Senin, 13 Juni 2011

Ibrahim as.

Dalam Kitab Perjanjian Lama nama ayah Nabi Ibrahim a.s. disebut Terah (Kejadian 11:26) dan di dalam Perjanjian Baru (Lukas 3:34) disebut Tarah. Nama dalam Talmud hampir sesuai dengan yang tercantum dalam Lukas. Eusebius, Bapak sejarah geraja-gereja, menyebut Athar sebagai nama ayah Ibrahim a.s. (Sale). Ini menunjukkan bahwa di antara orang-orang Yahudi pun tidak ada kesepakatan pendapat tentang nama ayah Ibrahim a.s. Eusebius niscaya mempunyai alasan yang kuat untuk mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Kitab Kejadian dan Lukas. Bentuk yang benar nampaknya Athar yang kemudian berubah menjadi Tarah atau Terah. Athar mempunyai persamaan yang erat dengan nama yang diberikan dalam Alquran (Azar), hanya ada perbedaan kecil dalam lafal, kedua bentuk itu hampir sama. Oleh karena itu para penulis Kristen tidak punya alasan untuk menentang Alquran karena menyebut ayah Ibrahum as. dengan nama azar itu. Lebih –lebih ,ayah Ibrahim as. disebut juga Zarah dalam Talmud (Sale), dan Zarah kira-kira sama dengan azar. Hal itu menunjukkan bahwa pendapat Alquran sangat lebih dapat dipercaya. Di samping itu, Azar telah disebut Ab Ibrahim as. (26:87),sebuah kata yang dipergunakan untuk bapak, paman, kakek, dan sebagainya. Dalam 2:133 Ismail as. paman Ya’kub as. telah disebut Ab-nya. Akan tetapi, dari Alquran nampak bahwa Azar sunguhpun di sebut ab Ibrahim as., sebenarnya bukan ayah Ibrahim as. telah membuat janji kepada Azar, Ab-nya untuk berdoa kepada Tuhan agar mengampuninya, tetapi tatkala beliau mengetahui bahwa ia musuh Allah swt. beliau tak mau mendoa baginya ; bahkan, beliau telah benar-benar dilarang berbuat demikian ( 9:114 ). Akan tetapi , dalam 14:42 Ibrahim as. berdoa untuk walid beliau ,kata itu digunakan hanya untuk ayah. Ini menunjukkan bahwa Azar yang telah disebut ab Ibrahim as. orang itu lain dari walid beliau. Sangat mungkin ia paman Ibrahim as. Beberapa ayat dari Bible juga mendukung kesimpulan itu. Ibrahim as. menikahi Siti Sarah, anak Terah ( Kejadian 20:12 ) yang menunjukkan bahwa Terah bukan ayah beliau, sebab beliau tidak dapat menikahi saudara perempuannya sendiri. Rupa-rupanya karena ayah beliau sudah wafat, Ibrahim as. dibesarkan oleh paman beliau, Azar atau Athar, yang memberikan putrinya, Siti Sarah, kepada beliau untuk dipersunting. karena Azar mengurus Ibrahim as. dan berlaku terhadap beliau seperti seorang bapak, beliau rupanya disebut anak, dan ini membawa kepada kekeliruan ; ialah, Azar atau Athar disangka sebagai ayah kandung Ibrahim as. Nampak pula dari Talmud bahwa Azar memperkarakan Ibrahim as. dan membawa ke hadapan raja untuk perkara pelanggaran memecah-mecah berhala-berhala. Seandai nya Azar ayah Ibrahim as. niscaya ia tidak akan mengambil langkah yang begitu keras terhadap putranya sendiri.
Nabi Ibrahim a.s. itu seorang pemberantas-berhala besar. Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang, dewa utama mereka ialah Madruk yang asalnya dewa pagi dan matahari musim semi (Enc. Bib. Dan Enc, Rel. Eth. II. 296 ). Mereka percaya bahwa semua kehidupan bergantung pada matahari. Ibrahim a.s. dengan bijaksana meminta orang musyrik itu, seandainya ia mengaku dapat mengatur hidup dan mati, agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu. Orang kafir itu pin kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan tak dapat menerima tantangan Hadhrat Ibrahim a.s. untuk menyuruh matahari beredar dari barat ke timur; sebab, hal demikian akan membatalkan pengakuannya sendiri sebagai pengatur hidup dan mati; dan, bila ia mengatakan dapat berbuat demikian, itu berarti ia mengusai matahari tetapi niscaya merupakan suatu penghinaan besar pada pandangan kaumnya, penyembah matahari. Dengan demikian ia sama sekali menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya.
Nabi Ibrahim as. menjelaskan kepada kaumnya – penganut agama berhala – kejanggalan kepercayaan mereka bahwa matahari, bulan, dan bintang-bintang adalah di antara sekian banyak sembahan mereka ( Jewish Encyclopaedia ). Adalah keliru mengambil kesimpulan dari ayat-ayat ini bahwa Ibrahim as. sendiri meraba-raba dalam kegelapan dan tidak tahu siapa gerangan Tuhan nya, dan bahwa beliau menganggap bintang timur, bulan dan matahari satu-persatu sebagai tuhan, dan bilamana tiap-tiap dari mereka tenggelam pada gilirannya masing-masing beliau melepaskan keper cayaan mengenai ketuhanan mereka, dan beliau kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi. Sebenarnya, ayat-ayat itu mengandung beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa Ibrahim as. , jauh dari kemungkinan mengam bil benda-benda di langit sebagai tuhan-tuhan, berusaha memperlihatkan kepada kaumnya kehampaan