Jumat, 01 April 2011

MALFUZHAT 1b


PENTINGNYA COBAAN  (UJIAN) 

Sebab  cobaan itu penting. Sebagaimana ayat ini mengisyaratkan:
|=Å¡ymr& â¨$¨Z9$# br& (#þqä.uŽøIムbr& (#þqä9qà)tƒ $¨YtB#uä öNèdur Ÿw tbqãZtFøÿム 
(“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? – Al-Ankabūt, 3).
 Yakni, Allah Ta’ala berfirman, bahwa orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” lalu mereka memperlihatkan keteguhan maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka.
      Adalah kesalahan para ahli-tafsir  yang mengatakan bahwa turunnya para malaikat bahwa itu terjadi pada saat sakratul­maut. Itu tidak benar. Artinya adalah, bahwa orang-orang  yang membersihkan hati mereka serta menghindarkan diri dari kekotoran najis  yang membuat manusia jauh dari Allah, maka di dalam diri manusia akan timbul suatu keserasian (kecocokan) bagi rangkaian ilham. Untaian ilham akan mulai mengalir. Kemudian mengenai kemuliaan orang mutaki (bertakwa) Dia berfirman di tempat lain”
Iwr& žcÎ) uä!$uŠÏ9÷rr& «!$# Ÿw êöqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts  
(“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada ketakutan terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” – Yunus, 63).
Yakni, orang-orang yang merupakan wali (sahabat) Allah, mereka tidak akan memperoleh kedukaan. Seseorang yang Tuhan itu cukup  baginya, dia tidak akan merasakan kesusahan. Orang yang melawannya tidak akan dapat memberikan kemudaratan padanya, yaitu jika Tuhan menjadi sahabat (wali) baginya. Kemudian Dia berfirman:
( (#rãÏ±÷0r&ur Ïp¨Ypgø:$$Î/ ÓÉL©9$# óOçFZä. šcrßtãqè?  
(“dan kami memberi kabar suka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepada kamu” -    Mīm – As-Sajdah, 31).
Yakni,  “Hendaknya kalian bergembira akan surga yang telah dijanjikan bagi kalian”.
 Di dalam ajaran Al-Quran ditemukan bahwa  terdapat dua buah surga bagi manusia.  Seseorang yang menjalin kecintaan dengan Tuhan, dapatkah dia itu tinggal di dalam kehidupan yang membakar? Tatkala di  sini (di dunia) saja  sahabat seorang penguasa menjalani  sejenis  kehidupan surgawi, maka kenapa pula pintu surga tidak akan terbuka bagi wali-wali (sahabat­-sahabat) Tuhan?
  Walaupun dunia ini penuh oleh kesengsaraan dan musibah, namun siapa yang tahu bahwa betapa mereka itu merasakan kelezatan.  Seandainya mereka memperoleh kesedihan - menanggung derita barang setengah jam saja pun sudah sulit - padahal seluruh umur mereka itu mereka lalui dalam kesengsaraan.
Seandainya kepada mereka diberikan sebuah pemerintahan  dalam suatu zaman supaya mereka mau menghentikan pekerjaan mereka, maka kapan pula mereka akan mau mendengar kata orang lain? Demikian pula sekiranya gunung akan meletus, mereka tidak akan meninggalkan iradah (kehendak) mereka.”   (Malfuzat, jld I, hlm 16 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


KESEMPURNAAN AKHLAK  RASULULLAH SAW.

 Pemberi petunjuk kita yang kamil (sempurna), Rasulullah saw., terpaksa harus menyaksikan kedua hal ini. Pada suatu ketika beliau dilempari batu di Tha’if. Yang satu lagi kelompok mayoritas telah memberikan kesengsaraan jasmaniah yang sangat keras. Akan tetapi keteguhan Yang Mulia Rasulullah saw. tidak pernah goyah.
    Ketika kaum itu melihat bahwasanya musibah-musibah dan kekerasan tidak memberikan pengaruh apa-apa pada beliau, maka mereka berkumpul dan menjanjikan suatu kerajaan, mereka akan menjadikan beliau sebagai pemimpin mereka, mereka menjanjikan untuk memberikan sarana-sarana bersenang-senang, sampai-sampai mereka juga menjanjikan perempuan yang paling cantik, dengan syarat supaya Yang Mulia Rasulullah saw. berhenti mengecam berhala-berhala.
   Namun sebagaimana ketika menghadapi musibah di Thaif, begitu pula Yang Mulia Rasulullah saw.  pada saat mendapatkan janji kerajaan tersebut tidak mempedulikannya  serta memilih lebih baik dilempari batu. Jadi, kalau tidak ada suatu  kelezatan yang khusus maka apa perlunya beliau meninggalkan kesenangan [duniawi] lalu menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan?
  Kecuali Rasul kita – yang atasnya  shalawat dan attahyat - kesempatan ini tidak pernah diperoleh oleh nabi lainnya, yaitu bahwa kepada beliau diberikan janji oleh mereka supaya beliau meninggalkan tugas-tugas kenabian. Al-Masih a.s. pun tidak memperoleh hal ini. Di dalam sejarah dunia hanya pada diri Yang Mulia Rasulullah saw. saja masalah ini terjadi, bahwa kepada beliau dijanjikan suatu kerajaan seandainya beliau mau meninggalkan  pekerjaan beliau.
   Jadi, kehormatan ini hanya khusus terdapat pada diri Rasul kita [saw.]. Demikian pula Pemberi petunjuk kita yang kamil (saw.) telah memperoleh kedua macam zaman – yaitu zaman kesengsaraan dan zaman kemenangan – supaya beliau  dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna di dalam kedua zaman tersebut.
Allah Ta’ala  menginginkan bagi orang-­orang mutaki supaya mereka merasakan dua macam kelezatan. Kadang-kadang dalam corak kelezatan duniawi, ketentraman, dan perempuan-perempuan suci; kadang-kadang dalam bentuk kesengsaraan  dan musibah, agar mereka dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna, sebab sebagian akhlak terbuka (nampak) pada saat manusia memiliki kekuatan (kekuasaan), dan  sebagian lagi terbuka di kala menghadapi musibah-musibah. Kedua hal ini diperoleh oleh Nabi Karim kita saw..
Jadi, tidak ada umat lain yang dapat memperlihatkan akhlak seperti akhlak beliau saw. yang dapat kita perlihatkan. Misalnya tentang Al-Masih hanya mengenai kesabarannya saja yang dapat ditampilka, bahwasanya   beliau dahulu selalu menanggung pukulan. Tetapi dari mana pula akan terdapat bukti bahwa beliau dahulu memperoleh kekuatan (kekuasaan)?
     Nabi [Isa a.s.] itu tidak diragukan lagi memang benar, namun tidak seluruh jenis akhlak beliau terbukti. Karenakan perihal beliau terdapat di dalam Al-Quran, maka kita mempercayai (beriman kepada) beliau. Dan kecuali di dalam Injil,  a tidak ada akhlak beliau yang terbukti seperti kemuliaan para nabi yang perkasa.
  Demikian pula halnya bagi Pemberi petunjuk  kita yang  sempurna (saw.), seandainya beliau wafat di dalam musibah-musibah yang tiga belas tahun itu, maka banyak sekali akhlak fadhilah beliau  lainnya yang tidak akan terbukti  seperti halnya Al-Masih a.s.. Tetapi ketika zaman kedua – yakni zaman kemenangan – telah tiba, dan orang-orang yang berdosa  telah ditampilkan ke hadapan beliau,  maka dari itu diperoleh bukti tentang sifat kasih-sayang dan sifat pengampun yang beliau miliki. Dan dari itu tampak pula bahwa pekerjaan beliau tidak ada yang berlandaskan pada pemaksaan, tidak pula pada kekerasan,  melainkan segala sesuatunya berlangsung dalam corak alami.
  Demikianlah, banyak lagi akhlak beliau saw. lainnya yang telah terbukti.  Jadi, yang difirmankan oleh Allah Ta'ala bahwa:
ß`øtwU öNä.ät!$uŠÏ9÷rr& Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# Îûur ÍotÅzFy$# (
(“Kamilah pelindung-pelindung kamu/kawan-kawan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat” -   ( Mīm - As-Sajdah, 32).
Yakni, "Kami merupakan wali (sahabat) bagi orang-orang yang bertakwa di dunia ini  maupun di akhirat",  dengan demikian ayat ini pun membuktikan ketidakbenaran orang-orang bodoh yang telah mengingkari perihal turunnya malaikat-malaikat di dalam kehidupan ini juga.
    Seandainya para malaikat turun pada waktu datangnya maut (kematian), maka bagaimana Allah Ta’ala dapat menjadi wali (sahabat) dalam kehidupan di dunia ini?”  (Malfuzat, jld I, hlm 17-18 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


DI DUNIA INI KEHIDUPAN AKHIRAT
DIPERLIHATKAN  KEPADA ORANG MUTAKI

“Jadi, ini adalah suatu nikmat, bahwa para  wali dapat melihat malaikat-malaikat Tuhan. Kehidupan di alam akhirat hanyalah suatu keimanan (kepercayaan). Akan tetapi kehidupan akhirat itu diperlihatkan kepada orang mutaki di dunia ini. Di dalam kehidupan di dunia ini juga mereka menemukan Tuhan, melihat-Nya serta bercakap-cakap dengan-Nya.
Jadi, seandainya hal ini tidak dialami oleh seseorang, maka kematian dan kepergiannya dari dunia ini sangat buruk. Ada perkataan seorang wali, bahwa jika seseorang sepanjang umurnya  tidak pernah mendapatkan mimpi yang benar maka kematiannya berbahaya, sebagaimana hal itu pun ditetapkan oleh Al-Quran sebagai tanda  orang mukmin. Dengarlah, pada siapa tidak terdapat tanda ini maka di dalam dirinya tidak ada ketakwaan.
Jadi, kita semua hendaknya berdoa semoga kita memperoleh karunia berupa ilham, mimpi, dan kasyaf dari Allah Ta’ala, sebab itu adalah ciri khas orang mukmin, jadi [tanda] ini harus ada. Banyak lagi berkat-berkat lainnya yang diperolah orang mutaki. Misalnya, di dalam surah Al-Fatihah yang terdapat di awal Al-Quran, Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada orang-orang mukmin supaya mereka memanjatkan doa:
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$#  
Yakni, “Tunjukkanlah kepada kami jalan lurus,, jalan orang-orang yang atas mereka terdapat  nikmat dan karunia Engkau”.
     Hal ini diajarkan supaya manusia – dengan menggalang semangat yang tinggi --  melaluinya dapat memahami kehendak Sang Khaliq (Pencipta). Dan kehendak-Nya itu adalah supaya umat ini jangan menjalani hidupnya seperti binatang, melainkan supaya  segenap tabir-Nya terbuka.
     Sebagaimana akidah orang-orang Syi’ah, bahwa setelah Imam yang keduabelas tidak ada lagi kewalian, maka bertentangan dengan itu melalui doa [Al-Fatihah] ini, bahwa dari sejak semula Tuhan telah memiliki iradah (kehendak), yaitu barangsiapa barangsiapa yang mutaki (bertakwa) serta sesuai dengan kehendak Tuhan, maka dia dapat meraih derajat-derajat yang diperoleh oleh para nabi dan sufi.
     Dari doa  ini pun dapat diketahui, bahwa manusia itu memperoleh kekuatan (kemampuan) yang sangat besar, yang akan menampakkan dirinya dan yang akan berkembang jauh.   Yaa, seekor kambing dikarenakan bukan manusia maka kekuatannya (kemampuannya) tidak akan dapat berkembang.
     Manusia yang memiliki  semangat tinggi, ketika mendengar tentang keadaan para rasul dan nabi, menginginkan supaya bukan saja dia mempercayai anugerah-anugerah yang telah diperoleh oleh kelompok (jemaat) suci itu, melainkan supaya secara bertahap dia dapat memperoleh ilmul­-yaqin, ‘ainul-yaqin dan haqul-yaqin akan anugerah-anugerah tersebut.”  (Malfuzat, jld I, hlm 18-19 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


ORANG MUKMIN & KASYAF, RUKYA

     ”Dengarkanlah, orang-orang yang di dalam dirinya tidak terdapat tanda tersebut, di dalam dirinya tidak ada takwa,  jadi hendaknya doa kita semua adalah semoga persyaratan itu lengkap di dalam diri kita, semoga terdapat karunia-karunia dari Allah Ta’ala berupa ilham, mimpi dan mukasyafah, sebab itu adalah  ciri khas orang mukmin, jadi hal-hal ini harus ada.”  (Malfuzat,  jld. I, hlm. 19).
 

TIGA TINGKATAN ILMU

“Ilmu memiliki tiga tingkatan: ‘ilmul-yaqin, ainul-yaqin, dan haqul-yaqin. Misalnya, timbulnya keyakinan akan api setelah melihat asap yang mengepul dari suatu tempat, adalah suatu ilmul-yaqin.  Akan tetapi menyaksikan api itu sendiri dengan mata adalah ‘ainul-yaqin, dan yang lebih tinggi dari itu adalah tingkatan haqul-yaqin, yakni meyakini akan adanya api melalui panas bakar setelah memasukkan tangan ke dalam  api tersebut.
Jadi, betapa buruknya nasib orang  yang tidak memperoleh tingkatan apa pun dari ketihga tingkatan [yakin] tersebut. Sesuai dengan ayat ini, orang yang  pada dirinya tidak terdapat karunia Allah Ta’ala, berarti ia terperangkap di dalam taqlid buta (mengikuti sesuatu secara membuta - pent.). Allah Ta'ala berfirman:
z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4 ¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
(“dan orang-orang yang berjihad di dalam [jalan]  Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabūt, 70).
 Yakni, “Orang-orang yang berusaha gigih di jalan Kami, niscaya Kami akan mmeperlihatkan jalan Kami kepadanya.” Ini adalah suatu janji dan di sana terdapat doa ini:  Ihdinash­-shirātal-mustaqīm (“tunjukkanlah kami jalan yang lurus” - Al-Fatihah, 6).
dJadi, dengan memperhatikan hal ini manusia hendaknya memanjatkan doa dengan penuh tadharu di dalam shalat, dan timbulkanlah keinginan untuk menjadi orang-orang yang termasuk di antara mereka – yaitu mereka yang telah memperoleh kemajuan dan bashirat  (penglihatan ruhani). Jangan sampai nanti diambil (berangkat) dari dunia ini dalam keadaan tanpa bashirat dan buta. Dia berfirman:
`tBur šc%x. Îû ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr& @|Êr&ur WxÎ6y
(“Barangsiapa yang buta di dunia ini di akhirat pun dia akan buta" – Bani Israil, 73).
(Malfuzat, jld I, hlm 19-20 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


PERSIAPAN UNTUK AKHIRAT
HENDAKNYA DILAKUKAN DI DUNIA INI

    Yang maksudnya adalah, bahwa untuk menyaksikan alam akhirat itu kita harus membawa mata dari dunia ini. Untuk merasakan alam [akhirat] itu harus diadakan persiapan di dunia ini juga. Nah, apakah dapat dianggap bahwa Allah Ta’ala membuat janji kemudian Dia tidak akan  memenuhinya?
      Yang dimaksud dengan buta adalah orang yang kosong dari makrifat ruhaniah serta kelezatan ruhaniah. Seseorang  dengan taqlid buta dikatakan Muslim (orang Islam) karena dia telah ilahirkan di dalam keluarga Islam (Muslim). Demikian juga, seorang Kristen telah lahir di kalangan orang Kristen maka duia menjadi Kristen.
      Inilah yang menyebabkan orang seperti itu tidak menghormati Tuhan, Rasul dan Al-Quran. Kecintaannya terhadap agamapun diragukan. Dia melewati waktu-waktunya di kalangan orang-orang yang mencela Tuhan dan Rasul-Nya. Sebabnya hanyalah bahwa orang seperti itu tidak memiliki mata ruhani.  Di dalam dirinya tidak terdapat kecintaan terhadap agama. Dan selain itu, apakah seorang pencinta setia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kekasihnya?
      Ringkasnya, Allah Ta'ala telah mengajarkan bahwa, “Aku siap untuk memberi, seandainya engkau siap untuk mengambilnya". Jadi, memanjatkan doa pun sudah merupakan persiapan untuk mengambil hidayat (petunjuk)  tersebut”   (Malfuzat, jld I, hlm  20 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

