatu agama itu harus ada sarana-sarana yang setiap harti terus saja menarik manusia ke arah-Nya, lalu menimbulkan keyakinan yang sempurna pada diri manusia, dan kemudian mempertemukan manusia itu dengan Tuhan.
Pihak dunia memang menyangkal dan mengatakan, “Memangnya kami ini mengingkari Tuhan?" Namun dari perbuatan-perbuatan mereka terbukti bahwa mereka itu pasti mengingkati Tuhan. Saya juga teolah menyinggung hal ini di dalam kebanyakan buku saya. Perhatikanlah, jika di dalam sebuah lubang terdapat ular, maka apakah orang yang tahu hal itu mau mendekat ke lubang tersebut? Atau, memasukkan tangannya ke dalam lubang itu? Atau jika di sebuah belantara hidup banyak sekali binatang buas, dengan mengetahui hal itu, apakah ada orang yang berani masuk ke dalam belantara. tersebut? Dengan mengetahui bahwa sebuah makanan beracun, apalah tetap akan dimakan?
Jadi, tampak bahwa ini merupakan suatu yang mutlak dari hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan, yakni sesuatu yang diyakini berbahaya tidak akan didekati. Mengapa terjadi demikian? Yakni, pada satu kesempatan seseorang itu merampas hak-hak manusiawi, mengabaikan hak-hak tersebut, memintauang suap, mencuri, melakukan hal-hal bejad, marah yang bukan pada tempatnya, dan lain sebagainya Dan masa tua tidak juga membuatnya melepaskan diri dari dosa-dosa. Selama masih memiliki kekuatan jasmani, dia melakukan segala macam perbuatan buruk. Jadi, tampak bahwa orang itu tidak beriman kepada Tuhan.
Setiap orang dapat meminta kesaksian dari jiwanya sendiri, yakni sebagaimana dia seharusnya berjalan di atas sikap yang adil (tidak aniaya), ternyata tidak berjalan seperti itu. Jadi, tujuan besar adalah keaniayaan-keaniayaan yang timbul dari diri manusia, renungkanlah dalam-dalam dan apa yang menjadi penyebabnya? Maka akhirnya akan diketahui bahwa manusia tidak sepenuhnya takut kepada Tuhan, tidak seperti yang seharusnya manusia lakukan. Kadang-kadang doss menjadi berkurang melalui ihsan (kebaikan), dan kadang-kadang melalui rasa tkut. Misalnya, orang-orang yang relatif agak bejad, pada masa-masa terjadi penyakit-penyakit dan wabah pes serta kolera, mereka mulai menegerjakan shalat.
Jadi, adalah mutlak bahwa di dalam agama mana saja terdapat dua hal ini: ajaran yang suci serta secara bertahap membawa manusia kepada Tuhan, berarti agama itu benar. Dan kedua sana ini akan akan ditemukan lagi dalam agfama-agama mana pun kecuali Islam. Tuhan yang dipaparkan oleh Islam, tidak dipaparkan oleh agama lainnya dalam bentuk yang begitu jelas. Di satu sisi ajaran Islam adalah tinggi (mulia), dan di sisi lain, jika seseorang melakukan perubahan dalam tempo sepuluh hari sekali pun, maka nur-nur dan berkat-berkat akan mulai turun atas dirinya.
Pada masa sekarang ini sudah banyak sekali firqah (golongan) dalam Islam. Seolah-olah di setiap keluarga telah terbeniuk sebuah firqah baru. Hal itu menyedihkan. Di satu sisi terdapat golongan Syi'ah. Mereka menjadikan Hussein r.a. seperti [berhala] Laat. Maka seseorang akan mengatakan: "Kemana saya harus pergi?! Syi'ah telah menjadi penyembah Hushein. Khawarij melontarkan caci-makian kepada Ali. Di antara keduanya terdapat Ahlus Sunnah.
Walau pun Ahlus Sunnah itu tampak secara zahir berdiri pada posisi seimbang, tetapi sekarang mereka telah menganut akidah-akidah yang memalukan sedemikian rupa, sehingga mereka telah mencapai kemusyrikan. Misalnya, mereka telah menjadikan Al-Masih sebagai tuhan. Yakni mereka mempercayainya dapat menghidupkan orang mati.
Jadi, agama suci adalah agama yang mengandung standar Al-Quran. Walau pun secara zahir manusia resah, yakni bagaimana dia dapat menemukan agama suci itu, akan tetapi ingatlah, barangsiapa mencari maka dialah yang akan menemukannya. Jangan lepaskan kesabaran serta takwa dari genggaman, sebab jika kalian berlaku demikian maka Allah Ta’ala itu Ghani (Mahakaya dan Maha Berkecukupan). Dia tidak peduli pada siapa pun.
Jadi, manusia hendaknya merendahkan diri di hadapan Tuhan maka barulah Dia akan berbuat penuh kelembutan dan ihsan, dan dia akan membukakan mata orang itu. Bertobatlah. Berdoalah. Panjatkanlah istighfar,dan jangan sekali-kali resah.
Setiap orang adalah sakit, dan tidak pernah akan sehat selama belum menyaksikan Tuhan. Jadi, hendaknya kalian setiap saat merasa sedih serta sendu. Dan putuskanlah segenap hubungan, lalu jalinlah hubungan dengan Allah. Jika tidak, maka selama masa itu – yakni sampai dia menjumpai Allah -- maka selama itu pula dia akan merupakan kotorang dan najis.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 426-428).
DOSA TIMBUL KARENA RAGU TERHADAP TUHAN
”Allah Ta’ala berfirman, “Man kaana fi hadzihi ‘amaa fahuwa fil-aakhirati ‘amaa (“barangsiapa buta di dunia ini maka di akhirat pun akan buta” – Bani Israil, 73). Yakin kepada Tuhan adalah suatu harta yang besar. Jadi orang yang buta [ruhani] adalah adalah orang yang di dunia ini juga tidak memperoleh keyakinan yang sempurna tentang Tuhan.Tatkala kehebatan, keindahan dan keperkasaan-Nya tampil pada diri seseorang, maka itu merupakan manifestasi-Nya, dan dengan menyaksikan hal-hal itu tidaklah mungkin manusia akan mengarah kepada dosa. Ketika manusia ragu akan Tuhan, barulah manusia melakukan dosa.
Jadi, seseorang yang menginginkan kebaikan bagi jiwanya, dia hendaknya yakin terhadap Tuhan. Pada zaman Ise Almasih, tidak banyak dosa. Namun karena [akidah] penebusan dosa maka dunia telah dipenuhi oleh dosa…..” (Malfuzat, jld. III, hlm. 428).
(428-435)
MIMPI MELIHAT NABI DALAM KONDISI BURUK
Pada tanggal 12 Oktober 1902, seperti biasa sesudah shalat maghrib Hadhrat Masih Mau’ud a.s. duduk-duduk bersama para sahabah beliau. Hadhrat Maulvi Abdul Karim membacakan sebuah tulisan editor Syhana Hind, yang mengatakan bahwa dia melihat dalam mimpi Hadhrat Aqdas Masih Mau'ud a.s. dalam keadaan kepala terikat di kaki. Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
”Di dalam Ta’birur-Ru’ya dengan jelas tertulis, bahwa orang-orang yang melihat pata utusan (rasul) dalam kondisi buruk, mereka itu memperlihatkan kondisi mereka sendiri (menelanjangi diri sendiri). Almarhum ayah Maulvi Abu Yusuf Muhammad Mubarak Ali suatu kali menceritakan kepada saya, bahwa seorang Hindu yang simpati terhadap Islam datang kepada beliau.
Tidak berapa lama kemudian dia kembali dari Kashmir, dan ditanyakan kepadanya, dia berkata bahwa dia kini seorang Hindu tulen. Akan tetapi beberapa lama kemudian dia dijumpai telah masuk Kristen. Ketika ditanya, dia jelaskan bahwa, "Saya melihat sebuah mimpi. Saya lihat Rasulullah saw. berada di dalam sebuah kamar gelap, dan di situ api menjilat-jilat." -- seolah-olah si kurangajar ini menganggapnya sebagai neraka -- "Dan di sekelilingnya saya melihat para pendeta. Dari hal itu saya mengambil kesimpulan bahwa pendeta berapa di pihak yang benar, sedangkan beliau kalah.”
Maulwi Sahib tidak tahu ilmu ta'bir mimpi. Ketika beliau ceritakan kepada saya, maka saya katakan bahwa ta'birnya adalah gambaran kondisi orang itu sendiri. Di dalam [kitab] Ta'thiirul-Anaam juga tertulis demikian. Yakni, jika seseorang melihat seorang nabi, utusan atau rasul dalam keadaan yang buruk – misalnya kelihatan seperti berpenyakit kusta, kelihatan telanjang, atau mereka memakan makanan yang tidak baik -- maka semua itu menggambarkan keadaan-keadaan dirinya sendiri.
Para nabi itu berfungsi sebagai cermin dan memperlihatkan bentuk asli orang [yang melihatnya dalam mimpi]. Dan ini penglaman saya sendiri, apabila orang-orang melihat seorang utusan atau rasul dalam keadaan buruk, maka dengan cepat kondisi itu timbul di dalam diri mereka sendiri, dan hari hukuman bagi mereka sudaha mendekat. Ini sudah saya saksikan sendiri. Hamid Hussain Sahib, seorang Ahmadi baru, mengayakan bahwa ketika dia berada di Mekkah seseorang mengatakan seperti itu kepada Haji Imdadullah, yakni dia melihat rpa [buruk] seperti itu, maka Haji Imdadullah juga mengatakan demikian, yakni, "Itu adalah rupa engkau sendiri."(Malfuzat, jld. III, hlm. 436-437).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar