GAMBAR DAN SHALAT
Seseorang bertanya: “Apakah karena foto (gambar) maka shalat jadi batal?”. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Jika dalam rangka mengikuti orang-orang kafir maka gambar itu tidaklah dibenarkan. Ya, pada substansinya, tidak ada larangan pada gambar. Justru larangan/haram itu terletak pada hal-hal yang mengitarinya. Jika gambar itu pada substansinya dapat membatalkan shalat, maka saya bertanya: apakah menyimpan uang di saku baju ketika shalat dapat membatalkan shalat? Jika dijawab bahwa karena terpaksa uang itu disimpan di saku ketika shalat, maka saya akan mengatakan: apakah karena terpaksa mengeluarkan tinja ketika shalat maka shalat tidak batal, dan tidak perlu berwudu lagi?
Hal yang sebenarnya adalah, mengenai gambar perlu diperhatikan, apakah yang menjadi tujuan di situ adalah pengkhidmatan terhadap agama atau. bukan? Jika begitu saja menyimpan gambar tanpa guna, dan tidak dengan tujuan pengkhidmatan: agama, maka hal itu merupakan sesuatu yang sia-asia. Dan Allah Ta’ala berfirman, "Wal ladziina hum 'anil laghwi mu'ridhuun – i(dan orang-orang yang berpaling dari hal yang sia-sia” – Al-Mu’minuun, 4). Menjauhi hal yang sia-sia merupakan cirri khas orang mukmin. Oleh karena itu hindarkanlah diri dari itu. namun, ya jika melalui [gambar] itu dapat dilakukan pengkhidmatan agama maka tidaklah dilarang, sebab Allah Ta’ala tidak ingin menyia-nyiakan ilmu.
Misalnya, saya pada sebuah kesempatan telah memberikan gambar Trinitas tuhan orang-orang Kristen. Di situ Ruhulqudus diperlihatkan dalam bentuk burung merpati, dan juga ditampakkan secara terpisah gambar “bapak” dan “anak”. Tujuan saya dari memperlihatkan gambar itu adalah supaya Trinitas itu ditolak, yakni, Tuhan yang dipaparkan Islam itulah Tuhan hakiki, Tuhan Yang Maha Hidup, Maha Tegak, Azali, Abadi, tidak berubah, dan suci dari hal-hal yang menyerupai-Nya.
Demikian pula, jika ada gambar untuk pengkhidmatan Islam maka syariat tidak menghalangi (membolehkannya, sebab hal-hal yang bersifat mengkhidmati syariat tidak dihalangi (diperbolehkan/dibenarkan). Dkatakan bahwa Hadhrat Musa a.s. menyimpan gambar-gambar seluruh nabi. Dan ketika pada sahabah mengunjungi Kaisar Rum, mereka melihat ada gambar gambar Rasulullah saw. padanya.
Jadi, hendaknya diingat, substansi gambar itu sendiri tidaklah haramm melainkan status haramnya itu tergantung pada hal-hal yang melandasinya. Orang-orang yang tanpa manfaat menyimpan serta membuat gambar-gambar itu adalah haram. Syariat mengharamkannya di satu sisi dan menghalalkannya jika digunakan pada cara yang benar. Lihat saja puasa, di bulan Ramadhan adalah halal, tetapi puasa di hari raya adalah haram.
Haram pun ada dua macam, pertama haram secara substansi, dan yang satu lagi haram karena hal-hal yang terkait dengannya. Misalnya babi sama sekali hara – tidak peduli apakah itu babi hutan atau babi dari tempat mana saja. Tidak pedulu apakah babi itu berwarna putih atau hitam, yang kecil atau yang besar – seluruhnya haram. Ini merupakan haram secara substansi.
Ada pun contoh haram yang berdasarkan pada hal-hal yang terkait dengan sesuatu adalah, misalnya, seeorang dengan bekerja keras mencari nafkah secara halal dan menghasilkan uang, itu adalah halal. Namun apabila uang itu diperoleh melalui perampokan atau perjudian maka uang itu haram. Hadits pertama di dalam Kitab Bukhari adalah: "Innamal ‘amaalu binniyyaat” (sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat).
Ada seorang pembunuh. Jika dimuat gambarnya (fotonga) dengan tujuan agar melalui itu dia dapat dikenali dan ditangkap maka hal itu tidak hanya dibenarka, bahkan menjadi wajib untuk untuk menggunakannya. Demikian pula jika seseorang mengirim foto orang yang mencerca Islam, maka jika kepadanya dikatakan bahwa itu adalah pekerjaan haram maka perkataan itu merupakan sikap yang menyakitkannya.
Ingat, Islam bukanlah berhala, melainkan sebuah agama hidup. Saya terpaksa 'mengatakan dengan sangat menyesal, bahwa pada masa sekarang ini para ulama yang tidak mengerti telah menimbulkan peluang kritikan terhadap Islam.
Gambar setiap benda terbentuk di dalam mata. Beberapa batu ada yang sedemikian rupa, yakni apabila burung-burung terbang maka dengan sendirinya gambar-gambarnya membekas padanya. Nama Allah Ta’ala adalah a gambar-gambarnya membekas. Name Allah Taala adalah Mushawwir (Pemberi bentuk/rupa), "Yushawwirukum fil arhaam (Dia-lah Yang memberi rupa/bentuk kamu dalam rahim-rahim” – Aali ‘Imran, 7), lalu mengapa mengecam tanpa berpikir dan memahami terlebih dahulu?
Hal yang sebenarnya adalah seperti yang telah saya uraikan, yakni status haramnya gambar tidaklah dalam arti hakiki, melainkan bergantung pada situasinya. Tidak bergantung pada hal lainnya. Dalam status haram yang tidak hakiki, senantiasa yang perlu diperhatikan adalah niat. Jika niat itu mendukung syariat maka tidaklah haram. Jika tidak, maka ia menjadi haram.
Jangan berlindung pads haditshadits semata. Jika kalian mendahulukan hadits daripada Quran Syarif berarti kalian mengecam Nabi Karim saw. bahwa mengapa tidak beliau saw, sendiri yang mengumpulkan hadits-hadits, padahal beliau saw. sendiri yang mendiktekan dan memperdengarkan Quran Syarif. Beberapa sahabah telah mengumpulkan hadits-hadits atas inisiatif mereka sendiri, namun akhirnya mereka baker.
Ketika ditanyakan apa sebabnya, maka mereka mengatakan bahwa mereka mendengar itu dari rawi (orang yang meriwayatkan) dan mungkin saja sudah ada yang bertambah dan berkurang di dalamnya, oleh sebab itu untuk apa mereka harus menanggung bebannya?
Jadi, dahulukanlah Quran, dan jadikanlah Hadits sebagai sesuatu yang mengikuti Quran. Jangan jadikan hadits sebagai nazir hukum (syariat).” (Malfuzat, jld. III, hlm. 128).
(hlm. 219-234)
MI’RAJ DAN LANGIT
Pada waktu mi’raj, Rasulullah saw. melihat para nabi Bani Israil di berbagai lapisan langit, pada hakikatnya Rasulullah saw. memaparkan silsilah para nabi Bani Israil dari segi zaman. Yang diperlihatkan paling tinggi adalah Hadhrat Ibrahim a.s., yang merupakan aabul anbiyaa (bapak para nabi). Di langit kedua Hadhrat Isa a.s.. Dikarenakan Hadhrat Yahya a.s. sezaman dengan Hadhrat Isa, oleh sebab itu mereka berdua ditampakkan bersama. Mereka itu berada dua derajat setelah Nabi Muhammad saw. (Nabi Adam a.s.?), oleh sebab itu mereka diperlihatkan berada pada langit kedua. Adam diperlihatkan berada di langit pertama. Dikarenakan Rasulullah saw. juga merupakan Adam, oleh sebab itu beliau diperlihatkan pada langit pertama.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 234-235).
DZULQARNAIN DAN MASIH MAU’UD
Dikarenakan zaman sekarang ini merupakan zaman penguakan hakikat-hakikat – dan Allah Ta’ala sedang membukakan kepada saya hakikat-hakikat dan makrifat-makrifat Al-Quran Syarif – berkaitan dengan tawajjuh (konsentrasi) terhadap kisah Dzulqarnain maka telah diberikan pemahaman kepada saya, bahwa dalam corak Dzulqarnain itu jugalah telah dipaparkan mengenai Masih Mau’ud. Dan Allah Ta’ala telah menamakan Masih Mau’ud sebagai Dzulqarnain adalah karena qarnun itu artinya 100 [tahun], dan Masih Mau’ud akan mendapatkan du qarnun, karena itu ia disebut Dzulqarnain (orang yang memperoleh dua abad – pent.).
Dikarenakan saya mendapatkan abad ke-13 dan juga abad ke-14 [hijriyah] keduanya, demikian pula saya mendapatkan 2 abad menurut tahun Hindi dan tahun Masehi, oleh sebab itu saya merupakan Zulkarnain.
Kemudian dalam kisah [Dzulqarnain] itu Allah Ta’ala telah memberitahukan, bahwa Dzulqarnain bertemu dengan tiga kaum. Pertama, di dekat tempat matahari terbenam, dan berada di lumpur. Artinya adalah kaum Kristen, yang mataharinya sudah terbenam, yakni pada mereka tidak lagi terdapat syariat kebenaran. Keruhanian [mereka] telah mati, kehangatan iman sudah tidak ada lagi. Mereka terperangkap dalam di dalam Lumpur [kemusyrikan].
Kaum kedua adalah yang berada di tempat matahari bersinar-sinar, dan mereka berada di dalam pancaran terik sinar matahari. Ini adalah kondisi orang-orang Islam. Pada mereka memang terdapat matahari – yakni syariat kebenaran – namun orang-orang ini tidak memanfaatkannya, sebab manfaat itu [hanya dapat] diambil melalui amal perbuatan yang penuh hikmah (bijak). Misalnya, memasak roti. Walau roti itu dimasak dengan menggunakan api, tetapi selama mereka belum mengupayakan bahan dan hal-hal yang tepat untuk itu, maka selama itu pula roti tidak dapat dimasak.
Demikian pula memanfaatkan syariat kebenaran pun menuntut adanya amal perbuatan yang penuh hikmah. Jadi, umat Islam pada masa sekarang ini – walaupun pada mereka terdapat matahari dan ada pancaran cahayanya – tetapi tidak mereka manfaatkan, dan tidak mereka gunakan dalam bentuk yang berfaedah, sehingga mereka tidak meraih bagian dari keperkasaan dan keagungan Allah.
Kaum yang ketiga adalah yang memohon kepadanya agar diselamatkan dari Ya'juj dan Ma'juj. Ini adalah umat kita, yang datang kepada kepada Masih Mau'ud, dan mereka ingin mengambil manfaat darinya.
Ringkasnya, pada masa sekarang ini terdapat corak ilmiah dari kisah-kisah ini. Saya percaya bahwa kisah ini juga telah berlaku sebelumnya dalam corak tertentu. Namun, ini memang suatu hal yang benar, bahwa di dalam kisah ini juga terdapat uraian mengenai masa mendatang dalam bentuk nubuatan, yang telah sempurna pada zaman sekarang ini”. (Malfuzat, jld. III, hlm. 235-236).
YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HUDAA DAN AL-HAQ
sKetika banyak merenungkan ayat:
uqèd üÏ%©!$# @yör& ¼ã&s!qßu 3yçlù;$$Î/ ÈûïÏur Èd,ptø:$# ¼çntÎgôàãÏ9 n?tã ÈûïÏd9$# Ï&Íj#ä.
(Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama” – Ash-Shaf, 10).
maka saya menjadi tahu bahwa Allah Ta’ala telah meletakkan dua kata di dalam ayat ini, hudaa (petunjuk) dan haq (kebenaran).
Hudaa (petunjuk) adalah supaya timbul cahaya internal dan tidak lagi terselubung. Ini mengisyaratkan pada ishlah (perbaikan) internasl, yang merupakan tugas Mahdi. Sedangkan kata haq (kebenaran) mengisyaratkan bahwa kebatilan itu akan dikalahkan secara eksternal. Di tempat lain tertera, "Jaa-al haqqu wa zahaqal baathil (kebenaran datang dan kebatilan lenyap” – Bani Israil, 82).
Di dalam ayat [pertama] itu sendiri telah difirmankan, “Liyuzhhiraahu ’alaad- diini kullihi (agar Dia mengunggulkannya atas semua agama), yakni dampak kedatangan Rasul itu adalah, dia akan memberikan kemenangan pada haq (kebenaran). Kemenangan ini tidak melalui pedang dan senapan, melainkan melalui argumentasi-argumentasi logis.
Ingatlah, ciri khas dari akal (logika) yang bersih dan suci adalah dia tidak bertumpu pada kisah-kisah belaka, melainkan dia menguakkan rahasia-rahasia [yang terkandung di dalam]. Oleh karena itu Allah Taala berfirman, bahwa orang-orang yang memperoleh hikmah (kebijakan) maka kepada mereka dianugerahkan kebaikan-kebaikan yang tak terhingga.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 236).
HIKMAH ILHAM YANG TURUN DALAM
KATA-KATA AL-QURAN
“Merupakan kehendak Allah Ta’ala agar Quran Syarif diuraikan, oleh karena itu kebanyakan ilham yang turun dalam kata-kata Quran Syarif tampil suatu tafsirnya dalam bentuk amalan (penggenapan).
Melalui hal itu Allah Ta’ala ingin memperlihatkan bahwa inilah bahasa yang hidup dan penuh berkat, dan supaya terbukti bahwa 1300 tahun lalu pun seperti ini jugalah turun Kalaam IAllah” (Malfuzat, jld. III, hlm. 237).
(Hlm 237-238)
JEMAAT DAN KETAKWAAN
”Jemaat saya hendaknya selalu ingat nasihat ini, yakni mereka hendaknya memperhatikan masalah yang saya terangkan ini. Kalau ada yang selalu terpikirkah oleh saya tidak lain hanyalah bahwa di dunia ini berlangsung hubungan pernikahan. Sebagian di antaranya atas pertimbangan kecantikan, sebaian dengan pertimbangan silsilah keluarga atau kekayaan, dan sebagian dengan pertimbangan kekuatan (pengaruh).
Namun Allah tidak peduli pada perkara-perkara tersebut. Dia dengan sangat jelaw tekah berfirman, “Inna akramakum ‘indallaahi atqaakum (sesungguhnya yang paling mulian di antara kalian adalah yang paling bertakwa di antara kalian” – Al Hujurat, 14).
Sekarang, [warga] Jemaat yang bertakwa Allah akan memeliharanya, sedangkan yang lain akan Dia binasakan. Ini adalah suatu posisi yang rawan. Di tempat itu tidak dapat berdiri dua orang beriringan, yakni di situ berdiri orang muttaqi (bertakwa) dan di tempat yang sama berdiri pula orang yang bejad dan kotor. Sudah pasti bahwa orang mutaqi (bertakwa) berdiri tegak di sana, sedangkan orang yang kotor akan dibinasakan.
Dikarenakan yang tahu hanyalah Allah – yakni siapa yang menurut-NYa muttaqi – maka ini sungguh suatu posisi yang sangat mencemaskan. Beruntungkah orang yang mutaqi (bertakwa), dan malanglah orang yang terkena laknat.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 238-239).
(239-257)
PERBEDAAN ILHAM SEJATI DAN ILHAM SETANI
... Jika ada yang beranggapan bahawa di antara [kelompok] itu juga terdapat para ulama dan juga orang-orang yang memperoleh ilham, maka itu merupakan suatu khayalan belaka. Hal itu tidak mendatangkan manfaat, dan tidak dapat mencapai tujuan yang seharusnya menjadi tujuan diri manusia.
Ingatlah, hal yang darinya Allah ridha, selama hal itu belum ada maka ilmu pengetahuan pun tidak menjadi benar, dan ilham pun tidak akan berguna. Seseorang yang berdiri di dekat tinja, maka pertama-tama dia akan mencium bau, lalu jika di dekatnya diletakkan minyak wangi maka apa gunanya? Sebab selama qurb (kedekatan) Allah Ta’ala belum diraih maka sedikit pun tidak ada yang diperoleh, dan hal yang mendekatkan manusia kepada Allah hanyalah takwa.
Untuk mendengar suara yang benar hendaknya menjadi muttaqi (orang bertakwa). Saya banyak melihat orang yang menganggap setiap suara yang mereka dengar sebagai ilham, padahal mimpi-mimpi kosong juga ada. Saya tidak mengatakan bahwa suara-suara yang mereka dengar itu adalah suara yang dibuat-buat. Tidak. Mungkin saja memang mereka mendengar suara-suara, namun kita tidak dapat menyatakan setiap suara itu sebagai suara Allah Ta’ala, selama padanya tidak terdapat nur-nur dan berkat-berkat yang memang menyertai Kalaam Suci Allah Taala.
Oleh sebab itu saya mengatakan, supaya para penda'wa [penerima] ilham tersebut memeriksa ilham-ilham mereka berdasarkan ukuran itu. Dan hal ini pun hendaknya jangan dilupakan, bahwa sebagian suara berasal dari setan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan seorang manusia bijak untuk terpikat terhadap suara-suara tersebut, melainkan selama najis-najis internal dan kekotoran-kekotoran batin belum hapus, dan selama kesucian takwa berderajat tinggi belum diraih, dan selama manusia belum mencapai tahap yang tampaknya lebih hina dan nista dari seekor cacing mati, dan selama Allah Taala belum menjadi tujuan setiap ucapan serta amalan; maka selama itu pula manusia tidak akan dapat mencapai maq1am (martabat) dimana manusia dapat mendengar suara Allah-nya. Dan suara-suara tersebut pada hakikatnya merupakan suara Allah, sebab saat itu dia telah suci dari segenap kekotoran.
Ringkasnya, keputusan tidak dapat diambil hanya berdasarkan suara-suara itu saja, dan berdasarkan beberapa kitab biasa, melainkan cara yang yang sejati dan yang sebenarnya untuk mengambil suatu keputusan adalah apa yang disebut sebagai dukungan-dukungan Ilahi. Dari itulah didapat keputusan, dan ternyata Allah-lah Yang memberi keputusan.
Seseorang yang berdiri pada maqam (martabat) demikian di sisi Allah Ta’ala -- yang benar-benar telah bersih dari kotoran-kotoran -- dia itulah yang dapat mendengar suara-suara.suci. Suara-suara yang didengar oleh Hadhrat Musa, Hadhrat Isa, Hadhrat Nuh, Hadhrat Ibrahim, dan para nabi 'alaihimus salaam lainnya, serta yang didengar oleh Nabi Karim kita saw., saya katakan dengan sebenarnya, bahwa tangan-tangan manusia tidak diperlukan untuk membuktikan kebenaran dan penzahiran suara-suara tersebut, melainkan Allah Ta’ala sendiri yang memperlihatkan kecemerlangannya.
Walau pun ini merupakan hal-hal yang sangat halus (pelik), yang termasuk dalam kategori rahasia-rahasia makrifat, tetapi tetap saja aroma wangi dan aroma busuk dapat dikenali melalui berbagai pemandangan. Pohon yang bagus dapat dikenali melalui berbagai cara. la dapat dikenali melalui daun-daunnya. Suatu kali di Anbala saya melihat pohon ilaichi (kepulaga – sejenis tumbuhan rempah yang bijinya wangi – pent.). saya ambil sehelai daunnya lalu saya cium, maka tercium aroma wangi ilaichi. Walaupun masih tersisa tiga tahap lagi, tetapi terasa wanginya.
Manusia bijak, mengetahui suatu hal yang sebenarnya melalui banyak faktor pertimbangan yang logis. Keburukan-keburukan juga tersembunyi di balik ribuan tabir. Takwa juga terselubung di balik ribuan tabir, namun ia dapat diketahui melalui tanda-tanda dan faktor-faktor pertimbangan lagi yang muncul darinya.
Para sufi menuliskan, sebagaimana seseorang yang tertangkap basah dalam keadaan berbuat keburukan ia menjadi sangat malu, demikian pula seorang muttaqi (bertakwa) apabila. dia sedang asyik dalam upaya-upaya ketakwaan dan ibadahnya, lalu ada orang lain yang lewat di situ, maka dia merasa sangat malu. Penyebab rasa malu hanya satu, pelaku keburukan itu ingin menutupi keburukannya, sedangkan orang muttaqi tersebut ingin menutup-nutupi ketakwaannya.
Ringkasnya, hal-hal yang berkaitan dengan takwa sangat terselubung, bahkan pada hakikatnya para malaikat pun sampai tidak tahu tentang hal itu, lalu bagaimana mungkin pihak lain dapat mengetahuinya? Hubungan tadalla (mendekat kepada Allah) yang diraih Rasulullah saw., kondisi yang dipahami oleh Allah Ta’ala mengenai hubungan itu sama sekali tidak dipahami oleh yang lainnya. Hadhrat Abu baker pun tidak mampu memahaminya. Hadhrat Ali juga tidak mampu memahaminya, dan tidak ada seorangpun yang memahaminya.
‘Inqitha taam (pemutusan hubungan total dengan wujud-wujud selan Allah Ta’ala – pent.) yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketawakalan beliau terhadap Allah Ta’ala, serta anggapan beliau saw. terhadap makhluk sebagai hal-hal yang lebih rendah daripada cacing mati, itu semua merupakan suatu perkara yang tidak tampak pada pandangan orang-orang lain. Namun dengan menyaksikan dukungan-dukungan Allah Ta’ala maka orang-orang pasti mengambil kesimpulan, bahwa sebagaimana beliau saw. telah menjalin hubungan yang hakiki dan kokoh dengan Allah Ta’ala, demikian pula Allah Ta’ala pun tidak akan bersikap tanggung-tanggung kepada beluau saw..” (Malfuzat, jld. III, hlm. 239-240).
(hlm. 240-247)
ISTIGHFAR, TAUBAT DAN SHALAT
Selalulah kalian istighfar, dan senantiasalah ingat maut (kematian). Tidak ada hal yang lebih hebat dari kematian dalam hal menimbulkan kesadaran. Tatkala manusia kembali kepada Allah dengan hati yang benar, maka Allah Ta’ala melimpahkan fadhal-Nya (karunia-Nya).
Pada saat manusia bertaubat dengan sesungguh hati di hadapan Allah Ta’ala, maka pertama-tama Allah akan memaafkan dosanya, lalu Dia akan memulai suatu hisaab (perhitungan) baru bagi hamba itu. Jika seseorang berbuat dosa sedikit saja kepada manusia, maka manusia itu membenci dan memusuhinya sepanjang hidup. Dan kalau pun dia menyatakan maaf secara lisan, akan tetapi tetap saja tatkala dia memperoleh kesempatan maka dia akan menzahirkan kebencian dan permusuhannya itu. Hanya Allah Taalalah yang apabila manusia datang kepada-Nya (bertaubat) dengan hati yang benar maka Dia memaafkan dosa-dosa orang itu, dan taubat itu Dia limpahi rahmat. Dia menurunkan karunia atas orang itu, dan Dia memaafkan hukuman dosa itu.