TAFSIR AYAT
 HUDAN-L1L-MUTTAQÎN

   ”Setelah doa [Al-Fatihah] tersebut, di permulaan Surah Al-Baqarah ada dikatakan, “Hudan- lil-muttaqin” (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), seolah-olah Allah Ta’ala sudah siap untuk memberi. Yakni, Kitab ini menjanjikan untuk menyampaikan orang mutaki (bertakwa) kepada kesempurnaannya.
  Jadi, artiny adalah  bahwa Kitab [Al-Quran] ini bermanfaat bagi mereka yang bersedia untuk bertakwa dan mendengarkan nasihat. Orang mutaki pada derajat ini adalah dia yang secara alami siap untuk mendengarkan kebenaran. Misalnya, ketika seseorang menjadi Muslim (orang Islam) maka dia akan menjadi mutaki (orang yang bertakwa).
 Ketika datang hari-hari yang baik bagi agama lain  maka di dalam dirinya timbul ketakwaan, sedangkan  keangkuhan, kesombongan serta takabur akan lenyap. Ini semua adalah penghalang-penghalang yang telah punah, dan dengan kepunahan semua itu maka jendela rumah yang gelap menjadi terbuka,   dan sinar-sinar pun telah masuk ke dalamnya.
      Ada pun yang difirmankan, bahwa   Kitab ini adalah petunjuk bagi orang-orang mutaki (bertakwa) - yakni “hudan- lil-muttaqīn” – kata  ittiqa’  yang berasal dari bab if’al (perbuatan), bab ini digunakan untuk menyatakan suatu hal yang dilakukan dengan usaha (kerja-keras/kegigihan). Yakni di dalamnya terdapat isyarat bahwa, “Ketakwaan yang Kami inginkan tidak kosong dari usaha gigih (kerja keras), yang untuk menjaga ketakwaan itulah terdapat petunjuk-petunjuk di dalam Kitab ini.” – seakan-akan orang mutaki (bertakwa) terpaksa harus menanggung derita susah-payah dalam melakukan kebaikan.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 21 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

 
HAMBA YANG SALIH

   “Ketika tahap ini telah dilalui, maka orang yang mengambil jalan tersebut menjadi hamba yang salih, seakan -akan corak derita (susah-payah) tersebut telah sirna, dan orang salih tersebut secara alami dan fitrati mulai melakukan kebaikan.  Dia akan berada di dalam sejenis dārul aman (rumah yang aman), yang di dalamya tidak ada bahaya apa pun. Kini, segala peperangan melawan gejolak-gejolak nafsunya telah berakhir, dan dia telah berada di dalam suatu kondisi yang aman, dia terhindar dari segala macam bahaya.
Ke arah inilah Pemberi petunjuk kita yang sempurna [saw.] telah mengisyaratkan, beliau bersabda, bahwa, “Pada setiap orang terdapat setan, tetapi setanku telah masuk Islam.” Jadi, orang mutaki (bertakwa) senantiasa berperang melawan setan, namun tatkala ia menjadi orang yang salih maka segenap peperangan pun akan berakhir. Salah satu contohnya adalah sifat riya (pamer) harus ia perangi selama 24 jam.
     Orang mutaki berada di suatu arena yang senantiasa terjadi pertempuran. Jika Tangan karunia Allah besertanya maka dia akan menang. Misalnya sikap riya (pamer) yang keadaannya seperti semut, kadang-kadang manusia tanpa disadari melakukannya, namun pada saat-saat tertentu manusia memberikan kesempatan bagi sifat riya (pamer) itu untuk timbul di dalam hati.
      Contohnya, seseorang kehilangan pisau miliknya, lalu ia menanyakan kepada orang lain, maka pada kesempatan itu mulai timbul peperangan antara orang mutaki  dengan setan, yang mengajarkan [kepadanya], bahwa cara bertanya seperti itu dari seorang pemilik merupakan suatu penghinaan, yang memungkinkan akan timbul perasaan terbakar pada diri orang yang ditanya tersebut, sehingga mungkin saja dapat timbul perkelahian
      Pada saat itu seorang mutaki berperang dengan keinginan buruk nafsunya. Seandainya pada diri orang itu terdapat kejujuran yang hanya  demi Allah, maka apa perlunya ia marah.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 21-22 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


SEJAUH MANA KEJUJURAN DITUTUPI
SEJAUH ITU PULA BAIKNYA

     Sebab sejauh mana kejujuran itu ditutupi  maka sejauh itu pulalah baiknya. Misalnya, seorang pemilik batu permata bertemu dengan para pencuri di tengah jalan, dan para pencuri itu berembuk mengenai dirinya. Sebagian mengatakan bahwa dia adalah seorang kaya, dan sebagian lagi menebaknya sebagai orang miskin.
      Kini, sebagai perbandingan, pemilik permata tersebut akan lebih menyukai kelompok yang menyatakannya sebagai orang miskin. Demikian pula apa sebenarnya dunia ini, yaitu semacam dārul ibtila (tempat ujian dan cobaan). Yang baik adalah orang yang menutupi segala sesuatunya dan menghindarkan diri dari sikap riya (pamer). Orang-orang yang segala amal perbuatan mereka hanya demi Allah, mereka tidak menginginkan amal-amal mereka diketahui oleh siapa pun. Inilah orang-orang yang mutaki (bertakwa).
 Saya membaca di dalam buku Tadzkiratul Awliyā,  bahwa seorang tua memohon di hadapan khalayak ramai bahwa dia memerlukan sejumlah uang dan semoga ada yang memberikan kepadanya. Kemudian seseorang  -- dengan menganggapnya sebagai amal  salih  memberikan uang sebanyak seribu rupees kepada orang tua itu. Setelah menerima uang tersebut orang tua itu memuji-muji  kebaikan hati dan kedermawanannya.
Atas hal itu orang tersebut merasa sedih, sebab kalau di situ dia telah memperoleh pujian maka mungkin dia akan luput dan ganjaran di akhirat. Tidak beberapa lama berselang orang itu maju dan mengatakan bahwa uang tadi adalah milik ibunya, yang tidak  ingin memberikannya kepada peminta tersebut. Akhirnya uang itu pun dikembalikan, dan setiap orang mengutuk orang tersebut serta dikatakan penipu, bahwa sebenarnya dia tidak berkeinginan untuk memberi.
    Ketika senja tiba orang tua itu pun kembali ke rumahnya, dan orang tadi pun datang kepadanya sambil membawa uang seribu rupees, lalu dia mengatakan, “Tadi Tuan telah membuat saya luput dari ganjaran akhirat dengan memberikan pujian kepada saya di hadapan umum. Itulah sebabnya  saya membuat dalih itu. Sekarang uang ini adalah milik Tuan,  tetapi janganlah Tuan memberitahukan nama saya kepada siapa pun.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 22-23 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


SEORANG MUTAKI SEJATI MENGINGINKAN
  KETERSELUBUNGAN

  Seorang mutaki menyembunyikan dan merasahasiakan pemikirannya setelah ia memerangi nafs ammarahnya. Akan tetapi Allah Ta’ala senantiasa menzahirkan pemikirannya yang terselubung itu. Seperti halnya seorang manusia bejat ingin hidup bersembunyi dikarenakan perbuatan buruknya, maka seperti itu pula orang yang mutaki (bertakwa) dengan sembunyi-sembunyi mendirikan salat serta risau kalau-kalau ada orang yang melihatnya.
Seorang mutaki yang sejati menginginkan suatu keterselubungan. Tingkat ketakwaan itu sangat banyak. Namun memang untuk ketakwaan  itu diperlukan usaha-gigih (susah-payah). Dan orang mutaki  itu berada dalam kondisi perang, sedangkan orang salih sudah berada di luar peperangan tersebut. Seperti yang telah saya terangkan di atas mengenai sifat riya (pamer) sebagai contoh, dimana seorang mutaki memeranginya selama 24 jam.
Kadang-kadang terjadi peperangan antara sifat riya dengan sifat lembut-hati. Adakalanya amarah manusia  menentang Kitab Allah. Mendengar cacian maka nafsunya bergolak. Takwa itu mengajarkan kepadanya supaya dia menahan diri dari amarah, sebagaimana Al-Quran mengatakan:
#sŒÎ)ur (#rsD Èqøó¯=9$$Î/ (#rsD $YB#tÅ2  
(“dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu  dengan sikap mulia”  Al-Furqān, 73).
      Demikian pula halnya dia harus sering berperang dengan ketidak-sabaran. Ketidak­sabaran maksudnya adalah bahwa dia akan menghadapi kesulitan sedemikian rupa di jalan ketakwaan, sehingga dia dengan sulit baru dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu manusia menjadi tidak sabar.  Misalnya  [seseorang] harus menggali sumur sampai 25  meter [barulah akan keluar air jernih]. Seandainya setelah 2 atau 4 meter dia menghentikan  penggalian maka itu hanya merupakan persangkaan buruknya saja.
     Jadi, syarat dari  takwa itu adalah, terapkanlah sampai akhir  segala perintah (hukum) yang telah diberikan Allah Ta’ala, dan janganlah berlaku tidak sabar.    (Malfuzat, jld I, hlm. 23-24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


TUGAS SEORANG MUJAHID

 Adapun yang difirmankan:
z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4
(dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, niscaya   akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabūt, 70).
Yakni, “Orang yang berusaha  gigih di jalan Kami dia akan menemukan jalan”, artinya adalah bahwa dia berusaha keras (berjuang) bersama Rasul. Apabila setelah dua tiga jam lalu melarikan diri, itu bukanlah pekerjaan  seorang mujahid, melainkan siap mengorbankan jiwa adalah pekerjaannya.
      Jadi, tanda orang yang mutaki (bertakwa) itu adalah istiqamah, sebagaimana difirmankan:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qä9$s% $oYš/u ª!$# §NèO (#qßJ»s)tFó$#
(Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka” -  Hā Mīm – As-Sajdah, 31).
Yakni, mereka yang telah mengatakan bahwa "Rabb (Tuhan) kami adalah Allah" serta yang telah memperlihatkan istiqamah (keteguhan),  dan mereka telah mencari Allah kesana-kemari.
     Artinya adalah, bahwa keberhasilan itu terletak pada istiqamah, dan hal itu berupa tindakan mengenali Allah serta tidak takut terhadap ujian, goncangan dan cobaan. Sudah pasti hasilnya adalah bahwa mereka akan memperoleh karunia berbicara dan bercakap-cakap dengan Tuhan, seperti halnya para nabi.”   (Malfuzat, jld I, hlm. 23-24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
   
  ISTIQAMAH

“Nah, orang-orang yang tidak sabar akan berada di dalam belenggu setan. Jadi, orang mutaki pun harus berperang melawan ketidak-sabaran. Di dalam kitab Bustan ada diterangkan perihal seorang  ābid  (orang yang senantiasa menyibukkan diri dalam beribadah – pent.), bahwa setiap kali dia beribadah maka Hatif (malaikat yang menyampaikan suara gaib – pent,) selalu menyeru bahwa, “Engkau tidak diterima dan ditolak.”
Suatu kali seorang muridnya mendengar suara tersebut lalu ia mengatakan, “Kini kan sudah  diputuskan demikian, apa gunanya lagi bersikeras?” Sang ‘abid menangis tersedu-sedu dan berkata, “Ke mana lagi aku harus pergi meninggalkan Wujud Yang Mulia  itu? Jika aku ini terkutuk, biarlah terkutuk. Ini suatu hal yang berharga bahwa aku dikatakan terkutuk.” Belum lagi pembicaraan dengan murid itu berakhir, datanglah suara yang mengatakan, “Engkau sudah dikabulkan.”
Jadi, ini semua adalah ketulusan dan kesabaran, yang merupakan syarat untuk menjadi mutaki (orang yang bertakwa).   (Malfuzat, jld I, hlm. 24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


 DUA KELOMPOK YANG MEMILIKI LANGKAH-LANGKAH 
 BEBERKAT PADA JALAN  SULUK

Di dalam jalan  suluk  (jalan mencari kebenaran)  terdapat dua kelompok yang memiliki langkah-langkah yang beberkat. Pertama,  adalah kelompok dīnul ajaiz,  yang mengayunkan langkah pada  masalah-masalah besar. Misalnya mereka disiplin mengenai hukum-hukum syariat dan mereka memperoleh najāt (keselamatan). Yang kedua, adalah mereka yang melangkah ke depan tanpa merasa letih, dan terus berjalan sampai akhirnya mereka mencapai maksud tujuan.
      Tetapi kelompok yang gagal adalah mereka yang melangkahkan kaki pada masalah-masalah pokok keagamaan (dīnul ajaiz), tetapi mereka tidak mengarungi jalan suluk, mereka pasti akan menjadi tidak ber-Tuhan. Misalnya sebagian orang mengatakan, “Kami pun selalu mengerjakan shalat dan juga bersemedi, akan tetapi tidak ada faedahnya.”
      Sama seperti yang diterangkan oleh seseorang bernama Mansur Masih,   bahwa    yang menyebabkan dia masuk Kristen adalah, bahwa dia pergi kepada orang-orang suci, senantiasa bersemedi, akan tetapi tidak memperoleh manfaat apa-apa, maka dia menjadi Kristen setelah menyimpan prasangka buruk.    (Malfuzat, jld I, hlm. 24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

  
 UNTUK MENJADI WALI PERLU ADANYA COBAAN

Banyak sekali orang datang ke sini dan menginginkan supaya disemburkan mantra-mantra kepada mereka, sehingga [seketika itu juga] mereka dapat mencapai ‘Arasy serta termasuk di antara orang-orang yang berhasil memperoleh maksud (tujuan).
Mereka harus melihat bagaimana keadaan para nabi. Tidak benar mengatakan bahwa dengan mengunjungi seorang wali maka seketika itu juga dapat lahir ribuan wali lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
|=Å¡ymr& â¨$¨Z9$# br& (#þqä.uŽøIムbr& (#þqä9qà)tƒ $¨YtB#uä öNèdur Ÿw tbqãZtFøÿム 
(“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabūt, 3).
Yakni,  selama manusia belum diberi cobaan, dimasukkan ke dalam fitnah (ujian) maka kapan  pula dia akan dapat menjadi wali?
 Di dalam suatu pertemuan, Bayazid  [salah seorang Sultan Turki – pent.] sdang memberikan ceramah keagamaan. Di tempat itu pun  hadir juga seorang anak keluarga Syekh, yang memiliki suatu silsilah panjang. Dia menyimpan kecemburuan terhadap beliau.
Adalah kebiasaan Allah Ta’ala untuk meninggalkan keluarga-keluarga lama lalu memilih yang baru, sebagaimana Dia telah meninggalkan Bani Israil dan memilih Bani Ismail, sebab orang-orang itu orang-orang itu telah tenggelam dalam kesenangan dan kebahagiaan [duniawi], sehingga mereka melupakan Tuhan:
y7ù=Ï?ur ãP$­ƒF{$# $ygä9Ír#yçR tû÷üt/ Ĩ$¨Y9$#
“Dan hari-hari itu  Kami pergilirkan di antara manusia”  - Āli ‘Imrān, 141).
  Maka terpikir oleh anak syekh tersebut bahwa beliau (Bayazid) adalah dari kalangan keluarga biasa, bagaimana pula beliau bisa menjadi orang istimewa, sehingga orang-orang tunduk kepada beliau sedangkan kepadanya tidak?
Hal itu dizahirkan Allah Ta’ala kepada Hadhrat Bayazid, maka beliau  pun mulai memberikan ceramah dalam bentuk dongeng, bahwa di suatu tempat, di dalam sebuah pertemuan di malam hari menyela sebuah pelita yang berisikan minyak dan air. Maka terjadilah perdebatan antara minyak dengan air. Si air berkata kepada minyak, "Engkau keruh dan kotor, akan tetapi walaupun engkau keruh dan kotor engkau berada di atasku. Aku adalah barang yang bersih dan aku dipergunakan untuk bersuci, namun aku berada di bawah. Apa sebenarnya yang menyebabkan ini?”
     Si minyak mengatakan, “Sekian banyak penderitaan yang telah kualami, mana pula engkau menanggungnya – yaitu penderitaan  yang karenanya aku memperoleh kedudukan tinggi ini. Ada suatu masa ketika aku disemaikan, hidup terselubung di dalam tanah, menjadi hina. Kemudian atas kehendak Tuhan aku tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, aku dikekang.  Lalu setelah menjalani berbagai macam jerih-payah aku pun dibersihkan. Aku diperas di tempat penyaringan (penyulingan) minyak, barulah aku menjadi minyak, lalu aku dibakar dengan api.
      Apakah setelah menjalani setelah menjalani sekian banyak kesengsaraan tersebut aku tidak harus memperoleh ketinggian ini?    (Malfuzat, jld I, hlm. 25-26 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


PARA WALIULLAH MEMPEROLEH BERBAGAI MARTABAT
SETELAH MENGALAMI PENDERITAAN DAN KESENGSARAAN

  Itu adalah suatu contoh, bahwa para wali Allah memperoleh berbagai martabat (derajat) setelah mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Ini adalah pemikiran keliru kebanyakan orang, bahwa seseorang pergi kepada orang tertentu kemudian tanpa susah-payah dan tanpa pensucian  diri lalu dalam seketika  dia telah masuk ke dalam golongan para shiddiq.
 Perhatikanlah Al-Quran Syarif, bagaimana mungkin Tuhan itu dapat ridha (senang) kepada kalian selama kalian belum mengalami kesengsaraan dan goncangan seperti para nabi - [yaitu] mereka yang kadang-kadang dalam keadaan terjepit sampai mengucapkan:
4Ó®Lym tAqà)tƒ ãAqߧ9$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä ¼çmyètB 4ÓtLtB çŽóÇnS «!$# 3 Iwr& ¨bÎ) uŽóÇnS «!$# Ò=ƒÌs%
(“…sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah sudah dekat -  Al-Baqarah, 215).
      Hamba-hamba Allah senantiasa dimasukkan ke dalam kesengsaraan, setelah itu barulah Tuhan menerima mereka.”    (Malfuzat, jld I, hlm.  26 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


DUA JALAN MENUJU KESUKSESAN (KEBERHASILAN)

 Para sufi menuliskan, bahwa ada dua jalan menuju kesuksesan (keberhasilan). Yang pertama adalah suluk  dan kedua adalah jazab. Suluk adalah [suatu jalan] dimana orang-orang dengan kesadaran akal-pikiran mereka memilih jalan Allah dan Rasul saw., sebagaimana  difirmankan:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$#        ö
(Katakanlah, "Jika kamu   mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi kamu” -  (Āli-Imrān, 32).
Yakni, “Seandainya kalian ingin menjadi kekasih Allah maka ikutilah Rasul mulia saw..” Beliaulah Rasul yang dimaksud dengan Hādi Kāmil (pemberi petunjuk sempurna), yaitu Rasul yang telah menanggung sekian banyak kesengsaraan (musibah) yang tidak ada bandingannya di dunia ini. Satu hari pun beiau tidak memperoleh kesempatan istirahat.
Nah, pengikut-pengikut yang sejati tentulah orang-orang yang berusaha-keras sepenuhnya mengikuti segala tutur-kata dan amal perbuatan orang yang mereka ikuti. Pengikut adalah dia yang mengikuti dalam segala segi.  Allah Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang mencari kesenangan bagi diri sendiri (bersenang-senang) dan yang mencari-cari (membuat-buat) kesusahan sendiri. Justru mereka itu akan memperoleh kemurkaan Allah Ta’ala.
      Di sini diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk mengikuti Rasul Akram  saw., maka tugas seorang sālik (yang menempuh suluk – pent.) itu adalah, pertama-tama dia harus menelaah seluruh riwayat (sejarah) Rasulullah saw. lalu mengikutinya.  Itulah yang dinamakan  suluk. Di jalan ini banyak sekali kesengsaraan dan penderitaan. Setelah menjalani semua itulah baru manusia menjadi seorang sālik”.
      Derajat orang-orang yang memperoleh jazab  adalah lebih tinggi daripada derajat para sālik. Allah Ta’ala tidak hanya meletakkan mereka pada derajat suluk, bahkan Dia Sendiri yang memasukkan mereka ke dalam bala musibah serta menarik mereka ke arah-Nya dengan kekuatan magnetis yang sudah ada  dari sejak semula. Segenap para nabi merupakan orang-orang yang mmeperoleh jazab.
     Tatkala ruh manusia menghadapi bala-musibah, maka setelah menjalani gemblengan serta pengalaman  barulah ruh itu bersinar-sinar. Sebagaimana halnya logam atau kaca, walaupun di dalam wujud mereka terdapat unsur-unsur cahaya, namun mereka baru  bisa berkilauan setelah menjalani pemolesan (pembersihan), sampai-sampai wajah  orang yang berkaca disitu pun bisa kelihatan. 
      Mujahidah (usaha gigih/perjuangan) pun berfungsi sebagai pemoles  (pembersih).  Hati ini harus dipoles (dibersihkan) sedemikian rupa, sehingga wajah kita dapat tampak di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan tampaknya wajah? Adalah pemenuhan dari "Takhallaqū bi akhlaqillāh” (berakhlaklah dengan akhlak Allah).
      Hati para salik itu merupakan cermin, yaitu cermin yang telah dipoles (dibersihkan) sedemikian rupa oleh bala musibah dan kesengsaraan, sehingga akhlak Nabi Muhammad saw. membekas di dalamnya. Dan hal ini dapat terjadi pada saat sudah tidak tersisa lagi karat atau kotoran apapun di dalam dirinya, akibat menjalani  banyak mujahidah dan pensucian diri, barulah derajat tersebut dapat diraih.
       Setiap orang mukmin perlu mengadakan pembersihan seperti ini hingga batas tertentu. Tanpa pembersihan (pensucian), tidak seorang mukmin pun akan dapat memperoleh najat (keselamatan). Seorang sālik, ia dengan sendirinya melakukan pemolesan (pembersihan). Mereka menanggung bala-musibah melalui tugas­-tugas (pekerjaan) mereka.  
       Akan tetapi orang yang memperoleh jazab dia yang dimasukkan ke dalam bala-musibah. Tuhan sendiri yang melakukan pembersihan bagi dirinya, dan dengan membersihkannya melalui berbagai macam  bala-musibah serta kesengsaraan, Dia menganugerahkan kepadanya derajat cermin.
      Buah yang dihasilkan oleh seorang sālik dan majzub   (orang yang memperoleh jazab) pada dasarnya adalah sama.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 26-28 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


"IMAN BIL GHAIB"

      Sebagaimana yang telah aku uraikan ketakwaan memerlukan suatu usaha gigih (susah-payah), oleh karena itu difirmankan:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇÈ   tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÈ       
(Inilah Kitab  itu,  tidak ada keraguan  di dalamnya, petunjuk bagi  orang-orang yang bertakwa, [yaitu] mereka yang beriman  kepada yang gaib, dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki   yang Kami anugerahkan kepada mereka” – Al-Baqarah, 3-4).
       Di dalamnya terdapat suatu usaha ­gigih (susah-payah). Berbeda dengan kesaksian nyata, beriman kepada hal-hal yang gaib itu memerlukan suatu usaha gigih (jihad). Jadi, seorang mutaki (bertakwa) sampai batas tertentu diperlukan usaha gigih, sebab ketika dia telah meraih derajat salih  maka hal-hal yang gaib itu sudah tidak menjadi gaib lagi baginya, karena  di dalam diri seorang salih mengalir sebuah sungai yang sampai kepada Tuhan, dia menyaksikan Tuhan serta kecintaan-Nya melalui matanya sendiri, yaitu:
`tBur šc%x. Îû ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr& @|Êr&ur WxÎ6y  
(“dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta”  - Bani Israil, 73).
Dari sini nyata, bahwa sebelum manusia memperoleh cahaya sepenuhnya di dunia ini, kapan pun dia tidak akan  dapat menyaksikan Tuhan.  Jadi, tugas seorang mutaki (bertakwa) itu adalah senantiasa menyiapkan surma (celak) yang dapat menghindarkan turunnya (susutnya) secara ruhani air yang dimilikinya.
      Kini,  nyatalah bahwa pada awalnya seorang mutaki itu buta adanya. Setelah melalui usaha gigih dan pensucian diri dia pun meraih nur (cahaya). Jadi, setelah mengalami gemblengan serta  sudah menjadi salih, maka tidak ada lagi masalah 'iman-bil-ghaib' (iman kepada yang gaib),  dan istilah susah-payah pun sudah menjadi tidak ada lag.
    Sebagaimana Rasul Mulia saw. telah diberikan kesempatan menyaksikan surga dan neraka dengan mata telanjang di dunia ini juga, hal-hal yang harus diakui dalam corak iman bil ghaib (beriman kepada yang gaib) bagai seorang mutaki (bertakwa) keseluruhannya telah disaksikan dengan nyata oleh beliau saw..
     Di dalam ayat ini diisyaratkan, bahwa kalau seorang mutaki itu  buta adanya, dan harus menanggung perihnya susah-payah (usaha gigih), akan tetapi seorang yang salih telah berada di dalam sebuah dārul aman (tempat yang aman), dan tingkatan nafs-nya sudah mencapai nafs muthmainnah (jiwa yang tentram).
     Di dalam diri seorang mutaki berlaku kondisi iman-bil-ghaib, dia berjalan dengamn meraba-raba bagaikan orang buta. Dia tidak memperoleh kabar apa pun, dan dia bersikap iman bin ghaib terhadap segala sesuatunya.  Di situlah terletak ketulusannya, dan sebagai imbalan dari ketulusannya itu Allah Ta'ala menjanjikan bahwa dia akan memperoleh keberhasilan (kesuksesan):
   y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#  
(mereka itulah orang-orang yang berjaya” -  (Al-Baqarah: 6).
 (Malfuzat, jld I, hlm. 28-29 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


MENDIRIKAN SALAT

      Setelah itu, berkenaan dengan orang mutaki dikatakan:
tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$#
yakni, “dia mendirikan salat” (Al-Baqarah, 4). Disini digunakan kata mendirikan. Ini pun mengisyaratkan kepada masalah usaha­ gigih (susah-payah/kerja keras) yang merupakan ciri-khas orang mutaki. Yakni tatkala dia mulai mengerjakan salat, maka dia harus melawan berbagai macam rasa waswas (kegelisahan; keraguan) yang mengakibatkan runtuhnya berkali-kali salat yang ia lakukan, dan itulah yang harus dia dirikan (tegakkan).
       Ketika       dia mengucapkan “Allahu Akbar”, maka berkecamuk rasa waswas yang membuyarkan konsentrasi di dalam hatinya. Hal itu melayangkannya sampai kemana-mana. Timbul rasa duka, setiap orang berjuang mati-matian untuk tetap sadar dan untuk meraih kelezatan, dan dia berusaha mati-matian untuk mendirikan salat yang jatuh. Berkali-kali ia mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’īn” (hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), memanjatkan doa supaya dapat menegakkan salat. Dan dia memohon petunjuk “Ihdinash- shirātahal mutaqim” (tunjukkan kami jalan yang lurus), yang dapat membuat salatnya tegak kembali.
Dalam melawan rasa waswas tersebut, seorang mutaki itu bagaikan anak kecil yang berguling-guling menangis di hadapan Tuhan sambil mengatakan , “Aku tengah akhlada ilal-ardhi” (aku tengah condong/jatuh ke bumi – Al-A’raf, 177). Jadi, itulah peperangan yang harus dilakukan di dalam salat oleh  orang mutaki melawan nafsu, dan berdasarkan itulah dia akan memperoleh ganjaran (pahala).
Sebagian orang ada yang ingin langsung melenyapkan rasa waswas di dalam salat sama sekali. Padahal ada maksud lain dari “wa yuqīmunash- shalāta” (dan mendirikan shalat).  Apakah Tuhan tidak tahu? Ada sebuah sabda Yang Mulia Syekh Abdul Qadir Jailani (rahmatullahi alaihi), bahwa pahala itu tetap ada selama masih berlangsung mujahidah (usaha gigih; perjuangan). Kalau mujahidah sudah habis, maka pahala pun akan terputus.
 Jadi, puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa waswas.  Akan tetapi tatkala di dalamnya telah timbul suatu derajat yang tinggi (mulia)  serta orang yang mendirikan shalat dan mengerjakan puasa itu telah selamat keluar dari kondisi usaha gigihnya alam ketakwaan dan telah dia telah dipenuhi oleh corak kesalihan,  maka pada saat itu puasa  serta salat tersebut sudah tidak berupa amal lagi adanya.
Pada saat itu orang-orang menanyakan, "Apakah pada saat itu salat sudah tidak perlu lagi dikerjakan, sebab pahala hanya ada pada tatkala usaha  gigih (kerja keras) masih harus dilakukan?” Nah, masalahnya  adalah  bahwa pada saat itu salat tidak lagi berupa amal, melainkan telah berupa  sebuah anugerah (hadiah). Salat itu akan menjadi santapan baginya dan berupa qurratu ‘ain (penyejuk mata) baginya, hal itu seakan-akan bonus surga.
 Sebaliknya, orang-orang yang masih berada di dalam kondisi  usaha gigih (kerja keras) mereka tengah bergulat, sedangkan mereka yang diterangkan di atas   telah memperoleh najat (keselamatan). Artinya adalah, bahwa tatkala tahap  suluk  seorang manusia telah selesai, maka baginya bala-musibah pun telah selesai.
Sebagai contoh, jika seseorang yang telah dikebiri mengatakan bahwa dia tidak pernah mengarahkan pandangannya kepada perempuan mana pun, maka nikmat dan pahala apa pula yang layak diberikan kepadanya?  Di dalam dirinya saja sudah tidak ada kecenderungan untuk memandang dengan birahi. Akan tetapi jika seorang laki-laki yang jantan (berpotensi) melakukan hal yang seperti itu maka dia akan memperoleh pahala.
Demikianlah  manusia harus melampaui ribuan fase (tingkatan). Di dalam beberapa masalah, pengalaman-pengalamannya membuat dia dapat menguasai diri, dan dia sudah menjalin perdamaian dengan nafsunya.  Kini dia telah berada di dalam surga. Akan tetapi pahala seperti yang pertama tadi sudah tidak ada lagi, melainkan ia telah melakukan jual-beli dan dia tengah menikmati keuntungannya.  
Corak yang pertama sudah tidak ada. Setelah melakukan suatu pekerjaan dengan usaha-gigih (susah-payah) maka di dalam diri manusia akan timbul corak alami. Seseorang yang  secara alami mendapatkan kelezatan maka dia tidak akan dapat dipisahkan lagi dari pekerjaannya itu, dan secara alami dia tidak akan  dapat dienyahkan dari situ.
      Jadi, sampai pada tahap  ittiqa  dan takwa  itu segala sesuatunya belum terbuka dengan jelas melainkan masih merupakan pernyataan.”   (Malfuzat, jld I, hlm. 29-31 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

      
MENGORBANKAN APA PUN  YANG TELAH
DIREZEKIKAN ALLAH

     Setelah itu tentang orang    mutaki dikatakan:
$®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZãƒ
(“Dan membelanjakan  dari apa yang direzekikan kepada mereka”  Al-Baqarah:4).
 Di sini, bag orang mutaki digunakan kata mimmī (dari apa), sebab pada saat itu dia sedang berada di dalam kondisi buta. Oleh karena itu apa saja yang telah diberikan Tuhan kepadanya, sebagian dari antara anugerah (rezeki) itu dia berikan atas nama Tuhan.
Sebenarnya jika dia memiliki mata, tentu dia akan melihat bahwa dia tidak memiliki apa-apa, sebab segala sesuatunya hanya milik Tuhan. Ini adalah suatu tabir yang lazim terdapat  di dalam ittiqa (takwa). Keinginan kondisi ittiqa itu yang membuat orang mutaki tersebut mengeluarkan sebagian dari apa-apa yang telah diberikan Tuhan padanya.
Rasul Karim saw. pada saat menjelang wafat, beliau menanyakan kepada Hadhrat ‘Aisyah, “Apakah masih ada yang tersisa dari rumah ini?” Maka diketahui bahwa ada uang satu dinar. Beliau bersabda,  "Ini sungguh jauh dari ciri­ kehidupan seorang yang dekat dengan Tuhan, bahwa dia menyimpan segala-sesuatu pada dirinya".
Rasul Mulia saw. telah melewati derajat ittiqa dan sudah sampai pada derajat kesalihan,  karena itu tidak ada istilah  mimmā (sebagian dari) bagi beliau, sebab  orang itu   buta,  yaitu orang yang menyimpan sebagian  pada dirinya dan sebagian lagi dia berikan  kepada Tuhan.
Namun hal itu merupakan suatu kelaziman bagi orang mutaki, sebab dengan  memberikan harta di jalan Tuhan pun sudah merupakan peperangan melawan nafsu baginya. Itulah yang menyebabkan dia memberikan sebagian, sedangkan sebagian lagi dia simpan bagi dirinya. Ya, Rasul Mulia saw. telah memberikan segalla-galanya di jalan Tuhan, dan sedikit pun tidak ada yang beliau simpan untuk diri sendiri.
Sebagaimana di dalam tulisan “Dharm mahutsu    terdapat keterangan  tentang tiga kondisi manusia yang dialami manusia dari sejak pertama hingga akhir, maka seperti itu pula di sini pun Al-Quran Karim – yang datang  untuk membawa manusia menempuh jenjang-jenjang kemajuan – telah memulai dengan ittiqa (ketakwaan).
Ini adalah sebuah jalan yang penuh usaha gigih (kerja keras). Ini adalah sebuah medan yang berbahaya. Di tangan orang mutaki terdapat pedang, dan di tangan lawan pun ada pedang. Jika dia selamat maka dia telah najāt (keselamatan), dan tidak termasuk ke dalam golongan 'Asfalus Sāfilīn' (paling rendah dari segala yang rendah).
       Di sini tentang sifat-sifat orang mutaki tidak ada difirmankan bahwa, “Apa pun yang telah Kami berikan dia keluarkankan seluruhnya”, sebab di dalam diri  orang mutaki tidak terdapat kekuatan iman seperti yang ada pada diri para nabi, sehingga – tidak seperti Pemberi petunjuk kita yang sempurna [saw.] – apa pun yang telah diberikan Tuhan kepadanya tidak semuanya diserahkan kembali kepada Tuhan.
       Oleh karena itu pertama-tama ia hanya diwajibkan membayar pajak yang ringan, supaya setelah merasakan  kelezatan  itu dia menjadi siap untuk melakukan pengorbanan yang lebih banyak lagi.    (Malfuzat, jld I, hlm. 31-32 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


YANG DIMAKSUD DENGAN REZEKI

 $®ÿÊEur     öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZãƒ
(”Dan membelanjakan dari apa yang  Kami rezekikan kepada mereka”  Al-Baqarah:4).   yang dimaksud dengan rezeki tidak hanya harta-kekayaan, melainkan segala sesuatu yang telah dianugerahkan kepada mereka: ilmu, hikmah, kemahiran dalam bidang kesehatan, semua termamsuk di dalam rezeki. Dan hal-hal semacam inilah  harus dia keluarkan (belanjakan) di jalan Allah. Manusia harus meraih kemajuan di di jalan ini secara bertahap dan selangkah demi selangkah.
      Jika seandainya ada ajaran seperti Injil – bahwa setelah memperooeh tamparan di pipi yang satu, maka pipi yang satu lagi pun diserahkan – akibat tidak mungkinnya ajaran seperti  itu diterapkan, manusia akan luput dari pahala.”    (Malfuzat, jld I, hlm.  32 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


      Namun hingga saat  itu belum tahu sampai di mana Jemaat ini bakal berkembang melalui  Tangan Ilahi.  Jadi ini  adalah suatu kepercayaan (iman) yang pada akhirnya akan memberikan faedah.
      Jika kata yakin dipergunakan secara  umum maka maksudnya adalah  keyakinan yang derajatnya terendah, yakni dari tiga tingkatan ilmu, derajat  'ilmul-yaqīn  adalah tingkatan yang paling rendah. Pada tingkatan inilah orang yang bertakwa itu berada. Namun sesudah itu tingkat  ‘ainul-yaqīn dan haqqul yaqīn pun baru bisa diraih setelah melalui jenjang-jenjang ketakwaan.   (Malfuzat, jld I, hlm. 32-33 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
AL-QURAN MEMBIMBING MANUSIA KE ARAH
KESUKSESAN (KEBERHASILAN) SECARA BERTAHAP

“Akan tetapi Al-Quran --  bersesuaian dengan fitrat manusia – membimbing manusia ke arah kesuksesan (keberhasilan) secara bertahap. Permisalan bagi Injil itu adalah bagaikan seorang anak muda yang dipaksa membaca  yang sangat rumit begitu  dia dimasukkan ke dalam sekolah. Allah Ta'ala itu Mahaberakal (penuh hikmah). Tuntutan dari hikmah-Nya adalah supaya pendidikan itu diselesaikan secara bertahap.
Kemudian tentang orang mutaki (bertakwa) difirmankan:
tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qム  
Yakni, “Orang-orang bertakwa itu adalah  mereka yang beriman kepada Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan kepada Kitab yang telah diturunkan kepada engkau, dan  mereka yakin akan akhirat” (Al-Baqarah, 5).  
      Hal ini pun tidak luput dari usaha­ gigih (susah-payah). Sampai  saat itu keimanan masih berada di dalam bentuk mahjubiyyat (keterselubungan). Pandangan orang yang mutaki (bertakwa) bukanlah pandangan yang memiliki makrifat dan bashirat. Dia telah melawan setan dengan ketakwaan, sehingga sampai saat itu dia mempercayai sesuatu. Begitulah keadaan Jemaat kita pada saat ini. Mereka melalui ketakwaan memang telah beriman (percaya).
Takwa bukanlah barang yang kecil. Melalui perlawanan terhadap segenap setan yang telah menguasai setiap potensi dan kemampuan yang terdapat di dalam diri manusia. Seluruh potensi (kekuatan)  yang terdapat di dalam diri manusi pada kondisi nafs Ammarah merupakan setan. Seandainya tidak ada perbaikan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) tersebut maka mereka akan memperbudak manusia.
    Ilmu dan akal pun jika dipergunakan pada jalan yang buruk menjadi setan. Pekerjaan orang mutaki (bertakwa) adalah mengadakan keseimbangan  berkenaan potensi-potensi    tersebut serta atas segenap potensi lainnya. Demikian pula orang-orang yang pada segala kondisi menganggap buruk sikap pembalasan, amarah serta nikah, mereka itu menentang hukum kudrat, dan mereka melawan kekuatan (potensi) manusia” (Malfuzat, jld I, hlm.  33 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

PENGENDALIAN BERBAGAI POTENSI

      “Meninggalkan kejantanan (dorongan seksual) atau pun amarah yang telah diciptakan oleh Allah Ta’ala di dalam fitrat manusia, berarti melawan Tuhan. Sama halnya seperti sikap hidup meninggalkan segenap hal-hal keduniawian atau menjadi  rahib (petapa). Kesemuanya ini adalah hal-hal yang menghancurkan haqul ‘ibad (hak  para hamba). Jika hal ini memang demikian maka berarti kita mengecam Tuhan yang  telah menciptakan potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) tersebut di dalam diri kita.
      Jadi, ajaran-ajaran demikian -- yang terdapat di dalam Injil dan yang mutlak menghancurkan kekuatan-kekuatan  (potensi-potensi) tersebut -- akan membawa kita pada kesesatan.  Allah Ta'ala memerintahkan untuk mengadakan keseimbangan terhadap potensi-potensi itu. Dia tidak menghendaki supaya potensi-potensi tersebut dihancurkan, firman-Nya:
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur
(“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan)” -  An-Nahl, 91).
Adil adalah sesuatu yang harus dimanfaatkan oleh semua orang. Ajaran yang ekstrim dari Al-Masih a.s. bahwa, "Jika kamu melihat dengan pandangan yang buruk maka congkellah matamu”, di dalamnya pun terletak pembinasaan terhadap potensi (kekuatan) tadi. Sebab beliau tidak mengajarkan bahwa, "Sama-sekali janganlah kamu memandang perempuan yang bukan muhrim”, justru sebaliknya beliau mengizinkannya, “Boleh saja dilihat, tetapi jangan melihatnya dengan pandangan zina”, larangan untuk melihat itu sendiri yang tidak ada.
      Kalau seseorang akan melihat, maka setelah itu diperhatikan apa pengaruhnya terhadap potensi (kekuatan) yang dia miliki. Kenapa tidak seperti Al-Quran saja yang melarang  untuk memandang hal-hal yang dapat menggelincirkan mata serta menyesalkan sikap [ekstrim  mencongkel mata], yang merupakan sesuatu yang bermanfaat dan berharga itu?
      Agama yang benar adalah agama yang melestarikan potensi (kekuatan) manusia, bukannya yang mencabut potensi (kekuatan)  tersebut sampai ke akar-akarnya.”        (Malfuzat, jld I, hlm. 33-34 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


YANG DIMAKSUD DENGAN PARDAH ISLAM

 “Belakangan ini banyak dilancarkan kritik terhadap masalah pardah. Akan tetapi orang-orang ini tidak mengetahui bahwasanya yang dimaksud dengan “pardah Islam” itu bukanlah penjara, melainkan suatu penghalang (pembatasan) supaya  laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak dapat melihat satu sama lainnya. Kalau pardah ditegakkan maa manusia tidak akan tergelincir.
Seorang yang bersikap adil dapat mengatakan, bahwa di kalangan orang-orang dimana laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim  tanpa seungkan serta tanpa segan dapat berjumpa atau berjalan-jalan, bagaimana mungkin secara mutlak mereka tidak akan tergelincir oleh dorongan nafsu seks?
Kadang-­kadang kita mendengar serta melihat bangsa-bangsa, yang menganggap bahwa laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim hidup bersama di satu rumah dalam kondisi pintu tertutup bukanlah suatu hal yang tercela. Seolah-olah ini merupakan  suatu peradaban.
Untuk membendung akibat-akibat buruk itulah maka Pembuat Syariat Islam  melarang melakukan hal-hal yang dapat  mengakibatkan ketergelinciran. Mengenai peristiwa-peristiwa seperti itu dikatakan, bahwa dimana ada berkumpul seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim maka yang ketiganya adalah setan.  Perhatikanlah akibat-akibat buruk yang ditanggung oleh Eropa karena ajaran yang memutuskan tali hubungan dengan Tuhan itu.
     Di beberapa tempat berlangsung kehidupan kotor yang benar-benar memalukan. Ini adalah akibat dari ajaran-ajaran tadi. Jika kalian ingin melindungi suatu benda dari  pengkhianatan  maka jagalah dia. Akan tetapi jika kalian tidak menjaganya serta menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang beradab, maka ingatlah bahwa benda itu pasti hancur.
      Betapa sucinya ajaran Islam,  yang telah memisahkan laki-laki dan perempuan   sehingga terhindar dari ketergelinciran, dan ia tidak mengharamkan serta mencemarkan kehidupan manusia – yang karena melakukan hal itulah Eropa telah menyaksikan  hari-hari yangb penuh dengan  peperangan dan aksi bunuh-diri. Sebagian perempuan-perempuan baik telah menjalani kehidupan kotor. Ini adalah suatu dampak nyata karena adanya izin untuk memandang perempuan yang bukan muhrim.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 34-35 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


 POTENSI-POTENSI ANUGERAH ALLAH TA’ALA &
PENDAYAGUNAANNYA
  
      “Seberapa banyak potensi (kekuatan)   yang telah dianugerahkan oleh Tuhan, kesemuanya itu diberikan bukanlah untuk disia-siakan. Menciptakan keseimbangan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) itu serta menggunakannya pada jalan yang benar  adalah merupakan pertumbuhan (perkembangan) potensi-potensi itu sendiri. Oleh karena itulah Islam tidak mengajarkan supaya potensi kejantanan (seksual) maupun potensi mata itu dicabut (dihilangkan),  melainkan ia mengajarkan untuk memanfaatkan mereka pada jalan yang benar serta mensucikan potensi potensi tersebut. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Qad aflahal- mu'minūn – “Sungguh telah sukses orang-orang mukmin” (Al­-Mu'minun, 2).
     Dan sama seperti itu Dia telah berfirman di sini --  yakni setelah menguraikan gambaran kehidupan orang mutaki (bertakwa) --  pada akhirnya Dia mengemukakan hasil ketakwaan tersebut,  "Wa ulāika humul muflihūn – (“dan sesungguhnya merekalah orang-orang yang sukses” - (Al‑Baqarah, 6), yaitu   orang-orang yang melangkahkan kaki di atas ketakwaan,  yang beriman pada hal-hal gaib, ketika salatnya goyah  lalu mereka menegakkannya kembali, mereka yang memberikan apa-apa yang telah dianugerahkan Tuhan,  dan walaupun ada ancaman-ancaman bahaya terhadap nyawa, mereka tetap percaya pada Kitab-kitab Ilahi terdahulu maupun yang telah diturunkan di zaman mereka. Dan akhirnya mereka sampai pada derajat keyakinan. Inilah orang-orang yang memperoleh hidayat (petunjuk).
      Mereka berada di sebuah jalan yang lurus ke depan, yang   melaluinyalah manusia akan memperoleh kesuksesan. Nah, inilah orang-orang yang meraih kesuksesan dan akan sampai pada tujuan-tujuan mereka, dan mereka telah bebas dari segala bahaya.  Untuk itulah pada bagian permulaan Allah Ta'ala telah mengajarkan ketakwaan pada kita lalu menganugerahkan sebuah Kitab yang mengandung wasiat-wasiat tentang takwa.
      Jadi, Jemaat kita seharusnya merasakan kedukaan ini lebih hebat dari pada segenap kedukaan duniawi,   yaitu apakah di dalam diri mereka telah terdapat ketakwaan atau tidak?”   (Malfuzat, jld I, hlm.  35 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).