kepercayaan mereka dengan cara selangkah demi selangkah. Ayat-ayat 75-76 menunjukkan bahwa Ibrahim as. itu seorang yang teguh kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu beliau tidak dapat dianggap meraba-raba dalam kegelapan dan melantur dari satu tuhan kepada yang lainnya. Kata-kata, “Inikah Tuhan-ku ? “ , merupakan dalil yang menentang penyembahan bintang. Beliau mengucapkan kata-kata itu untuk menerangkan kekeliruan kepercayaan kaum baliau bahwa bintang itu harus tenggelam. Jadi, dalil beliau yang terkandung dalam kata-kata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam,” niscaya sudah terkandung sebelumnya dalam pikiran beliau. Pada hakikatnya beliau ingin menggunakan dalil beliau dalam tiga cara yang sangat jitu. Oleh karena itu mula-mula beliau seolah-olah menduga bintang itu Tuhan-nya dan, bila lenyap, beliau segera menyatakan, Aku tidak suka kepada yang terbenam . seperti itu pula halnya dengan terbenamnya bulan dan matahari. Adapun tentang matahari beliau menggunakan kata “ lebih besar “ atau “terbesar” secara sindiran, untuk mencela kaum beliau atas kebodohan mereka. Hal itu jelas menunjukkan bahwa dengan jalur dalil-dalil yang dipakai baliau, Ibrahim as. berniat menarik kaum beliau kepada Tuhan secara bertahap. Selayang pandangan atas ayat-ayat 80-82 membuat jelas sekali bahwa Ibrahim as. tidak hanya memiliki keimanan yang teguh kepada Tuhan, akan tetapi juga mempunyai pengetahuan mendalam tentang Sifat-sifat Tuhan.
Apakah Nabi Ibrahim a.s. itu pendiri atau hanya pembangun kembali Ka’bah, merupakan satu masalah yang telah menimbulkan banyak perbantahan. Sementara orang berpendapat bahwa Nabi Ibrahimlah pendiri pertama tempat itu, sedang yang lainnyna melacak asal-usulnya sampai Nabi Adam a.s. Alquran (3:97) dan hadis-hadis shahih membenarkan pendapat bahwa, malahan sebelum pendirian bangunan oleh Nabi Ibrahim a.s. pada tempat itu, telah ada semacam bangunan, tetapi telah menjadi puing-puing dan hanya tinggal bekasnya belaka. Kata al-qawa’id dalam ayat ini menunjukkan bahwa pondasi Baitullah telah ada dan kemudian Nabi Ibrahim a.s. serta Ismail a.s. membangunnya atas pondasi itu. Tambahan pula, doa Nabi Ibrahim a.s. pada saat berpisah dengan putranya Ismail a.s. dan ibunya di Mekkah:“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tandus dekat Rumah Engkau yang suci” (14:38) menunjukkan bahwa Ka’bah telah ada bahkan sebelum Nabi Ibrahim a.s. menempatkan istri dan anak beliau di lembah Mekkah. Hadis pun mendukung pandangan itu (Bukhari). Catatan-catatan sejarah manapun memberikan dukungan kepada pendapat bahwa Ka’bah itu sangat tua sekali asal-usulnya. Para ahli sejarah kenamaan dan bahkan sebagian ahli-ahli kritik Islam yang tak bersahabat telah mengakui bahwa Ka’bah itu tempat yang sangat tua dan telah dipandang suci semenjak waktu yang tak dapat diingat. “Diodorus Siculus Sicily (60 sebelum Masehi) dalam menyinggung mengenai daerah yang sekarang dikenal sebagai Hijaz mengatakan bahwa tempat itu sangat dimuliakan oleh bangsa pribumi dan menambahkan, sebuah tempat pemujaan yang sangat tua didirikan di situ dari batu keras ……. Yang ke tempat itu datang berbondong-bondong kaum-kaum dari daerah tetanga dari segala penjuru”.
Mukjizat paling besar beliau diantaranya adalah selamat dari api,Bagaimana caranya api itu menjadi dingin, kepada kita tidak diterangkan. Boleh jadi hujan yang turun tepat pada waktu itu atau angin badai telah memadamkan api itu. Bagaimana pun Tuhan memang menimbulkan keadaan yang membawa kepada lolosnya Ibrahim as. dari bahaya. Dalam mu’jizat-mu’jizat Ilahi selamanya terdapat unsur ghaib ; dan cara Ibrahim as. diselamatkan dari api itu sungguh merupakan muji’zat besar. Bahwa Ibrahim as. telah dilemparkan ke dalam api diakui bukan saja orang-orang Yahudi, tetapi oleh orang-orang Kristen juga dari Timur, buktinya ialah bahwa tanggal 25 bulan Kanun ke-II atau Januari dikhususkan dalam penanggalan bangsa Siria untuk memperingati peristiwa tersebut.
Naik haji sebagai suatu peraturan agama, mulai dengan Hadhrat Ibrahim as. sebagaimana ditunjukkan oleh kata-kata, “Dan umumkanlah kepada manusia untuk naik haji.” Ibadah haji bukan adat lembaga kemusyrikan yang dimasukkan ke dalam Islam oleh Rasulullah saw. guna mengambil hari orang-orang Arab penyembah berhala, sebagaimana beberapa pengarang Kristen telah terbawa-bawa berpikiran demikian. Semenjak Ibrahim as. ibadah haji telah berlangsung terus tanpa putus-putusnya sampai hari ini. Berkumpulnya beratus-ratus ribu orang Islam dari negeri-negeri jauh tiap-tiap tahun di kota Mekkah, merupakan bukti yang tidak dapat dipatahkan mengenai sempurnanya nubuatan tersebut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar

Ahmadiyah