Oleh karena itu kalian pun hendaknya demikian, yakni jadikanlah diri kalian sebagai sesuatu yang bukan seperti sebelumnya. Lakukanlah shalat dengan sepenuh hati. Tuhan yang ada di sini (Qadian), juga merupakan yang ada di sana (di tempat kalian). jangan pula begini, yakni selama masih berada di sini kalbu kalian dipenuhi oleh kesenduan dan rasa takut terhadap Tuhan, akan tetapi ketika kalian kembali ke rumah kalian maka kalian menjadi tidak takut dan berani lagi. Jangan. Justru rasa takut terhadap Allah hendaknya senantiasa ada di dalam diri kalian.
Sebelum melakukan setiap pekerjaan, pikirkanlah, perhatikanlah, apakah dari itu Allah akan ridha atau murka? Shalat adalah sesuatu yang sangat penting danb merupakan mikraj bagi orang mukmin. Sarana yang terbaik untuk memanjatkan doa adalah shalat. Shalat itu hendaknya ditegakkan, bukan supaya kalian melakukannya cepat-cepat, atau seperti ayam yang mematuk-matukl makanan. Banyak sekali orang yang mengerjakan shalat seperti itu, dan banyak sekali orang yang baru mau mengerjakan shalat karena disuruh. Itu tidak ada artinya sedikit pun.
Shalat adalah tampil di hadapan Allah Ta’ala. Dan shalat itu merupakan bentuk utuh dari upaya-upaya untuk memohon maaf dan ampunan terhadap dosa-dosa. Orang yang mengerjakan shalat tanpa memperhatikan landasan dan tujuan ini berarti shalatnya itu sama sekali tidak sah.
Jadi, dirikanlah shalat dengan cara yang sangat baik. Apabila kalian berdiri maka berdirilah dengan cara sedemikian rupa, sehingga dari itu tergambar dengan jelas bahwa kalian berdiri tegak dan siap dalam ketaatan dan kesetiaan terhadap Allah Ta’ala. Apabila kalian tunduk (rukuk), maka tunduklah sedemikian rupa, sehingga dari itu dengan jelas diketahui bahwa kalbu kalian pun turut tunduk (rukuk). Dan apabila kalian sujud maka lakukanlah seperti orang yang hatinya dipenuhi rasa takut.. Dan berdoalah kalian di dalam shalat bagi agama (ruhani) dan dunia kalian.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 247-248).
(hlm. 248-257)
JEMAAT DAN BERDOA
”Bacalah Quran Syarif, dan jangan sekali-kali putus asa terhadap Allah. Orang mukmin tidak pernah putus asa terhadap Allah. Itu termasuk kebiasaan orang-orang kafir, yakni menjadi putus asa terhadap Allah Ta’ala. Tuhan kita adalah, “’Alaa kulli syai-in qadiir (Mahakuasa atas segala sesuatu] (A1-Baqarah: 21).
Bacalah juga terjemahan Quran Syarif, dan kerjakanlah shalat-shalat dengan sepenuh hati, serta pahami juga maknanya. Berdoalah juga dalam bahasa masing-masing. Jangan baca Quran Syarif itu dengan menganggapnya sebagai suatu kitab biasa. Kerjakanlah shalat sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah saw.. Setelah dzikir-dzikir (doa-doa) yang masnuun (sunnah), silakan sampaikan hajat-hajat dan keinginan-keinginan kalian dalam bahasa sendiri. Dan mohonlah kepada Allah Ta’ala, hal itu tidak mengapa, shalat sama sekali tidak akan batal karenanya.
Masa sekarang ini orang-orang telah merusak shalat, mana pula mereka mengerjakan shalat. Mereka hanya bergerak-gerak dengan cepat. Mereka mengerjakan shalat sangat cepat, seperti ayam yang mematuk-matuk, dan belakangan barulah mereka berlama-lama duduk memanjatkan doa.
Ruh dan inti sejati darai shalat itu sendiri adalah doa. Bagaimana mungkin tujuan yang sebenarnya dapat dicapai apabila doa justru dipanjatkan setelah selesai shalat? Seseorang yang datang ke singgasana raja, dan dia memperoleh kesempatan untuk menyampaikan kehendaknya. Akan tetapi selama di situ dia tidak berucap sedikitpun. Namun setelah keluar dari singgasana barulah dia mengutarakan permohonanannya. Apa gunanya demikian? Seperti itu pulalah kondisi orang-orang masa sekarang ini yang tidak memanjatkan doa dengan khusyuk dan rendah hati dalam shalat.
Ada pun doa-doa yang harus kalian panjatkan, panjatkanlah di dalam shalat, dan perhatikanlah sopan-santun berdoa.” (Malfuzat, jld. III, hlm 257-258).
(258-261)
BAIAT YANG TULUS &
BALA‑BENCANA
”Manusia ada dua macam, satu adalah yang berfitrat baik, yang sejak dari awal sudah percaya. Orang-orang ini memiliki pandangan yang jauh ke depan dan perhatian yang tajam, misalnya Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a.. Dan satu lagi adalah yang bodoh. Apabila azab sudah tiba di atas kepala barulah mereka terkejut. Oleh karena itu kalian sebelum kemurkaan itu tiba berdoalah dan serahkan diri ke dalam perlindungan Allah Ta’ala.
Doa itu dikabulkan tatkala rasa perih dan sendu timbul di dalam hati, dan bala musibah serta kemurkaan Ilahi menjadi jauh. Akan tetapi ketika bala sudah tiba di atas kepala, memang tidak diragukan lagi bahwa pada saat itu pun timbul rasa perih dalam hati, namun keperihan tersebut tidak memiliki potensi (kekuatan) untuk menarik keterkabulan doa.
Pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa apabila sebelum tiba bala-musibah kalian melunakkan hati kalian dan menangis serta meratap di hadapan Allah Ta’ala untuk perlindungan keluarga kalian, maka keluarga dan anak-anak kalian akan diselamatkan dari azab pes. Tetapi jika kalian hidup seperti orang-orang dunia maka tidak ada manfaatnya sedikit pun bahwa kalian telah bertaubat (baiat) di tangan saya, sebab bertaubat (baiat) di tangan saya memerlukan suatu maut (kematian), supaya kalian meraih kelahiran baru di dalam suatu kehidupan yang baru.
Jika baiat tidak dilakukan dengan hati maka tidak ada hasilnya. Dari melakukan baiat kepada saya Allah Ta’ala menginginkan ikrar hati. Jadi, barangsiapa menerima saya dengan hati yang benar serta melakukan taubat yang sesungguhnya terhadap dosa-dosanya maka Allah Yang Ghafur (Maha Pengampun) dan Rahiim (Maha Penyayang) pasti akan mengampuni dosa-dosanya, dan dia akan seperti [bayi] yang keluar dari perut ibu, barulah para malaikatnya menjaganya.
Jika di dalam satu kampung terdapat seorang salih maka karena mempertimbangkan serta demi orang salih tersebut Allah Ta’ala akan melindungi kampung tersebut dari kehancuran. Akan tetapi jika kehancuran itu datang ia akan melanda semuanya, namun tetap saja Dia menyelamatkan hamba-hamba-Nya melalui cara-cara tertentu. Inilah Sunnatullah (kebiasaan Allah), apabila terdapat satu saja pun orang salih maka deminya orang-orang lain juga akan diselamatkan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 261-262).
(262-263)
JEMAAT DAN REVOLUSI DIRI
”Dengan masuknya ke dalam Jemaat ini hendaknya wujud kalian berubah, dan kalian benar-benar harus jadi manusia yang menjalani suatu hidup baru. Apa pun kalian sebelum ini, sekarang jangan demikian lagi.
Jangan kalian beranggapan bahwa dengan melakukan perubahan [pada diri kalian] di jalan Allah Ta’ala ini maka kalian akan menjadi miskin, atau akan timbul banyak sekali musuh bagi kalian. Tidak. Orang yang memegang tali Allah sama-sekali tidak miskin. Hari-hari buruk tidak akan pernah dapat menerpanya. Seseorang yang sahabat dan penolongnya adalah Allah, jika seluruh dunia menjadi musuhnya maka tidak peduli sedikit pun. Jika kesulitan-kesulitan juga menimpa orang mukmin, dia sama sekali tidak berada dalama kesulitan, melainkan hari-hari seperti itu merupakan hari-hari surga baginya. Malaikat-malaikat Tuhan memangku mereka seperti seorang ibu.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 263).
(263-267)
PARA NABI DAN DOA
Hal yang berlaku di kalangan para nabi ‘alaihimus-salaam, adalah walaupun kepada mereka terlah diberikan nubuatan-nubuatan dana mereka percaya sepenuhnya kepada janji-janji Allah Ta’ala, tetapi tetap saja mereka sama sekali tidak meninggalkan upaya-upaya doa, sebabnya adalah mereka juga percaya bahwa Allah Ta’ala itu Al-Ghaniy (Maha Berkecukupan) pada Zat-Nya. Dan mereka juga percaya bahwa kemuliaan Allah itu tidak terbatas, serta merupakan sikap yang tidak hormat apabila tidak memanjatkan doa.
Ada tertulis bahwa pada saat perang Badar, ketika Rasulullah saw. sedang memanjatkan doa sambil menangis-nangis, maka Hadhrat Abu Bakar berkata, “Yang mulia, sekarang tak usah lagi berdoa. Bukankah Allah Ta’ala telah memberikan janji kemenangan?" dNamun Rasulullah saw. tetap saja menenggelamkan diri dalam doa-doa.
Sebagian orang menuliskan bahwa keimanan Hadhrat Abu Bakar r.a. tidaklah seperti keimanan Rasulullah saw., bahkan makrifat Rasulullah saw. sangat mendalam .......Makrifat itu membuat beliau takut akan sifat Allah Ta’ala Al-Ghani (Yang Maha Berkecukupan) atas Dzat-Nya. Oleh karena itu hendaknya jangan sekali-kali meninggalkan upaya-upaya doa.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 267).
(267-268)
ARTI ALLAH “BERUTANG”
Mengenai tafsir ayat, “Man- yuqridhullaahu qardhan -- barangsiapa memberikan kepada Allah pinjaman” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Ada pun Allah Ta’ala berutang bukanlah berarti, ma’adzakkah, Allah Ta’ala itu memiliki hajat (kebutuhan) dan bahwa Dia itu muhtaaj (yang membutuhkan). Beranggapan seperti merupakan suatu kekufuran. Melainkan artinya adalah, Dia akan mengembalikannya bersama ganjaran pahala. Ini merupakan sebuah cara yang digunakan Allah Ta’ala kepada siapa saja yang ingin Dia berikan karunia-Nya.” (Malfuzat jld. III, hlm.. 268).
(268-269)
TUJUAN KEDATANGAN MASIH MAU’UD A.S.
”Maksud dan tujuan saya yang sebenarnya adalah untuk menzahirkan keperkasaan Rasulullah saw. serta menegakkan keagungan beliau. Hal-hal yang menyangkut diri saya, itu hanya terkait [dengan beliau], sebabnya adalah di dalam wujud Rasulullah saw. terdapat kekuatan magnetis dan daya curah berkat-berkat, dan di dalam berkat-berkat beliau itulah terdapat uraian yang menyangkut diri saya.” (Malfuzat jld. III, hlm. 269).
(269-272)
ABU JAHAL MERUPAKAN FIR’AUN BAGI UMAT RASULULLAH SAW.
”Abu Jahal merupakan Fir’aun bagi umat [Rasulullah saw.] ini, sebab dia juga telah memelihara Nabi Karim saw. untuk beberapa masa, sebagaimana Fira’un Mesir dahulu telah memelihara Musa a.s..
Demikian pula halnya dengan Maulvi Muhammad Hushain [Batalwi], yang telah memelihara Jemaat saya ini untuk beberapa masa dengan cara menulis review (ulasan/komentar) mengenai Baraahin Ahmadiyya pada masa permulaan.” (Malfuzat, jld. III, hlm 272).
MELAKUKAN AMAL BAIK LAINNYA
KETIKA SEDANG DIKUMANDANGKAN AZAN
Seseorang sedang membacakan sebuah selebaran mengenai pes, lalu adzan dikumandangkan maka orang itu pun berhenti membacakan. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Teruslah bacakan. Sewaktu adzan membacakan [sesuatu] adalah dibenarkan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 272).
(hlm. 268-272)
PENJELASAN MENGAPA MASIH MAU’UD
DALAM ILHAM DISEBUT YAHYA
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memperdengarkan sebuah ilham lam beliau: "Yaa yahyaa khudzil kitaaba biquwwati wal-khairu kulluhu fil-quraan. Beliau bersabda:
“Di sini saya disamakan dengan Yahya a.s., sebab Hadhrat Yahya a.s. dahulu itu terpaksa menghadapi kaum-kaum Yahudi yang meninggalkan Kitab Allah dan Taurat. Mereka sangat tertarik pada hadits-hadits (riwayat sabda-sabda), dan dalam setiap perkara mereka memaparkan hadits-hadits [yang keluar dari Kitab Allah].
Demikian pula pada zaman sekarang ini saya berhadapan dengan orang-orang Ahli Hadits, yakni saya memaparkan Al-Quran, sedangkan mereka memaparkan hadits.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 272).
TIDAK MELAYANI PENENTANG YANG BERMULUT KOTOR
Di Qadian dahulu terdapat seorang penentang yang bermulut kotor dan batinnya juga kotor. Dia memanggil seorang warga Jemaat, dan berkata-kata dengannya. Ketika hal itu diketahui oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. beliau bersabda
“Seorang yang bejad dan pengacau seperti itu hendaknya jangan diberi kehormatan seperti itu, yakni berbicara dengannya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 274).
TUJUAN MISI MASIH MAU’UD SEBENARNYA
ADALAH PENZAHIRAN KEKUDUSAN RASULULLAH SAW.
“Sebenarnya, tujuan saya adalah untuk menzahirkan kekudusan Rasulullah saw. serta untuk menyanjung beliau saw.. Oleh Karena itu kalau pun ada sanjungan bagi diri saya, itu merupakan bayangan dari Rasulullah saw..” (Malfuzat, jld. III, hlm. 275).
PANDANGAN TENTANG PARA TOKOH AGAMA TERDAHULU
”Mengenai kewafatan Al-Masih dan hal-hal yang semacam itu, apa pun yang dikatakan oleh orang-orang terdahulu, mengenainya saya hanya mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Hadhrat Musa a.s., yakni, “’Ilmuha ‘inda rabbii (ilmu mengenainya ada di sisi Tuhan-ku”,) yakni hanya Allah-lah yang lebih mengetahui tentang keadaan orang-orang terdahulu itu.
Ya, mengenai orang-orang pada sekarang ini sudah cukup banyak saya memberi penjelasan, dan hujah (argumentasi) sudah terpenuhi,” (Malfuzat, jld. III, hlm. 275).
COBAAN DATANG UNTUK PENYARINGAN
“Allah Ta’ala ingin melakukan penyaringan, supaya – sebagaimana para piir (guru mursyid) lainnya – jangan sampai orang-orang yang buruk dan kotor bergabung dengan kita. Oleh karena itu cobaan semacam ini pun terjadi.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 276).
(hlm. 277-288)
SHALAT HARUS MENGGUNAKAN BAHASA ARAB YANG ASLI
”Shalat hendaknya jangan dilakukandalam bahasa sendiri. Bahasa yang telah digunakan oleh Allah Ta’ala untuk Quran Syarif, hendaknya jangan ditinggalkan. Ya, keinginan-keinginan pribadi kalian dapat saja kalian smapaikan ke hadapan Allah Ta’ala dalam bahasa kalian sendiri, setelah mengerjakan hal-hal yang berupa sunnah dan dzikir serta lain sebagainya. Namun bahasa asli [dalam shalat] sama sekali jangan ditinggalkan.
Orang-orang Kristen telah meninggalkan bahasa asli ]Injil] dan lihatlah apa akibatnya? Sedikit pun tidak ada yang tersisa lagi.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 288).
(hlm. 288-289)
RASA KENYANG DALAM RUHANI
”Apalah artinnya wujud sebutir gandum, namun apabila dikumpulkan maka dapat membuat kenyang. Dan untuk membuat kenyang kira-kira harus tersedia sebanyak 15.000 butir gandum, darinya seorang manusia benar-benar akan kenyang.
Seperti itu pula jika aayatullah (Tanda-tanda Allah) dikumpulkan dan dihargai maka akan menimbulkan rasa kenyang secara ruhani. Jika Tanda-tanda yang saya peroleh diperhatikan secara menyeluruh maka akan tampak kekuatan dan kehebatan Tanda-tanda itu.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 289).
MELALUI AL-QURAN
AKAN DILAKUKAN PERBAIKAN TERHADAP TAURAT
”Kita ingin memperbaiki Taurat melalui Quran Karim, bukannya memperbaiki Quran Karim melalui Taurat. Taurat tidak dapat disejajarkan dengan Al-Quran. Dimana saja terdapat perbedaan (pertentangan) antara Al-Quran dan Taurat maka di situ akan tampak dengan jelas bahwa di dalam Taurat terdapat suatu kekotoran dan kedustaan yang telah dicampurkan ke dalamnya belakangan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 289).
KEADAAN PARA UTUSAN ALLAH
“Para nabi dan utusan Allah selalu bagaikan benih tumbuhan. Pada mulanya tampak rendah dan hina ...mereka dengan palidaw-'all ..... yang hina, namun akhirnya akan tampil .....Allah.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 289).
.
(289-290)
BANGKITNYA ORANG-ORANG YANG MATI
”Saya percaya pada hukum qudrat Allah Ta’ala yang telah dipaparkan dalam Quran syarif. Orang-orang mati yang diletakkan dalam kuburan maka malaikat telah mendatangi mereka. Mengenai orang-orang mati seperti itu fatwa Quran Syarif adalah: "Fa yumsikul latii qadhaa 'alaihal- maut (maka Dia tahan jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya" -- Az-Zumar, 43).
Namun, dalam bentuk selain itu, dalam kasus maut (kematian) yang ghair-hal juga dapat terjadi kehidupan kembali. Peristiwa-peristwa semacam ini juga saya alami sendiri. Mengenai Mubarak -- (putera Hadhrat Masih Mau'ud a.s. yang wafat di usia 9 tahun – pent.), -- bukanlah maut (kematian) yang tergolong “Fayumsikul- latii qadhaa ‘alaihal- maut” itu, dan inilah kehidupan kembali yang saya imani, yakni orang-orang mati bangkit kembali.
Ringkasnya, hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala saya ikuti. Jika tidak percaya dan tidak yakin terhadap [hukum] itu maka iman pun akan lenyap. Jadi, hukum qudrat Allah Ta’ala yang tertera dalam Kitab Allah itulah yang saya percayai (imani). Dan saya juga beriman (percaya) bahwa Allah Ta’ala tidak akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Sifat-sifat-Nya sendiri. Misalnya, jika ada yang mengatakan, bahwa Allah Ta’ala itu Maha Kuasa, sehingga apakah Dia juga akan melakukan bunuh diri?
Sebagai jawabannya saya akan mengatakan: Dia tidak akan pernah berbuat demikian, sebab “lahul- asmaa-ul husnaa (kepunyaan-Nya semua nama/sifat yang terindah” – Al-Hasyr, 25).. Tidak ada sifat lain yang dapat dipatrikan. Dia tidak akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sifat-sifat-Nya yang sudah berlaku sejak awal.
Ringkasnya, mengenai kebangkitan kembali orang mati dan mengenai hukum qudrat, akidah saya adalah, saya mengakui kehidupan kembali yang diuraikan oleh Quran Syarif, dan hukum qudrat yang terbukti melalui Quran Syarif merupakan imam bagi saya. Filsafat (ilmu) Eropa dan penelitian-penelitian mereka yang terbatas tidak dapat menjadi pemandu bagi saya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 290).
KEKUATAN IMAN HADHRAT MASIH MAU’UD A.S.
”Saya memiliki keimanan yangkuat terhadap Allah Ta’ala, bahwa Dia sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang benar. Seperti halnya Hadhrat Ibrahim a.s., jika hamba tersebut dimasukkan ke dalam api maka api tidak akan dapat membakarnya.
Keyakinan saya adalah, bukannya hanya satu api, jika ribuan api sekali pun tetap saja tidak akan dapat membakarnya. Seoreang shadiq jika dimasukkan ke dalamnya maka pasti ia akan selamat.
Sebagai perlawanan terhadap tugas yang telah diserahkan kepada saya ini, jika saya dimasukkan ke dalam api maka saya yakin bahwa api tidak akan membakar saya. Dan jika dicampakkan ke dalam cengkraman singa-singa maka singa-singa itu pun tidak akan dapat memakan saya.
Saya katakan dengan pasti bahwa Tuhan saya bukanlah tuhan yang tidak mampu menolong hamba-Nya yang benar, melainkan Tuhan saya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menampakkan perbedaan antara hamba-hamba-Nya dengan pihak-pihak lain. Jika tidak demikian maka doa pun menjadi sesuatu yang tidak berguna.
Saya katakan dengan sebenarnya, segala sesuatu yang saya paparkan mengenai Allah Ta’ala, kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang dimilik—Nya adalah jutaan kali lebih hebat dari itu. Begitu hebatnya sehingga tidak dapat saya uraikan.
Merupakan keimanan saya, jika orang-orang Quraisy Mekkah menangkap Rasulullah saw. lalu melemparkan beliau ke dalam api maka api itu sama-sekali dan sama-sekali tidak dapat membakar beliau. Jika ada yang mengingkari hal itu – dengan pertimbangan bahwa tentu api tidak akan kehilangan dampak (potensi) yang dikandungnya – berarti dia itu bejad dan kafir, sebab apabila Allah Ta’ala telah mengatakan kepada segenap musuh, “Fakiidunii kaidan – maka lakukanlah segenap makar kalian, Aku pasti akan menyelamatkannya” (Hud, 56). Oleh karena itu apabila ada yang beranggapan bahwa kalau beliau dimasukkan ke dalam api maka akan terbakar berarti dia itu kafir.
Quran Syarif benar dan janji-janji Allah Ta’ala pun benar. Jika ada orang kafir yang melakukan taktik dan tipu-saya untuk membunuh beliau saw. maka pasti Allah Ta’ala akan melindungi beliau saw. dari kemudaratan-kemudaratan mereka, seperti yang telah dilakukan oleh-Nya untuk melindungi beliau saw.. Tidak peduli apakah mereka itu melakukan makar berupa penyaliban atau memasukkan ke dalam api. Ringkasnya, apa pun yang mereka lakukan, akhirnya Muhammad Rasulullah saw. sesuai janji Allah akan terbukti benar seperti yang telah terjadi.
Inilah tahap paling agung pengenalan terhadap Allah Ta’ala, yang ke arahnyalah saya ingin menarik Jemaat saya. Dan saya yakin, insya Allah, pelahan-lahan segala sesuatunya akan berlangsung.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 291).
SEMANGAT TABLIGH HADHRAT MASIHJ MASU’UD A.S.
”Jika saya punya ikhtiar maka saya akan keliling ke rumah-rumah seperti para faqir untuk menyebarkan agama yang benar, dan untuk menyelamatkan manusia dari syirik dan kekufuran yang mematikan itu, yang telah menyebar di dunia.
Jika Allah Taala mengajarkan bahasa Inggris kepada saya, maka saya sendiri akan berkeliling dan melakukan perjalanan-pedalanan untuk bertabligh. iDan di dalam pertablighan itu jugalah saya akan menghabiskan hidup saya, tidak peduli walaupun saya akan terbunuh di jalan itu.” (Malfuzat, jilid III, hlm. 291-292).
PENYEBARAN INFORMASI MENGENAI KUBURAN AL-MASIH
”Saya ingin menerbitkan sebuah selebaran di Eropa dan Negara-negara lainnya, selebaran yang sangat ringkas, berhalaman tipis supaya semua orang membacanya. Kandungannya hanyalah sekedar bahwa kuburan Al-Masih terdapat di Srinagar Kasymir. Dan telah terbukti berdasarkan fakta-fakta yang benar. Jika ada yang ingin mengetahui dan ingin mengenali lebih dalam tentang itu, silahkan menghubungi saya.
Selebaran semacam itu saya maksud yang dicetak dalam jumlah besar dan disebarluaskan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 292).
TIDAK ADA PEMAKSAAN DALAM ISLAM
”Segala sesuatu yang dilakukan oleh Allah Ta’ala adalah untuk ta’lim dan tarbiyat. Dikarenakan zaman kejayaan [Islam] berlangsung lama, dan kekuasaan serta kejayaan Islam bertahan sampai berabad-abad lamanya, serta kemenangan-kemenangan Islam mencapai kawasan-kawasan yang jauh, oleh sebab itu sebagian orang bodoh telah beranggapan bahwa Islam disebarkah melalui pemaksaan, padahal ajaran Islam adalah, “Laa ikrahaa fid-diin – (tidak ada paksaan dalam agama” – Al-Baqarah, 257).
Untuk menzahirkan kebenaran ini Islam telah menyebar-luas bukan melalui pemaksaan. Allah Ta’ala telah menciptakan Khaatamul_Khulafa, dan tugas yang ditetapkan baginya adalah yudha’ul harb (meniadakan peperangan), dan di sisi lain dikatakan, “Liyuzhhirahuu ‘alaad- diini kullihii (agar dia mengunggulkanya atas semua agama – Ash-Shaf, 10), yakni dia akan mewujudkan kemenangan Islam atas gamala-agama lain melalui hujjah (argumentasi), dan dia akan meniadakan peperangan.
Sungguh sangat keliru orang-orang yang menanti-nanti kedatangan seorang Mahdi pembunuh dan Masih penumpah darah.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 293-294).
MUKJIZAT AGUNG YANG DIBAWA ISLAM
”Mukjizat Islam yang paling besar dan paling agung, yang tidak ada tandingannya dimana pun adalah kebenaran dania anya. Dari sudut apa pun dia ti...... kecil hati. Segenap kebenaran apa saja terdapat di dalam Islam, .....sempurna dari segala aspek. Islam menangkis serangan-serangan yang dilakukan oleh semua pihak. Dan Islam melakukan serangan kepada pihak-pihak lain sedemikian rupa sehingga tidak dapat dijawab oleh mereka.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 294).
RAHASIA UMUR PANJANG
“Setiap orang menginginkan agar umurnya panjang, namun sangat sedikit orang yang memperhatikan asas-asas serta cara yang mengakibatkan umur manusia menjadi panjang. Salah satu asas yang diberitahukan Quran Syarif adalah, "Wa ammaa maa yanfa'un naasa fa yamkutsu fil ardhi – (adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi – Ar-Ra’d, 18). Yakni, wujud-wujud yang memberi manfaat umur mereka akan panjang. Allah Ta’ala telah berjanji untuk memanjangkan umur orang-orang yang berguna bagi orang-orang lain. Padahal ada dua sisi syariat. Pertama, ibadah kepada Allah Ta’ala. Kedua, kepedulian terhadap umat manusia. Namun di sini sisi tersebut yang diambil, yakni hamba yang sempurna adalah yang memberikan manfaat kepada orang-orang lain.
Pada sisi pertama, jenjang pertama adalah kecintaan terhadap Allah Ta’ala dan Tauhid. Di situ kewajiban manusia adalah menyampaikan manfaat kepada yang lainnya, dan bentuknya adalah: Bimbinglah mereka untuk mencintai Allah dan untuk menegakkan Tauhid-Nya. Seperti yang tertera di dalam ayat: "Wa tawaashau bil haqqi – (dan saling berwasiatlah dengan kebenaran – Al-‘Ashr, 4).
Manusia kadang-kadang memahami sendiri suatu permasalahan, namun dia tak sanggup untuk memberi pemahaman kepada orang lain. Oleh karena itu mereka hendaknya berusaha keras dan gigih untuk juga memberi manfaat kepada orang-orang lain. Solidaritas terhadap sesama manusia adalah, melakukan keras-keras, memeras otak, lalu mencari jalan untuk memberi manfaat kepada yang lainnya, sehingga umur pun menjadi panjang.
Sebagai padanan ayat, "Wa ammaa maa yanfa'un naasa fa yamkutsu fil ardhi – (adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi – Ar-Ra’d, 18), terdapat sebuah ayat lain yang sebenarnya merupakan jawaban terhadap kebimbangan yang [dipaparkan] ini, yakni kebimbangan bahwa selain 'aabid (hamba), ternyata pihak-pihak lain yang memberi manfaat pun umurnya jauh lebih panjang, sedangkan seorang 'aabid tidak demikian?
Saya sudah menjelaskan bahwa seorang baru akan dapat menjadi 'aabid kaamil (hamba sempurna) apabila dia memberi manfaat kepada orang-orang lain. Namun di dalam ayat ini terdapat penjelasan lebih dalam lagi. Ayat yang dimaksud itu adalah: "Qul maa ya'ba-u bikum rabbii lau laa du'aa-ukum – (Katakanlah, “Tuhan-ku tidak akan akan memperhatikan kamu kalau bukan karena doa kamu: – Al-Furqaan, 78), atau dalam kata lain dapat dikatakan, bahwa Dia memperhatikan para ‘aabid (hamba), bahwa Dia memperhatikan pars 'aabid (hamba).
‘Aabid dan zaahid yang mengenai mereka dikatakan, bahwa mereka hidup di belantara dan di hutan-hutan serta meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia, menurut saya mereka itu lemah dan tak berdaya, sebab keyakinan saya adalah, seseorang yang mencapai tahap ini – yakni dia memperoleh makrifat sempurna tentang Allah dan Rasul-Nya -- dia kapanpun tidak akan bisa berdiam diri. Dengan mabuk di dalam kelezatan dan kenikmatan itu, dia pasti ingin memberitahukannya kepada orang-orang lain.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 294-295).
SETIAP HARI MENDEKATKAN MANUSIA PADA KEMATIAN
”Semakin manusia tua dia semakin tidak peduli terhadap agama. Itu merupakan tipuan nafsu dan suatu kesalahan besar menganggap bahwa maut (kematian) itu masih jauh. Maut adalah suatu hal yang begitu mutlak sehingga tidak ada yang dapat menghindar darinya dalam bentuk apa pun, dan maut itu semakin dekat dan mendekat. Setiap hari baru membawa maut (kematian) itu semakin lebih dekat.
Saya melihat bahwa sebagian orang pada usia-usia muda hati mereka lembut, tetapi pada usia-usia tua telah berubah menjadi keras. Mengapa demikian? Nafs (jiwa) mengecoh bahwa maut (kematian) masih sangat jauh, padahal sudah sngat dekat.
Pahamilah bahwa maut (kematian) itu dekat supaya kalian terhindar dari dosa-dosa.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 296).
JANGAN PUTUS ASA TERHADAP RAHMAT ALLAH TA’ALA
“Pintu karunia dan kasih-sayang Allah Ta’ala tidak pernah tertutup. Jika manusia kembali dengan hati yang benar dan dengan tulus maka Dia itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang serta Penerima taubat.
Beranggapan bahwa dosa-dosa mana pun yang akan Dia maafkan, itu merupakan suatu kelancangan dan sikap kurang-ajar di hadapan Allah Ta’ala. Khazanah rahmat-Nya sangat luas dan tidak terbatas. Tidak ada kekurangan pada-Nya. Pintu-Nya tidak tertutup bagi siapa pun.
Tidak seperti pegawai-pegawai [pemerintah] Inggris, mana pla ada orang yang berpendidikan rendah bisa menjadi pegawai Inggris. Seberapa jauh orang-orang mencapai kedekatan di hadapan Allah, kesemuanya akan memperoleh derajat-derajat tinggi. Ini adalah janji yang pasti. Sangat malang dan sangat siallah manusia yang putus asa terhadap Allah Ta’ala, dan yang kembali (bertaubat) kepadanya ketika meregang nyawa dalam keadaan lalai. Memang tidak diragukan lagi, saat itu pintu [taubat] sudah tertutup.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 296-297).
ILMU ADALAH NUR
SEDANGKAN KEJAHALATAN ADALAH TABIR PENUTUP BESAR
”Ingatlah, kekeliruan selalu terjadi pada orang jahil (bodoh). Kekeliruan yang terjadi pada setan itu bukanlah ilmu melainkan arena kebodohan (kejahilan). Sebab jika setan memiliki ilmu yang sempurna tentu dia tidak akan keliru.
Di dalam Quran Syarif ilmu itu tidak dinyatakan buruk, justru difirmankann: "Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u – (“sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu” – Al-Faathir, 29). Jadi, para penentang saya, bukanlah ilmu yang telah membinasakan mereka melainkan kebodohan (kejahilan).
Kepada Rasulullah saw. difirmankan, “Qul-rabbii zidnii ‘ilmaan – (Katakanlah, “Ya Tuhan-ku tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” – Tha Ha, 115). Jadi, jika ilmu itu merupakan sesuatu yang biasa dan kecil maka tentu doa ini tidak akan diajarkan kepada beliau. Kemudian difirmankan: "Man- yu'tal al-hikmata faqad uutiya khairan katsiiraa – (dan barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh telah diberi kebajikan yang banyak” -- (Al Baqarah, 270). Ringkasnya, segala kebaikan terletak pada peraihan ilmu-ilmu yang benar.
Sekian banyak orang yang telah masuk Kristen, itu disebabkn oleh kebodohan, sebab jika mereka memiliki ilmu yang sempurna tentu mereka tidak akan mengatakan: "Lau kunnaa nasma'u au na'qilu maa kunnaa fii ash-haabis sa'iir – (dsekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal kami tidaklah kami akan menjadi penghuni api yang menyala-nyala” – Al-Mulk, 11).
Orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu merupakan tabir penutup besar adalah salah, kebodohanlah yang merupakan tabir penutup besar. Ilmu merupakan nur dan ia tidak mungkin menjadi tabir penghalang besar. Nama Allah adalah ‘Aalim (Maha Mengetahui). Kemudian di dalam Al-Quran tertera, “Ar-rahmaanu ‘alamal- qur-aan (Yang Maha Pemurah telah mengajarkan Al-Quran” – Ar-Rahmaan, 2). Oleh karena itu malaikat berkata, “Laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘alamtanaa (Kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” – Al- Baqarah, 33).