JALANILAH HIDUP DENGAN KERENDAHAN HATI
DAN KESEDERHANAAN

 “Untuk menjadi seorang mutaki terdapat syarat supaya menjalani hidup ini dengan kerendahan hati dan kesederhanaan. Ini adalah sebuah cabang ketakwaan, yang dengan perantaraannyalah kita akan melawan amarah (murka) yang bukan pada tempatnya. Tahapan yang terakhir dan yang paling sulit bagi orang-orang yang memperoleh makrifat serta bagi para shiddiq adalah            menghindarkan diri dari amarah (murka).
Kesombongan dan keangkuhan timbul dari amarah, dan kadang-­kadang amarah itu sendiri merupakan hasil dari kesombongan dan keangkuhan, sebab amarah tersebut  timbul tatkala seorang manusia menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.  Aku tidak ingin kalau warga  Jemaatku satu sama lain saling menganggap hina atau menganggap lebih tinggi, atau bersikap  angkuh terhadap satu sama lainnya  maupun memandang rendah. Tuhan mengetahui siapa yang besar atau siapa yang kecil. Hal demikian itu adalah semacam kenistaan.  Dirisaukan bahwa kehinaan tersebut tumbuh besar bagaikan benih dan mengakibatkan kehancuran baginya.
  Sebagian orang menemui orang-orang besar dengan penuh hormat. Akan tetapi orang besar adalah dia yang mendengarkan (memperhatikan) perkataan orang miskin dengan kerendahan hati, membahagiakan hatinya,  menghormati perkataannya, tidak mengeluarkan kata-kata sinis yang dapat melukai hatinya.  Allah Ta’ala berfirman:
   Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$#     
(“dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan, seburuk-buruk panggilan adalah   yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka  mereka itulah orang-orang yang aniaya” - (Al-Hujurat, 12).
Yakni, “Janganlah kalian saling mengimbau dengan panggilan buruk. Sikap yang demikian itu adalah suatu perbuatan buruk dan dosa.  Barangsiapa mengejek-ejek orang lain, dia tidak akan mati sebelum dia sendiri tenggelam dalam hal seperti itu. Janganlah kalian menganggap hina saudara-saudara kalian.
     Kalian semua minum dari satu telaga yang sama, maka siapa yang tahu bahwa sudah nasib seseorang ia akan minum air yang lebih banyak. Seseorang tidak dapat menjadi terhormat dan terpandang berdasarkan ketentuan-ketentuan duniawi. Di sisi Tuhan, orang yang besar itu adalah orang yang mutaki (bertakwa): 
4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
(“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” -  Al-Hujurat, 14).
(Malfuzat, jld I, hlm. 36 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


PERBEDAAN SUKU BANGSA

     “Adanya perbedaan suku bangsa, tidaklah menyebabkan kelebihan antara satu sama lainnya. Allah Ta'ala menciptakan suku-suku bangsa ini hanyalah untuk identitas belaka. Dan pada zaman ini untuk mengetahui nenek-moyang lebih dari generasi terdahulu saja sudah sulit.
     Bukanlah ciri khas orang mutaki (bertakwa) bahwa mereka terlibat dalam perselisihan antar etnis, sebab Allah Ta’ala telah memutuskan, bahwa bagi-Nya status suku bangsa (etnis) tidak mempunyai arti apa-apa, sebab yang dapat menimbulkan kehormatan dan kebesaran sejati hanyalah ketakwaan.”   (Malfuzat, jld I, hlm. 36-37 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


SIAPAKAH YANG DIMAKSUD
DENGAN ORANG MUTAKI (BERTAKWA)

 Di dalam Kalam Ilahi didapati,  bahwa yang dimaksud orang mutaki (bertakwa) adalah orang yang berjalan dengan  sikap ramah dan rendah hati. Dia tidak berbicara dengan angkuh. Cara dia berbicara adalah seperti orang bawahan yang berbicara dengan orang besar. Kita harus melakukan hal itu di dalam setiap kondisi, yang dengan itulah kita akan memperoleh kesuksesan (keberhasilan). Allah Ta’ala tidak menyewa dari siapa pun,  Dia secara khusus menginginkan ketakwaan. Barangsiapa yang bertakwa, maka dia akan mencapai derajat yang paling tinggi.
Yang Mulia Rasulullah saw. atau pun Hadhrat Ibrahim a.s., di antara keduanya satu pun tidak ada yang memperoleh kehormatan dari harta warisan.  Walaupun ini merupakan keimanan kita bahwasanya ayah Yang Mulia Rasulullah saw., Abdullah, bukanlah seorang musyrik, akan tetapi  bukan beliau yang telah  mengenugerahkan kenabian kepada Rasulullah saw.. Kenabian itu merupakan  karunia Ilahi yang diperoleh karena kebenaran (kejujuran/ketulusan) yang terdapat di dalam fitrat mereka itulah yang merangsang turunnya karunia.
 Hadhrat Ibrahim a.s. yang merupakan sesepuh (datuk) para nabi, karena ketulusan   dan ketakwaan beliaulah maka beliau  tak sungkan-sungkan untuk mengorbankan nyawa putera beliau. Beliau sendiri pun telah dilemparkan ke dalam api. Lihatlah ketulusan dan kesetiaan Junjungan kita, yang Mulia Muhammad Rasulullah saw.. Beliau saw. telah menentang segala macam pergerakan buruk.  Beliau telah menanggung berbagai macam musibah serta penderitaan. Akan tetapi beliau tidak peduli. Itulah ketulusan dan kesetiaan yang  membuat Allah Ta’ala menurunkan karunia-Nya. Untuk itulah Allah Ta’ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@     
(“Sesungguhnya Allah beserta malaikat-malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi, hai orang-orang beriman, kirimkanlah shalawat dan salam  penuh keselamatan kepadanya”  - Al-Ahzab ,57).
Yakni, “Allah Ta’ala beserta segenap malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Rasul saw.. Wahai orang-orang yang beriman, kirimkanlah shalawat atas diri Nabi saw.”  Dari ayat ini nyata, bahwa amal-amal perbuatan Rasul Akram (Mulia) saw. adalah sedemikian rupa, sehingga untuk memujinya ataupun untuk membatasi gambaran sifat-sifat beliau, Allah Ta’ala tidak menggunakan suatu kata tertentu. Kata untuk itu memang bisa didapat, namun Dia sendiri yang tidak menggunakannya, yakni  pujian akan amal­amal salih beliau saw. itu tidak ada batasnya.
Ayat yang semacam ini tidak pernah dipergunakan untuk nabi lainnya. Di dalam ruh beliau saw. terdapat kebenaran (ketulusan) dan kesetiaan, dan amal-amal perbuatan beliau saw. begitu disenangi di dalam pandangan Tuhan, ehingga Allah Ta'ala telah memberikan perintah untuk selamanya supaya orang­-orang mengirimkan shalawat kepada beliau saw. sebagai rasa syukur.
  Seandainya kita menelaah dari atas hingga ke bawah, kita tidak akan menemukan bandingan bagi semangat serta ketulusan beliau. Lihatlah sendiri zaman Hadhrat Masih a.s., sampai sejauh mana semangat atau ketulusan dan kesetiaan ruhaniah beliau a.s. telah  memberikan pengaruh pada pengikut-pengikut beliau?
      Setiap orang dapat memahami, betapa sulitnya untuk meluruskan (memperbaiki) kebiasaan buruk, betapa tidak mungkinnya menghapuskan adapt kebiasaan yang telah berakar. Akan tetapi Nabi Suci kita saw. telah meluruskan (memperbaiki) puluhan ribu orang yang sebelumnya adalah lebih buruk daripada binatang. Sebagian ada yang bagaikan hewan, tidak dapat membedakan antara para ibu dan saudara-saudara perempuan.  Mereka memakan harta anak-anak yatim. Mereka memakan harta orang-orang yang telah meninggal. Sebagian ada yang merupakan penyembah bintang, sebagian adalah atheist, sebagian lagi merupakan para penyembah unsur-unsur alam.   Apa daratan Arab ketika itu? Daratan Arab   adalah suatu kawasan yang di dalamnya terdapat kumpulan berbagai macam golongan agama.”   (Malfuzat, jld I, hlm. 37-38 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


AL-QURAN ADALAH PETUNJUK YANG
PALING SEMPURNA

      “Manfaatnya yang paling besar adalah bahwa Al-Quran mengandung segala macam ajaran. Di dalamnya terdapat cukup ajaran-­ajaran untuk mencabut segala macam akidah yang salah atau pun ajaran buruk dapat timbul di dunia ini sampai ke akar-akarnya. Ini adalah suatu hikmah mendalam dan kebijakan dari Allah Swt..
Dikarenakan Kitab yang paling sempurna itu datang untuk melakukan ishlah (perbaikan) secara sempurna juga, maka adalah pentinh bahwa pada saat ia turun penyakit pun sudah mencapai klimaksnya di tempat ia diturunkan, sehingga dapatlah dilakukan pengobatan yang sempurna terhadap setiap penyakit.
       Jadi, di daratan Arab tersebut pada saat itu terdapat orang-orang yang sakit parah.  Segala macam penyakit ruhaniah ada di sana, yakni yang tengah melanda pada saat  itu maupun yang bakal menyerang generasi-generasi sesudahnya.  Itulah sebabnya Al-Quran telah memenuhi syariat yang paling sempurna. Hal seperti ini tidak diperlukan pada saat Kitab-kitab lainnya turun, dan tidak pula  di dalam Kitab-kitab  tersebut terdapat ajaran yang sempurna.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 38 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


ISHLAH (PERBAIKAN) YANG DILAKUKAN
OLEH NABI KARIM SAW. MERUPAKAN MUKJIZAT AGUNG

 Sejauh mana berkat-berkat Nabi  Akmal kita saw. seandainya seluruh mukjizat itu   diklasifiksikan (dipilah-pilah ?) maka hanya ishlah (perbaikan) yang telah dilakukan oleh beliau saw. sajalah yang merupakan suatu mukjizat agung. Jika ada seseorang yang menelaah keadaan ketika beliau saw. datang, lalu memperhatikan keadaan ketika beliau telah pergi, maka dia terpaksa harus mengakui bahwasanya daya pengaruh beliau itu sendiri  merupakan mukjizat. Dan walaupun segenap nabi layak untuk memperoleh kehormatan, tetapi:
y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4
(“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya” – Al-Jumu’ah, 5).
     Pendeknya, persoalan ini dari setiap lapisan, tidak ada satu golongan pun yang tidak  ia (Al-Quran) beritahukan bagaimana cara untuk melakukan ishlah (perbaikan) terhadap diri  mereka”    Malfuzat, jld I, hlm. 39 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


DI DALAM AL-QURAN SUCI
TERDAPAT SELURUH KEBENARAN

  Ini adalah   suatu Kitab [yang selaras dengan] kudrat. Sebagaimana difirmankan: Fiyha  kutubun qayyimah   (di dalamnya ada perintah-perintah abadi” - Al-Bayyinah, 4), yakni, “ini adalah lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat seluruh kebenaran” Betapa beberkatnya Kitab ini, dimana di dalamnya terkandung segala sarana untuk mencapai  derajat yang paling tinggi.
       Akan tetapi disayangkan, sebagaimana tertera di dalam Hadits, bahwa akan datang  suatu zaman pertengahan yang merupakan zaman kebejatan (keburukan). Yakni Rasulullah saw. bersabda, bahwa zaman beliau adalah suatu zaman yang beberkat, dan ada suatu zaman yang merupakan zaman bagi Masih dan Mahdi yang akan datang”.   (Malfuzat, jld I, hlm. 39 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


BUKTI KEBERADAAN TUHAN &
 Al-MASIH DAN  AL-MAHDI

         ”Jika Rasulullah saw. tidak datang, jangankan kenabian, bukti Ketuhanan pun dengan demikian tidak akan diperoleh. Melalui ajaran beliaulah telah diketahui:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÈ
(“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.  Allah adalah Tuhan Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,  dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."  -  Al-Ikhlas, 2-5).
      Seandainya   di dalam Taurat terdapat ajaran demikian -- sedangkan Al-Quran hanya sekedar memperjelasnya saja -- lalu mengapa sampai  ada orang-orang Nasrani?     
    Ringkasnya, sejauh mana Al-Quran telah menunjukkan jalan-jalan ketakwaan serta telah mengajarkan cara untuk menjadi pewaris berbagai jenis manusia serta  berbagai macam orang yang berakal,  Al-Quran telah menunjukkan jalan bagi orang jahil (tuna ilmu/bodoh), bagaimana  caranya menjadi pewaris orang-orang berilmu dan filsuf  menjadi pewaris orang-orang berilmu dan filsuf,  dan Al-Quran telah memberikan jawaban atas seluruhnya.
  Masih dan Imam Mahdi bukanlah dua tokoh yang berbeda, melainkan yang dimaksud adalah satu orangnya. Mahdi itu artinya orang yang memperoleh petunjuk. Tidak ada yang dapat mengatakan bahwa Masih Mau’ud (yang dijanjikan) itu  bukanlah Imam Mahdi. Apakah Mahdi itu Masih ataukah tidak, bukanlah tugas  orang-orang Islam untuk mengingkari ke-Mahdi-an sang Masih.
Sebenarnya Allah Ta'ala menggunakan kedua kata tersebut sebagai tameng bagi caci­makian, bahwasanya dia itu bukanlah seorang kafir, sesat maupun menyesatkan, melainkan dia seorang  Mahdi  (yang mendapat petunjuk – pent.). Sebab Allah Ta’ala mengetahui bahwasanya Masih dan Mahdi yang akan datang itu bakal dikatakan dajjal dan sesat. Untuk itulah dia dinamakan Masih dan Mahdi.
  Kaitan Dajjal itu adalah dengan "Akhlada ilal ardhi – condong ke bumi” (Qs.7:177), sedangkan  Masih itu dengan rafa’ samawi (naik/diangkat). Jadi, apa-apa yang  telah diinginkan oleh Allah Ta'ala, kesemuanya itu akan sempurna hanya di dalam dua zaman. Yang pertama di zaman beliau (Rasulullah) saw., dan yang kedua di zaman Masih dan Mahdi. Yakni, di satu zaman telah turun Al-Quran serta ajaran yang benar. Akan tetapi ajaran ini telah diselubungi tabir pada zaman kebejatan (keburukan). Dan telah ditetapkan bahwa tabir penyelubung itu akan disibakkan pada zaman Masih.
  Sebagaimana difirmankan, bahwa Rasul Akram saw. telah melakukan pensucian diri terhadap sebuah Jemaat (kelompok) yang ada pada masa itu, yakni jemaat para sahabah, dan yang satu lagi adalah terhadap jemaat yang akan datang, yaitu yang mengenai mereka telah dikatakan:  "Lamma yalhaqu bihim    (“yang belum bergabung dengan mereka” -- Surah Al-Jumu'ah, 4).
      Nyatalah bahwa Allah Ta’ala   telah memberikan kabar suka  bahwa  Dia tidak akan membiarkan agama ini punah pada zaman kesesatan.  Bahkan Allah Ta’ala  akan membukakan rahasia-rahasia kebenaran Al-Quran pada zaman yang akan datang sesudah itu.
     Dari sekian tanda, salah satu di antaranya adalah  Masih yang akan datang itu mempunyai suatu kelebihan, bahwa dia memiliki pemahaman dan makrifat  yang mendalam sekali tentang Al-Quran, dan dengan hanya merujuk kepada Al-Quran dia  akan memperingatkan orang-orang tentang kesalahan-kesalahan yang timbul di kalangan mereka   karena tidak mengenal rahasia-rahasia kebenaran Al-Quran”.  (Malfuzat, jld I, hlm. 39-40 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

PERSAMAAN SILSILAH
MUSAWIYAH DAN MUHAMMADIYAH

 “Di dalam Al-Quran  [Allah Ta’ala] telah menyatakan Rasul Akram saw. sebagai matsil (misal) Musa, firman-Nya:
!$¯RÎ) !$uZù=yör& óOä3ös9Î) Zwqßu #´Îg»x© ö/ä3øn=tæ !$uKx. !$uZù=yör& 4n<Î) šcöqtãöÏù Zwqßu  
(“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu  seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus   seorang Rasul kepada Fir'aun”  Al-Muzzammil, 16).
Yakni, “Kami mengutus seorang rasul sebagaimana Kami telah mengutus Musa kepada Fir’aun.” Jadi, Rasul kita saw. adalah matsir (missal) Musa. Di tempat lain difirmankan:
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 Îû ÇÚöF{$# $yJŸ2 y#n=÷tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s%     
(“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia niscaya akan menjadikan mereka berkuasa khalifah-khalifah dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah” - An-Nūr, 56).
Yakni, silsilah para khalifah dari matsil (misal) Musa ini pun sama seperti silsilah para khalifah  Musa a.s.. Periode silsilah para khalifah Musa a.s.  adalah 1400 tahun. Selama periode tersebut secara teratur terus saja berdatangan khalifahnya.. Ini merupakan suatu  kabar gaib dari Allah Ta’ala, bahwasanya sebagaimana silsilah pertama itu bermula maka seperti itu pulalah silsilah ini bermuka, yakni sebagaimana Musa a.s. pada masa permulaan memperlihatkan sikap perkasa membebaskan bangsanya dari Fir’aun, maka seperti Musa a.s. jugalah Rasul yang bakal datang tersebut.
y#øs3sù tbqà)­Gs? bÎ) ÷Länöxÿx. $YBöqtƒ ã@yèøgs tbºt$ø!Èqø9$# $·7ŠÏ© ÇÈ   âä!$yJ¡¡9$# 7ÏÜxÿZãB ¾ÏmÎ/ 4 tb%x. ¼çnßôãur »wqãèøÿtB  
(Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara diri kamu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban, langit   menjadi pecah-belah pada hari itu.  Jjanji-Nya itu pasti terlaksana.” (Al-Muzzammil, 18-19).
Yakni, sebagaimana Kami telah mengutus Musa, maka pada masa Rasul Akram saw. pun orang-ortang kafir Arab itu penuh dengan sifat ke-fir’aun-an. Mereka pun seperti halnya Fir’aun tidak mau jera sebelum mereka menyaksikan tanda-tanda yang perkasa.
     Tugas Rasulullah saw. adalah seperti tugas-tugas Nabi Musa a.s.. Pekerjaan-pekerjaan Nabi Musa a.s. bukanlah pekerjaan yang dapat diterima (diakui), namun Quran Syarif telah membuatnya dapat diterima. Pada zaman Hadhrat Musa a.s. walaupun Bani Israil itu telah memperoleh keselamatan dari cengkeraman Firaun, akan tetapi mereka tidak selamat (terlepas) dari dosa-dosa. Mereka bertempur, dan hati mereka pun membelot serta menyerang Musa.
      Tetapi Nabi kita saw. telah memberikan keselamatan yang sempurna kepada umat beliau saw.. Seandainya Rasul akram (mulia) saw. tidak memberikan kekuatan, keperkasaan serta kekuasaan kepada Islam, umat Islam akan terus teraniaya serta tidak selamat dari tangan orang-orang kafir.  Pertama-tama Allah Ta'ala telah memberikan keselamatan berupa tegaknya kerajaan Islam yang utuh, dan  yang kedua adalah mereka memperoleh  keselamatan yang sempurna dari dosa-dosa.
     Allah Ta’ala  telah memaparkan kedua-macam gambaran, yakni bagaimana Arab sebelumnya dan bagaimana sesudah itu.  Seandainya kedua gambaran ini dibandingkan, maka akan dapat dibayangkan bagaimana keadaan yang pertama. Jadi, Allah Ta'ala telah menganugerahkan dua macam keselamatan kepada mereka, yakni telah selamat dari setan dan juga telah selamat dari thaghut.  (Malfuzat, jld I, hlm. 40-41 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

  PERBANDINGAN ANTARA  RASULULLAH SAW.
DENGAN AL-MASIH A.S.

  “Kejujuran (kebenaran) dan kesucian yang telah diperlihatkan oleh Rasulullah saw. saw. beserta para sahabat mulia beliau, dimanapun tidak akan ditemukan bandingannya. Untuk mengorbankan nyawa pun mereka tidak takut. Bagi Hadhrat Isa a.s. tidak ada pekerjaan yang sulit dan tidak pula ada pengingkar ilham saat itu. Apalah sulitnya memberikan pemahaman tentang persaudaraan kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi memang sudah membaca Taurat. Mereka beriman kepada Kitab itu, mereka mempercayai bahwa Tuhan itu Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kadang-kadang terpikir,  bahwa untuk apa sebenarnya Hadhrat Isa a.s. itu datang, sebab di kalangan Yahudi hingga saat ini  pun masih terdapat rasa cinta terhadap Taurat. Puncaknya dapat dikatakan bahwa, mungkin kelemahan akhlak terdapat di kalangan umat Yahudi,   tetapi pelajaran  sudah tidak ada di dalam Taurat.
Dalam kemudahan  dimana kaum itu mempercayai Kitab tersebut, Hadhrat Masih a.s. telah mempelajari Kitab itu dari seorang guru secara bertahap. Sebaliknya,  Junjungan kita [saw.] – syang merupakan Pembimbing sempurna – adalah seorang ummī (butahuruf). Beliau tidak mempunyai seorang guru pun, dan ini adalah suatu hal yang para penentang pun tidak dapat mengingkarinya.
Jadi, bagi Hadhrat Isa a.s. saat itu ada dua kemudahan. Pertama, adalah orang-orang masih satu persaudaraan, dan hal  penting yang diusahakan supaya mereka mengimaninya pun sudah mereka percayai sejak awal. Ya, memang ada beberapa kelemahan di bidang akhlak.
Akan tetapi walaupun ada kemudahan-kemudahan seperti itu para hawari (murid-murid Nabi Isa a.s.) tetap tidak betul. Mereka tetap saja tamak. Hadhrat Isa .a. punya uang dan sebagian hawari pun mencurinya. Bahkan beliau mengatakan,  “Aku tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaku.”.
Kita menjadi heran, apa maksud beliau berkata demikian, padahal rumah ada, tempat ada dan harta pun ada sedemikian rupa – samapi-sampai kalau dicuri pun tidak ketahuan. Jadi,  ini adalah suatu kalimat berupa kritikan. Hal itu maksudnya adalah untuk menyatakan, bahwa walaupun ada kemudahan-kemudahan, akan tetapi tidak bisa diadakan  ishlah (perbaikan). Memang Petrus memperoleh kunci-kunci surga, akan tetapi lidahnya tidak dapat dikontrol dari mengutuk gurunya sendiri.
Kini, sebagai perbandingannya, lihatlah secara adil, apa-apa saja pengorbanan yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat Pembimbing Sempurna kita saw. demi Tuhan dan Rasul mereka. Mereka telah diusir dari tanah-air mereka. Mereka mengalami penganiayaan. Mereka menanggung berbagai macam bala-musibah. Mereka mengorbankan nyawa mereka. Akan tetapi mereka tetap saja melangkah dengan penuh ketulusan dan kesetiaan.
Nah, apa yang membuat mereka sampai begitu hebat berkorban? Adalah karena gejolak kecintaaan Ilahi sejati, yang pancaran cahayanya telah menerpa relung hati mereka. Oleh karena itu dengan nabi manapun jika dibandingkan – yakni bagaimana ajaran beliau saw., bagaimana pensucian hati yang beliau lakukan, bagaimana beliau membuat  para pengikut beliau tidak tergila-gila kepada dunia, bertempur  dengan perkasa untuk kebenaran – maka tidak akan ditemukan bandingannya. Itulah derajat para sahabat Rasulullah saw..
Gambaran tentang kecintaan dan kasih-sayang antara sesama mereka telah diterangkan di dalam dua kalimat ini:
y#©9r&ur šú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4
(“dan yang mempersatukan hati mereka”  Al-Anfāl, 64)
Yakni, kecintaan yang terdapat di dalam diri mereka tidak akan dapat kalian ciptakan, walaupun untuk itu kalian telah menyerahkan gunung emas.
Nah, kini ada sebuah Jemaat Masih Mau’ud a.s. (Masih yang dijanjikan),  yang  memiliki corak-ragam para sahabah r.a..  Sahabah r.a. adalah suatu Jemaat suci yang mengenainya seluruh Quran Syarif penuh dengan sanjungan-sanjungan bagi mereka. Apakah kalian juga demikian? Jika Tuhan telah berfirman, bahwa yang akan menyertai  Hadhrat Masih itu adalah orang-orang yang menyatu dengan para sahabah, maka sahabah itu adalah orang-orang yang telah menyerahkan harta dan tanah-air mereka pada jalan kebenaran. Mereka telah meninggalkan segala sesuatunya.
Tentu saja kalian sering mendengar  tentang Hadhrat [Abu Bakar] Shiddiq Akbar r.a.. Suatu kali ketika diperintahkan untuk mengorbankan harta di jalan Allah, maka beliau mengangkut seluruh harta kekayaan beliau. Ketika Rasul Karim saw. menanyakan,  "Apa yang engkau sisakan di rumah engkau?” maka beliau r.a. berkata, “Aku hanya menyisakan Allah dan Rasul di rumahku.” Beliau adalah seorang rais (pemimpin) Mekkah, namun beliau mengenaikan pakaian para darwish, pakaian orang-orang miskin.
      Pahamilah,  bahwa mereka ini adalah orang-orang yang telah syahid di jalan Allah, dan bagi mereka telah dituliskan bahwa, “Di bawah  pedang itu terletak surga”.  Namun bagi  kita tidaklah seberat itu, sebab bagi kita dikatakan, "Yadha'ul Harbu". Yakni di zaman Imam Mahdi itu tidak akan ada peperangan.  (Malfuzat, jld I, hlm. 41-43 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

HAKIKAT PEPERANGAN ISLAM

Allah Ta'ala melakukan suatu pekerjaan atas dasar beberapa hikmah (kebijaksanaan), dan di masa mendatang tatkala pekerjaan itu menimbulkan hujat (kritikan), maka Dia tidak akan meneruskan pekerjaan tersebut.
Pada awalnya Rasul Akram kita saw. tidak ada mengangkat pedang, namun demikian beliau terpaksa menanggung penderitaan yang sangat berat. Tigabelas tahun sudah cukup untuk membuat seorang anak kecil menjadi baligh (dewasa). Dan bagi Hadhrat Masih a.s.,  jika jangka waktu tersebut dikurangi sepuluh bagian (tahun) pun sudah mencukupi bagi beliau.  
Pendeknya, dalam masa yang panjang itu segala macam penderitaan terpaksa harus dihadapi. Akhirnya beliau saw. pergi dari kampung halaman beliau. Beliau terus dikejar.  Beliau pun berlindung di daerah lain, tetapi musuh tetap tidak membiarkan beliau di sana. Dan tatkala keadaan sudah seperti itu, maka untuk menyelamatkan orang-orang teraniaya dari penganiayaan orang-orang zalim (aniaya) turunlah perintah ini:
tbÏŒé& tûïÏ%©#Ï9 šcqè=tG»s)ムöNßg¯Rr'Î/ (#qßJÎ=àß 4 ¨bÎ)ur ©!$# 4n?tã óOÏdÎŽóÇtR 퍃Ïs)s9 ÇÈ   tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB NÏd̍»tƒÏŠ ÎŽötóÎ/ @d,ym HwÎ) cr& (#qä9qà)tƒ $oYš/u ª!$# 3
(Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya,  dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,  [yaitu] orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata,  "Tuhan Kami hanyalah Allah" – Al-Hajj, 40-41).
Yakni, “Mereka telah diserang dengan semena-mena, mereka diusir dari rumah mereka dengan sewenang-wenang, hanya karena mereka telah mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah”.  Jadi, itulah yang menyebabkan telah diadakan (diizinkan) perang, selain dari itu beliau saw. tidak pernah mengangkat pedang.
     Ya, pada zaman kita ini pena telah dihunus dalam menentang kita. Melalui pena kita telah dibuat menderita dan diserang dengan keras. Oleh karena itu sebagai bandingannya senjata kita pun adalah pena.”   (Malfuzat, jld I, hlm. 43-44 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


GANJARAN DIDAPAT SESUAI DENGAN
QURUB (KEDEKATAN) DENGAN ALLAH TA’ALA

 ”Aku  sudah berkali-kali mengatakan, bahwa sejauh mana seseorang itu memperoleh kedekatan, maka sejauh itu pula dia akan mendapatkan perhitungan (ganjaran). Ahli-bait pun dahulu memiliki nilai yang besar dalam memperoleh perhitungan (ganjaran). Orang-orang yang jauh, mereka tidak layak untuk memperoleh perhitungan (ganjaran). Namun kalian harus, sebab jika kalian tidak memiliki keimanan yang lebih baik daripada mereka, maka apalah bedanya antara kalian dengan mereka?
  Kalian berada dibawah pemantauan ribuan  orang. Mereka bagaikan mata-mata pemerintah yang memperhatikan gerak-gerik kalian. Mereka benar. Tatkala para sahabat Masih a.s. sudah sewarna dengan  para sahabah radhiallāhu ‘anhum, apakah kalian juga demikian? Jika kalian tidak demikian, maka kelian berada dalam keadaan terancam (bahaya).
Walaupun ini merupakan kondisi awal, namun kita tidak bisa memperhitungkan maut (kematian), sebab  maut (kematian) adalah suatu  mutlak yang dihadapi oleh  oleh setiap orang. Jika memang demikian halnya, maka kenapa kalian teledor (lalai)? Kalau ada orang yang tidak menjalin hubungan denganku,  itu lain masalahnya, akan tetapi tatkala kalian sudah datang kepadaku, kalian telah menerima pengakuanku serta mempercayai bahwa aku adalah Masih, maka seakan-akan kalian telah menyatakan bahwa kalian adalah sama seperti para sahabah mulia r.a..  
Nah, apakah para sahabah r.a. pernah enggan untuk melangkah dengan penuh ketulusan dan kesetiaan? Apakah pada mereka terdapat kemalasan? Apakah mereka orang-orang yang menyakitkan hati? Apakah mereka tidak bisa  mengendalikan dorongan-­dorongan hati mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang senantiasa merendahkan diri? Bahkan di dalam diri mereka terdapat sikap merendahkan diri yang paling dalam sekali.
      Maka berdoalah, semoga Allah Ta’ala memberi taufik seperti itu kepada kalian. Sebab tidak ada seorang pun dapat menjalani kehidupan yang  hina  serta rendah hati selama Allah Ta’ala tidak membantunya. Simaklah diri sendiri, dan seandainya kalian menemukan diri kalian lemah bagaikan seorang bayi maka jangan takut. Bagaikan para sahabah, teruslah panjatkan doa   "Ihdinash-shirātal mustaqīm"  (bimbinglah kami pada jalan yang lurus - Al-Fatihah,  6)”.   (Malfuzat, jld I, hlm. 44-45 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


TAHAJJUD & DOA

    “Bangunlah di waktu malam dan berdoalah supaya Allah memperlihatkan jalan-Nya kepada kalian.  Para sahabat Rasulullah saw. pun telah memperoleh tarbiyat (pendidikan) secara bertahap. Bagaimana mereka itu sebelumnya? Adalah bagaikan penyemaian bibit [oleh] seorang petani, kemudian Rasulullah saw. mengairinya. Beliau saw. telah banyak memanjatkan doa bagi mereka. Benihnya bagus, dan tanahnya pun baik, maka akibat pengairan itu telah muncullah buah-buah yang bagus. Sebagaimana Rasulullah saw. berjalan, seperti itulah mereka berjalan. Mereka tidak menunggu siang atau malam.
      Bertobatlah kalian dengan hati yang benar. Bangunlah untuk tahajjud, berdoalah, luruskan (perbaikilah) hati. Tinggalkanlah kelemahan-kelemahan, dan buatlah ucapan serta amalan kalian bersesuaian dengan kehendak Allah Ta’ala.
     Yakinlah, bahwa barangsiapa senantiasa mengingat nasihat ini dan secara amalan nyata memanjatkan doa, dan secara nyata membawa permohonan (doa) ke hadapan Allah, maka Allah Ta’ala akan mengaruniainya, dan di dalam hatinya akan timbul perubahan. Janganlah kalian berputus­ asa terhadap Allah Ta’ala”.  (Malfuzat, jld I, hlm. 45 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK MENJADI
WALI (SAHABAT) ALLAH

“Sebagian orang mengatakan, “Apakah kita harus menjadi wali?” Sangat disayangkan, mereka sedikit pun tidak menghargai. Tidak diragukan lagi  bahwa manusia adalah untuk menjadi wali (sahabat Tuhan). Jika dia berjalan di atas  shiratal-mustaqim” (jalan lurus)  maka Tuhan pun akan bergerak menuju kepadanya. Dan kemudian pada suatu tempat (martabat) dia akan menemui-Nya. Gerakannya ke arah Allah Ta’ala – walau bagaimana pun pelahannya – namun  sebaliknya gerakan Allah Ta’ala akan sangat cepat. Ayat berikut ini mengisyaratkan kepada hal itu:
z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4    
(“Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunyuk kepada mereka”  - Al­-Ankabut,  70).
     Jadi, apa saja yang telah  aku wasiatkan pada hari ini ingatlah, bahwa hanya di situlah terletak najat (keselamatan). Hubungan kalian sebagai makhluk dengan Tuhan hendaknya sedemikian rupa, di mana di dalamnya benar-benar.  Ringkasnya,  dengan itu kalian harus menjadi bukti penyempurnaan ayat:
tûï̍yz#uäur öNåk÷]ÏB $£Js9 (#qà)ysù=tƒ öNÍkÍ5 4
(Dan Dia akan membangkitkannya di tengah-tengah suatu golongan lain di antara mereka yang belum pernah bergabung  dengan mereka” – Al-Jumu’ah, ayat 3).
(Malfuzat, jld I, hlm. 45-46 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

 
DUA SILSILAH: ISRAILI DAN ISMAILI

 “Ya, sebagaimana sebelumnya telah diterangkan, bahwa hikmah kamil (sempurna) Tuhan telah berkehendak untuk menegakkan dua silsilah di dunia ini, yaitu  Israili dan Ismaili. Silsilah pertama bermula dari Hadhrat Musa a.s. dan berakhir pada Hadhrat Masih a.s.. Silisalah tersebut berlangsung selama 1400 tahun. Demikian pula halnya bahwa masa Yang mulia Rasul  saw. hingga sekarang telah berjalan 1400 tahun, hal ini mengisyaratkan akan kedatangan seorang Masih.
 Salah satu hubungan khusus  yang terdapat dalam pada angka  14 adalah, bahwa manusia mencapai masa balighnya pada tahun ke 14. Hadhrat Musa a.s. memperoleh kabar bahwasanya Hadhrat Masih a.s. akan datang pada masa tatkala di kalangan umat Yahudi terdapat banyak firqah, terdapat pertentangan yang sengit di dalam masalah akidah-akidah mereka – sebagian mengingkari  adanya  wujud malaikat, sebagian mengingkari masalah Kiamat dan Kebangkitan.  Ringkasnya, tatkala perbuatan dan akidah-akidah buruk telah menyebar maka pada saat itu baru Masih akan datang kepada mereka sebagai  Hakam (Hakim).
Demikian pula halnya, Pemberi Petunjuk kita yang kamil saw. memberitahukan kepada kita, bahwa tatkala di kalangan kita telah timbul banyak firqah seperti di kalangan orang Yahudi,  dan seperti mereka, telah bermunculan berbagai macam akidah buruk serta perbuatan-perbuatan bejat, seperti kaum ulama Yahudi, sebagian telah mengafirkan sebagian lainnya, maka pada saat itu di dalam umat-marhumah (mulia) ini juga akan datang seorang Masih sebagai Hakam (Hakim), yang akan mengambil keputusan dari Quran Syarif atas setiap masalah. Dia, seperti Masih a.s., akan disengsarakan melalui tangan kaum (umat). Dia akan dinobatkan sebagai kafir.
      Seandainya orang-orang ini – atas ketidakpahaman mereka – menyatakan bahwa dia  itu dajjal dan kafir, maka memang harus demikian.  Sebab di dalam hadits telah tertera bahwasanya Masih yang akan datang itu akan dikatakan kafir dan dajjal. Akan tetapi akidah yang telah diajarkan kepada beliau benar-benar bersih dan bersinar. Ia tidak memerlukan  dalil-dalil lain lagi. Ia mengandung  burhan  (dalil-dalil) yang telak di dalam dirinya”.  (Malfuzat, jld I, hlm. 46-47 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


KEWAFATAN ALMASIH A.S.

Permasalahan pertama adalah mengenai kewafatan Al-Masih a.s.. Terdapat beberapa ayat yang secara nyata mendukung hal itu:
#Ó|¤ŠÏè»tƒ ÎoTÎ) šÏjùuqtGãB y7ãèÏù#uur ¥n<Î)
("Hai Isa, sesungguhnya aku akan mewafatkan engkau  dan mengangkat engkau kepada-Ku – Āli ‘Imran, 56).
(   $£Jn=sù ÓÍ_tGøŠ©ùuqs? |MYä. |MRr& |=Ï%§9$# öNÍköŽn=tã 4
(Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka” – Al-Maidah, 118).
 Kilah yang menyatakan bahwa kata tawaffi mempunyai makna yang lain lagi adalah suatu kedustaan. Ibnu ‘Abbas dan Pembimbing Kami (sempurna)  saw. sendiri mengartikan kata tersebut wafat. Orang-orang ini, di mana saja menggunakan kata tawaffi  maka maksud mereka adalah wafat dan pencabutan nyawa. Al-Quran pun di setiap tempat menerangkan makna kata tersebut demikian. Oleh karena itu tidak ada yang bisa mengubah hal tersebut.
      Tatkala kewafatan Al-Masih a.s. telah terbukti maka tentu yang akan datang itu adalah berasal dari umat ini juga. Yaitu sebagaimana yang diterangkan oleh hadits, “Imāmukum minkum” (imam kamu dari antara kamu). Orang-orang Necri (orang-orang   yang hanya mempercayai kenyataan alam; atheis – pent.), mereka beruntung bahwa mereka terhindar dari cobaan (ujian) ini, sebab mereka memang mengakui masalah kewafatan Al-Masih a.s..
      Keterangan mengenai Masih Mau'ud (Masih yang dijanjikan) begitu beruntunnya, sehingga tidak mungkin lagi untuk diingkari. Selain itu isyarat-isyarat Al-Quran pun memberikan kesaksian akan hal tersebut. Oleh karenanya seorang yang berakal tidak akan dapat mengingkari masalah kedatangan Masih”.   (Malfuzat, jld I, hlm. 47 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


HUBUNGAN ANTARA
AL-MASIH  YANG DIJANJIKAN
DENGAN ZAMAN INI

 “Ya, memang sebagian orang berhak untuk mengajukan keberatan, “Apa hubungannya antara Masih Mau’ud (yang dijanjikan) dengan zaman ini?”
Jawabannya adalah,  bahwa Quran Syarif secara terbuka memberikan isyarat mengenai adanya  persamaan antara khilafat yang terdapat di dalam silsilah Israili dan silsilah Ismaili. Hal itu nyata dari ayat berikut ini:
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßg¨ZxÿÎ=øÜtGó¡uŠs9 Îû ÇÚöF{$# $yJŸ2 y#n=÷tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s%
(dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih, niscaya Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah  di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka khalifah” – An-Nūr, 56).  
     Khalifah terakhir dari silsilah Israili yang datang 14 abad setelah kedatangan Hadhrat Musa a.s. adalah Al-Masih a.s., sebagai bandingannya maka sudah pasti bahwa Masihi umat ini pun akan datang pada abad ke 14.
 Selain itu, para ahli kasyaf telah menetapkan zaman ini sebagai zaman turunnya  Masih. Misalnya Hadhrat Syah Waliullah beserta para ahli-hadits  lainnya telah sepakat, bahwasanya tanda-tanda sekunder dan tanda-­tanda primer sampai batas-batas tertentu telah sempurna. Akan tetapi dalam hal itu ada sedikit kekeliruan mereka ……...
      Semua tanda-tandanya telah sempurna. Ciri-ciri ataupun tanda yang besar bagi Masih yang akan datang itu terdapat di dalam Hadis Bukhari: Yaksirus-saliba wa yaqtulul­khinzir (ia akan memecahkan salib dan membunuh babi). Yakni, tatkala sang Masih turun, pada saat itu kaum Nasrani dan penyembahan terhadap salib sedang merajalela. Nah, apakah saat ini bukan masanya? Apakah kemudaratan-kemudaratan yang telah dilakukan oleh para pendeta terhadap Islam pada saat ini ada taranya semenjak Nabi Adam hingga sekarang? Di seluruh negeri timbul perpecahan. Tak ada satu keluarga Muslim pun yang separuh dari anggotanya yang tidak keluar.
       Jadi, masa Masih yang akan datang itu adalah merupakan masa kejayaan penyembahan salib. Kini, apa lagi kemenangan yang lebih hebat dari mereka bahwa betapa mereka bagaikan binatang buas telah menyerang Islam dengan penuh kedengkian dan permusuhan? Apakah ada   dari kalangan penentang yang tidak membicarakan perihal Yang Mulia Rasul saw. dengan kata-kata kotor serta caci-makian?
Kini,  jika saat sekarang bukan merupakan waktunya bagi orang (Al-Masih) yang akan datang itu, maka secepatnya dia akan datang dalam jangka waktu 100 tahun ini, sebab dia merupakan mujaddid bagi zaman ini, yang masa kedatangannya adalah di penghujung abad.
     Apakah Islam pada saat ini masih memiliki kekuatan lagi yang cukup untuk menghadapi kemenangan para pendeta yang semakin hari semakin meningkat, hingga satu abad? Kejayaan mereka sudah sampai pada klimaksnya, dan orang yang akan datang itu pun telah  tiba! Ya, kini dia akan menghancurkan dajjal dengan pemenuhan segala hujjah (dalil/argumentasi), sebab di dalam hadits-hadits dikatakan bahwa di tangannya ditakdirkan kehancuran agama-agama lainnya -- bukan kehancuran manusia atau pun umat agama-agama  tersebut. Nah, demikianlah yang telah sempurna”.  (Malfuzat, jld I, hlm. 47-48 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

 
GERHANA MATAHARI DAN GERHANA BULAN

“Salah satu tanda bagi orang yang akan datang (Al-Mahdi) itu adalah, bahwa pada zaman itu di dalam bulan Ramadhan akan terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan. Orang-orang yang memperolok-olok Tanda dari  Allah Ta’ala berarti memperolok-olok Tuhan. Terjadinya gerhana matahari dan  gerhana bulan setelah adanya pernyataan (pendakwaan) diri dari orang itu adalah suatu hal yang sangat jauh dari kepalsuan maupun mengada-ada.
Sebelumnya tidak pernah terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan seperti itu. Itu adalah suatu tanda yang dengan perantaraannya Allah Ta’ala mengumumkan kepada seluruh dunia tentang orang yang akan datang (Al-Mahdi) tersebut, Bahkan, orang Arab pun berdasarkan  kecenderungan mereka membenarkan tanda ini.
   Di tempat mana saja selebaran-selebaran kami – yang merupakan pengumuman itu – tidak dapat sampai, maka gerahana matahari dan gerhana  bulan itulah yang telah mengumumkan ke sana perihal  tibanya orang yang akan datang itu (Al-Mahdi). Ini adalah Tanda Ilahi yang benar-benar suci dari rencana manusia.
Terserah falsafah apa pun yang dianut oleh seseorang, jika dia memperhatikan hal ini serta  merenungkannya -- bahwa tatkala Tanda yang  ditetapkan itu telah sempurna -- maka orang yang dijanjikan itu pasti sudah datang. Hal ini bukanlah masalah yang terjadi berdasarkan perhitungan belaka, melainkan sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa ia akan terjadi tatkala sudah ada seseorang yang  mendakwakan  diri sebagai Mahdi.
Rasul Akram saw. pun telah bersabda, bahwa semenjak Adam a.s. hingga  masa kedatangan sang  Mahdi itu, peristiwa yang demikian belum pernah terjadi. Jika ada yang dapat membuktikan hal seperti itu dari dalam sejarah, maka kami bersedia untuk mengakuinya”.   (Malfuzat, jld I, hlm. 48-49 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).


MUNCULNYA BINTANG BEREKOR

 “Salah satu Tanda lainnya adalah, bahwa pada saat itu akan muncul bintang berekor, yaitu bintang yang pernah muncul sebelumnya. Maksudnya adalah bahwa bintang yang pernah muncul pada zaman Al-Masih a.s., kini bintang itu pun telah muncul lagi. Bintang itulah yang telah mengabarkan kepada orang-orang Yahudi perihal kedatangan Al-Masih.
Demikian pula halnya dengan menelaah Al-Quran pun dapat diketahui [Tanda-tanda yang lain]:  
#sŒÎ)ur â$t±Ïèø9$# ôMn=ÏeÜãã ÇÈ   #sŒÎ)ur Þ¸qãmâqø9$# ôNuŽÅ³ãm ÇÈ   #sŒÎ)ur â$ysÎ7ø9$# ôNtÉdfß ÇÈ   #sŒÎ)ur â¨qàÿZ9$# ôMy_Íirã ÇÈ   #sŒÎ)ur äoyŠ¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß ÇÈ   Ädr'Î/ 5=/RsŒ ôMn=ÏGè% ÇÈ   #sŒÎ)ur ß#ßsÁ9$# ôNuŽÅ³èS ÇÈ    
(Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan,  dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, apabila sungai-sungai   dialirkan,   dan apabila jiwa-jiwa dipertemukan,  dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,  karena dosa apakah  ia dibunuh,  dan apabila lembaran-lembaran disebarluaskan” (At-Takwir, 5-11.).
      Yakni, pada zaman itu  unta-unta betina yang merupakan kendaraan dan alat pengangkut barang yang terbaik tidak akan bermanfaat lagi. Pada zaman itu system kendaraan sudah demikian rupa baiknya sehingga unta-unta betina tersebut tidak akan terpakai lagi, maksudnya, adalah  zaman kereta api.
      Orang-orang yang beranggapan bahwa aya-ayat tersebut hubungannya adalah dengan Hari Kiamat, mereka tidak berpikir bahwa bagaimana mungkin upada Hari Kiamat unta-unta betina dapat hamil, sebab yang dimaksud dengan ‘isyār adalah unta-unta  betina yang sedang hamil.
      Kemudian tertulis bahwa sungai-sungai akan disalurkan dari segala arah, lalu buku-buku akan diterbitkan dalam jumlah besar. Pendeknya, semua tanda-tanda itu adalah berkenaan dengan zaman sekarang”.  (Malfuzat, jld I, hlm. 49-50 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

TEMPAT TURUNNYA AL-MASIH MAU’UD
(ALMASIH YANG DIJANJIKAN)

 “Kini tinggal masalah tempatnya. Jadi, ingatlah, telah diberitahukan bahwa Dajjal itu akan muncul dari timur, yang maksudnya       adalah  negeri   kita (Hindustan/India -pent.).     Bahkan pengarang Kitab Hujajul Kiramah  menuliskan,  bahwasanya fitnah Dajjal tengah muncul di Hindustan, dan terbukti bahwa Al-Masih pun turun di tempat di mana ada Dajjal.
Kemudian, dusun itu pun dinamakan Qad’ah, yang merupakan singkatan dari Qadian. Mungkin saja di daerah Yaman pun terdapat dusun yang bernama seperti itu. Namun harus diingat bahwa Yaman bukan sebelah timur Hijaz melainkan di sebelah selatannya, dan dalam kenyataaannya di Punjab ini ada satu Qadian  yang terletak di dekat Ludhiana.
     Selain itu, ada pun nama yang  telah ditetapkan oleh takdir bagiku,  nama itu juga yang mengisyaratkan kepada hal tersebut, sebab berdasarkan nilai huruf, jumlah nilai yang terdapat di dalam nama Ghulam Ahmad Qadiani adalah genap 1300, yakni imam (puncak) dari nama  ini akan muncul di permulaan abad ke 14. Demikianlah bahwa isyarat yang diberikan Rasulullah saw. itu tertuju kepada hal ini.”  (Malfuzat, jld I, hlm.  50 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

TRAGEDI LANGIT DAN BUMI

 “Tragedi-tragedi pun merupakan suatu Tanda. Tragedi samawi (langit) telah mengambil bentuk dalam rupa bencana kelaparan, wabah pes, dan kolera. Wabah penyakit pes suatu azab yang sangat berbahaya, sehingga ia telah mengguncangkan pemerintah [Inggris]. Dan kalau sampai wabah tersebut merajalela, maka seluruh  penduduk  negeri ini akan punah.
Tragedi-tragedi dari  bumi  adalah dalam bentuk peperangan dan gempa,   yang telah menghancurkan negeri ini. Bagi seorang utusan (rasul) Allah adalah penting untuk memperlihatkan Tanda Samawi (langit) sebagai bukti akan dirinya. Ada satu Tanda  yaitu tentang Lekh Ram. Apakah Tanda itu masih tidak cukup?
 Sebagai suatu pertempuran,      sebuah  syarat  dipegang hingga beberapa tahun. Lima tahun lamanya  pertempuran   itu terus berlangsung. Kedua belah pihak masing-masing menyebarkan selebaran. Masalah itu pun menjadi masyhur dimana-mana. Begitu masyhurnya sehingga tidak mungkin ada bandingannya. Lalu demikianlah yang terjadi sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya. Apakah ada tara bandingannya peristiwa yang seperti itu?
Berkenaan dengan “Dharm Mahutsu” pun, beberapa hari sebelumnya telah diumumkan, bahwa Allah Ta’ala telah memberitahukan kepada kami, bahwsanya artikel kamilah yang akan unggul dari sekian artikel lainnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran besar tersebut mereka dapat merenungkan sendiri, bahwa mengeluarkan suatu pengumuman seperti itu sebelum tiba waktunya bukanlah suatu tebakan atau khayalan, kemudian demikianlah yang terjadi sebagaimana yang telah dikatakan.
    Wa ākhiru da’wanā ‘anil- hamdulillāhi rabbil ‘ālamīn.   
(Malfuzat, jld I, hlm.  51 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).



DUA  MACAM KEBUTAAN

     Buta ada dua macam, satu adalah buta jasmani,  dan yang satu lagi berhubungan dengan hati. Sebagaimana buta jasmani tidak ada pengaruhnya terhadap keimanan, tetapi kebutaan pada hati mempengaruhi keimanan. Itulah sebabnya sangat penting seseorang harus terus menerus berdoa kepada Tuhan dengan penuh kerendahan, sehingga Dia  menganugerahkan kepadanya kesadaran ruhani dan petunjuk  yang benar, dan menolongnya dari keragu-raguan (was-was) yang ditimbulkan setan.
Banyak keragu-raguan (was-was) yang ditimbulkan setan dalam hati. Yang paling berbahaya dan yang menjadi sumber kehancuran di dunia ini juga di akhirat adalah berhubungan dengan akhirat, karena sebagian besar amal baik dan kejujuran berhubungan -- bersama faktor­-faktor yang lain -- dengan keimanan kepada akhirat.
Ketika seseorang menganggap Akhirat tidak lebih dari dongeng, maka tidak diragukan lagi bahwa dia tidak akan diterima dan dia akan kehilangan keduanya.”  (Malfuzāt, jld. I, hlm. 51).


SEBUAH KASYAF

      ”Tujuanku menerangkannya saat ini adalah, dikarenakan hidup manusia tidak dapat diperhitungkan.  oleh sebab itu sekian banyak orang yang berkumpul di tempatku  saat ini, aku kira mungkin tahun depan [sebagian] tidak dapat berkumpul lagi. Dan pada hari-hari belakangan ini aku menyaksikan sebuah kasyaf yang menggambarkan bahwa sebagian orang [di antara hadirin] tidak akan ada lagi di dunia ini tahun depan. Namun aku tidak dapat mengatakan sispa-siapa saja yang dimaksudkan oleh kasyaf tersebut.      Dan aku mengetahui bahwa hal itu adalah supaya setiap orang dengan sendirinya bersiap-siap untuk perjalanan akhirat.
      Sebagaimana yang baru saja aku kemukakan, kepadaku  sudah diberitahukan nama-namanya, namun atas pemberitahuan  Allah Ta’ala, aku benar-benar mengetahui bahwa takdir itu memiliki suatu waktu. Dan pasti pada suatu waktu harus meninggalkan dunia fana (tidak kekal) ini. Oleh karena itu sangat penting untuk mengemukakan hal ini, supaya setiap orang dan segenap kawan yang hadir pada saat ini, jangan menganggap kata-kataku seperti kisah-kisah yang keluar dari mulut pendongeng, melainan  adalah [erkataan dari]  seorang wā’idz min jānibillāh (pemberi peringatan yang berasal dari Allah) dan ma’mur minallāh (orang yang diutus dari Allah), yang berkata-kata dengan sikap yang sangat peduli terhadap kebaikan dan kemaslahatan  hakiki serta dengan penuh solidaritas tinggi” (Malfuzat, jld. I, hlm. 51-52).



ALLAH TA’ALA

      ”Jadi, aku memberitahukan kepada teman-temanku, ingatlah baik-baik dan dengarlah dari kedalaman kalbu, serta berilah tempat di dalam hati, bahwa Allah Ta’ala --  sebagaimana telah membuktikan tentang wujud Tauhid-Nya dengan dalil-dalil yang kuat dan  mullah (?) – merupakan Wujud Yang Maha Tinggi dan merupakan Nur (Cahaya).     
      Orang-orang yang walau pun menyaksikan kekuasaan-kekuasaan dan  keajaiban-keajaiban Wujud Yang Mahakuat ini pun ternyata masih tetap menzahirkan keraguan dan kebimbangannya  mengenai Wujud-Nya, ketahuilah  bahwa sebenarnya mereka itu adalah orang- orang yang sangat malang.
     Allah Ta’ala Sendiri telah berfirman mengenai bukti-buktinya yang Mahakuat dan mengenai Wujud-Nya yang Mahakuat dan mengenai Wujudnya yang Mahakuasa:
  ôMs9$s% óOßgè=ßâ Îûr& «!$# A7x© ̍ÏÛ$sù ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (
(Berkata Rasul-rasul mereka,  "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta seluruh  langit dan bumi?” – Ibrahim. 11).
      Lihat, ini adalah satu hal yang sangat  jelas dan sederhana, yakni dengan  menyaksikan suatu ciptaan maka mau tidak mau harus diakui keberadaan Penciptanya. Dengan melihat sebuah sepatu bagus atau sebuah kotak, maka beriringan dengan itu  terpaksa diakui perlunya keberadaan si pembuatnya. Oleh karena itu sangat mengherankan, bagaimana mungkin bisa ada dalih untuk mengingkari Wujud Allah Ta’ala? Bagaimana mungkin dapat timbul pengingkaran terhadap Wujud Pencipta seperti itu? Yakni [Pencipta] Yang dengan ribuan keajaiban-Nya bumi serta langit ini dipenuhi?
       Oleh karena  itu pahamilah dengan seyakin-yakinnya, bahwa walau setelah menyaksikan keajaiban-keajaiban dan  ciptaan-ciptaan qudrat ini -- yang sedikit pun tidak mengandung campur-tangan kekuatan manusia dan kekuatan akal pikiran manusia --– jika ada orang bodoh yang meragukan Dzat dan Wujud Allah, maka berarti manusia …………….. dan ciptaan-ciptaan-Nya – adalah suatu kebutaan yang sangat besar.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 52-53).  


DUA MACAM KEBUTAAN

     Kebutaan itu terdiri dari dua macam. Pertama buta mata, kedua buta hati. Kebutaan pada mata  sedikit pun tidak memberikan pengaruh  pada keimanan, namun kebutaan pada hati menimbulkan pengaruh pada iman. Oleh karena itu hal ini penting, dan sangat penting agar setiap orang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala dengan penuh kerendahan hati dan penghambaan, supaya Dia menganugerahkan kepadanya makrifat sejati dan bashirat serta penglihatan hakiki.
       Banyak sekali kebimbangan yang ditimbulkan oleh setan. Kebimbangan dan  keraguan paling berbahaya yang timbul di dalam kalbu manusia, lalu membuatnya merugi di dunia dan di akhirat adalah kebimbangan mengenai akhirat. Sebab, sarana yang sangat besar bagi segenap kebaikan dan kebenaran, dibandingkan dengan sarana-sarana lainnya adalah iman terhadap akhirat. Dan ketika manusia menganggap akhirat serta hal-hal yang berkaitan dengan itu sebagai kisah dan dongeng belaka, maka pahamilah bahwa manusia itu telah ditolak dan dia telah  gagal di kedua alam ini.” (Malfuzat, jld,I, hlm. I, hlm. 53).


KEGUNAAN BERIMAN KEPADA AKHIRAT

      “Sebabnya adalah, rasa takut akan akhirat pun membuat manusia jadi takut dan kecut,  sehingga mau tidak mau menariknya ke arah  mata air sejati makrifat. Dan makrifat hakiki tidak dapat diraih tanpa rasa takut yang sungguh-sungguh, dan   tanpa rasa takut akan Tuhan. Oleh karena itu ingatlah, timbulnya kebimbangan akan akhirat, berarti meletakkan kehinaan (?) dalam bahaya, dan khatimun bil-khair (hasil akhir yang baik) akan menjadi berantakan.  
     Sekian banyak orang salih dan mutaki (bertakwa) yang berlalu di dunia ini – yang bangun di malam hari dan bersujud hingga  subuh – apakah kalian dapat beranggapan bahwa mereka banyak memiliki kekuatan-kekuatan jasmani? Dan bahwa mereka  merupakan orang­-orang yang sangat perkasa dan memiliki tubuh besar yang sangat kuat?
      Tidak. Ingat dan ingatlah baik-baik, bahwa pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan serta dapat dilakukan dengan mengandalkan kekuatan dan keperkasaan jasmani. Banyak orang yang kalian lihat, yang makan tiga sampai empat kali sehari, dan mereka menyantap makanan yang sangat enak, menu-menu yang menimbulkan tenaga serta  (makanan nasi minyak bercampur daging – pent.) dan sebagainya.
      Namun apa hasilnya? Sampai pagi mereka terus  menerus mendengkur, dan mereka senantiasa dikuasai kantuk. Mereka benar-benar tenggelam dalam tidur dan kemalasan, sampai-sampai salat Isya pun merupakan hal yang sangat sulit  bagi mereka. Lalu, bagaimana mungkin mereka akan rutin mendirikan shalat Tahajjud?” (Malfuzat, jld. I, hlm. 53-54).

PENTINGNYA KESIAP-SIAGAAN
MENGHADAPI PEPERANGAN

“Lihatlah para sahabat Rasulullah saw.,  apakah karena mereka pecinta kehidupan mewah yang menyebabkan mereka menang melawan musuh-musuh? Bukan,  bukanlah demikian. Bahkan dalam riwayat­-riwayat terdahulu diriwayatkan bahwa orang-orang ini beribadah kepada Tuhan di malam hari dan berpuasa di siang hari. Mereka menghabiskan malam-malam mereka dengan mengingat Tuhan. Ayat Al-Quran berikut ini menggambarkan  kehidupan mereka dengan lengkap:
ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur
dan
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#rçŽÉ9ô¹$# (#rãÎ/$|¹ur (#qäÜÎ/#uur
Yakni, “Kalian mensiagakan kuda kalian di perbatasan agar selalu terikat dan siaga, sehingga musuh-musuh kalian takut meliat  persiapan kalian seperti ktu”, dan . “hai orang-orang yang beriman, sabarlah dan tingkatkanlah kesabaran dan siagalah.”  
     Kata ribāt digunakan untuk kuda-kuda yang diikat dalam keadaan siap [untuk berperang].  Tuhan Yang Maha Perkasa  ­memerintahkan orang-orang yang beriman agar selalu siap siaga untuk mempertahankan diri mereka dari serangan musuh, dan kata  ribāt ini Dia gunakan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka harus  berada dalam siaga yang sempurna.
      Ada dua tugas yang dibebankan kepada mereka: menghadapi musuh dan berusaha meningkatkan ruhani. Buku kamus menyebutkan bahwa ribāt  berarti diri manusia dan juga hati manusia. Di sini perlu dicatat bahwa hanya kuda-kuda semacam itu   yang terbukti bermanfaat karena terlatih dan terpelihara baik.
      Dewasa ini [kuda-kuda] dilatih seperti anak-anak, dirawat  dengan penuh perhatian, sebab jika kuda-kuda  tidak terlatih maka pada gilirannya kuda-kuda akan terbukti tidak bermanfaat, bahkan mereka akan merugikan dan membahayakan. Hal itu juga menunjukkan,  bahwa manusia   (ribāt)  juga harus terdidik baik, dan mereka harus mampu mengikuti perintah Tuhan, karena jika mereka tidak seperti ini, mereka terbukti tidak berguna di medan pertempuran,  dimana manusia harus   melawan setan yang merupakan musuh yang  paling mematikan. Pertempuran ini berlangsung sepanjang umur.
     Sebagaimana di dalam pertempuran dan medan peperangan -- selain potensi (kekuatan) tubuh --  juga diperlukan kemampuan yang terlatih. Maka seperti itu jugalah jiwa-jiwa manusia membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang tepat untuk pertempuran  dan peperangan batiniah tersebut. Dan jika tidak demikian maka setan akan mengalahkannya, dan manusia akan sangat dihinakan.
     Misalnya, jika seseorang memiliki meriam, senjata, pistol dan sebagainya, tapi tidak tahu cara menggunakannya, maka dia tidak akan pernah  dapat menunaikan kewajibannya dalam melawan musuh. Demikian juga sebaliknya, jika seseorang memiliki panah, meriam, dan  persenjataan perang sekalipun, dan dia juga tahu cara menggunakannya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan pada tangannya maka orang itu pun tidak akan berhasil. Dari itu diketahui bahwa sekedar mempelajari cara penggunaan pun tidak akan berhasil dan bermanfaat selama belum melakukan olah fisik dan latihan, sehingga menimbulkan kekuatan pada lengan.
     Sekarang, jika seseorang mengetahui cara memainkan pedang, tetapi dia tidak terlatih, maka begitu dia masuk ke medan pertempuran dia akan menebaskan pedangnya tiga empat kali, dan akan mengayunkan tangann ya dua tiga kali, lalu lengannya menjeladi lemas dan dia benar-benar akan keletihan, dan akhirnya dengan sendirinya  kan menjadi mangsa bagi musuh.  
      Oleh karena itu pahamilah, dan pahami baik-baik bahwa sekedar memiliki pengetahuan, kemahiran dan pendidikan dangkal saja tidak berguna sedikit pun selama belum ada amal perjuangan  dan kerja keras. Lihatlah seorang panglima juga -- dengan pemikiran demikian --  tidak membiarkan bala tentaranya berdiam diri tanpa kegiatan. Bahkan pada masa-masa  aman pun dia  membuat latihan peperangan dan tidak membiarkan bala tentaranya duduk tanpa pekerjaan. Dan sudah menjadi kebiasaan bahwa latihan tembak menembak serta baris berbaris dan sebagainya dilakukan setiap hari.
     Sebagaimana baru saja aku jelaskan, bahwa untuk berhasil di medan pertempuran, di satu sisi dibutuhkan pendidikan dan pengetahuan cara-cara menggunakan persenjataan dan sebagainya, dan di sisi lain dibutuhkan latihan serta penggunaan yang tepat. Dan lebih lanjut dibutuhkan kuda-kuda perang yang terdidik dan terlatih, yakni kuda-kuda yang tidak takut mendengar suara letusan meriam dan senapan serta yang tidak akan mundur melihat debu yang berkecamuk, justru kuda-kuda itu akan maju ke depan.  Seperti itu jugalah jiwa-jiwa manusia tidak akan dapat berhasil di medan pertempuran  melawan musuh-musuh Allah tanpa latihan yang sempurna, tanpa kerja-keras, dan tanpa pendidikan yang hakiki” (Malfuzat, jld. I, hlm. 54-56).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar

Ahmadiyah