Ringkasnya, ingatlah semua racun terletak pada kebodohan (kejahilan). Kejahilan itu itu benar-benar merupakan suatu maut. Segenap tabib dan dokter serta orang-orang lain yang melakukan kesalahan, itu mereka lakukan karena kekeliruan mereka dari segi ilmu.
Para nabi datang membawa ilmu. Ketika kegelapan melanda dunia dan makhluk pun berubah menjadi setan serta tidak ada lagi hubungan dengan Allah Ta’ala, maka pada saat itu Allah Ta’ala akan mengutus hamba-Nya untuk melakukan tajdiid (pembaharuan).” (Malfuzat, jld. III, hlm. 297-298).
(hlm. 298-315)
”Hendaklah takut terhadap......... lalu.... Hindarkanlah diri dari kemurkaan Allah, sebab.......Namun....... tidak ........... akan datang. Maut (kematian) tidak dapat dihindari. .....dianugerahkan umur yang panjang.
Orang-orang yang membatasi hidup mereka untuk makan dan minum, , Allah tidak bertanggung-jawab alas hidup mereka.
Maut (kematian) menimbulkan kebahagiaan bagi orang mukmin, sebab maut itu bagai suatu tunggangan yang mengantarkan seseorang kepada sahabatnya.
Ada dua hal untuk meraih kedekatan Ilahi. Pertama, keimanan yang sejati. iKedua, amal-amal salih. Kedua hal ini tidak terdapat dalam agama Kristen. Fondasi iman telah digantikan oleh penebusan dosa. Dan bersamaan dengan itu amal-amal salih pun salih pun menjadi lenyap, sebab sudah tidak diperlukan lagi.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 298).
(263-275)
MENGUMPULKAN & MENERBITKAN MIMPI-MIMPI
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Berbagai orang yang telah melihat mimpi bahwa di Qadian tidak akan berjangkit tha’un (pes,), mimpi-mimpi hendaknya dikumpulkan lalu diterbitkan.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 275).
(275-280)
KELEZATAN HAKIKI &
HIDUP SEDERHANA
”Kelezatan hakiki terdapat dalam hal ini, yakni manusia memahami Wujud Allah dan mengenai Rasul dengan benar. Manusia hendaknya mencari penghidupan mereka sebatas dapat menjalani hidup alakadarnya, dan jangan mengejar-ngejar banyak sekali keinginan dunia atau pun istri.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 280).
(280-288)
TIGA MACAM SYIRIK
“Syirik ada tiga macam. Pertama, yang umum yaitu penyembahan terhadap berhala, penyembahan terhadap pohon dan sebagainya. Ini adalah jenis yang paling umum dan nyata. Jenis yang kedua adalah bertumpu dengan cara melampaui batas terhadap sarana-sarana – misalnya berkata, “Jika hal tertentu tidak dilakukan maka saya mati” -- ini juga merupakan syirik. Jenis yang ketiga adalah di hadapan Wujud Allah Ta’ala seseorang itu menganggap wujudnya sendiri sebagai sesuatu yang berarti.
Pada masa sekarang ini, di zam,an kecemerlangan dan zaman akal (logika) ini, tidak ada lagi yang tampak melakukan syirik yang nyata-nyata tadi, namun pada zaman kemajuan di bidang materi ini, syirik dalam hal-hal yang menyangkut sarana sudah sangat banyak. Dengan merebaknya wabah pes, tidak ada yang mau berpikiran bahwa wabah itu menyebar sebagai hukuman atas perbuatan-perbuatan [yang dilakukan manusia], dan orang-orang justru menaruh perhatian pada sarana-sarana lain [untuk menghindarkannya].” (Malfuzat, jld. III, hlm. 288).
(288-298)
DUA BAGIAN IBADAH
”Ibadah memiliki dua bagian. Pertama, [rasa] takut manusia terhadap Allah Ta’ala, sebagaimana layaknya takut [kepada-Nya]. Rasa takut kepada Allah Ta’ala mermbawa manusia kepada mata air kesucian, dan ruh [manusia] jadi mencair lalu mengalir ke arah Uluhiyyat (Tuhan), dan di dalam dirinya timbul corak ‘ubudiyat (penghambaan) yang hakiki.
Bagian kedua dari ibadah ialah, supaya manusia melakukan kecintaan terhadap Tuhan, sebagaimana layaknya mencintai-[Nya]. Untuk itulah difirmankan: 'Wal ladziina aamanuu asyaddu hubbal lillaahi (“orang-orang yang beriman lebih kuat kecintaan mereka kepada Allah” – Al-Baqarah, 166), dan menganggap seluruh kecintaan dunia itu tidak abadi, lalu menyatakan bahwa Allah Ta’ala-lah yang merupakan mahbub haqiqi (Kekasih sejati).
Inilah dua hak yang dimintakan oleh Allah Ta’ala dari manusia bekenaan dengan-Nya. Untuk memenuhi kedua hak ini memangsegala macam ibadah mengandung suatu corak di dalamnya. Namun Islam telah menetapkan dua bentuk ibadah untuk itu [yakni shalat dan haji; kelanjutan artikel ini - pent.].
Takut dan cinta merupakan dua perkara yang secara zahirnya tampak tidak mungkin dapat bersatu. Yakni orang yang takut kepada seseorang tertentu, bagaimana mungkin dia dapat mencintainya? Akan tetapi takut dan cinta terhadap Allah Ta’ala memiliki warna (corak) tersendiri. Sejauh mana manusia maju dalam hal takut kepada Allah, sejauh itu pulalah cinta a akan tumbuh. Dan sejauh mana maju dalam hal cinta terhadap Allah, sejauh itu pula takut kepada Allah akan mendominasi, lalu membangkitkan rasa benci terhadap kejahatan dan keburukan-keburukan, sehingga membawanya kepada kesucian.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 298-299).
(299-302)
ALAM MIMPI YANG MENAKJUBKAN
DPada tanggal 13 Oktober 1902, seperti biasa Hadhrat Masih Mau’ud a.s. jalan-jalan. Beberapa orang menceritakan mimpi merek masing-masing. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Di kalangan kebatilan tengah berlangsung persiapan-persiapan untuk beralih menuju kebanaran. Gambaran tentang itu diperlihatkan. Rukya (mimpi)adalah suatu alam yang menakjubkan. Hal-hal yang tidak ada, ditampilkan dalam bentuk wujud yang diperlihatkan adalah wujud dari benda-benda yang tidak ada, sedangkan benda-benda yang ada ditampakkan dalam bentuk kosong. Terdapat berbagai macam perubahan yang mengabaikan umat (bangsa-bangsa) lainnya. Mereka beranggapan bahwa pemenuhan janji-janji Tuhan itu berlangsung di dunia ini saja, dan mereka tidak tahu-menahu tentang kiamat, serta banyak sekali yang mengingkarinya.” (Malfuzat, jild. III, hlm. 302-303).
(303-306)
GOLONGAN WUJUDI DAN PENYEMBAH BERHALA
Para penyembah berhala pun – seperti halnya orang-orang Wujudi (penganut fahan Wihdatul Wujud) – menganggap berhala-berhala mereka sebagai perwujudan [Tuhan]. Quran Syarif menentang paham itu.
Di bagian permulaan saja ia sudah mengatakan, "Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin" (segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam). Jika tidak ada perbedaan antara makhluk (yang diciptakan) dan Khaliq (Pencipta) dan bahwa keduanya adalah sama dan satu, maka tentu tidak harus dikatakan “Rabbul ‘aalamiin” (Tuhan seluruh alam). Alam itu tidak termasuk dalam sosok Allah Ta’ala, sebab arti ‘alam adalah ......yu’lamu bihii (sesuatu yang diketahui), sedangkan bagi Allah Ta’ala dikatakan, “Laa tudrikuhul abshara (penglihatan tidak dapat mencapai-Nya – Al-An’am, 104).
Mereka mengatakan bahwa benda-benda yang berwujud ini merupakan ‘ainullah. Quran Syarif tidak ada membahas tentang 'ain dan ghair. Mereka mengaitkannya pada [perkataan] Muhyiddiin ibnu Arabi. Yakni, beliau menuliskan: "Alhamdulillaahil ladziy halaqal asyiaa-a wa huwa ‘ainuhaahaaa”. Itu memang benar. Allah Ta’ala berfirman, “Wa laa taqfu maa laisa laka bihi ‘ilmun (dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak memiliki ilmu mengenainya - (Banif Israil:37). Tatkala manusia tidak tahu sedikit pun, maka katakanlah, apa lagi yang dapat disebut ghaib?
Ini merupakan suatu hal yang mutlak, bahwa sifat-sifat suatu benda itu – tidak peduli ke mana pun ia pergi – air jika kalian bawa ke London akhirnya ia tetap saja air. Apabila benar bahwa manusia itu merupakan Tuhan maka sifat-sifat Tuhan tidak boleh terlepas dari manusia, tidak peduli dalam keadaan bagaimana pun.
Dengan terjadinya perubahan maka sifat-sifatnya pun hilang. Kelanggengan wujud sesuatu benda beriringan dengan sifat-sifatnya. Jika pada setangkai bunga tidak ada lagi sifat-sifat bunga maka bagaimana mungkin ia itu merupakan bunga? Jadi, jika manusia merupakan Tuhan maka tentu sifat-sifat Tuhan harus ada pada diri manusia. Jika tidak ada sifat-sifat Tuhan maka kebodohanlah yang telah menjadikannya sebagai Tuhan.
Manusia terus menerus dalam berbagai macam musibah dan kesulitan-kesulitan. Manusia mengalami penderitaan-penderitaan. mereka berusaha mati-matian sehingga tidak tahu lagi apa yang dikerjakan. Terdapat ribuan kehendak dan keinginan yang tidak kunjung terpenuhi. Apakah seperti itu juga halnya kehendak Allah Ta’ala? Yakni, tidak terpenuhi?
Mengenai-Nya justru dikatakan, "Idzaa araada syai-an an- yaquula lahuu kun fayakuun (apabila Dia menghendaki sesuatu Dia berfirman kepadanya, “Jadilah” maka jadilah ia” – Ya Sin, 83). Dari itu diketahui dengan jelas bahwa sesuatu yang menimbulkan kegagalan dalam kehendak-kehendak manusia adalah suatu Wujud yang terpisah dan sangat kuat. Jika keduanya (manusia dan Tuhan) sama maka kegagalan itu tentu tidak akan timbul. Hal-hal semacam itu jelas bertentangan dengan ajaran Quran Syarif. Dan pada pandangan Allah Ta’ala, itu merupakan kelancangan-kelancangan yang berbahaya.
Mengetengahkan kritikan semacam ini -- yakni bahwa dari mana dunia ini diciptakan? -- adalah kelancangan. Tatkala Allah Ta’ala itu telah diakui sebagai Maha Kuasa, mengapa mengapa kritikan-kritikan semacam itu dilakukan? Orang-orang Arya juga sering melontarkan kritikan-kritikan semacam itu. Mereka ingin mengukur Allah Ta’ala dengan ukuran kekuatan serta kemampuan mereka.
Kemudian, lihatlah para tokoh sufi besar dari kalangan Wujudi ini ternyata telah dan masih saja meninggal dunia. Kalau mereka itu Tuhan, maka seharusnya pada saat itu mereka memperlihatkan kehebatan mereka sebagai Tuhan, bukannya roboh menyerahkan nyawa seperti manusia yang tidak berdaya.
Ingatlah, hal yang baik bagi manusia adalah tidak mencampuri urusan-urusan Allah Ta’ala, melainkan mengakui kedudukannya sebagai hamba. Keimanan dan keyakinan saya adalah, terdapat suatu Wujud Yang Maha Kuat yang mengatur kita. Ke mana saja Dia mau akan Dima bawa ke sana. Dia-lah Khaaliq (Maha Pencipta) dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Dia Hayyul-Qayyum (Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri) sedangkan kita adalah makhluk yang tak berdaya.
Di dalam Quran Syarif terdapat kisah tentang Hadhrat Sulaiman dan Bilqis, yakni ia (Bilqis) melihat [bentangan] air lalu ia mengangkat kainnya. Ditu pelajaran jugalah yang diberikan Hadhrat Sulaiman kepada perempuan itu. Ratu itu sebenarnya seorang penyembah matahari. Dengan cara itu Hadhrat Sulaiman memberi pelajaran kepadanya bahwa sebagaimana aitr mengalir di bawah [lantai] kaca, sebenarnya yang ada di atas [air] adalah kaca. Demikian pula terdapat suatu Kekuatan yang Maha kuat yang memberikan cahaya dan sinar kepada matahari.
Kritikan yang dilontarkan bahwa Quran Syarif datang untuk menghapuskan ghairiyyat (unsur-unsur selain Tuhan), ternyata para Wujudi ini tidak memahaminya. Quran Syarif menegakkan suatu kesatuan umum di kalangan umat Islam, bukannya menciptakan suatu kesatuan secara substansial antara makhluk (yang diciptakan) dengan Khaaliq (Pencipta). Manusia itu mencintai dosa, lalu bagaimana mungkin manusia dapat menjadi Tuhan?
Orang-orang Wujudi mengatakan, “Kalian telah berbuat benar mengenai ghairiyyat.” Kita mengatakan, itu tidak benar. Kita mengakui adanya makhluk (hasil ciptaan), bukannya kta memaparkan suatu Tuhan yang lain. Dan kita mengakui makhluk yang sepenuhnya dikuasai oleh Allah Ta’ala, sebab Dia itu adalah Tuhan Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri (Hayyul-Qayyum). Melalui topangan-Nyalah kehidupan ini berlangsung. Kedudukan Allah Ta’ala sebagai Yang Maha Hidup dan Maha Mandiri tidaklah seperti pembuat bangunan. Yakni suatu bangunan tidak membutuhkan si pembuat bangunan untuk hidup bersamanya, yakni jika si pembuat bangunan mati maka dengan kematiannya itu bangunan tersebut tidak akan mengalami kerugian apa-apa, melainkan dalam bentuk apa pun makhluk tidak akan terlepas dari dukungan Allah Ta’ala. Justru Dia itu merupakan sarana inti yang menimbulkan kehidupan dan kelanggengan bagi makhluk. Kita sama sekali tidak mau berdebat soal ‘ain (inti) maupun ghair. Quran Syarif tidak pernah menggunakan istilah-istilah itu. Yang diterangkan oleh Al-Quran adalah hubungan-hubungan antara Khaaliq (Pencipta) dengan para makhluk (yang diciptakan). Keluar dari itu adalah suatu kelancangan dan tidak etis.
Sebelum Syekh Muhyiddiin ibnu ‘Arabi tidak ada yang wihdatul wujud. Ya, yang ada adalah wihdatusy- syuhud, yakni dalam menyaksikan Allah Ta’ala seorang insan memahami dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tidak ada. .... Para wujudi melewati batas itu lalu melakukamn hal-hal yang dikatakan oleh dokter dan para filsuf bahwa mereka telah menjadi bagian dari Tuhan. Di sini tampak bahwa para penganut paham wihdatul wujud ini umumnya menghalalkan semua yang diharamkan. Mereka sama-sekali tidak peduli soal shalat dan puasa. Sampai-sampai mereka juga menjalin hubungan dengan para pelacur. Mereka tidak mau menahan diri.
Hakikat syuhud adalah seperti besi yang dimasukkan ke dalam api. Besi itu menjadi panas sedemikian rupa sehingga jadi seperti api. Pada waktu itu walau pun padanya terdapat sifat-sifat api, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakannya api.
Demikian pula seseorang yang menjalin hubungan kuat dan mendalam dengan Allah Ta’ala dan mencapai derajat fanafillaah, maka kadang-kadang pada dirinya berlaku mukjizat-mukjizat luar biasa, yang mengandung penampakkan semacam potensi kekuasaan-kekuasaan Ilahi. Orang-orang – karena kesalahpahaman dan lemahnya pemahaman mereka – menganggap orang itu sebagai Tuhan Dalam kondisi syuhud banyak hal yang berlangsung sesuai kehendak mereka. Misalnya Allah Ta’ala telah menyatakan perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagai perbuatan-Nya, dan kepada beliau saw. dikatakan, “Al-yauma akmaltu lakum diinakum (pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu – Al-Maidah 4) dan “Idzaa jaa-an-nashrullaahi (apabila datang pertolongan Allah – An-Nashr, 2).” (Malfuzat, jld. III, hlm. 306-308).
SUNAH MENCERITAKAN MIMPI PADA PAGI HARI
Pada tanggal 4 Agustud 1902, setelah maghrib Hadhrat Masih Mau’ud a.s. seperti biasanya datang, dan para khuddam mengitari beliau. Seorang pemuda mengutarakan bahwa dia ingin menceritakan tentang mimpinya. Beliau a.s. bersabda:
“Ceritakanlah besok pagi. Cara yang masnun (sunnah) adalah demikian. Rasulullah saw. pun memperdengarkan mimpi pada pagi hari” (Malfuzat jld.III, hlm. 309).
(309-312)
TIGA BAGIAN AGAMA
“Hanya Islam sajalah suatu agama yang dapat sukses (berhasil) di setiap arena, sebab agama memiliki tiga bagian. Pertama pengenalan akan Tuhan, kedua hubungan dengan sesama makhluk, ketiga hak-hak-Nya dan hak-hak diri sendiri. Sedemikian banyak banyak agama-agama yang ada saat ini, selain Islam yang kita tampilkan, kesemuanya telah melampau batas. Nah, hanya Islamlah yang akan berhasil,” (Malfuzat, jld. III, hlm. 312).
YANG DAPAT MEMAJUKAN ISLAM
ADALAH YG DAPAT MEMBUKTIKAN
KEWAFATAN ISA ALMASIH
ADALAH YG DAPAT MEMBUKTIKAN
KEWAFATAN ISA ALMASIH
”Para penentang kita, apalah yang dapat mereka paparkan tentang Islam, sedangkan mereka sendiri tidak mengakui keindahan-keindahan Islam. Pertama-tama, Islam dengan begitu hebat telah menegakkan Tauhid Allah Ta'ala. Tetapi tatkala [mereka] ini membangun sifat-sifat ketuhanan di dalam [diri] Al-Masih dan mempercayainya, maka mana lagi ada tersisa Tauhid? Kemudian, berkat-berkat merupakan kebangaan Islam, akan tetapi orang-orang ini pun mengingkarinya.
Jika sekedar memaparkan kish-kish terdahulu, orang-orang dahulu pun dapat melakukannya. Islam adalah bagaikan buah yang segar, yang dengan memakannya akan terasa kelezatan dan kegembiraan, Namun kini kondisi yang ingin diciptakan oleh orang-orang ini adalah bagaikan suatu buah yang telah busuk, yang baunya membuat pikiran kita tidak menentu.
Allah Ta’ala sesuai dengan janji-Nya, telah memelihara Islam tetap segar, dan oleh karena itulah, kecuali kami tidak ada lainnya yang dapat memaparkannya. Zaman sekarang yang dapat mensukseskan (memajukan) Islam hanyalah ia yang memberikan uraian-uraian sehingga mengantarkan Al-Masih ke kubur.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 313).
(313-315)
BAIAT DAN TUJUAN YANG SEBENARNYA
Pada tanggal 19 Agustus 1902 beberapa orang dari Kapurtala baiat di tangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Seseorang di antara mereka mengutarakan keinginannya untuk meraih ziarat (perjumpaan) dengan Rasulullah saw., dan ia meminta petunjuk dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau a.s. menjelaskan.
“Lihat, anda telah melakukan baiat kepada saya. Barangsiapa yang telah masuk di dalam baiat penting baginya untuk memperhatikan tujuan-tujuan baiat. Masalah supaya meraih ziarat (perjumpaan) Rasulullah adalah jauh dari maksud dan tujuan yang sebenarnya. Ini sama s ekali hendaknya jangan dijadikan sebagai tujuan utama manusia. Di dalam Quran Syarif ini pun tidak ditetapkan sebagai tujuan yang sebenarnya. Justru telah dikatakan, “Inkuntum tuhibbunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaah (jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah pun akan mencintai kalian – Aali ‘Imran, 32).
Maksud yang hakiki adalah mengikuti Rasulullah saw. dengan sebenarnya. Apabila manusia mabuk (tenggelam) dalam mengikuti beliau maka bisa saja terjadi demikian. Banr-benar dapat juga terjadi ziarat (perjumpaan).
Seperti halnya seorang tuan-rumah mengundang seseorang maka dia menghidangkan makanan yang enak. Namun dengan makanan-makanan itu dia juga membawa alas meja. Tangan pun dibasuh, padahal tujuan yang sebenarnya adalah makanan. Demikian pula orang yang dengan sebenarnya mengikuti Rasulullah saw. dan menjadikan hal itu sebagai tujuannya, mungkin saja suatu saat akan terjadi ziarat (perjumpaan) dengan beliau.
Lihatlah, banyak sekali orang yang datang ke sini untuk baiat. Mereka melihat saya, akan tetapi di dalam diri mereka tidak terjadi perubahan yang merupakan tujuan utama [baiat kepada] saya dan yang untuknyalah saya telah diutus, tidak ada manfaat yang mereka raih dengan melihat saya.
Demikian pula, sangat malanglah orang itu di pandangan Allah Ta’ala dan sedikit pun tidak dihargai di sisi Allah Ta’ala, yaitu orang yang walaupun dia telah memperoleh ziarat (perjumpaan) seluruh para nabi ‘alaihimus-salam, namun di dalam hatinya tidak ada keikhlsan, kesetiaan sejati, keimanan hakiki terhadap Allah Ta’ala dan rasa takut kepada Allah serta takwa.
Jadi, ingatlah bahwa ziarat-ziarat I semata tidak ada gunanya. Doa pertama yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala adalah, “ Ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an’amta 'alaihim – (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka – Al-Fatihah, 6-7). Jika maksud utama Allah Ta’ala adalah ziarat (perjumpaan) maka sebagai pengganti ihdinaa (tunjukkanlah kami) Dia tentu seharusnya mengajarkan doa, "Arinaa suwral ladziina an'amta ‘alaihim (perlihatkanlah rupa orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka),” Dan ternyata hal itu tidak dilakukan.
Lihatlah kehidupan nyata Rasulullah saw.. Beliau tidak pernah berkeinginan supaya beliau memperoleh ziarat (perjumpaan) dengan Ibrahim a.s., walau pun di dalam mikraj beliau saw. telah berjumpa dengan semua nabi.
Jadi, hendaknya hal itu jangan dijadikan tujuan utama. Tujuan yang hakiki adalah mengikuti [Rasulullah saw.] dengan sebenarnya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 315-316).
DEFINISI UANG SUAP
”Menurut saya definisi definisi riswat (uang suap) adalah memberikan sesuatu yang menguntungkan, untuk menekan hak-hak seseorang atau untuk menekan hak-hak pemerintah secara tidak sah. Namun di dalam kondisi dimana hal itu tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain dan tidak melenyapkan hak orang lain, serta memberikan sesuatu hanya semata-mata supaya hak-hak kita terpelihara, maka hal itu tidaklah mengapa, dan itu bukan riswat (suap), melainkan tamsilnya (perumpamaannya) adalah seperti jika kita di tengah jalan berpapasan dengan seekor anjing, maka supaya kita selamat dari tempat itu kita memberikan kepadanya sekerat roti, sehingga kita terhindar dari bahaya yang ditimbulkannya.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 317).
(317-319)
HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH & PERSAUDARAAN
rChaudry Abdullah Khan Sahib, Namberdar Bahawalpur, bertanya: “Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap pemerintah dan persaudaraan?” Hadhrar Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Ajaran saya adalah, bersikap baiklah terhadap semua orang. Hendaknya taatlah kepada pemerintah secara benar, sebab pemerintah melindungi, jiwa dan harta, menjadi aman melalui pemerintah. Dan bersikap baik jugalah terhadap persaudaraan, sebab persaudaraan itu juga merupakan hak-hak [yang harus dilaksanakan].
Orang-orang yang bukan muttaqi (bertakwa) dan yang terbelenggu dalam bid’ah dan syirik serta menentang saya, janganlah shalat di belakanag mereka, namun kita hendaknya tetap bersikap baik terhadap mereka. Ajaran saya adalah bersikap baiklah terhadap setiap orang. Seseorang yang tidak dapat berbuat baik terhadap orang lain di dunia ini, maka apa pahala yang akan dia peroleh di akhirat?
Oleh karena itu hendaknya bersikap baiklah terhadap semua orang. Ya, dalam masalah-masalah agama hendaknya kaliana menyelamatkan diri kalian. Sebagaimana seorang dokter memeriksa dan mengobati setiap pasien – tidak peduli apakah itu orang Hindu, Kristen, atau siapa saja – maka demikian pula hendaknya kalian memperhatikan asas-asas yang umum sepert itu dalam berbuat baik.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa di masa Rasulullah saw/ orang-orang kafir telah dibunuh, maka jawabannya adalah bahwa orang-orang itu merupakan pihak yang berbuat kejahatan terhadap orang-orang Islam. Berdasarkan sikap mereka yang jahat dan selalu berusaha menimbulkan penderitaan serta membunuh tanpa alasan, hukuman yang diberikan kepada mereka adalah karena kejahatan mereka. Sekedar ingkar secara sederhana dan tidak dibarengi oleh kejahatan serta sikap yang menimbulkan penderitaan-penderitaan, hal itu tidaklah menimbulkan azab di dunia ini.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 319-320).
LARANGAN MELAKUKAN RISWAT (SUAP)
Janganlah sama sekali memberikan riswat (suap), itu adalah dosa besar. namun saya mendefinisikan riswat itu sebagai berikut, yakni sesuatu yang menghilangkan hak-hak orang pemerintah atau hak-hak orang lainnya. Saya sangat melarang hal itu. Namun memberikan sesuatu pemberian atau hadiah bukan dengan tujuan supaya hak-hak seseorang disingkirkan, melainkan bertujuan supaya haknya sendiri menjadi terpelihara dari hal-hal yang buruk, maka menurut saya hal itu tidak dilarang, dan saya tidak menyebutnya sebagai riswat (suap). Syariat tidak melarang upaya menghindarkan dirti dari keaniayaan seseorang. Justru diperintahkan, “Laa tulhikum bi-aydikum ilat tahlukah (janganlah jerumuskan diri kalian dengan tangan kalian ke dalam kebinasaan – Al-Baqarah, 196).” (Malfuzat, jlid III, hlm. 320).
PERHATIAN KE ARAH SHALAT
Nawab Khan Sahib, seorang Jasirdaar dari Malirkottlah, menceritakan bahwa seseorang yang mengemukakan keinginan-keinginannya, dan dia berharap dengan hal itu dia akan dapat memberikan perhatian ke arah shalat. Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Mengapa orang-orang ini membuat persyaratan demikian terhadap Allah Ta’ala? Pertama-tama mereka hendaknya berusaha sendiri. Di dalam Al-Quran yang tampil terlebih dulu adalah, “Iyyaka na’budu (hanya kepada Engkaulah kami menyembah). ......... seseorang hendaklah ....... Allah Taala........ jika mereka sendiri mau berusaha maka mereka dapat menetap di sini (Qadian) sampai ......bulan. Allah berfirman, “Kuunu ma-a shaadiqiin (hidup bergaullah bersama orang-orang shadiq – At-Taubah 119). Di sini mereka akan menyaksikan orang-orang yang mengerjakan shalat, dan mereka akan mendengarkan [hal-hal yang berkaitan dengan itu].
Allah Ta’ala itu Ghaniy (Maha Kaya/Maha Berkecukupan). Jika seluruh dunia tidak menyembah kepada-Nya Dia tidak peduli. Jika ribuan maut (kematian) dijalani oleh manusia barulah dapat membuat Allah Ta’ala ridha. Jangan kalian menguji Allah Ta’ala, itu bukan cara yang baik.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 320-321).
DUA MACAM HADITS
iHadits-hadits terdiri dari dua macam, pertama adalah hadits-hadits yang secara jelas, tanpa penakwilan mendukung dan menyokong saya. Misalnyatu Hadits-hadits terdiri dari dua macam. Pertama, adalah hadits-hadits yang secara jelas, tanpa pena'wilan, inendukung dan menyokong saya. Misalnya: "Imamukum minkum" itu" (imam kamu dari antara kamu), Fa-ammakum minkum" (maka imam kamu dari antara kamu), "La mahdii ills 'isaa" (tidak ada Mahdi kecuali Isa), dan sebagainya.
Kedua, adalah yang memaparkan hal-hal yang menentang saya. Sebagian di antara hadits-hadits ini adalah, dengan sedikit saja memberikan perhatian ke arahnya makan kandungan dan maknanya akan menjadi sesuai terhadap saya, dan sebagian lagi ada yang sama sekali telah menyimpang dan berubah serta bertentangan dengan kandungan Quran Syarif. Saya menolak hadits-hadits seperti itu.
Suara Allah Taala selalu datang, namun suara orang-orang mati tidak. Kalau ada suara orang mati tertentu yang datang maka itu atas pengetahuan Allah, yakni Allah Ta’ala memberikan suatu kabar mengenainya. Sebenarnya, siapa saja – baik itu seorang nabi atau shiddiq -- konsisinya adalah ....... Allah Ta’ala membentangkan suatu tabir di antara mereka dengan sanak-keluarga. Semua hubungan menjadi terputus, oleh karena itu difirmankan, “Fa laa ansaaba bainahum (maka tidak ada pertalian nasab di antara mereka – Al Mu’minun, 102).
Kisah Ashhabul Kahfi tidak menjadi halangan bagi saya. Jika Allah Ta’ala menidurkan mereka lalu membangunkan mereka kembali, tidak ada ruginya bagi saya. Hal itu tidak ada hubungannya dengan kwafatan Masih. Kata ruqud (tidur) tidak ada ditujukan terhadap Al-Masih”. (Malfuzat, jld. III, hlm. 321).
(hlm. 322-325)
BERPELUKAN DENGAN PENENTANG
Sebelum shalat Zhuhur ditanyakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., “Apakah dibenarkan untuk makan dan berpelukan dengan orang-orang Kristen?” Hadhrat Msih Mau’ud a.s. menjelaskan:
”Menurut saya sama sekali tidak dibenarkan, itu bertentangan dengan ghairat keimanan. Orang-orang itu melontarkan caci-makian terhadap Nabi kita saw., lalu kita berpelukan dengan mereka? Quran Syarif telah melarang untuk ikut duduk di dalam pertemuan-pertemuan yang sedang berlangsung olok-olokkan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kemudian lagi, orang-orang ini adalah pemakan babi. Bagaimana mungkin...........
QURAN, SUNNAH, DAN HADITS
Mlv. Abdullah Cakralwi mengatakan, “Hadits tidak ada gunanya sedikit pun, bahkan membaca hadits adalah bagai anjing yang menjilati tulang. Dan derajat Rasulullah saw. tidak lebih dari seorang pesuruh yang membawa surat perintah dari penguasa.” Menanggapi hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
”Berkata seperti itu suatu kekufuran. Itu sangat menghina Rasulullah saw..Janganlah memandang rendah hadits-hadits seperti itu. Orang-orang kafir saja mengingat mantera-mantera berhala mereka, lalu mengapa orang-orang Islam tidak mengingat sabda-sabda Rasul mereka?
Orang yang pertama kali memahami Quran Syarif adalah Rasulullah saw., dan beliau saw. mengamalkan apa yang beliau pahami itu, dan beliau saw. juga mengimbau yang lainnya agar mengamalkan. Itulah sunnah, dan itulah yang dinamakan bentuk pengamalan. Belakangan barulah para tokoh agama dengan bekerja keras serta melalui upaya gigih telah menuliskan sunnah itu dalam kata-kata srta mengumpulkannya. Mereka telah melakukan penelitian serta penelaahan mengenai itu, itulah yang dinamakan hadits.
Lihat, betapa hebatnya kerja keras yang telah dilakukan oleh [Imam] Bukhari dan Muslim. Mereka bukannya menuliskan hal-hal yang menyangkut bapak dan kakek-kakek mereka, melainkan sejauh ikhtiar yang mereka miliki, dengan mempertimbangkan keshahihan dan kebenaran riwayat, mereka telah mengumpulkan sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah saw., yakni sunnah.
Dengan membaca kebanyakan j hadits, misalnya Bukhari, dengan jelas dapat diketahui bahwa di dalamnya terdapat berkat dan nur. Hal itu membuktikan bahwa sabda-sabda itu memang bersal dari mulut Rasulullah saw., misalnya hadits “Imaamukum minkum” (imam kamu dari antara kamu), betapa dengan jelas menzahirkan bahwa Al-Masih [Mau’ud] akan berasal dari antara kalian. Dan itu merupakan penolakan terhadap paham orang-orang Kristen, sebab orang-orang Kristen membanggakan diri bahwa Isa akan datang kembali serta akan memajukan agama Kristen.
Namun, Rasulullah saw. bersabda bahwa beliau telah melihat Isa di langit di antara mereka yang sudah wafat. Kemudian beliau saw. bersabda bahwa Al-masih yang akan datang itu adalah, “Imaamukum minkum” (imam kamu dari antara kamu).”
Ringkasnya, janganlah melontarkan kata-kata seperti itu terhadap hadits-hadits. Ya, dalam hal ini jangan pula terlalu berlebihan, yakni menganggap hadits-hadits lebih tinggi daripada Al-Quran dan Sunnah, melainkan apa saja yang diuraikan di dalam hadits – dan bersesuaian dengan Al-Quran dan Sunnah – maka itu hendaknya dipercayai, sebab ketika kitab-kitab hadits masih belum ada pada masa dahulu, tetap saja orang-orang sudah melaksanakan shalat pada saat itu serta mengamalkan syariat-syariat Islam. Jadi, sesudah Al-Quran adalah Sunnah, dan kemudian hadits, yaitu yang bersesuaian dengan Quran dan sunnah.
Maulvi Muhammad Hushshain [Batalwi] telah menjelaskan di dalam risalah ‘Isyaa’atus-, yakni orang-orang yang menerima wahyu dan ilham dari Allah, mereka dapat memeriksa keshahihan hadits-hadits secara langsung dengan care tersebut. Kadang-kadang suatu hadits dinyatakan tidak shahih berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadits, sedangkan menurut mereka hadits itu shahih, sebaliknya sebuah hadits yang dinyatakan shahih, menurut mereka tidak shahih.
Ringkasnya, Quran, Sunnah, dan hadits adalah tiga hal yang berbeda.” (Malfuzat, jld. III, hlm. 326-327).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar