HUBUNGAN PERSAHABATAN DALAM DOA
”Saya sering kali menguraikan hal ini, dan saya kembali menjelaskannya secara ringkas. Yakni Allah Ta’ala ingin bersikap seperti sahabat kepada hamba-hamba-Nya. Di antara sahabat, senantiasa ada hubungan timbal-balik yang saling bergantian. Seperti itu pula terdapat suatu untaian dengan corak demikian di antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya.
Hubungan timbal-balik saling bergantian di sisi Allah Ta’ala adalah sebagaimana Dia mendengar dan menuruti (mengabulkan) ribuan doa hamba-Nya, menyelubungi aib-aib hamba-Nya, dan walaupun manusia merupakan makhluk hina tetapi Allah Ta’ala tetap melimpahkan karunia dan kasih-Nya, maka seperti itu pula merupakan hak-Nya agar manusia juga menuruti [kehendak] Allah. Yakni jika seorang manusia tidak sesuai keinginannya, tidak berhasil dalam doa maka dia hendaknya jangan berprasangka buruk terhadap Allah Ta’ala, melainkan dia hendaknya menyatakan kegagalan itu akibat suatu kesalahan tertentu, sehingga dia rela dengan lapang dada terhadap kehendak Tuhan-Nya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 196).
TAFSIR MENGENAI COBAAN
Ke arah inilah Allah Ta’ala telah memberikan isyarat:
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ÌÏe±o0ur úïÎÉ9»¢Á9$#
(dan sungguh akan Kami benar-benar berikan cobaan kepada kamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” – Al-Baqarah, 156).
Dari kata khauf (takut) diketahui bahwa akan ada rasa takut, dan rasa takut akibat akhirnya adalah baik. Dengan cara demikian terjadi penebusan terhadap dosa-dosa. Kemudian al-juu’i yakni kelaparan. Kadang-kadang sehelai pakaian sobek dan tidak ada gantinya. Yang digunakan adalah kata juu' dan kata 'athasya (haus) tidak dipakai di sini sebab haus termasuk dalam kata al-juu’i (lapar/kelaparan).
Naqshim minal amwaal (kekurangan harta). Kadang-kadang terjadi demikian, yakni dicuri oleh pencuri, dan kadang-kadang tidak tersisa sedikit pun bahan untuk makan pagi. Pikirkanlah, betapa kesusahan dan penderitaan yang dihadapi. Kemudian wa anfusi yakni kehilangan nyawa. Anak-anak meninggal dunia, sampai-sampai tidak tersisa seorang pun.
Dalam hal kehilangan nyawa-nyawa itu hal ini tercakup, yakni dia sendiri tetap hidup sedangkan orang-orang yang dikasihinya terus saja meninggal dunia. Betapa hebatnya rasa sedih saat itu. Hubungan saya dengan para sahabat saya adalah sedemikian rupa, yakni sanak-keluarga para sahabat itu pun merupakan sanak keluarga saya juga adanya.
Kepergian seorang sanak-keluarga menimbulkan kesedihan pada diri saya seperti kewafatan anak yang paling disayang bagi saya. Di dalam kata tsamaraat (buah-buahan) juga termasuk anak-keturuna, dan juga keberhasilan-keberhasilan setelah melakukan kerja keras. Dengan kehilangan itu terasa sedih sekali. Para peserta ujian jika tidak lulus sering terjadi bahwa mereka melakukan bunuh diri. Meningkatnya penyakit yang diderita Ayyub Beg juga karena ia tidak lulus dalam suatu ujian. Sebelumnya dia itu sehat dan kuat.
Ringkasnya, orang-orang yang ditimpa cobaan-cobaan semacam ini, Allah Ta’ala memberikan kabar suka kepada mereka, “Wa basysyirish- shaabiriin, yakni bagi orang-orang yang menanggung semua itu dengan penuh kesabaran terdapat kabar suka. Yaitu orang-orang yang ketika dilanda suatu musibah mereka mengatakan, “Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun (sesunggunnya kami kepunyaan Allah, dan sesungguhnya kepada Allah kami akan kembali).
Ingatlah, seseorang baru dapat menjadi hamba Allah yang khusus dan yang memperoleh qurub (kedekatan), apabila di dalam setiap musibah dia selalu mendahulukan [keridhaan] Allah.
Ringkasnya, satu bagian adalah Allah ingin agar hamba-Nya menuruti kehendak-Nya. Itu jugalah yang merupakan arti doa, yakni manusia menzahirkan keinginannya. Jadi kadang-kadang keinginan Allah Ta’ala hendaknya didahulukan, dan kadang-kadang Allah Karim memenuhi keinginan hamba-Nya.
Balasan yang lain adalah, “Ud’uuni astajib lakum (berdoalah kepada-Ku, akan Aku kabulkan bagi kamu” – Al-Baqarah, 187). Di situ tidak ada pertentangan. Tatkala aspeknya berbeda maka tidak timbul pertentangan. Pada aspek ini Allah Ta’ala menuruti [keinginan/doa] hamba-Nya” (Malfuzat, jld. II, hlm. 196-198).
MENDEKATLAH KEPADA TUHAN
”Kalian harus ingat, bahwa hanya jika seseorang meninggalkan kecerobohan dan perbuatan buruklah maka doanya diterima Tuhan. Semakin dekat dia dengan Tuhan semakin banyak doanya diterima (dikabulkan). Itulah sebabnya Tuhan berfirman:
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt
(“dan jika hamba-hamba-Ku bertangan kepada engkau tentang Aku maka [katakanlah] Aku dekat, Aku mengabulkan doa jika mereka berdoa kepada-Ku, maka mereka hendaknya menjawab-Ku dan beriman kepada-Ku, sehingga mereka dapat mengikuti jalan yang benar.” - Al-Baqarah, 186).
Di tempat lain Dia berfirman:
4¯Tr&ur ãNßgs9 Þ¸ãr$oYF9$# `ÏB ¥b%s3¨B 7Ïèt/
(“Bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu” – As-Saba, 53).
Yakni, “Bagaimana Aku mengabulkan doa orang yang jauh dari-Ku?”
Ini adalah pelajaran dengan contoh hukum alam, bukan berarti Tuhan tidak dapat mendengar. Dia sangat mengetahui niat-niat yang tersembunyi dalam hati, bahkan niat-niat yang belum timbul. Di sini sesungguhnya manusia diajak dekat kepada Tuhan. Dia telah diberi tahu bahwa sebagaimana suatu suara yang jauh tidak dapat didengar, demikian juga contoh seseorang yang ceroboh dan sibuk dalam perbuatan buruk jauh dari Tuhan. Semakin jauh dia pergi, semakin jauh jarak tersebut dan semakin tebal tirai antara dia dengan pengabulan doa.
Sebagaimana saya katakan, bahwa meskipun Tuhan Maha Mengetahui hal yang gaib, inilah hukum alam bahwa manusia tidak dapat memperoleh apa pun tanpa takwa. Kadang-kadang orang yang bodoh menjadi atheis (tidak percaya kepada adanya Tuhan). Hanya karena tidak terkabulnya doa.
Shahih Bukhari berisikan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa orang mukmin memperoleh kedekatan kepada Tuhan melalui nawafil (amal/ibadah tambahan).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 198).
HIKMAH NAFAL-NAFAL
”Ada satu bagian yang merupakan fardhu-fardu (ibadah-ibadah wajib), dan satu bagian lagi merupakan nafal-nafal (ibadah-ibadah tambahan), yakni ada satu bagian yang merupakan hukum-hukum yang wajib, sedangkan nafal-nafal adalah yang lebih dari fardhu-fardhu. Dan [nafal-nafal] itu diadakan supaya apabila terjadi kekurangan dalam melaksanakan fardhu-fatdhu tersebut maka kekurangan itu dapat dipenuhi melalui nafal-nafal.
Orang-orang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan nafal hanyalah nafal dalam hal salat saja. Tidak. Tidak demikian. Bagi setiap perbuatan terdapat nafal-nafalnya” (Malfuzat, jld. II, hlm. 198-199).
PELAKSANAAN NAFAL-NAFAL
“Manusia memberikan zakat, maka kadang-kadang ia memberikan yang lain di luar zakar. Di bulan Ramadhan ia berpuasa maka selain itu pun ia kadang-kadang berpuasa. Jika dia berutang maka dia mengembalikan utang itu dalam jumlah yang agak lebih, sebab orang yang meminjamkan telah bersikap peduli [terhadapnya].
Nafal-nafal itu berfungsi sebagai penyempurna fardhu. Pada waktu melakukan nafal di dalam kalbu timbul suatu kekhusyukan dan rasa takut, yakni semoga kekurangan yang telah terjadi dalam fardhu-fardhu itu sekarang dapat terpenuhi. Inilah rahasia bahwa nafal-nafal memiliki hubungan yang sangat besar dengan qurub (kedekatan) Ilahi. Yakni di situ timbul kekhusyukan dan penghambaan serta kondisi inqitha (terputus dari hal-hal selain Allah)…puasa enam hari di bulan Syawal merupakan nafal-nafal.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 199).
PENGARUH-PENGARUH YANG DITIMBULKAN
IBADAH NAFAL (TAMBAHAN)
”Jadi, ingatlah, kecintaan yang sempurna terhadap Allah diraih melalui nafal (ibadah tambahan). Akibatnya adalah Allah Ta’ala berfirman, “Aku menjadi mata bagi hamba-hamba muqarrab (yang mendekatkan diri) dan beriman seperti itu, yakni ke arah mana saja tertuju keinginan-Ku maka ke arah itulah penglihatan mereka menuju.”
Seorang shadiq (benar) selalu memperhitungkan maut (kematian) dan dia tidak lalai terhadap Allah. Firman-Nya, “Aku menjadi telinga mereka” mengisyaratkan, bahwa di mana saja terjadi penghinaan terhadap Allah atau terhadap Rasul-Nya, atau terhadap Kitab-Nya, maka mereka tidak suka dan beranjak dari tempat itu. Mereka tidak sanggup mendengarnya, dan mereka tidak mau mendengar hal apa pun yang menimbulkan kemurkaan Allah Ta’ala serta yang bertentangan dengan perintah-Nya. Mereka tidak mau duduk di dalam kelompok seperti itu.
Demikian pula mereka menjaga diri dari hal-hal yang bersifat fasiq (durhaka) dan jahat, serta dari pandangan-pandangan yang tidak suci serta dari suara-suara tidak suci yang berasal dari sajian nyanyian-nyanyian. Timbulnya pikiran buruk setelah mendengar suara dari pihak bukan-muhrim merupakan perzinahan telinga. Oleh karena itu Islam telah memberlakukan ketentuan pardah (tabir).
Ucapan Al-Masih a.s. agar tidak memandang dengan pandangan zina bukanlah suatu ajaran sempurna. Sebaliknya ajaran sempurna yang menyelamatkan [manusia] dari sumber dosa adalah:
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB ôMÏdÌ»|Áö/r&
(Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya” – An-Nur, 31).
Yakni, dengan pandangan apa pun hendaknya jangan dilihat, sebab kalbu tidak berada dalam ikhtiar kita. Betapa ini merupakan suatu ajaran yang sempurna.
Kemudian Dia berfirman, “Aku menjadi tangan mereka.” Kadang-kadang manusia menjadi sangat kejam. Allah berfirman bahwa tangan orang mukmin tidak akan melampaui batas-batas kewajaran tanpa alasan. Mereka tidak menyentuh yang bukan muhrim mereka.
Kemudian firman-Nya, “Aku menjadi lidah mereka.” Ke arah ini jugalah telah diisyaratkan, “Mā yantiqu ‘anil- hawā (dia tidak berkata menurut hawa-nafsu – An Najm, 4). Oleh karena itu apa pun yang disabdakan oleh Rasulullah saw. merupakan firman dari Allah Ta’ala. Dan mengenai tangan beliau telah difirmankan:
4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4
(“Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” – Al-Anfal, 18).
Ringkasnya, melalui nafal (ibadah tambahan) manusia meraih derajat dan qurub (kedekatan) yang sangat tinggi, sehingga mereka masuk ke dalam golongan para wali Allah. Kemudian firman-Nya, “ Siapa saja yang menjadi musuh bagi wali-Ku (Sahabat-Ku) maka Aku katakan kepadanya agar dia bersiap-siap untuk berperang dengan-Ku." Di dalam Hadits dikatakan bahwa Allah itu bagai singa betina, kalau ada yang mengambil anaknya maka dia akan menerkam.
Ringkasnya, manusia hendaknya senantiasa berusaha gigih untuk meraih derajat tersebut. Saat datangnya maut (kematian) tidak diketahui. Oleh karena itu adalah tepat bagi orang mukmin agar dia tidak lalai kapan pun, dan selalu takut terhadap Allah Ta’ala.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 199-200).
(199-202)
KEINGINAN UNTUK HIDUP LAMA
MERUPAKAN AKAN DOSA
”Kebanyakan keinginan untuk hidup lama merupakan bagian dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan. Wajib bagi sahabat-sahabat saya untuk setiap saat benar-benar menjalani waktu-waktu yang berharga ini dengan dalam keridhaan Sang Malik Hakiki. Itulah yang harus diraih, jika tidak maka mati pada hari ini dan misalnya 50 tahun kemudian tidak ada bedanya. Bulan dan matahari yang ada pada hari ini akan ada juga pada waktu itu.
Manusia yang berguna dan merupakan pengkhidmat agama Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala sendiri yang akan memberikan berkat dalam umur dan kesehatannya, serta tidak peduli sedikit pun terhadap keburukan yang ditimbulkan oleh orang-orang. Jadi, dalam setiap kondisi semua pekerjaan kalian hendaknya kalian lakukan dalam menyatu dengan Allah maka Allah Ta’ala Sendiri yang akan melindungi kalian.
Lebih 30 tahun lalu Allah Ta’ala telah memberitahukan kepada saya dengan kata-kata yang jelas bahwa, “Usia engkau akan mencapai 80 atau 2 atau 4 tahun lebih dari itu atau kurang dari itu.” Rahasia yang terkandung di dalamnya adalah bahwa tugas yang telah diserahkan kepada saya akan selesai dalam tempo sekian lama. Oleh karena itu saya tidak pernah risau mati apabila aku sakit.
Saya ingat sekali pohon-pohon yang di bawahnya aku selalu bermain pada usia 6 atau 7 tahun, pada hari ini beberapa pohon masih tetap rindang dan subur di tempat yang sama. Namun saya menyaksikan kondisiku yang terus menerus berubah. Kalian pun dapat membayangkan hal itu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 202).
(hlm. 202-203)
KESEDERHANAAN DAN KEPOLOSAN
“Ingat, selama belum ada kesederhanaan (kepolosan) seperti anak-anak, maka selama itu pula manusia tidak akan dapat menerapkan agama para nabi.” (Malfuzat, jld II, hlm. 203).
FONDASI KEHIDUPAN
“Setiap benda mempunyai tiang pondasi, dan tiang pondasi bagi kehidupan dan kesehatan adalah fadhal (karunia) Allah Ta’ala.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 203).
(hlm. 203-205)
RAMADHAN BULAN YANG BEBERKAT
Pada tanggal 15 Januari 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Bulan Ramadhann adalah bulan yang beberkat, bulan [untuk banyak memanjatkan] doa-doa.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 205).
(hlm. 205-206)
UTANG DAN ISTIGHFAR
Seseorang mengajukan permohonan doa untuk urusan utang-utangnya. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Banyak-banyaklah beristighfar, inilah cara bagi manusia untuk terlepas dari kesulitan (kesusahan). Selain itu istighfar merupakan kunci bagi keberhasilan-keberhasilan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 206).
MASIH MAU’UD DAN JEMAATNYA DI DALAM AL-QURAN
Pada tanggal 20 Januari 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Di dalam Quran Syarif terdapat empat surah yang banyak dibaca, dan di dalamnya termaktub tentang Masih Mau’ud dan Jemaatnya: (1) Surah Al-Fatihah yang dibaca setiap rakaat [salat]. Di situ terdapat bukti pendakwaan saya, sebagaimana yang akan dibuktikan dalam tafsir surah itu. (2) Surah Al-Jumu’ah, di dalamnya disebutkan ākharīna minhum (Al-Jumu’ah, 4), tentang Jemaat Masih Mau’ud. Surah ini dibaca setiap Jum’at, (3) Surah Al-Kahf, yang ditekankan sekali oleh Rasulullah saw. agar membacanya. Pada ayat pertama dan sepuluh ayat bagian belakangnya (terakhir) menyinggung tentang dajjal. (4) Surah terakhir Al-Quran (An-Nas) yang di dalamnya dajjal disebut sebagai khannas. Kata ini jugalah yang digunakan untuk dajjal di dalam Taurat bahasa Ibrani, yakni nahās. Demikian pula masih banyak uraian mengenai itu di tempat-tempat lainnya dalam Quran Syarif.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 206).
(hlm. 206-212)
KEMAJUAN YANG TAK TERHINGGA DALAM URGA
”Di surga pun bagi orang-orang mukmin terdapat kemajuan-kemajuan, demikian juga bagi para nabi pun terdapat kemajuan-kemajuan, sebab jika tidak kenapa shalawat dibacakan?
Pendapat saya adalah, kemajuan-kemajuan itu tak terhingga.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 212.
UPAYA SIA-SIA MEMANJANGKAN UMUR AL-MASIH
“Orang-orang banyak melakukan upaya yang sia-sia untuk memanjangkan umur Al-Masih a.s.. Apakah manfaat yang telah dihasilkan oleh umur singkat beliau itu, sehingga perlu diinginkan umur yang panjang? Dunia telah dipenuhi oleh penyembahan-penyembahan salib, dan di mana-mana kemusyrikan telah telah menyebar.
Ya, jika usia sepanjang itu memang memang mungkin diterima oleh seseorang, maka orang yang paling tepat untuk itu adalah Rasul Mulia saw., yang dalam jangka umur singkat saja beliau telah [berhasil] memenuhi dunia ini dengan para penjungjung Tauhid serta mengisi kalbu mereka dengan gejolak semangat sejati kecintaan Ilahi.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 213).
(213-219)
WARGA JEMAAT YANG LEMAH
”Saya nasihatkan kepada warga Jemaat saya, bersikap kasihlah terhadap orang-orang yang lemah dan masih mentah di antara kalian. Berusahalah untuk menghapuskan kelemahan mereka, dan jangan bersikap kasar terhadap mereka. Jangan terapkan akhlak buruk terhadap siapa apun, melainkan berilah pemahaman kepada mereka. Lihat, di kalangan para sahabah radhiallaahu ‘anhum dahulu juga terdapat beberapa orang munafik, namun tetapi saja Rasulullah saw. bersikap lemah-lembut terhadap mereka.“ (Malfuzat, jld. II, hlm. 219).
(219-226)
RUKYA & KASYAF MERUPAKAN KULIT
Sejak beberapa hari seorang pencari kebenaran datang kepada Hadhrat Masih Mau'ud a.s.. Dia berasal dari distrik Gujrat. Dia memaparkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.:
“Dari sejak awal saya merasakan dharm bao (unsur keruhanian) dalam diri saya. Dan bersesuaian dengan itu di dalam pemikiran-pemikiran saya, saya juga terus melakukan kebaikan-kebaikan. Namun saya merasa sangat menderita menyaksikan dunia dan orang-orang yang mencari dunia di sekeliling saya, dan di dalam diri sendiri pun saya menemukan gejolak yang tarik menarik.
Suatu kali saya sedang berjalan-jalan di tepi sungai Jhelum, tiba-tiba diperlihatkan kepada saya suatu pemandangan indah. Saya merasakan suatu kelezatan dan kenikmatan. Ke arah mana pun saya melemparkan pandang, yang saya temukan hanyalah ketenteraman. Dalam makan, minum, berjalan, kesana-kemari, ringkasnya dalam setiap gerakan yang terasa adalah keindahan dan keindahan.
Beberapa jam kemudian pemandangan itu pun hilang, namun sisanya masih terasa oleh saya sampai dua bulan, yakni pemandangan yang tingkatan dan kenikmatannya lebih rendah dari pemandangan tersebut. Pada waktu itu saya tenggelam dalam kerisauan yang aneh. Saya berusaha supaya saya mendapatkan kembali hal itu namun tak berhasil.
Dalam upaya mencari-cari itulah saya pergi ke Babu Abnaasy Candra Foreman Sahib di Lahore. Beliau adalah seorang anggota aktif Brahmu Samaj. Namun sayang, dia hanya dapat memberikan waktu beberapa menit saja, dan juga saya tidak dapat menemuinya di kantornya.
Kemudian saya pergi ke Pandit Shiva Nirain Satyanand Agni Hotri. Saya lihat, orang itu merasakan unsur keruhanian dalam kadar tertentu. Akhirnya saya sekitar dua bulan bekerja sebagai third master di high school mereka, dan saya terus saja melakukan perbaikan pada diri saya. Kepergian saya ke sana hanyalah dengan maksud supaya saya dapat membangun kehidupan saya.
Pada masa itu mulai tampak kembali oleh saya sedikit pemandangan ringkas namun saya tidak puas. Keindahan dan kenikmatan yang saya cari-cari itu tidak saya temukan. Walaupun saya ingin tinggal di sana dengan sabar namun karena sakit saya terpaksa pulang.
Suatu kali, di kota saya, saya mendengar Syekh Maula Bakhs Sahib membacakan artikel Tuan pada Jalsah Agama-agama Besar (di Lahore, yakni Islami Ushul Ki Filasafi (Falsafah Ajaran Islam), saya merenung dan berpikir secara mendalam. Suara beliau masuk ke telinga saya. Dengan luar biasa terasa di dalam jiwa saya bahwa di dalam tulisan itu terdapat cahaya, dan penulisnya pun tentu memiliki cahaya di dalam dirinya.
Saya telah membaca artikel itu beberapa kali, dan di dalam hati saya telah timbul keinginan untuk berkunjung ke Qadian. Namun dikarenakan masih hangatnya masalah pembunuhan Lekhram, jika saya menanyakan alamat [Tuan] kepada orang Islam, tentu tidak akan diberitahukan. Mungkin akan dianggap bahwa saya pergi hendak membunuh Mirza Sahib. Ringkasnya, di dalam hati saya timbul suatu gejolak. Kini keinginan saya telah terpenuhi, dan saya ingin membangun kehidupan saya, dan untuk tujuan itulah saya datang ke hadapan Tuan.”
Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Pada hakikatnya, manusia hendaknya jangan berhenti sebatas kulit dan lapisan luar saja, dan tidak pula manusia merasa cukup hanya sebatas kulit saja, melainkan dia ingin maju lebih ke depan. Sedangkan Islam ingin menyampaikan manusia pada inti dan ruh tersebut, yang memang dicari-cari oleh manusia secara fitrat. Namanya sendiri sudah sedemikian rupa, sehingga dengan mendengarnya maka di dalam ruh timbul suatu kelezatan.
Dari nama agama lainnya di dalam ruh tidak timbul suatu ketentraman. Misalnya dari nama Arya, ruhaniah apa yang yang timbul? Islam diciptakan untuk ketentraman, kedamaian dan dan ketenangan, yang untuk hal-hal itulah ruh manusia merasa lapar dan haus, supaya orang yang mendengar namanya, dapat mengerti bahwa orang yang mempercayai agama ini dengan hati jujur dan mengamalkannya, adalah orang yang mengenal Tuhan.
Namun masalahnya adalah, jika manusia berkeinginan supaya segala sesuatunya ini terjadi dalam seketika dan serta-merta derajat tertinggi makrifat Ilahi itu dapat dicapai, hal demikian tidak pernah terjadi. Di dunia ini setiap pekerjaan berlangsung secara bertahap. Perhatikanlah, tidak ada suatu ilmu dan kepandaian yang dapat dipelajari oleh manusia tanpa banyak berpikir dan tanpa banyak waktu. Adalah mutlak, supaya jenjang- jenjang itu ditelusuri secara berurutan.
Lihat, petani terpaksa harus menunggu setelah dia menanam benih dalam tanah. Pertama-tama, dia menanamkan benih yang disayangi itu ke dalam tanah, dan benih itu dapat saja dengan cepat hilang dimakan binatang atau ditelan tanah maupun oleh penyebab lainnya. Akan tetapi pengalaman memberikan ketenteraman kepada si petani, bahwa tidak akan terjadi demikian. Suatu waktu akan tiba bahwa benih yang diserahkan kepada tanah seperti itu akan tumbuh, dan sawah (kebun) itu akan tampak melambai-lambai serba hijau, dan benih yang dibenamkan di dalam tanah itu menjadi rezeki.
Kini, renungkanlah oleh Anda, untuk rezeki duniawi dan jasmani saja -- yang tanpanya manusia tidak akan dapat bertahan hidup sampai beberapa hari – membutuhkan waktu enam bulan. Padahal kehidupan yang bergantung pada rezeki jasmani itu tidaklah abadi, melainkan bakal punah. Lalu, rezeki ruhani yang merupakan makanan kehidupan ruhani – yang tidak pernah punah dan akan dilalui selamanya -- bagaimana mungkin dapat diraih dalam tempo dua atau empat hari saja?
Walau pun Allah Ta’ala berkuasa untuk melakukan sesuatu dalam seketika, dan kita percaya bahwa tidak ada suatu hal yang tidak mungkin bagi-Nya, Islam justru tidak memaparkan Tuhan yang demikian. Tidak seperti misalnya, parmisyer (Tuhan) yang dipaparkan oleh orang-orang Arya, yaitu [Tuhan] yang tidak dapat menciptakan ruh (jiwa), yang tidak dapat menciptakan zat dasar, dan tidak pula dapat memberikan ketenteraman hakiki serta keselamatan abadi kepada para pencarinya dan kepada orang-orang yang benar.
Tidak, melainkan Islam sajalah yang telah memaparkan Tuhan demikian, yaitu [Tuhan] yang tiada tandingan dan sekutu-Nya dalam hal qudrat (kekuasaan) dan kekuatan-kekuatan-Nya. Namun ya, hukum-Nya (ketentuan-Nya) adalah, setiap pekerjaan itu berlangsung secara teratur dan tahap demi tahap, oleh karena itu jika tidak sabar dan tidak berpraduga baik maka keberhasilan itu akan sulit.
Aku ingat, seseorang datang kepada saya, bahwa orang-orang suci terdahulu dapat menyampaikan [manusia] sampai ke langit dengan cara menjampinya. Saya katakan, “Anda keliru, tidak demikian hukum (ketentuan) Allah Ta’ala. Jika Anda mau membuat lantai di sebuah rumah maka pertama-tama adalah penting melakukan perbaikan terlebih dulu pada bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Dan dimana saja terdapat kotoran serta ketidakbersihan, akan dibersihkan dengan dengan menggunakan alat tertentu.
Ringkasnya, setelah melalui banyak upaya dan proses barulah akan layak untuk dibuat di atasnya lantai. Seperti itu pula, sebelum hati manusia layak untuk dihuni oleh Allah Ta’ala, [hati] itu merupakan singgasana setan dan berada di dalam kerajaan setan. Kini, untuk kerajaan yang berikutnya (Kerajaan Ilahi – pent.) adalah mutlak untuk menghancur-leburkan kerajaan setan.
Sangat malanglah nasib orang-orang yang berangkat untuk mencari kebenaran dan kemudian mereka tidak menerapkan sikap berpraduga baik. Lihatlah perajin keramik, apa saja yang harus dilakukan untuk membuat mangkuk keramik. Lihatlah tukang cuci ketika dia mulai membasuh pakaian yang penuh daki dan kotoran, betapa berat pekerjaan yang harus dia lakukan. Kadang-kadang pakaian itu direbus, kadang-kadang disabuni, lalu dengan berbagai cara dia mengeluarkan kotoran dan daki pakaian tersebut. Akhirnya kain itu bersih dan tampil putih.
Sekian banyak daki (kotoran) yang ada di dalamnya semua telah keluar. Tatkala untuk hal-hal kecil seperti itu saja terpaksa harus menerapkan sikap sabar, pmaka betapa bodohnya orang yang untuk memperbaiki hidupnya dan untuk perbaikan hidupnya serta untuk membersihkan kotoran-kotoran serta sampah kalbunya dia berkeinginan supaya semua itu keluar melalui penyemburan (jampi-jainpian) sehingga bersihlah kalbunya.
Ingatlah, sabar merupakan syarat untuk melakukan ishlah (perbaikan). Kemudian yang kedua, tidak akan berlangsung pensucian akhlak dan jiwa selama tidak hidup bergaul dengan insan yang berjiwa suci. Pintu pertama yang terbuka adalah hapusnya kekotoran tadi, sedangkan kotoran-kotoran yang memperoleh kesesuaian [di dalam diri manusia] akan tetap bertahan di dalam. Akan tetapi ketika dia memperoleh tariyaaqi shuhbat (pergaulan yang mengobati), maka kotoran-kotoran intern itu lambat-laun akan mulai lenyap, sebab Ruh Suci – yang dalam istilah Al-Quran Karim dinamakan Ruhul Qudus – tidak akan dapat terjalin hubungan dengannya selama tidak ada kesesuaian dengannya.
Saya tidak dapat mengatakan kapan hubungan itu terbentuk. Ya, hendaknya manusia menerapkan sikap fana (meleburkan diri) sebagai debu di jalan ini, dan tempuhlah jalan ini dengan penuh sabar dan teguh, akhirnya Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan upaya gigih sejati orang itu, dan Dia akan menganugerahkan nur serta cahaya kepada orang itu, yaitu [nur dan cahaya) yang memang dia cari-cari.
Saya menjadi heran dan tidak mengerti sedikit pun, mengapa manusia berani-beranian, padahal dia tahu bahwa Tuhan itu ada.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 226-227).
(230-276)
LATAR BELAKANG PENAMAAN AHMADI
Pada tanggal 22 Januari 1901 seseorang menyampaikan bahwa ada orang yang mengkritik tentang penamaan Ahmadi bagi Jemaat ini, yakni bahwa itu merupakan nama baru. Berlangsung perbincangan mengenai hal itu. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Orang-orang yang telah menamakan golongan mereka sendiri dengan nama Hanafi, Syafi’i dan sebagainya, semuanya itu merupakan bid’ah (mengada-ad), sebab Rasul Karim saw. hanya memiliki dua nama, Muhammad dan Ahmad. Nama besar Rasulullah saw. adalah Muhammad, sebagaimana nama besar Allah adalah Allah. Nama Allah memperoleh sifat dari sekalian nama lainnya seperti Hayyu, Qayyum. Rahmān, Rahīm dan sebagainya.
Nama Ahmad bagi Rasul Karim saw. adalah yang telah dipaparkan oleh Hadhrat Al-Masih a.s., “ Ya-ti min ba’di- ismuhu ahmad (akan datang sesudahku namanya Ahmad” – Ash-Shaf, 7). Kata mim ba'di (sesudahku) menunjukkan bahwa nabi itu akan datang sesudah beliau tanpa sela, yakni tidak ada nabi yang datang di antara Al-Masih dengan Ahmad. Hadhrat Musa a.s. tidak menggunakan kata itu melainkan dengan menyebutkan:
Ó£JptC ãAqߧ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& Ïqàf¡9$# 4 y7Ï9ºs öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöqG9$# 4
(“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka. Engkau melihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat” – Al-Fath, 30).
Beliau memberikan isyarat pada kehidupan Rasul Karim saw. di Madinah. Yakni, ketika sudah banyak orang mukmin yang menyertai Rasulullah saw., dan mereka berperang dengan orang-orang kafir. Hadhrat Musa a.s. menyebut Rasulullah saw. dengan nama Muhammad saw., sebab Hadhrat Musa a.s. sendiri dalam corak jalāl (keperkasaan), sedangkan Hadhrat Isa a.s. menyebut Rasulullah saw. dengan nama Ahmad, sebab Isa sendiri juga selalu dalam corak jamāli (kelembutan). Dikarenakan Jemaat saya ini berada di dalam corak jamāli karena itu dinamakan Ahmadi.
Jum’at merupakan hari penciptaan Hadhrat Adam a.s., dan inilah hari yang beberkat. Namun Umat sebelumnya telah keliru, ada yang memilih hari Sabtu, ada. yang memilih hari Minggu. Hadhrat Rasul Karim saw. telah memilih hari yang sebenarnya. Seperti itu pula firqah-firqah Islam telah melakukan kekeliruan. Ada yang menamakan [golongan] golongan mereka Hanafi, ada yang menamakan Syi’ah, dan ada yang menamakan Sunni. Namun Rasul Karim a.s. hanya memiliki dua nama: Muhammad dan Ahmad shallallaahu ‘alaihi wa salam, dengan demikian hanya bisa ada dua golongan saja dalam Islam: Muhammadi dan Ahmadi. Ada pun Muhammadi ketika berlaku penjahiran jalāl (keperkasaan), sedangkan Ahmadi ketika berlaku penjahiran jamāl (kelembutan)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 208-209).
Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda:
”Banyak-banyaklah beristighfar, hal itu akan membuat dosa-dosa menjadi diampuni. Allah Ta’ala pun akan menganugerahkan anak. Ingatlah, keyakinan adalah suatu hal yang sangat penting. Seseorang yang sempurna dalam hal keyakinan maka Allah Ta’ala Sendiri yang akan menolongnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 209).
TAWAKAL KEPADA ALLAH
Pada tanggal 12 Februari 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Saya sedemikian rupa bertawakkal kepada Allah sehingga saya tidak memanjatkan doa bagi diri saya sendiri, sebab Dia itu benar-benar mengetahui keadaan saya. Ketika orang-orang kafir memasukkan Hadhrat Ibrahim a.s. ke dalam api maka para malaikat datang dan bertanya kepada beliau, “Apa yang engkau butuhkan?” Hadhrat Ibrahim a.s. bersabda, "Balaa walaakin ilaikum – ya memang ada yang dibutuhkan, tetapi tidak perlu saya sampaikan di hadapan kalian.” Para malaikat berkata, “Baiklah, berdoa sajalah di hadapan Allah Ta’ala.” Hadhrat Ibrahim a.s. bersabda, “Dia itu begitu mengenal keadaan saya sehingga tidak perlu lagi saya memohon kepada-Nya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 209-210).
COBAAN DAN ORANG-ORANG KESAYANGAN ALLAH
Pada tanggal 14 Februari 1901 berlangsung perbincangan bahwa orang-orang mukmin (beriman) mengalami penderitaan-penderitaan dan cobaan. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan maksudnya untuk menikahkan putrinya dengan Rasulullah. Dari sekian penjelasannya tentang putrinya itu dia juga mengatakan bahwa usianya sudah sekian tetapi sampai saat itu tidak pernah sakit. Rasulullah saw. bersabda bahwa, “Orang-orang yang merupakan kesayangan Allah pasti mengalami penderitaan-penderitaan yang berasal dari Allah.”
Salah seorang di antara yang hadir saat itu mengatakan, bahwa ia mengalami banyak penderitaan dari para penentang. Orang itu pun menceritakan keadaan yang dialaminya. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Banyak sekali penderitaan yang anda alami. Hal ini merupakan sesuatu yang patut dipuji pada diri anda. Seberapa banyak manusia mengalami cobaan, sebanyak itu pula ia akan memperoleh hadiah. "Inna ma'al 'usri yusraa — “sesungguhnya beserta kesukaran ada kemudahan” (Al-Insyirah, 7).” (Malfuzat, jld. II, hlm.210).
SIKAP LEMBUT TERHADAP PARA PENENTANG
”Hendaknya jangan memperlihatkan emosi dalam menghadapi para penentang, khususnya bagi yang masih muda. Saya menasihatkan kepada mereka, adalah penting agar kalian cepat-cepat datang kepada saya. Tidak tahu berapa lama kalian akan hidup sesudah saya. Banyak sekali manfaat dengan hidup di dekat saya. Jika manusia mengarahkan perhatiannya kepada Allah, maka dia menjadi suatu perwujudan tafsir (penjabaran), dan dengan hidup dekat maka banyak sekali hal yang disaksikan dan dipelajari oleh manusia.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 210-211).
SIFAT-SIFAT ALLAH YANG JAMĀLI
“Intisari seluruh Al-Quran Syarif adalah “Bismillāhirahmānirrahīm”t, dan sifat-sifat Allah Ta’ala yang sebenarnya adalah Jamaali (lembut/indah), dan nama asli Allah adalah Jamaali, orang-orang kafirlah yang melalui perbuatan-perbuatan mereka membangun hal-hal yang kadang-kadang mengakibatkan [Dia] terpaksa memperlihatkan bentuk Jalaal (keperkasaan).
Pada saat ini dikarenakan [aspek Jalaal] itu tidak diperlukan, maka saya datang dalam corak jamaali.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 212-213).
BERGABUNG SHALAT PADA SAAT RUKUK &
MEMBACA SURAH AL-FATIHAH
Pada tanggal 16 Februari 1901 sedang berlangsung perbincangan mengani orang yang bergabung salat ketika sudah mulai rukuk, apakah baginya terhitung satu rakaat atau tidak? Hadhrat Masih Mau’ud a.s. meminta pandangan para maulwi (ulama) lainnya, maka dipaparkan pendapat berbagai firqah mengenai hal itu. Akhirnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberi keputusan dan bersabda:
“Akidah saya adalah, “Laa shalata maa bifaatihatil-kitaab (Tidak ada shalat tanpa surah Al-Fatihah), tidak peduli apakah seseorang itu di belakang imam atau sendirian. Di setiap kondisi ia hendaknya membaca surah Al-Fatihah. Namum imam hendaknya jangan cepat-cepat membaca Surah Al-Fatihah, melainkan bacalah dengan perlahan-lahan supaya para makmum dapat mendengar dan membaca sendiri. Atau, setelah setiap ayat imam berhenti dalam jangka waktu sekian, sehingga makmum pun selesai membacanya.
Ringkasnya, kepada makmum hendaknya diberikan peluang untuk mendengar dan juga membacanya sendiri. Membaca surah Al-Fatihah adalah mutlak, sebab ia merupakan Ummul-Kitab (induk Kitab). Namun seseorang yang walau sudah berusaha untuk bergabung dalam salat dan ia bergabung pada waktu rukuk –serra tidak sempat membaca surah Al-Fatihah – maka baginya sudah dihitung satu rakaat, walaupun dia tidak membaca surah Al-Fatihah, sebab di dalam hadits disebutkan bahwa seseorang yang bergabung ketika rukuk maka baginya sudah terhitung satu rakaat.
Permasalahannya ada dua macam. Di satu tempat Hadhrat Rasul Karim saw. telah bersabda dan menekankan, bahwa harus membaca surah Al-Fatihah di dalam salat, sebab surah Al-Fatihah merupakan Ummul Kitab, dan itulah salat yang sebenarnya. Namun seseorang yang walaupun sudah berusaha serta menyegerakan dirinya untuk bergabung dalam salat, lalu dia bergabung ketika rukuk, maka dikarenakan dasar agama adalah kemudahan dan kelunakan, baginya Hadhrat Rasul Karim saw. bersabda bahwa untuknya telah terhitung satu rakaat. Tidak berarti bahwa orang itu mengingkari surah Al-Fatihah, melainkan karena terlambat tiba maka dia dia mengamalkan keringanan tersebut.
Allah Ta’ala telah menjadikan kalbu saya sedemikian rupa, sehingga merasa berat untuk melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan, dan kalbu saya tidak ingin melakukannya. Dan ini sudah jelas, ketika seseorang memperoleh sepenuhnya tiga bagian, sedangkan satu bagian tidak terkejar karena terlambat oleh alasan yang tak terhindarkan maka tidak mengapa. Manusia hendaknya mengamalkan keringanan.
Ya, seseorang yang secara sengaja berikap malas dan berlambat-lambat untuk bergabung dalam [salat] berjamaah maka salatnya itu sendiri tidak benar.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 214-215).
SHALAT DI BELAKANG ORANG GHAIR AHMADI
Seseorang bertanya: "Orang-orang yang bukan pengikut Tuan, mengapa Tuan melarang para pengikut Tuan untuk tidak salat di belakang mereka?" Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda:
“Orang-orang yang menolak Jemaat saya dengan prasangka buruk – yaitu Jemaat yang telah didirikan oleh Allah Taala ini – dan mereka tidak peduli terhadap sekian banyak Tanda serta tidak peduli terhadap musibah-musibah yang dialami oleh Islam, mereka adalah orang-orang yang tidak bertakwa. Dan Allah Taala berfirman di dalam Kalam Suci-Nya: “Innama yataqabbalullaahu minal- muttaqiin – (sesungguhnya Allah menerima dari orang-orang yang bertakwa – Al-Maidah, 28)., yakni Allah hanya mengabulkan (menerima) salat orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu dikatakan janganlah salat di belakang orang-orang yang salat mereka sendiri tidak mencapai derajat pengabulan.”(Malfuzat, jld. II, hlm. 215).
PERMAINAN CRICKET
Tanggal 15 Februari 1901 sedang berlangsung pertandingan cricket di antara para pelajar Madrasah Ta’limul Islam, Qadian. Sebagaian orang tua pun turut hadir di lapangan untuk memberikan dukungan.
Salah seorang putera Hadhrat Masih Mau’ud a.s. karena keluguannya sebagai anak kecil bertanya kepada beliau, “Ayah, mengapa ayah tidak pergi melihat cricket?” Saat itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sedang menulis tafsir surah Al-Fatihah. Beliau bersabda:
“Mereka itu setelah main akan pulang kembali, namun ayah sedang bermain “cricket” yang akan tetap berlangung sampai Hari Kiamat.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 215).
MENENTANG KEBENARAN DAN HANCURNYA IMAN
”Sejak awal, para tokoh agama berakidah, bahwa seseorang yang menentang kebenaran maka perlahan-lahan imannya akan hancur. Barangsiapa tidak percaya kepada Rasul Allah a.s. dia adalah kafir. Demikian juga barangsiapa yang tidak percaya kepada Mahdi dan Masih imannya akan hancur. Akibat akhirnya akan sama saja. Pertama-tama melakukan penentangan, kemudian menjauh, lalu permusuhan, kemudian melampaui batas dan akhirnya kehancuran iman.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 216).
(216-217)
KONDISI ORANG YANG DEKAT DENGAN ALLAH
”Pekerjaan menulis tafsir [surah Al-Fatihah] telah selesai, dan saya menginginkan beristirahat dua tiga hari sebelum memulai pekerjaan penting lainnya, namun hati tidak menghendaki duduk menganggur.
Di dalam [kitab] Matsnawi Maulana Rum (Jalaluddin Rumi) tertulis, bahwa terdapat suatu penyakit dimana manusia menginginkan untuk setiap saat duduk-duduk saja tanpa kerja. Kondisi orang yang dekat dengan Allah adalah dia tidak dapat duduk diam. Kadang-kadang Allah Ta’ala menurunkan suatu kerja keras atas mereka, dan kadang-kadang mereka sendiri yang membuat kesibukan sedemikian rupa sehingga [kondisi] kerja keras turun atas mereka.
Sungguh suatu hal yang sangat beberkat apabila manusia senantiasa melakukan suatu pekerjaan demi Allah. Barangsiapa melewati suatu hari tanpa pekerjaan berarti dia melaluinya dalam kedukaan. Tidak ada yang lebih banyak dapat diraih oleh manusia di dunia daripada melakukan pekerjaan demi Allah, dan Allah Ta’ala akan membukakan jalan baginya serta akan memberikan pertolongan kepadanya.
Namun tanpa ketulusan segenap kerja-keras itu sia-sia saja. Hendaknya lakukanlah pekerjaan itu murni untuk Allah. Jangan sampai timbul maksud lain di dalamnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 218-219).
(hlm 219-222)
SETUMPUK CACI MAKI &
SIKAP KASIH-SAYANG TERHADAP PARA PENENTANG
“Saya bersedia jika [para penentang] berdamai dengan saya. Pada saya terdapat satu keranjang yang dipenuhi kertas-kertas berisikan caci-maki. Ada satu lembar yang baru saja datang, dan itu pun sudah saya masukkan ke dalam keranjang itu. Namun semua itu saya biarkan.
Walaupun terhadap Jemaat saya terdapat rasa kasih (peduli) yang khusus dari saya, tetapi saya bersikap kasih kepada semua pihak, dan saya terhadap penentang pun ada rasa kasih (peduli). Seperti halnya seorang tabib (dokter) memberikan secangkir obat kepada seorang pasien supaya sembuh, tetapi si pasien marah dan memecahkan cangkir tersebut, maka tabib (dokter) menyayangkan hal itu dan bersikap kasih terhadapnya.
Ada pun kata-kata keras yang muncul dari pena (tulisan) saya (tulisanku) terhadap para penentang, itu semata-mata dengan niat baik, seperti seorang ibu yang melontarkan kata-kata keras terhadap anaknya, namun hati ibu itu dipenuhi oleh rasa perih. Di sisi Allah, urusan seorang yang benar dan seorang pendusta tidak sama. Seseorang yang mendapat curahan pandangan kecintaan dari Allah Ta’ala maka perlakuan terhadapnya tidaklah sama dengan perlakuan terhadap orang lain. Apakah perlakuan-Nya dalam satu corak yang sama terhadap semua orang? [Tidak]” (Malfuzat, jld. II, hlm. 222-223).
KESALAHAN IJTIHAD
Pada tanggal 28 Februari 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Kesalahan ijtihad (mengambil kesimpulan/penafsiran) terjadi pada diri semua nabi, dan kita semua termasuk di dalamnya, hal ini penting supaya manusia tidak menjadi Tuhan.
Lihat orang-orang Yahudi dengan sangat gencar melontarkan kritikan mengenai Hadhrat Isa a.s., yakni beliau mengatakan bahwa beliau datang membawa kerajaan namun ternyata hal itu terbukti keliru. Mungkin saja Hadhrat Masih a.s. pada saat itu berpikir bahwa beliau memang akan menjadi raja. Bahkan pedang-pedang pun sempat dibeli dan dikumpulkan. Namun itu merupakan kesalahan ijtihad beliau. Sesudah itu Allah Ta’ala memberitahukan kepada beliau dan beliau pun menyatakan bahwa kerajaan beliau adalah kerajaan ruhani.
Kepolosan (keluguan) merupakan suatu kebanggaan yang terdapat pada diri manusia. Segala sesuatu yang telah diucapkan oleh Hadhrat Isa a.s., itu beliau ucapankan dengan kepolosan. Hal itu tidak menimbulkan kondisi memalukan maupun yang menghinakan beliau.
Demikian pula pertama-tama Rasulullah saw. pun mengira bahwa hijrah akan dilakukan ke Yamamah. Namun ternyata hijrah dilakukan ke Madinah Thayyibah. Dan mengenai [mimpi tentang] anggur, beliau saw. mengira bahwa itu untuk Abu Jahal, tetapi belakang diketahui bahwa itu adalah untuk Ikrimah, [anaknya].
Pengetahuan para nabi juga mengalami peningkatan secara bertahap. Untuk itulah di dalam Quran Syarif tertera: “Qul Rabbi zidniy ‘ilman (katakanlah, “Ya Tuhan-ku tambahkanlah kepadaku ilmu” – Thā Hā, 115). Merupakan kehebatan dan kesucian kalbu beliau sehinggaa Rasulullah saw. mengakui kesalahan beliau itu. Dalam hal ini sedikit pun tidak ada kehinaan bagi para nabi.
Seorang dokter mengobati ribuan pasien. Jika di antara pasien itu ada satu orang yang mati maka tidak menimbulkan apa-apa. Hal itu tidak menimbulkan noda sedikit pun pada kemampuannya mengobati Kadang-kadang hafiz Quran (orang yang hafal Al-Quran dan menjadi imam shalat) juga dibantu dari belakang oleh makmum. Nah, dari itu tidak dapat dikatakan bahwa dengan demikian dia tidak dapat lagi menjadi hafiz. Hal-hal yang berlaku secara berkesinambungan terus-menerus dan dalam jumlah besar, dari situlah ditetapkan suatu makna.” (Malfuzat, jld./ II, hlm. 224).
KEIKHLASAN TIDAK AKAN DISIA-SIAKAN
”Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang ikhlas. Hadhrat Rasul Karim saw. dilahirkan di lingkungan belantara (padang pasir), kemudian banyak sekali sarana yang telah disediakan oleh Allah. Mengendalikan satu orang saja, adalah pekerjaan yang sulit. [Namun] berapa banyak orang yang telah menyertai beliau saw.?
Mengenai diri saya, ada wahyu Allah Taala: "Baodsyah tere kaprung se barkat dhundhengge — “raja-raja akan mencari berkat dari pakaian engkau." Tentu orang-orang yang menjadi pengikut sajalah yang akan berbuat demikian.
Lihatlah di zaman sekarang ini, betapa hebatnya orang-orang menghina, namun pahala (ganjaran) yang berlaku di zaman ini tidak akan muncul di masa lain.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 225).
SALAT SANGAT ERAT KAITANNYA
DENGAN DOA DAN KETULUSAN
Pada tanggal 1 Maret 1901,Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Salat sangat erat kaitannya dengan doa dan ketulusan. Kedengkian tidak dapat menyatu dengan orang-orang mukmin. Kecuali [dengan] orang-orang mutaki (bertakwa), hendaknya jangan menodai salat dengan bermakmum di belakang orang lain.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 225).
(225-242)
HUBUNGAN HAKIKAT DAN MAKRIFAT DENGAN ILMU
“Ingatlah, hakikat dan makrifat [itu] hubungannya dengan ilmu. Semakin luas makrifat, semakin terbukalah hakikat-hakikat. Untuk itu, sewaktu melakukan penyelidikan-penyelidikan sucikan dan bersihkanlah hati. Seberapa banyak hati itu suci dari prasangka (kedengkian) dan egoisme mak sebanyak itu pulalah maksud (makna) sebenarnya akan dapat dipahami.
Adapun perbedaan antara nur (cahaya) dan kegelapan, manusia yang paling bodoh pun mengetahuinya. Perkara yang benar dan sahih adalah satu juga adanya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 242) .
(hlm. 242-248)
JANGAN TERGESA-GESA MENILAI ORANG LAIN
”Manusia tidak dapat mengetahui isi hati orang lain, dan manusia tidak dapat dapat melihat ruang-ruangan tersembunyi dalam kalbu orang lain. Oleh karena itu janganlah tergesa-gesa menilai orang lain melainkan tunggulah dengan sabar.
Ada riwayat tentang seseorang. Dia berjanji kepada Allah Ta’ala bahwa dia akan menganggap semua pihak lebih baik daripada dirinya dan tidak akan menganggap siapapun lebih rendah darinya. Yakni, untuk membuat ridha (senang) kekasihnya manusia membuat pernyataan-pernyataan semacam itu.
Suatu hari dia melihat seseorang duduk dekat jembatan sungai tempat banyak orang lewat. Di sisinya duduk seorang perempuan, dan di tangan orang itu terdapat sebuah botol. Orang itu terus saja meminum minuman dari botol tersebut, dan diberikannya juga kepada perempuan tersebut.
Orang yang melihatnya tadi berprangsa-buruk terhadap orang itu dan dia berfikir, “Aku tentu lebih baik daripada orang yang tidak punya malu itu.” Kemudian muncul sebuah perahu penuh penumpang, perahu tersebut tiba-tiba tenggelam. Orang yang duduk di samping perempuan tadi menyelamatkan semua penumpang perahu, kecuali satu orang. Kemudian dia berkata kepada orang yang berprasangka buruk tersebut, “ "Engkau berprasangka buruk terhadap diri saya. Saya sudah menyelamatkan semua penumpang, cobalah engkau selamatkan yang seorang lagi. Tuhan telah mengirim saya untuk menguji engkau, dan Dia telah memberitahukan kepada saya niat di hati engkau. Perempuan adalah ibu saya, dan yang ada dalam botol ini bukanlah minuman keras melainkan air sungai."
Ringkasnya, janganlah manusia tergesa-gesa menilai orang lain.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 248-249).
(249-256)
MAKRIFAT DAN BASHIRAT
”Banyak surat-surat orang berdatangan [menerangkan] bahwa, “Si Fulan mengajukan pertanyaan ini kepada kami, kami tidak dapat menjawabnya.”. Dalam kondisi demikian manusia menjadi sedikit bimbang serta lemah. Ingatlah, suatu hari terjerumus ke dalam kebimbangan adalah akibat kurangnya makrifat.
Makrifat dan bashirat adalah sesuatu yang membuat manusia bersalaman dengan para malaikat. Saya berkata benar, bahwa tidak ada sesuatu kekuatan pun yang menyamai makrifat. Sejauh mana burung-burung pergi terbang, akan tetapi manusia yang memiliki makrifat akan [terbang] lebih jauh dari itu serta mencapai kejauhan yang amat sangat.
Maksudnya adalah, kita hendaknya meraih keyakinan, yaitu yang dapat mengantarkan ke jenjang ketentraman. Tanpa itu manusia sama sekali tidak sempurna dan lemah serta pintu-pintu kemajuannya tertutup.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 256-257).
(257-265)
JEMAAT DAN TAKUT KEPADA ALLAH
”Oleh karena itu janganlah kalian hidup tanpa rasa takut, selalulah istighfar dan banyak berdoa serta ciptakanlah suatu perubahan suci. Sekarang bukan waktunya lagi untuk lalai. Jiwa memberi ketentraman palsu kepada manusia bahwa umur kalian akan panjang. Pahamailah bahwa maut (kematian) sudah dekat. Wujud Allah adalah nyata. Orang yang secara nyata mengalihkan hak-hak Allah kepada pihak lain, dia akan mengalami kematian hina.” (Malfuzat, jld, II, hlm. 265).
(hlm. 265-267)
RUKYA, KASYAF DAN ILHAM YANG TIDAK SEMPURNA
Pada April 1901 tengah diperbincangkan tentang keterkecohan terhadap kondisi Mushi Ilahi Bakhs Sahib dan kelompoknya. Berkenaan dengan itu Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Pada umumnya kondisi awal rukya, kasyaf, dan ilham terjadi pada setiap orang. Namun manusia hendaknya jangan terkecoh oleh itu sehingga beranggapan bahwa dia telah mencapai tujuan yang dimaksud, sebab sebenarnya di dalam fitrat manusia telah ditanamkan potensi ini, yakni setiap orang dapat menerima mimpi atau kasyaf mau pun ilham.
Demikianlah, telah disaksikan bahwa kadang-kadang orang-orang kafir, orang-orang Hindu, dan kadang-kadang orang fasiq (durhaka) dan jahat pun mendapat mimpi-mimpi, dan kadang-kadang mimpi-mimpi itu juga terbukti benar. Sebabnya adalah Allah Ta’ala sendiri telah menanamkan sedikit contoh demikian di kalangan mereka, dan hal itu ditanamkan dalam bentuk yang sempurna di kalangan para wali Allah dan para nabi Allah, supaya orang-orang itu tidak dapat mengingkari para nabi dengan alasan bahwa mereka tidak tahu menahu tentang ilmu tersebut.
Hal-hal itu diberikan kepada mereka sebagai dalil yang mematikan, sehingga dengan mendengar pengakuan-pengakuan para nabi, mereka pun bersumpah menyatakan bahwa hal itu memang demikian dan dapat terjadi seperti itu, sebab suatu perkara yang tidak diketahui oleh manusia sangat cepat dia ingkari.
Di dalam kitab Matsnawi Rumi terdapat uraian tentang seorang buta yang menyebut-nyebut bahwa, “Matahari sebenarnya tidak ada, dan orang-orang berkata dusta. Jika matahari ada tentu aku pun dapat melihatnya!” Matahari pun berkata, “Hai orang buta! Engkau meminta bukti keberadaanku? Pertama-tama panjatkanlah kepada Tuhan supaya Dia menganugerahkan mata kepada engkau.”
Allah Ta’ala Maha Pengasih dan Maha Penyayang Jika hal itu Dia tanamkan dalam fitrat manusia maka bagaimana mungkin masalah kenabian dapat dipahami oleh orang-orang. Melalui rukya atau ilham tahap awal, Allah Ta’ala memanggil hamba (manusia), akan tetapi itu bukanlah suatu kondisi yang memberikan ketenteraman (kepuasan).
Dahulu ada ilham-ilham yang turun kepada Bal’am, namun dari firman Allah Ta’ala berikut ini terbukti bahwa ia tidak mengalami rafa’ (kenaikan ruhani):
öqs9ur $oYø¤Ï© çm»uZ÷èsùts9 $pkÍ5
(dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan dengan Ayat-ayat itu” – Al-Araf, 177).
Yakni dia hingga saat itu belum menjadi hamba yang benar dan disukai di sisi Allah Taala, sampai-sampai ia pun jatuh.
Ilham-ilham dan sebagainya dapat membuat manusia menjadi sesuatu, tetapi manusia tidak dapat menjadi milik Tuhan selama dia belum mengalami ribuan kematian dan tidak melepaskan diri dari gejolak kemanusiaan. Ada tiga macam manusia yang menempuh jalan ini:
Pertama, mereka yang memegang dīnul ‘ajāiz, yakni mazhab perempuan-perempuan tua. Mereka mendirikan salat, mengerjkan puasa, membaca Al-Quran Syarif dan melakukan taubat, istighfar. Mereka memegang teguh perkara-perkara secara taqlid dan berdiri kokoh di atasnya.
Kedua, adalah orang-orang yang lebih maju daripada yang pertama dan menginginkan makrifat, dan dengan berbacai cara mereka berusaha serta memperlihatkan kesetiaan dan keteguhan langkah, dan dalam makrifatnya mereka mencapai derajat yang puncak. Mereka berhasil dan mencapai cita-cita mereka.
Ketiga, adalah orang-orang yang tidak suka menetap dalam kondisi dīnul ‘ajāiz dan telah melampaui tahap itu serta telah melangkahkan kaki di kawasan makrifat namun mereka tidak dapat mempertahankan derajat (kondisi) tersebut dan mereka tersandung dari jalan itu lalu jatuh. Inilah orang-orang yang tidak bertahan ke sana dan tidak pula bertahan ke sini.
Tamsil orang yang demikian itu adalah bagaikan seorang yang kehausan dan padanya terdapat sedikit air, tetapi air yang ada pun kotor, supaya terhindar dari maut (kematian) maka air tersebut diminum. Seseorang mengabarkan kepadanya bahwa dalam jarak lima atau tujuh kos lagi terdapat sebuah mata air bening, maka air yang ada padanya tadi itu pun dibuangnya, dan dia maju untuk menuju mata air bening itu. Dikarenakan ketidaksabarannya dan kesialan serta kesesatannya dia tidak sampai ke sana. Lihatlah, bagaimana nasibnya. Dia mati, dan kematiannya sangat tragis sekali.
Atau, tamsil keadaan-keadaan demikian adalah seperti sebuah sumur sedang digali. Pertama-tama ia hanya berupa sebuah lubang yang tidak ada gunanya, bahkan menimbulkan bahaya jatuhnya orang yang lalu-lalang di situ. Kemudian sumur itu digali lebih dalam lagi, sampai timbul lumpur dan air yang kotor. Keadaan tahap seperti itu pun tidak bermanfaat. Ketika sumur tersebut sudah sempurna digali dan airnya keluar dengan bersih (bening) mak ia dapat menimbulkan kehidupan bagi ribuan orang.
Orang-orang yang menjadikan diri mereka sebagai faqir dan petapa, mereka semua berada dalam kondisi yang tidak sempurna, sedangkan para nabi datang sebagai pemilik air yang bersih. Selama seseorang tidak datang membawa sesuatu dari Tuhan, selama itu pula ia tidak berguna.
Ilahi Bakhs Sahib, jika [benar] dia menjadi Musa, hendaknya ditanyakan kepadanya, apa tujuan dia menjadi Musa? Orang-orang yang datang dari Tuhan, mereka bagaikan buruh (pekerja), dan mereka melangkah maju untuk memberikan manfaat kepada manusia, dan mereka menyebarkan ilmu pengetahuan serta tidak pernah menimbulkan kesulitan. Mereka tidak malas serta duduk berpangku-tangan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 266-268).
(268-273)
PENYEBARAN AGAMA
“Menurut saya, cara terbaik penyebaran agama adalah karena adanya faktor keindahan-keindahan dan kebagusannyal itulah agama itu dengan sendirinya menyusup ke dalam jiwa, dan untuk itu tidak diperlukan upaya dari luar. Misalnya ada beberapa benda karena cahaya yang dimilikinya dengan sendirinya kelihatan, antara lain bulan, bintang-bintang dan sebagainya. Dan ada benda-benda yang tanpa cahaya-cahaya tersebut tidak tampak, contohnya burung-burung dan unggas tidak dapat kita lihat selama tidak ada cahaya.
Jadi, agama yang benar adalah yang dengan sendirinya dikenali melalui cahayanya serta melalui nur (cahaya) kebenaran dan shadaqatnya, lalu menyusup ke dalam jiwa dan menarik kalbu ke arahnya. Untuk itulah aku katakan bahwa ajaran adalah suatu tanda yang benar. Suatu agama yang tidak terdapat tanda ajaran maka tanda-tanda lainnya yang ia miliki tidak akan dapat memberikan manfaat.
Ajaran samawi mengandung cahaya dan nur, lebih tinggi dari cara-cara (konsep) manusia. Seorang insan yang mati sepenuhnya dan keluar dari kehidupan kotor, pada saat itu ia akan menemukan kehidupan di dalam Allah dan merasakan tanda kebenaran agama. Akan tetapi kecuali karunia Allah, siapa pula yang dapat membuat [manusia] mati dari kehidupan kotor, lalu menemukan suatu kehidupan baru. Hal itu berasal dari Tangan Allah Yang telah menganugerahkan kehidupan kepada dunia.
Insan yang Dia utus, kepadanyalah pertama-tama Dia menganugerahkan kehidupan itu. Secara zahir [utusan] itu ada di dunia dan berasal dari [kalangan] orang-orang dunia ini. Dia berada di bawah tabir Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala memberikan kepadanya ajaran yang sesuai dengan kondisinya. Ajaran itulah yang dipelajari oleh orang-orang yang memiliki persamaan dengan [utusan] itu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 273).
(hlm. 273-276).
RACUN DOSA
”Ada dua macam manusia. Pertama, mereka yang percaya kepada Tuhan, dan yang kedua, mereka yang tidak percaya serta dinamakan dehriyah (atheis). Orang-orang yang percaya pun di dalam diri mereka terdapat sebuah urat atheisme, sebab jika mereka percaya kepada Tuhan dengan keyakinan yang sempurna, maka mengapa keburukan dan kejahatan serta hal-hal amoral masih berkembang?
Seorang manusia, jika diberikan sankhiya atau sarrkiniya – dan dia tahu bahwa itu adalah racun yang mematikan – maka kapan pun dia tidak akan pernah memakannya. Tidak peduli berapa pun banyaknya uang yang yang kalian iming-imingkan kepadanya, sebabnya adalah dia sangat yakin bahwa apabila dia memakannya maka dia akan mati.
Orang-orang tahu bahwa Allah Taala tidak suka terhadap dosa, lalu apa sebabnya mereka masih tetap saja meneguk cawan racun itu? Mereka berdusta, berzina, selalu cepat untuk memberikan kedukaan pada orang lain. Mereka membunuh anak-anak tak berdosa hanya karena perhiasan yang nilainya beberapa sen saja. Timbulnya kejahatan, keburukan dan kebejadan semacam itu tidaklah mungkin terjadi setelah adanya (memiliki) pengetahuan sejati (makrifat) dan keyakinan yang sempurna.
Dari itu diketahui, bahwa mereka sama-sekali tidak memaklumi (tidak meyakini) bahwa racun keburukan [dosa] itu lebih fatal daripada racun sankhiya dan sarrkiniya. Jika mereka percaya bahwa Tuhan itun ada dan Dia marah terhadap keburukan serta sebagai akibatnya mereka akan mendapat hukuman yang berat, maka tentu mereka akan menampakkan sikap tidak senang terhadap dosa serta menjauhi keburukan-keburukan.
Akan tetapi dikarenakan kehidupan dosa semakin umum (biasa), dan bukannya benci terhadap kejahatan serta keburukan, justru semakin senang terhadap hal-hal itu, oleh karenanya saya mengatakan -- dan memang inilah yang benar -- bahwa pada masa sekarang ini atheisme telah merajalela. Bedanya hanyalah, satu golongan menyatakan melalui lidah mereka bahwa Tuhan itu ada namun mereka tidak percaya, sedangkan satu golongan lagi adalah mereka yang jelas-jelas mengiingkari-Nya. Pada hakikatnya kedua golongan ini sama saja.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 276).
(276-286)
CARA MENGENALI AGAMA YANG BENAR
“Ini bukanlah perkara sulit. Di dunia setiap yang palsu dan yang murni terdapat perbedaan. Ini bukanlah perkara sulit. Antara siang dan malam terdapat perbedaan, lalu apakah agama yang benar dapat terselubung?
Allah itu Suci, dan Dia mencintai serta menurunkan rahmat. Dia memurkai perkara-perkara nafsu yang merupakan dosa, keburukan, kedengkian, takabbur, dan segenap dosa yang berkumpul di dalam hati lalu terwujud melalui mata atau sarana-sarana lainnya, maka bagaimana mungkin [perkara ini] dapat menjadi sulit bahwa manusia tidak dapat membedakan bahwasanya Allah ingin mensucikan manusia dan Dia tidak suka apabila dosa-dosa terjadi padanya?
Jadi, suatu agama yang ajarannya secara amalan menganugerahkan fitrat yang mengakibatkan manusia takut kepada Allah, lalu di bawah naungan Sifat-sifat-Nya dia mengalami kemajuan dalam kecintaan dan kesucian serta ia jadi menjauhi dosa, maka itu adalah agama yang berasal dari Allah. Agama Ilahi, bersamanya terdapat tanda yang hidup tentang kebenarannya, yang senantiasa ada di setiap zaman.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 268).
(286-293)
BAIAT ARTINYA MENJUAL DIRI
Ada pertanyaan dari seseorang, bahwa apabila seseorang mengakui Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sebagai seorang suci dari segala segi serta bersikap tulus dan baik terhadap beliau, namun orang itu tidak ikut baiat maka apa ketentuannya? Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjawab:
“Arti baiat adalah menjual diri sendiri, dan ini adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh kalbu. Tatkala seseorang manusia mengalami kemajuan demi kemajuan di dalam kejujuran dan keikhlasannya sampai pada batas tertentu – dimana dalam dirinya timbul kondisi itu – maka dengan sendirinya dia akan tertuntut untuk baiat. Dan selama kondisi ini tidak timbul maka manusia [dapat] memahami bahwa di dalam kejujurannya dan keikhlasannya masih terdapat kekurangan (kelemahan).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 293-294).
PENGAMBILAN BAIAT ADALAH ATAS PERINTAH ILAHI
Pada tanggal 17 Mei 1901 ada pernyataan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., “Apakah Tuan seperti halnya para Sufi dan Syekh lainnya mengambil baiat secara biasa, ataukah ada perintah Allah Ta’ala kepada Tuan untuk mengambil baiat?" Beliau as. bersabda:
“Kami mengambil baiat adalah atas perintah Ilahi, sebagaimana di dalam selebaran, kami telah menuliskan ilham ini:
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$#
( “Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada engkau sebenarnya mereka baiat kepada Allah” – Al-Fath, 11)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 295).
JANJI ALLAH TA’ALA TERHADAP JEMAAT SEJATI
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran:
ã@Ïã%y`ur tûïÏ%©!$# x8qãèt7¨?$# s-öqsù úïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4n<Î) ÏQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# (
(“Dan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau unggul atas mereka yang ingkar hingga hari Kiamat” – Ali ‘Imran, 56).
Janji yang menentramkan ini diberikan kepada Ibnu Maryam yang dahulu lahir di Nazaret. Namun saya memberi kabar suka kepada kalian bahwa kepada Ibnu Maryam yang datang membawa nama Yesus Al-Masih juga, Allah Ta’ala telah memberikan kabar suka dalam kata-kata demikian.
Sekarang, pikirkanlah oleh kalian, orang-orang yang menjalin hubungan dengan saya dan termasuk di dalam janji kabar suka agung ini, apakah bisa terdiri dari orang-orang yang tenggelam di jenjang u1nal-ah (???) serta melakukan keburukan-keburukan dan kedurhakaan? Tidak, sama sekali tidak.
Orang-orang yang secara benar menghargai janji Allah Ta’ala ini, dan yang tidak menganggap kata-kata saya sebagai cerita dongeng, ingatlah dan dengarlah dari lubuk kalbu. Saya sekali lagi mengatakan kepada orang-orang yang menjalin hubungan dengan saya, bahwa hubungan itu bukanlah hubungan biasa melainkan suatu hubungan yang sangat hebat. Hubungan demikian itu tidak hanya berpengaruh sampai pada diri saya saja melainkan mencapai Wujud Yang telah mengantarkan saya sampai kepada Insan Kamil Suci [saw.] yang telah datang ke dunia membawa ruh shadaqat dan kebenaran.
Saya katakan, jika pengaruh hal-hal ini hanya sampai pada diri saya saja maka saya sedikit pun tidak risau dan tidak pula saya mempedulikannya. Namun tidak hanya sampai di situ saja, pengaruhnya sampai kepada Nabi Karim saw. dan Dzat Suci Allah Ta’ala. Jadi, dalam bentuk dan kondisi sedemikian maka kalian perhatikanlah dan dengarlah.
Jika kalian ingin mengambil bagian dalam kabar suka ini dan kalian mendambakan untuk menjadi penggenapnya serta di dalam diri kalian terdapat rasa haus sejati terhadap keberhasilan (kesuksesan) besar ini – yakni bahwa kalian akan tetap unggul di atas orang-orang yang ingkar hingga Hari Kiamat – maka cukup saya katakan, bahwa keberhasilan ini tidak akan diperoleh selama kalian belum melewati derajat [nafs] lawwamah lalu mencapai [nafs] muthmainnah”……..
Demikian pula suatu kali Hadhrat Maulvi Nuruddin r.a. telah menghilangkan sebuah [naskah] artikel Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliau telah berusaha keras mencarinya. Ketika informasi mengenai hal itu diketahui oleh Hadhrat Masih Mau’uda.s. maka beliau mendatangi Maulvi Sahib lalu meminta maaf bahwa Maulvi Sahib telah begitu susah-payah mencari lembaran yang hilang itu. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Saya menyesal, telah membuat Tuan begitu bersusah-payah mencarinya. Keyakinan saya adalah Allah Ta’ala akan menganugerahkan artikel yang lebih baik daripada itu.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 295).
CARA MENGHINDARKAN DIRI
DARI DOSA
DARI DOSA
“Untuk melepaskan diri dari dorongan-dorongan [nafsu] dan dosa hendaknya di dalam hati diciptakan rasa takut terhadap Allah Ta’ala. Apabila keagungan dan kebesaran Allah lebih banyak menguasai kalbu maka dosa akan menjauh. Kadang-kadang karena rasa takut yang timbul dari dokter, sedemikian rupa berdampak pada hati orang-orang sehingga mereka jadi mati, lalu mengapa pula rasa takut akan Allah tidak berpengaruh?
Hendaknya [kalian] selalu menghitung-hitung umur, dan ingatlah kawan-kawan serta para sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Masa-masa sehat selalu berlalu begitu saja dalam kelalaian. Hendaknya dilakukan upaya-upaya, sehingga rasa takut akan Allah selalu menguasai kalbu.
Selama manusia tidak meninggalkan keinginan (nafsu) yang panjang, lalu menerapkam suatu maut (kematian) atas dirinya maka selama itu pula kelalaian tidak akan jauh darinya. Hendaknya manusia senantiasa berdoa, sehingga Allah menanamkan nur (cahaya) dengan karunia-Nya. Carilah, maka kalian akan dapatkan”. (Malfuzat, jld. II, hlm. 295-296).
SURGA YANG TERSELUBUNG DI
“Di dalam kehidupan mendatang terdapat sebuah surga yang nyata bagi orang mukmin, namun di dunia ini juga orang mukmin memperoleh sebuah surga yang terselubung.
Ada pun yang dikatakan bahwa dunia ini merupakan penjara bagi orang mukmin, artinya hanyalah bahwa pada kondisi awal ketika seorang manusia menempatkan dirinya di dalam batasan-batasan syariat (hukum agama), maka saat itu dia masih belum terlalu terbiasa. Jadi, masa itu sulit baginya, sebab dia baru keluar dari dari cengkeraman ketidak-beragamaan, lalu bertentangan dengan nafsunya dia menempatkan dirinya di dalam kekangan perintah-perintah Ilahi.
Namun lambat-laun dia akan menyukai, bahwa memang itulah tempat yang baginya merupakan surga. Tamsilnya adalah bagai seseorang yang di dalam penjara tenggelam dalam kecintaan terhadap seseorang. Jadi, apakah kalian beranggapan bahwa dia akan suka keluar dari penjara itu?” (Malfuzat, jld. II, hlm. 287-298).
(hlm. 298-315)
KEMARAHAN PADA TEMPATNYA
Ada yang memaparkan, bahwa tulisan Maulvi Abdul Karim r.a. terdapat unsur emosi yang sangat keras. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Bagi segala sesuatu itu ada tempatnya. Jika ada seorang maulvi (mullah) yang tampak melakukan keburukan di dalam mesjid, maka orang yang menyaksikan hal itu pasti akan mengatakan bahwa dia itu bejad dan menghina agama Islam. Namun seseorang yang tidak tahu tempat dan kesempatan akan terkecoh dan berkata, “Orang ini tanpa dasar (alasan) telah berdusta. Dia bohong dan menghina, tidak hanya satu, dua atau tiga bahkan puluhan kali.” [Orang yang tidak mengerti ini] tanpa dasar akan mengatakan bahwa itu suatu hal yang memalukan, yang tidak memiliki ghairat terhadap Al-Quran Syarif. Apalah dia itu!
Allah telah menciptakan kemarahan bukan tanpa ketepatan (tidak sia-sia). Penggunaannya yang tidak benar memang tidak tepat. Seseorang bertanya kepada Hadhrat Umar r.a., "Sewaktu masih kafir, engkau sangat pemarah, sekarang bagaimana keadaan marah engkau?” Beliau menjawab, “Marah itu sampai sekarang pun masih ada, tetapi penggunaannya yang dulu itu tidak tepat, sekarang sudah tepat.”
Protes ini justru tertuju kepada Sang Pencipta, yakni mengapa Dia menciptakan kemarahan? Sebenarnya tidak ada satu pun potensi (kekuatan) yang buruk, penggunaannya yang tidak tepat itulah yang membuatnya buruk. Al-Quran Syarif tidak memerintahkan kita seperti Injil, yakni tanpa alasan biar saja mengalami pukulan terus menerus. Syariat kita memerintahkan untuk melihat ketepatan situasi (kondisi). Jika yang dibutuhkan adalah kelembutan maka terapkanlah sikap merendahkan diri. Jika yang diperlukan adalah kekerasan (ketegasan) maka bersikap keraslah (tegas).
Jika dengan sikap memaafkan akan timbul perbaikan maka terapkanlah sikap memaafkan itu. Jika ada pembantu yang baik dan sopan melakukan kesalahan maka maafkanlah. Namun ada orang-orang yang mempunyai sifat sedemikian rupa, sehingga jika hari ini dimaafkan maka keesokan harinya di akan berbuat dua kali lipat, nah di situ diperlukan pemberian hukuman.
Pada kenyataannya di dalam Injil justru terlihat kekerasan. Hadhrat Al-Masih a.s. menyebut para penentang beliau sebagai orang-orang bejad dan anak-anak ular. Allah pun telah mengutuk pendusta. Terdapat penggunaan kata-kata [keras] semacam itu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 316-317).
SALAT DI BELAKANG PENENTANG
”Salat di belakang penentang sama sekali jangan dilakukan. Dengan salat di belakang orang yang bertakwa maka manusia akan diampuni. Salat adalah kunci seluruh berkat, di dalam salat doa dikabulkan. Imam itu merupakan wakil, jika dia sendiri hatinya hitam kelam maka bagaimana mungkin di akan menimbulkan berkat bagi orang-orang lainnya.” (Malfuzat, jld. II,. hlm. 318).
(318-320)
MIKRAJ RASULULLAH SAW.
”Semuanya benar, memang terjadi mikraj tetapi tidak dalam alam sadar lahiriah dan tidak dengan sarana-sarana lahiriah, melainkan terjadi dalam corak lain.
Jibril dahulu juga datang kepada Rasulullah saw. dan beliau turun ke bawah. Dalam corak apa Jibril itu turun maka dalam corak itu pulalah Rasulullah saw. telah naik (mikraj). Tidak ada yang melihat sesuatu turun dan tidak pula ada yang melihat seseorang naik. Di dalam hadits syarif yang tertera dalam Bukhari terdapat kata “Tsumma taiqazha – kemudian ia terbangun”. (Malfuzat, jld. II, hlm. 321-322).
(322-324)
DAMPAK KETAKWAAN DI DUNIA
”Dampak ketakwaan mulai dialami oleh seseorang mutaqi (bertakwa) di dunia ini juga. Tidak benar bahwa itu merupakan utang melainkan kontan. Bahkan sebagaimana dampak racun serta dampak obat adalah langsung terjadi di dalam tubuh, demikian pulalah dampak ketakwaan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 324).
HAKIKAT SABAR & DOSA
Pada tanggal 1 Agustus 1901, Hadhrat Maulvi Abdul Karim r.a. membawa seseorang kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., dan menjelaskankan bahwa orang ini sering pergi kepada orang-orang suci, piir dan syekh. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. meminta agar orang itu mengutarakan sendiri keadaannya. Orang itu berkata, "Yang Mulia, saya banyak pergi ke para piir. Di dalam diri saya ada beberapa aib. Pertama-tama, jika saya pergi ke orang suci tertentu, setelah beberapa hari kemudian saya pulang lagi dan timbul pikiran tidak baik terhadap orang suci tersebut. Kedua, saya punya keburukan melakukan ghibat (gunjing). Ketiga, hati saya tidak betah melakukan ibadah. Dan masih banyak aib lainnya." Hadhrat Masih Mau'ud as. bersabda:
“Saya sudah mengerti, penyakit anda yang sebenarnya adalah tidak sabar, selebihnya adalah cabang-cabang yang timbul dari situ. Lihatlah dalam urusan duniawi manusia dapat bersabar dan menunggu hasil dengan sabar serta istiqlal, lalu mengapa manusia tampil di hadapan Allah dengan tidak sabar?
Apakah seorang petani dengan menanam bibit di ladang langsung pada hari itu juga berpikir keras untuk memetik panen? Atau ada seorang bayi yang lahir, lalu dikatakan bahwa saat itu juga dia akan besar dan turut membantu? Tergesa-gesa dan sikap tidak sabar semacam ini tidak ada contohnya di dalam hukum qudrat Allah Ta’ala.
Sangat bodohlah orang yang berlaku tidak sabar seperti itu. Seseorang yang melihat keburukannya sebagai suatu keburukan, seharusnya dia memahami bahwa dirinya adalah orang yang beruntung, sebab setan selalu menampakkan keburukan-keburukan serta pekerjaan-pekerjaan yang tidak baik dalam bentuk yang menarik dan indah. Oleh karena itu, anda tinggalkanlah sifat tidak sabar itu, dan dengan teguh mintalah taufik dari Allah. Mintalah ampunan bagi dosa-dosa anda. Tanpa itu, tidak ada artinya.
Seseorang yang datang kepada ahlullah (waliullah/sahabat Allah) dengan maksud agar sang ahlullah itu menyemburnya (menjampinya) sehingga dapat memperbaikinya, berarti dia ingin memerintah (mengatur) Allah. Justru datang kepada-Nya harus dalam posisi mahkum (diperintah/diatur).
Selama manusia belum meninggalkan segala perintahnya (kekuasaannya) maka tidak akan ada gunanya. Ketika seorang pasien datang kepada dokter, dia menjelaskan banyak sekali keluhannya. Namun tatkala dokter telah mendeteksi (mendiagnosanya) melalui pemeriksaan bahwa dia sebenamya menderita penyakit tertentu, maka sang dokter mulai melakukan pengobatan. Demikianlah, bahwa penyakit anda adalah tidak-sabar. Jika anda mengobatinya, maka penyakit-penyakit lainnya pun, bila Allah menghendaki, akan dapat dihapuskan.
Akidah saya adalah, manusia sekali-kali hendaknya jangan putus asa terhadap Allah, dan tetaplah terus memohon sampai tenggorokan tersendat-sendat. Selama manusia belum memohon dan bersabar sampai batas itu maka dia tidak akan dapat berhasil. Dan memang Allah Ta’ala Maha Kuasa. Kapan saja Dia kehendaki, Dia dapat membuat Seseorang berhasil saat itu juga. Namun kecintaan seorang yang tulus hendaknya membuat orang itu terus bertahan memohon....
Ada dua macam penyakit. Pertama penyakit mustawi (yang langsung), dan kedua penyakit mukhtalif (yang tidak langsung). Penyakit mustawi terasa perihnya dan manusia langsung berusaha mengobatinya, sedangkan penyakit mukhtalif tidak dihiraukan oleh manusia. Seperti itu pulalah sebagian dosa memang terasa, sedangkan sebagian lagi tidak terasa oleh manusia.
Oleh karena itu penting bagi manusia untuk setiap saat memanjatkan istighfar ke hadirat Allah Ta’ala. Apalah manfaat pergi ke kuburan [meminta ini dan itu]. Allah Ta’ala justru telah mengirim Al-Quran Syarif untuk mengadakan ishlah (perbaikan). Jika mengadakan perbaikan dengan cara menjampi-jampi merupakan ketentuan dari Allah Ta’ala maka mengapa Rasulullah saw. harus menanggung penderitaan-penderitaan selama 13 tahun di Mekkah? Mengapa beliau tidak memasukkan pengaruh kepada Abu Jahal dan sebagainya?
Baiklah, lupakan Abu Jahal, akan tetapi Abu Thalib adalah seorang yang beliau cintai. Ringkasnya, tidak sabar adalah suatu hal yang tidak baik. Akibatnya dapat membawa [manusia] sampai kepada kehancuran.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 324-326).
(326-329)
MASIH MAU’UD A.S. DAN MAZHAB HANAFI
”Maulvi Bahauddin Ahmadabadi bertanya, bahwa di dalam [buku] Maktubaat Imam Rabbani tertulis, bahwa Masih Mau’ud a.s. akan menganut mazhab Hanafi, apa artinya? Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Artinya adalah, sebagaimana Hadhrat Imam ‘Azham (Imam Hanafi) mengambil dalil-dalil dari Quran Syarif, demikian pulalah Masih Mau’ud akan datang membawa ilmu-ilmu dan hakikat-hakikat dari Quran Syarif juga. Demikianlah di dalam Maktubaat itu juga beliau telah membukakan rahasia ini dan secara khusus beliau menjelaskan bahwa Masih Mau’ud a.s. akan dianugerahi ilmu mengenai hakikat-hakikat Al-Quran.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 329).
(329-331)
SALAH SATU MAKNA TURUN DARI LANGIT
Sedang diperbincangkan mengenai turunnya Al-Masih dari langit, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
“Sesuatu yang di atas atau turun dari langit semua perhatian orang akan tertuju kepadanya, dan semua orang dengan mudah dapat menyaksikannya, dan itu dengan cepat akan menjadi terkenal. Jadi di dalam kata itu terdapat sebuah kiasan bahwa Allah Ta’ala akan menciptakan sarana-sarana sedemikian rupa bagi Al-Masih, sehingga dengan sangat cepat dia akan meraih ketenaran. Demikianlah, dari antara sarana-sarana itu pada masa sekarang ini yang telah muncul adalah kereta api, pos, percetakan dan sebagainya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 331).
(331-337)
MIMPI MUNTAH & WALI PALSU
Sekitar tanggal 26 atau 27 Agustus 1901, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda:
“Saya melihat dalam mimpi bahwa seseorang muntah, lalu muntah itu [saya] tutupi dengan kain.”
Ada seseorang yang di dalam silsilah keluarganya secara turun-temunm berlangsung [tradisi] menjadi piir (semacam kiyai yang dianggap punya keramat - pent.) serta memiliki murid (pengikut). Murid mereka ribuan jumlahnya, dan dia sendiri tadinya adalah seorang piir. Namun semua itu dia tinggalkan lagu bergabung di dalam Jemaat Ilahi ini dia mengutarakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.:
“Pada masa menjadi piir, kebanyakan keramat (kehebatan mukjizat) palsu kami terkenal, dan banyak sekali orang yang menjadi murid kami serta mempercayai kami. Suatu kali saya ungkapkan kepada saudara saya, dan beberapa kali pernah terlintas bahaya di dalam hati saya, bahwa keramat-keramat ayah kita yang masyhur pun tampaknya seperti itu juga, yakni seperti “keramat” kita.
Kemudian terpikir pula oleh saya, mungkin begitu juga keadaan Syekh Abdul Qadir Jailani dan orang-orang suci lainnya. Ringkasnya, saya semakin jauh dengan pemikiran-pemikiran itu sehingga hampir saja timbul prasangka buruk terhadap Rasulullah saw. juga, dan — semoga Allah mengampuni — juga hampir mengingkari Allah Ta’ala. Namun nasib baik telah mebuat saya bertemu dengan Hudhur, dan saya pun telah menemukan kebenaran.”
Atas hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Memang tidak diragukan lagi bahwa keimanan pada faqir (petapa) dan piir-piir semacam itu berada dalam bahaya, akan tetapi dengan melandaskan pada orang-orang yang memperlihatkan keramat-keramat palsu semacam itu serta dengan terkenalnya keramat-keramat palsu tersebut, hendaknya jangan mengambil kesimpulan, bahwa semuanya palsu dan segenap wali serta tokoh-tokoh suci agama adalah penipu serta bertumpu pada kedustaan, melainkan keberadaan wujud para wali palsu tersebut merupakan bukti bahwa pasti di dunia ini ada pula wali yang sejati, sebab selama belum ada perkara yang sejati tidak akan dibuat perkara yang palsu.
Misalnya, jika di dunia tidak ada emas yang asli dan sejati dan asli maka ahli kimia tidak akan membuat emas palsu. Jika permata dan berlian asli tidak diperoleh dari tambang-tambang maka tidak akan pernah terpikirkan oleh siapa pun untuk membuat intan permata yang palsu. Keberadaan unsur-unsur palsu itu sendiri merupakan bukti bahwa unsur-unsur asli (sejati) pasti ada.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 337-338).
CARA BERDOA ,
“Untuk berdoa hendaknya dicari kata-kata yang menyerap di kalbu. Tidak tepat apabila manusia hanya terikat pada doa-doa yang sunnah [dengan sekedar menghafal] sedemikian rupa sehingga dia baca seperti mantra-mantra saja bagi dirinya, sedangkan hakikatnya tidak dia ketahui.
Memang penting mengikuti sunnah, namun mencari kata-kata yang menyentuh kalbu juga merupakan sunnah. Bahasa sendiri yang benar-benar kalian pahami, panjatkanlah doa dalam bahasa itu supaya di dalam doa timbul gejolak. Orang yang hanya menjunjung kata-kata belaka di akan diabaikan. Kalian seharusnya menjadi orang yang menjunjung makna (hakikat). Doa-doa sunnah juga hendaklah dibaca untuk mengambil berkat, namun raihlah hakikat [yang terkandung di dalamnya].
Ya orang yang memang menguasai dan memahami bahasa Arab silakan dia membaca doa dalam bahasa Arab.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 338).
MIMPI TENTANG “PEDANG ILAHI”
Pada 3 September 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Hari ini saya melihat mimpi ada singgasana Allah Ta’ala dan terdapat kerumunan massa. Dan di sana tengah diperbincangkan masalah pedang, lalu saya katakan kepada Allah Ta’ala, “Pedang terbaik dan paling tajam adalah pedang Engkau yang ada pada saya.” Setelah itu saya terbangun dan kemudian tidak tidur lagi, sebab tertulis bahwa tatkala kalian melihat mimpi baik maka sedapat mungkin jangan tidur lagi. Dan pedang artinya adalah senjata yang tengah kita ayunkan kepada para penentang, yaitu senjata samawi (langit)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 339).
PERBEDAAN ANTARA FILSUF DAN NABI
ang mengisyaratkan] bahwasanya Tuhan itu seyogianya hares ada. [Sedangkan] nabi mengatakan: "Saya sendiri telah bercakapcakap dengan Tuhan. Dan Dia telah mengutus says. Dan sayat datang dari-Nya setelah melihat Dia". (Al-Hakam, jld.5, no.3, h.9, tgl.10.9.1901; Maffipzaatjld.2,h.339).
MENGHISAP HUQQAH
Berlangsung perbincangan mengenai huqqah (sejenis merokok yang dihisap melalui selang dari sebuah pot tembaga/tembikar, yang umum terdapat di anak benua India dan Timur Tengah — pent.). Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda:
“Lebih baik ditinggalkan. Ini adalah sebuah bid’ah. Dari mulut timbul bau busuk. Ayah saya juga dahulu membuat sebuah syair mengenainya dan selalu beliau bacakan. Dalam syair itu beliau menzahirkan keburukan yang ada pada barang itu.” (Malfuzat, jld, II, hlm. 339).
(339-340)
KUNCI KEMENANGAN
”Kunci kemenangan terdapat di Tangan Allah. Kemenangan hanya diraih oleh orang yang paling tinggi dalam hal ketakwaan. Apabila pohon ketakwaan telah tertanam maka dengan itu bumi dan langit bisa terbalik.” (Malfuzat, jld, II, hlm. 340).
(340-343)
MENGHADAPI KESULITAN
”Jika ada suatu hal yang tidak dapat saya pahami atau sulit maka cara saya adalah saya melepaskan segenap kerisauan lalu hanya menyibukkan diri dalam berdoa dan tadharu’ (merendahkan diri) maka barulah hal itu akan terpecahkan” (Malfuzat, jld. II, hlm. 343).
(343-347)
GOLONGAN WUJUDI
”Perumpamaan tentang para penganut Wujudi adalah seperti dokter yang memeriksa orang, ia mengetahui rahasia tentang jantung, ginjal dan hatinya. Seperti itu pulalah penganut Wujudi mendakwakan diri telah mengetahui rahasia Tuhan. Padahal itu hanyalah suatu kekeliruan dan kelancangan belaka.
Jika orang-orang ini takut terhadap Keagungan dan Kekuasaan Allah Ta’ala dan di dalam kalbu mereka terdapat rasa takut akan Tuhan maka bagi mereka ayat ini sudah memadai: Laa tudzrikuhul abshara (penglihatan tidak dapat mencapai-Nya – Al-An’aam, 104). Dan ayat berikut ini juga cukup bagi mereka: "Laisa kamitslihi syai-un (tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya” – Asy-Syuraa, 12).
Namun seseorang yang menerobos terlalu jauh mengenai Wujud Tuhan, hal itu artinya tidak punya malu. Apa yang telah dibuat oleh para penganut Wujudi? Apa saja yang telah mereka ketahui yang hal itu belum kita ketahui? Apa manfaat yang telah mereka berikan kepada umat manusia? Semua pertanyaan ini terpaksa dijawab dengan kata: Tidak ada!
Jika ada yang bersikeras, maka coba beritahukan, bahwa Tuhan itu sendiri membimbing ke jalan kecintaan dan ketaatan. Di dalam Quran Syarif sendiri Dia telah berfirman, “Wal- ladziina amanuu asyaddu hubbal- lillaahi (dan orang-orang yang beriman sangat keras kecintaannya kepada Allah” – Al-Baqarah, 166), dan "Fadzkurullaaha kadzikrikum abaa-akum au asyadda dzikran – (maka sebut-sebutlah Allah sebagaimana kamu dahulu pernah menyebut-nyebut bapak-bapak kamu atau lebih banyak lagi mengingatnmya” – Al-Baqarah, 201).
Kemudian, apakah pernah terjadi di dunia ini bahwa seorang anak begitu fana (larut) dalam kecintaan terhadap ayahnya, sehingga dia dengan sendirinya berubah menjadi ayah? Memang bisa saja anak menjadi fana dalam kecintaan terhadap ayah, namun tidak mungkin bisa bahwa dia berubah menjadi sang ayah.
Merupakan suatu hal yang patut diingat, bahwa fana nazhiri (peleburan/penyatuan secara ruhani – pent.) adalah sesuatu yang pasti timbul dari kecintaan, namun fana yang pada hakikatnya merupakan dalih dan dapat membuat seseorang menjadi suatu “wujud baru” hal itu tidaklah benar.
Orang-orang yang memiliki takwa dan kesopanan serta yang melangkahkan kaki sesuai ayat "Laa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun – “janganlah engkau mengikuti apa yang mengenainya engkau tidak mempunyai pengetahuan” – Bani Israil, 37), mereka dapat memahami bahwa langkah yang diambil oleh penganut Wujudi sudah melampaui batas.
Orang-orang ini telah menulis puluhan buku, namun saya bertanya: Apakah ada seorang Wujudi yang dapat memberikan jawaban bahwa memang benar pada penganut Wujudi tersebut terdapat Tuhan, ataukah hanya anggapan pemahaman saja? Jika memang terdapat [Dzat] Tuhan maka kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang selalu timbul setiap hari ini juga menampakkan sifat-sifat Allah Ta’ala?
Jika anak atau istri sedikit saja sakit maka menjadi panik dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Namun Allah Ta’ala jika menghendaki maka Dia dapat memberikan kesembuhan, sedangkan hal itu tidak ada di dalam ikhtiar (kemampuan) penganut Wujudi. Kadang-kadang kelemahan secara keuangan dan kemiskinan mengganggu. Kadang-kadang dosa, kefasiqan dan kejahatan ………………. (????)
……………
Sangat disayangkan mengenai kondisi penganut Wujudi itu, yakni mereka [mengaku] telah “menjadi Tuhan”, tetapi mereka sedikit pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Kemudian, yang paling aneh adalah kedudukan sebagai tuhan itu tidak dapat menyelamatkan mereka dari neraka, sebab Allah Ta’ala berfirman, “Man ya’mal mitsqaala dzarratin syarran- yarahu (barangsiapa mengerjakam kejahatan sebesar atom dia akan melihat balasannya” – Al-Zilzaal, 9). Jadi, jika ada yang berbuat dosa maka untuk mempertanggungjawabkannya dia harus masuk neraka, dan segenap status “ketuhanan” mereka menjadi batil.
Penganut Wujudi juga mengakui bahwa, “Fariiqun fil-jannah wa fariiqun fis- sa’iir (segolongan di dalam surga dan segolongan di dalam api” – Asy-Syuraa, 8). Tatkala di sana pun ada manusia, lalu apa perlunya mereka mengetengahkan hal-hal nonsen yang tidak ada hasil dan dampaknya?
Ringkasnya, orang-orang ini sangat tidak punya malu dan melampaui batas. Dan dikarenakan dampak yang ditimbulkan oleh golongan ini adalah sikap menghalalkan segala larangan dan kebebasan tanpa kendali, karena itu golongan ini semakin berkembang. Golongan ini telah banyak menyebarkan racun mereka di distrik-distrik Lahore, Jalandhar dan Hosyiarpur.
Perhatikanlah dan simaklah yang ditimbulkannya, kecuali sikap menghalalkan segala larangan, tidak ada hasilnya. Orang-orang ini tidak mau mengerjakan salat dan puasa, dan hal itu memang tidak mungkin, sebab rasa takut kepada Tuhan --yang merupakan dasar najat (keselamatan) serta yang merupakan landasan amal-amal perbuatan -- tidak terdapat di dalam diri mereka. Sebagian ada yang benar-benar seperti orang tak bertuhan.” (Malfuzat, jld, II, hlm. 347-349).
.
(349-352)
GOLONGAN WUJUDI
”Ringkasnya, saya katakana dengan sebenarnya, bahwa ujian/fitnah [dari kalangan Wujudi] ini merupakan salah satu dari sekian banyak ujian/fitnah yang melanda pada saat ini , dan ini merupakan ujian berat, yang telah mengalirkan sebuah sungai kefasikan (kedurhakaan) dan kejahatan. Dan ia juga telah membukakan pintu penghalalan terhadap semua larangan serta membukakan pintu Atheisme.
Jika para sahabah ridhwanullaahi 'alaihim ajma'iin hidup pada saat ini, tentu dengan melihat orang-orang ini mereka akan heran, dari mana datangnya hal ini di dalam Islam? Dalam kondisi apa pun, tidak pantas bagi manusia untuk menembus batasan-batasan dirinya sebagai manusia…..
Ringkasnya, golongan ini bagai wabah diq ( sejenis demam kronis – pent.). Ada seseorang di Allah Abad, dia menulis surat kepada saya. Setelah satu dua pucuk surat lalu dia mulia menggunakan caci-maki dan bahasa kotor. Bagi orang-orang itu masalah tazkiyyah nafs (kesucian jiwa) adalaht sesuatu yang sangat jauh, justru dalam kondisi akhlak biasa saja pun mereka tidak baik.
Hal yang sebenarnya ialah landasan akhlak fadhilah dan tadzkiyah-nafs (pensucian jiwa) adalah takwa dan rasa takut kepada Tuhan. Dan malangnya hal itu tidak terdapat di dalam diri orang-orang itu, sebab mereka sendiri sudah menjadi tuhan. Jadi tatkala mereka sudah meninggalkan kedudukan sebagai manusia lalu menjadi tuhan – dan ini merupakan hal yang telah terbukti, bahwa mereka walau bagaimana pun tidak dapat menjadi Tuhan – maka yang tersisa adalah dengan meninggalkan kedudukan sebagai manusia mereka itu telah menjadi setan. Oleh karena itu mereka sangat cepat menjadi jelas. Dan sejauh mana kalian akan melakukan penelitian terhadap kondisi-kondisi mereka, kalian pasti akan menemukan bahwa mereka sama-sekali tidak mengamalkan ketentuan-ketentuan Islam.
Sebelumnya sudah saya katakana bahwa mereka tidak mengerjakan salat dan puasa, sebabnya adalah pada diri mereka tidak ada lagi rasa takut akan Tuhan. Akhirnya mereka mulai hidup seperti orang-orang Atheis. Mereka melanggar ketentuan-ketentuan Allah, lalu menjadi bebas tanpa kendali.
Ringkasnya, ini adalah racun yang sangat berbahaya. Jika ada yang mengatakan bahwa pada perkataan-perkataan Hadhrat Baayazid Busthaami atau Khwajah Junaid Baghdadi atau Sayyid Abdul Qadir Jailani memang terdapat kata-kata seperti itu, sehingga seorang yang bodoh cenderung menyebut mereka kafir, atau dari kata-kata mereka itu golongan sesat Wihdatul Wujud ini mengambil argumentasi….. Ini adalah kesalahpahaman mereka, yang mereka landaskan pada kata-kata para tokoh tersebut.
Pertama-tama, tidak diketahui dengan benar apakah memang betul kata-kata itu muncul dari mulut mereka atau tidak? Namun, kalau pun kita mengakui bahwa kata-kata itu memang sungguh-sungguh muncul dari mereka maka tentu kalimat-kalimat tersebut tampil dari mata air kecintaan yang mendalam. Misalnya hal itu dapat dikatakan oleh seorang pecinta dalam gejolak cinta dan kemabukannya dalam cinta…..
Kemabukan dan fana (larut) tersebut adalah lain, seperti halnya kecintaan seorang ibu terhadap anaknya. Sampai-sampai jika sebentar saja si ibu tidak melihat anaknya maka hatinya menjadi gelisah dengan sendirinya, dan si ibu akan merasakan suatu kesedihan serta kerisauan. Dan semakin lama akan semakin dalam kesedihan yang timbul serta dapat membuatnya jatuh pingsan.
Nah, kefanaan itu lebih hebat dari wujudnya, namun orang-orang Wujudi ini telah menimbulkan suatu wujud baru dalam kefanaan itu. Ringkasnya, apa pun kata-kata yang muncul dari mulut para tokoh suci itu yang dipaparkan oleh golongan Wujudi untuk mendukung paham mereka akan buah dari kecintaan sangat mendalam semacam itu.
Kesalahpahaman orang-orang inilah telah mereka belokkan ke arah lain. Mereka tidak tahu tatkala kecintaan itu menggebu-gebu, maka akan tampak dampak-dampaknya yang menakjubkan, sampai-sampai seseorang itu seakan-akan terlepas dari dirinya dalam kondisi dikuasai oleh kecintaan. Orang itu tidak dapat melihat dirinya sendiri, dan yang dia tahu hanyalah bahwa dia tidak ada sedikit pun.
Permisalannya adalah seperti potongan besi yang di masukkan ke dalam api sehingga seperti bara yang memerah. Dalam kondisi demikian orang yang melihat tidak akan menyatakannya sebagai potongan besi, melainkan akan menganggapnya sebagai sebuah bara api.
Secara zahir tampak bahwa benda itu api dan dapat membakar, tetapi pada hakikatnya ia tetap saja merupakan besi. Demikian pulalah api kecintaan menampakkan keajaiban-keajaibannya. Orang bodoh dengan menyaksikan keajaiban-keajaiban itu bukannya menelaahnya lalu mengambil kesimpulan yang bermanfaat dari itu, justru ia menimbulkan suatu dampak pemikiran (khayalan) yang keliru di dalam kalbunya, dan karena itulah terdapat kesulitan-kesulitan ini. Yakni, setiap orang yang melewati sebagian besar umumya dalam suatu paham (agama) tertentu dia tidak ingin meninggalkannya.
Namun ini adalah suatu kekeliruan besar. Tatkala kekeliruan-kekeliruan dan kelemahan lainnya akan diperkarakan, kekeliruan [besar] ini pun pasti akan diperkarakan, sebab Allah Ta’ala dengan jelas telah berfirman, “Wa laa taqfu maa laisa bihii ‘ilmun (dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentangnya” – Bani Israil, 37).
Kemudian, orang-orang yang menyebut dirinya tuhan, bagaimana dapat mengatakan bahwa dia benar-benar yakin akan hal itu? Sifat- sifat ketuhanan apa yang dia rasakan dalam dirinya, sehingga dia melakukan pendakwan yang nonsense ini? Tatkala dia sering melakukan kesalahan di setiap langkah dan terbelenggu dalam rantai-rantai kebutuhan manusiawi, bagaimana pula sampai berhak mengatakan mengatakan bahwa dirinya adalah tuhan dan mengatakan bahwa dia sudah yakin akan dirinya sebagai tuhan? Jika dia berkata begitu maka orang yang melihatnya akan mengatakan, “Kenapa engkau melakukan hal yang nonsen ini? Lihatlah ketidak-berdayaan dan kelemahan diri engkau sendiri."
Di dalam Quran Syarif telah ditampakkan perbedaannya yang jelas antara Khaaliq (Tuhan Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan-Nya) dengan kata ”Alhamdulillaahi rabb ‘aalamiin”, kemudian sesudah mati pun telah ditetapkan suatu tahap. Tatkala manusia sendiri tidak dapat mengetahui dan tidak dapat memahami kondisi-kondisi serta sifat-sifat dirinya maka bagaimana mungkin manusia dapat menjadi tuhan? Keterbatasan ilmu dan kekurangannya dalam hal ilmu sendiri sudah merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk dan hamba, seandainya mereka mau merenungkan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 349-352).
MASALAH WIHDATUL WUJUD
Ringkasnya [golongan Wihdatul Wujud] ini sangat kotor. Dan orang-orang yang menganut paham wihdatul wujud mereka itu sangat lancang dan takabur. Mereka tidak mau meninggalkan kesalahan-kesalahan mereka. Dan memang bagaimana mungkin mereka akan meninggalkan kesalahan-kesalahan mereka, sebab – ma’adzallaah – mereka telah menganggap diri mereka sendiri tuhan.
Jika dipaparkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya tentu mereka akan mengetahui hakikat kesalahan-kesalahan mereka terhadap pikiran-pikiran mereka yang kekanak-kanakan itu. Oleh karena itu mereka tidak dapat mengetahui hakikat-hakikat Quran Syarif. Ini adalah suatu kerusakan besar. Saya tidak dapat mengerti, sejak kapan kerusakan ini telah timbul.
Menurut saya, dari segenap tokoh faqir (petapa) itu sangat sedikit yang tidak menganut paham tersebut, dan mereka telah menjadikan ucapan-ucapan para tokoh Islam terdahulu sebagai falsafah mereka, yaitu ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh para tokoh tersebut dalam kondisi cinta yang mendalam.
Sebenarnya perbedaan paham fana nazhiri (larut secara aruhani) dan fana wujudi (larut secara jasmani) adalah, golongan pertama itu tidak menganut suatu falsafah, melainkan menganut kecintaan yang mendalam. Sedangkan golongan yang kedua, mereka menjadi filsuf, mereka adalah musuh dan pengingkar Tuhan.
Mereka tidak cinta terhadap Tuhan, sebab seperti halnya seorang filsuf dapat menyayat-nyayat makhluk mati tetapi tidak mutlak bahwa ia pun memakan bangkai itu, demikian pula golongan Wihdatul Wujud ini duduk [mengaku] menjadi tuhan tetapi tidak mutlak bahwa mereka pun mencintai Tuhan.
Seseorang yang telah mengurai secara rinci seekor anjing atau monyet, baginya tidak mutlak bahwa dia menjalin hubungan dengan hewan itu. Begitulah pernyataan mereka. Mereka sudah menjadi filsuf, namun mereka tidak membuktikan bahwa mereka pun memiliki hubungan dengan dengan Tuhan.
Para tokoh [sufi] besar yang telah melangkahkan kaki ke depan, mereka itu telah menjadi orang-orang yang diterima [ di sisi Allah], sebabnya adalah kecintaan akan Allah menguasai diri mereka. Mereka percaya pada Quran Syarif, dan mereka berenang di lautan kecintaan terhadap Rasulullah saw.. Agama mereka adalah Islam, oleh karena itu dengan karunia Allah Ta’ala mereka menampakkan keajaiban-keajaiban demikian….
Hakikatnya adalah, tatkala seorang hamba menjalin suatu hubungan kecintaan yang mendalam dengan Khaliq-nya (Pencipta-nya) maka saat itu Allah Ta’ala menganugerahkan kepadanya suatu kelezatan dari antara Sifat-sifat-Nya, sebab Allah Ta’ala telah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya.
Ringkasnya, ini adalah kesalahan orang-orang yang [mengaku] telah menjadi tuhan itu, dan mereka telah menimbulkan kerugian besar terhadap Islam. Para penentang mengutip kata-kata mereka lalu melontarkan kritikan-kritikan terhadap Islam.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 352-353).
(hlm.353-356)
BAIAT & TABATTAL
Pada tanggal 13 September 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menguraikan tentang tabattal dan hubungannya dengan baiat:
“Menurut kami, seseorang itu baru akan dikatakan mutabattal (pelaku tabattal) ketika dia secara amalan mendahulukan Allah Ta’ala, perintah-perintah-Nya, dan keridhaan-Nya daripada dunia serta hubungan-hubungam dan kemakruhan-kemakruhan yang berhubungan dengan dunia.
Tiada suatu adat istiadat, tiada suatu ketentuan kaum (bangsa) yang dapat menjadi rahzan (perampok di jalan yang menyerang secara tiba-tiba; penghambat yang memalingkan jalannya – pent.) baginya, dan tidak pula nafsu dapat menjadi rahzan baginya. Tidak pula saudara, pasangan dan anak.
Pendeknya, tiada suatu benda pun dan tiada seorang pun yang dapat mempengaruhinya dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dan keridhaan Allah Ta’ala. Dan dalam mencari keridhaan Allah Ta’ala, dia sedemikian rupa menenggelamkan dirinya, sehingga dia mengalami suatu keadaan fana (sirna/larut)f yang sempurna, dan suatu maut (kematian) terjadi pada seluruh keinginan serta kehendaknya, sehingga yang tersisa hanyalah Allah dan Allah semata.
Hubungan-hubungan dunia kadangkadang menjadi rahzan yang berbahaya. Hadhrat Hawa tekah menjadi rahzan bagi Hadhrat Adam a.s.. Jadi, dalam bentuk tabattal taam (tabattal sempurna) hal ini adalah penting bahwa suatu kemabukan dan fana (larut/sirna) itu menguasai manusia. Namun bukanlah dia itu karenanya menjadi hilang dari Allah melainkan dia hilang (sirna) di dalam Allah.
Ringkasnya, hakikat tabattal baru akan terbuka secara amalan (nyata) apabila seluruh hambatan telah hilang, dan segala macam tabir menjadi lenyap, lalu hubungan manusia mencapai pada kecintaan yang pribadi, dan dia meraih suatu kefanaan (kesirnaan) seperti ini.
Segala sesuatu dapat saja dilakukan sebagai ucapan maupun perkataan, dan banyak yang dapat dinyatakan oleh manusia melalui kata-kata dan uraian, tetapi yang sulit adalah membuktikan apa saja yang telah dia ucapkan itu dalam bentuk amalan, sebab kalau begini setiap orang yang percaya menyukainya dan juga mengatakan, “Aku ingin mendahulukan Allah atas segala-galanya”, dan bisa saja dia mendakwakah bahwa dia memang mendahulukan [Allah Ta’ala]. Akan tetapi apabila ingin melihat dampak-dampak serta tanda-tanda yang timbul bersamaan sikap mendahulukan Allah, maka akan muncul kesulitan.
Dalam setiap perkara manusia tergelincir. Apabila dirasakan perlunya menyerahkan harta dan jiwa di jalan Allah, serta Allah Ta’ala menginginkan dari mereka pengorbanan jiwa, harta dan benda-benda yang paling mereka cintai -- padahal benda-benda itu pun bukan milik mereka – tetapi tetap mereka merasa enggan (sulit).
Pada masa-masa awal beberapa sahabah pun mengalami ujian semacam itu. Asulullah saw. memerlukan sebidah tanah untuk mendirikan mesjid. Tanah dimintakan kepada seseorang maka dia mengemukakan berbagai alasan dan mengatakan bahwa, “Saya tidak dapat memberikan tanah.”
Nah, orang itu sudah beriman kepada Rasulullah saw., dan dia telah berjanji untuk mendahulukan Allah serta Rasul-Nya atas segala sesuatu. Akan tetapi tatkala tiba masa ujian dan cobaan maka janji tersebut terpaksa diketepikan ke belakang. Walau pun pada akhirnya sebidang tanah tersebut dia berikan.
Jadi, pada hakikatnya demikianlah, suatu perkara tidak dapat diwujudkan melalui ucapan saja selama belum ada amalan bersamanya, dan tidak akan terbukti benar secara amalan selama belum ada ujian.
Pernyataan baiat yang dilakukan di tangan kami bahwa, “Akan mendahulukan agama dari dunia, dan akan menganggap orang yang diutus oleh Allah sebagai utusan-Nya (rasul-Nya), dan yang merupakan wakil Rasulullah saw. yang dinamakan Hakim dan ‘Adal, dan akan menganggap orang yang diutus oleh Allah sebagai utusan-Nya dan yang merupakan wakil Rasulullah saw. yang dinamakan Hakam dan ‘Adal sebagai imamku, aku akan menyetuji keputusannya dengan hati yang sejuk dan hati yang lapang.”
Akan tetapi apabila seseorang setelah mengikrarkan janji ini masih tetap juga tidak menyetujui suatu keputusan kami dengan senang, bahkan dia mendapat suatu ganjalan serta hambatan dalam hatinya, maka benar-benar akan terpaksa dikatakan bahwa dia tidak akan meraih tabattal sepenuhnya, dan dia tidak mencapai kedudukan yang dikatakan kedudukan tabattal itu.
Justru pada jalannya masih tersisa hambatan-hambatan dan belenggu-belenggu hawa-nafsu serta hubungan-hubungan dunia. Dan dia belum keluar dari tabir-tabir itu, yang dengan merobeknyalah manusia dapat meraih kedudukan tersebut. Selama dia belum memotong diri dari pohon dunia lalu meraih suatu pencangkokan (penyatuan) ) terhadap dahan Uluhiyyah (Ketuhanan) maka kehijauan dan kesuburannya tidaklah mungkin.
Lihatlah, jika dahan sebuah pohon dipotong dia tidak berbuah dan berbunga, tidak peduli apakah meletakkanya di dalam air sekali pun dan menggunakan seluruh unsur sumber kehidupan baginya dalam bentuk pertama tadi, namun sampai kapan pun dia tidak akan berbuah.
Demikian pula selama manusia tercangkok (menyatu) dengan seorang shadiq (benar), dia tidak dapat meraih kekuatan untuk menyerap keruhanian. Sebagaimana dahan yang sepotong dan terpisah itu tidak bisa hijau oleh air, demikian pula manusia tidak akan mendapatkan hasil bila putus hubungan dan terpisah. Jadi, bagi manusia, untuk menjadi mutabattal, juga diperlukan suatu pemutusan-hubungan dan juga suatu pencangkokan (penyatuan).
Dia harus mencangkokkan-diri dengan Allah, dan juga akan terpaksa memisahkan diri dari dunia serta dari segala macam hubungan dan tarikan-tarikannya. Tidak pula berarti bahwa dia sama-sekali memisahkan diri dari dunia lalu dia akan meraih hubungan dan cangkokan (kesatuan), melainkan sambil hidup dunia dia memisahkan diri darinya. Inilah yang merupakan keperkasaan dan keberanian.
Ada pun yang dimaksud dengan hidup memisahkan diri adalah bahwa gerakan-gerakan dan tarikan-tarikan dunia tidak dapat mempengaruhinya, dan dia tidak mendahulukan perkara-perkara itu, melainkan Allah-lah yang akan dia dahulukan. Tiada suatu gerakan dan hambatan dunia yang dapat menghalangi jalan orang itu, serta tidak dapat menarik orang itu ke arah mereka.
Saya baru saja mengatakan bahwa di dunia banyak sekali hambatan bagi manusia. Seorang pasangan atau istri pun dapat menjadi rahzan. Allah menjadi……
………………………….. pun telah memperlihatkan contohnya. Allah telah memberikan pelajaran tentang satu larangan saja. Dampaknya pertama-tama telah mengena pada perempuan, kemudian baru pada Adam a.s..
Pendeknya, apa itu tabattal? Memutuskan hubungan menuju kepada Allah lalu menganggap yang lain sebagai benda mati belaka. Banyak sekali orang yang mengerti bahwa kata-kata kami ini benar, dan mereka mengatakan bahwa semuanya ini benar dan tepat. Namun tatkala dikatakan kepada mereka, “Mengapa kalian tidak mengakuinya (menerimanya)?” Maka mereka akan mengatakan, “Orang-orang akan mencela kami.”
Jadi, pikiran bahwa “orang-orang akan mencelanya” inilah sebuah urat (nadi) yang memutuskannya dari Allah, sebab apabila di dalam hati terdapat rasa takut akan Allah dan manusia berada di bawah pemerintahan (pengaruh) keagungan serta kekuasaan-Nya, maka bagaimana mungkin dia dapat mempedulikan yang lain? Yakni apa yang dikatakan dan apa pula yang tidak mereka katakan. Saat itu yang memerintah (berkuasa) di dalam hatinya adalah orang-orang, bukannya Allah.
Apabila pemikiran berbau syirik ini sudah lenyap dari hati, kemudian [barulah] segala sesuatunya akan tampak lebih hina dan lebih lemah daripada bangkai serta cacing. Jika seluruh dunia pun bersatu ingin melawan maka tidaklah mungkin orang seperti akan terhalang untuk menerima kebenaran.
Contoh sempurna tabattal-taam hendaknya disaksikan di dalam wujud para nabi ‘alaihimus-salaam dan para utusan (rasul) Allah. Yakni, bagaimana mereka sampai tidak peduli akan kesebatangkaraan total dan ketidak-berdayaan penuh, walaupun ada penentangan-penentangan dari orang-orang dunia. Hendaknya dikutip pelajaran dari derap langkah dan kondisi mereka.
Sebagian suka menanyakan, bahwa orang-orang yang tidak mencela, namun tidak pula sepenuhnya menzahirkan (menyatakan beriman) disebabkan oleh [rasa takut] bahwa orang-orang akan mencela [mereka] – tapakah kita dapat salat di belakang mereka?
Aku katakan, tidak boleh sama sekali. Sebabnya adalah karena sampai saat itu jalan penerimaan (pengabulan) mereka terhadap kebenaran masih terdapat sebuah batu yang menggelincirkan, dan mereka hingga saat itu masih merupakan dahan dari pohon yang buahnya beracun serta mematikan.
Jika seandainya mereka tidak menganggap orang-orang dunia itu sebagai tuhan (sembahan) dan kiblat mereka, maka [tentu] mereka mencabik-cabik seluruh tabir itu lalu keluar dari situ serta mereka tidak akan perduli seclikit pun akan kutuk-laknat seseorang, dan rasa takut terhadap sorak-sorai celaan tidak menghalangi mereka, justru mereka berlari ke arah Allah.
Jadi, kalian ingatlah, bahwa kalian harus melihat dalam setiap pekerjaan apakah Allah yang ridha ataukah makhluk Allah? Selama kondisi ini tidak timbul -- dimana keridhaan Allah itulah yang didahulukan, dan tiada setan serta rahzan (perampok) yang dapat menghalangi – maka selama itu pula masih ada ancaman ketergelinciran.
Akan tetapi tatkala sudah tidak ada lagi [perhitungan] baik-buruk dunia, melainkan yang memberikan pengaruh kepadanya adalah [perhitungan] kesenangan dan kemurkaan Allah, inilah dia suatu kondisi ketika manusia sudah terlepas dari kawasan-kawasan segala macam rasa takut dan kerisauan.
Jika seseorang masuk ke dalam Jemaat kami lalu dia keluar lagi maka itulah penyebabnya, yakni setannya masih ada bersamanya dalam pakaian demikian. Akan tetapi apabila dia bertekad bahwa "Di masa mendatang aku sekali-kali tidak akan mendengarkan suatu bujuk-rayu [yang menimbulkan] kewaswasan," maka Allah akan menyelamatkannya. Sebab ketergelinciran itu pada umumnya adalah hubungan-hubungan yang lain masih terjalin, dan untuk melestarikankan dituntut agar terpaksa menjadi kendur dari sini (agama/Allah), dan dari kekenduran itu timbullah rasa asing (ketidakkenalan), kemudian dari itu timbul ketakaburan dan sampai pada keingkaran.
Contoh nyata tentang tabattal adalah Rasulullah kita saw.. Beliau tidak peduli pada kedudukan seseorang. Betapa banyaknya kesulitan yang beliau saw. alami, namun beliau tidak mempedulikannya. Tiada suatu keserakahan dan ketamakan dapat menghambat beliau dari tugas yang untuk melaksanakannya beliau saw. telah datang dari Allah. Selama manusia belum menyaksikan kondisi itu di dalam wujudnya dan belum lulus dari ujian, sampai kapan pun dia tidak akan terlepas dari ketakutan (kerisauan).
Lalu, hal ini pun patut untuk diingat, bahwa seseorang yang mutabattal pasti merupakan seorang mutawakkal. Bahkan untuk menjadi mutawakkal itu syaratnya harus mutabattal. Sebab selama hubungan dengan pihak-pihak lain itu sedemikian rupa bagaikan bergantung dan bersandar pada mereka, selama itu pula bagaimana mungkin dapat bertawakkal sepenuhnya kepada Allah?
Ketika melepaskan hubungan untuk menuju Allah dia itu memutuskan hubungan dari dunia, dan dia mencangkok (menyatu) kepada Allah, hal ini baru akan terjadi apabila terdapat tawakkal yang sempurna. Sebagaimana Nabi Karim kita saw. merupakan seorang mutabattal yang sempurna, demikian pula beliau merupakan seorang mutawakkal yang sempurna, dan inilah yang merupakan sebab mengapa beliau tidak mempedulikan sedikit pun para tokoh terkemuka dan para pemimpin kaum maupun kabilah. Dan beliau tidak terpengaruh sedikit juga oleh penentangan (perlawanan) mereka. Pada diri beliau terdapat suatu keyakinan luar biasa terhadap Wujud Allah Ta’ala. Oleh karena itulah beliau saw. telah memikul beban yang begitu hebatnya, dan menentang seluruh dunia serta tidak menganggapnya sesuatu yang berarti.
Inilah contoh besar tentang tawakkal yang tiada tandingannya di dunia ini. Itu karena di dalamnya Allah Ta’ala yang dipilih lalu dunia dijadikan lawan. Akan tetapi kondisi ini tidak akan tercipta selama [seeorang itu] belum seakan-akan melihat Allah. Selama belum ada harapan kuat bahwa sesudah itu pasti pintu lainnya akan terbuka, tatkala harapan dan keyakinan tersebut timbul maka di jalan Allah orang-orang yang ia cintai pun dia dijadikan musuh. Itu karena dia mengetahui bahwa Allah akan menciptakan sahabat-sahabat yang lain lagi. Dia membiarkan harta kekayaannya hilang, sebab dia yakin bakal memperoleh yang lebih baik daripada itu.
Pendek kata, mendahulukan keridhaan Allah adalah tabattal, dan kemudian tabattal dan tawakkal adalah kembar. Rahasia tabattal adalah tawakkal, sedangkana persyaratan bagi tawakkal adalah tabattal, dan inilah akidah kami dalam perkara ini” (Malfuzat, jld. II, hlm. 357-363). )
(hlm.363-370)
MENGINGINKAN ANAK KETURUNAN
Pada tanggal 21 September 1901, seperti biasa para sahabah mengitari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. setelah maghrib. Kemudian Munsyi Abdul Haq Patiali memohon doa untuk memperoleh seorang anak laki-laki. Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Manusia hendaknya memikirkan, mengapa pada dirinya timbul keinginan untuk memperoleh anak? Sebab, dia hendaknya jangan hanya melakukan hal itu sebatas dorongan keinginan alamiah saja, yakni seperti rasa hawa atau rasa lapar yang timbul, namun tatkala hal itu telah melampaui batas tertentu maka seharusnya ditimbulkan kerisauan untuk melakukan ishlah (perbaikan) pada hal itu.
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya, “Maa khalaqtul insa wal jinna illa liya’buduuni -- (tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya” – Adz Dzaariyaat. 57
Sekarang, jika manusia itu sendiri tidak menjadi mukmin dan pelaku ibadah serta tidak memenuhi tujuan sejati hidupnya dan tidak menunaikan hak ibadah sepenuhnya melainkan ia menjalani hidupnya dalam kefasikan dan kejahatan serta melakukan dosa-demi dosa, maka apa hasil buah keinginan orang seperti itu untuk memperoleh anak? Buahnya hanyalah dia ingin meninggalkan seorang penerus dirinya untuk melakukan dosa-dosa. Di sendiri tidak benar maka apa layaknya dia menghendaki anak keturunan?
Jadi, selama keinginan akan anak keturunan itu tidak semata-mata agar dia nanti menjadi orang beragama dan mutaki (bertakwa) serta taat kepada Allah Ta’ala dan kelak menjadi khadim bagi agama-Nya maka [selama itu pula keinginan] tersebut sama sekali tidak berguna. Bahkan merupakan semacam maksiat dan dosa. Dan bukannya hal itu dinamakan sebagai keturunan salih melainkan lebih tepat jika disebut keturunan bejad.
Namun jika seseorang mengatakan bahwa dia menginginkan anak yang salih dan mutaki serta pengkhidmat agama, maka ucapannya hanya merupakan pernyataan belaka selama dia sendiri belum melakukan ishlah (perbaikan) pada kondisi dirinya. Jika dia sendiri menjalani kehidupan fasik (durhaka) dan jahat kemudian dari mulutnya dia mengatakan bahwa dia menginginkan anak yang salih dan mutaki, berarti dia dusta dalam pernyataannya.
Sebelum menghendaki anak yang salih dan mutaki adalah mutlak agar orang itu sendiri melakukan ishlah (perbaikan) pada dirinya, dan menjadikan hidupnya sebagai kehidupan yang penuh takwa, barulah keinginannya yang seperti itu itu akan menjadi suatu keinginan yang menghasilkan buah, dan anak-anak yang seperti itu pada hakikatnya merupakan keturunan yang salih.
Namun jika keinginan itu hanya supaya nama kita tetap bertahan, dan supaya anak itu menjadi pewaris harta kekayaaan kita, atau supaya dia menjadi orang yang sangat terkenal dan masyhur maka keinginan semacam itu menurut saya adalah syirik.
Ingatlah, hendaknya sesuatu kebaikan itu jangan sekali-kali dilakukan hanya dengan landasan bahwa dengan melakukan kebaikan tersebut akan memperoleh pahala dan ganjaran, sebab jika hanya atas landasan itu kebaikan tersebut dilakukan maka hal itu bukannya upaya demi meraih keridhaan Allah Ta’ala melainkan demi pahala tersebut, dan dari itu bisa timbul kemungkinan bahwa di suatu saat dia akan meninggalkannya.
Misalnya, jika seseorang setiap hari datang berjumpa dengan saya dan saya selalu memberinya satu rupee maka tentu dia dengan sendirinya akan menganggap bahwa kedatangannya itu hanya demi uang, dan pada hari dia tidak memperoleh uang maka sejak saat itu dia tidak akan datang lagi. Ringkasnya, ini adalah sejenis syirik yang halus, hendaknya hal itu dihindari.
Suatu kebaikan hendaknya dilakukan hanya supaya Allah Ta’ala menjadi senang dan keridhaan-Nya diperoleh, dan supaya perintah-Nya diamalkan, tanpa mempedulikan apakah hal itu mendatangkan pahala atau tidak, sebab keimanan baru akan sempurna tatkala anggapan dan pemikiran semacam itu sudah tidak ada lagi.
Memang benar bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakanm kebaikan seseorang "Innallaaha laa yudhii'u ajral muhsiniin (”sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat ihsan” – At-Taubah, 120). Namun bagi orang yang berbuat kebaikan hendaknya pahala itu jangan menjadi landasan (tujuan).
Lihat, jika ada tamu datang ke sini supaya dia memperoleh kenyamanan, memperoleh minuman sejuk atau memperoleh hidangan makanan yang enak, berarti dia datang hanya untuk barang-barang itu. Padahal merupakan kewajiban tuan rumah untuk sepenuhnya dapat melayani tamu sebatas kemampuan yang dimiliki dan memberi kenyamanan kepadanya. Namun jika tamu itu sendiri berpikiran demikian maka dapat menimbulkan kerugian padanya.
Jadi, ringkasnya, artinya adalah, hendaknya keinginan akan anak itu hanya didasari oleh kebaikan. Jangan sampai didasari oleh aspek dan pemikiran bahwa [anak] itu akan menjadi penerus dosa baginya. Allah Ta’ala mengetahui, bahwa dahulu saya tidak pernah memiliki keinginan akan anak, padahal Allah Ta’ala telah memberikan anak kepadaku pada usia antara 15 atau 16 tahun. Sulthan Ahmad dan Fadhal Ahmad dilahirkan pada usia sekitar itu. Dan tidak pernah timbul di dalam diri saya keinginan agar mereka kelak menjadi orang dunia yang berhasil serta menduduki jabatan yang tinggi….
Kemudian, satu hal lainnya adalah, besar sekali keinginan orang-orang akan anak dan mereka pun memperoleh anak. Namun tidak pernah terlihat bahwa mereka berusaha keras dan memikirkan tentang tarbiyat anak-anak itu, tentang bagaimana membuat perilaku anak-anak itu bagus dan baik, serta tentang bagaimana membuat anak-anak itu menjadi patuh kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak pernah memanjatkan doa untuk hal-hal itu, dan tidak pula mereka memperhatikan jenjang-jenjang tarbiyat.
Kondisi saya adalah, tidak ada satu pun salat saya dimana saya tidak memanjatkan doa untuk rekan-rekan saya, untuk anak-anak dan istri saya. Banyak sekali orang tua yang mengajarkan adat kebiasaan buruk kepada anak-anak mereka. Pada masa permulaan ketika anak-anak itu mulai belajar melakukan keburukan maka orang tua tidak melarang mereka. Akibatnya dari hari ke hari anak-anak itu semakin berani dan tidak takut.
Ada sebuah hikayat, diceritakan bahwa seorang anak digantung akibat perbuatan-perbuatannya yang jahat. Pada saat terakhir itu dia ingin berjumpa dengan ibunya. Ketika ibunya datang maka dia mendekat ke ibunya dan mengatakan, "Aku ingin mengecup lidah itu.” Ketika lidah dijulurkan oleh ibunya maka anak itu menggigitnya sampai putus. Ketika diinterogasi dia mengatakan, “Ibu inilah yang membuat aku digantung, sebab jika dia sejak semula melarangku maka tentu pada hari ini tidak akan begini keadaanku.”
Ringkasnya, orang-orang yang memang memiliki keinginan akan anak, namun tidak supaya anak itu kelak menjadi khadim agama melainkan supaya kelak ada yang menjadi ahli warisnya di dunia ini, dan ketika anak-anak itu sudah ada maka mereka tidak memikirkan tarbiyat anak-anak tersebut, dan tidak pula mereka memperbaiki akidah anak-anak itu serta tidak pula mereka membenahi kondisi anak itu.
Ingatlah, orang yang tidak memahami hubungan-hubungan kekerabatan berarti imannya tidak benar. Apabila dia lemah dalam hal itu makan bagaimana mungkin diharapkan bahwa dia akan dapat melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Allah Ta’ala telah menjelaskan seperti ini di dalam Al-Quran mengenai keinginan akan anak:
t $oY/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»Íhèur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur úüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ)
("Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” – Al-Furqan, 75).
Dan hal itu baru dapat terjadi apabila mereka nanti tidak menjalani kehidupan yang penuh kefasikan dan kejahatan, melainkan mereka menjalani mereka menjalani kehidupan sebagai hamba-hamba Sang Rahmaan, dan menjadi orang-orang yang mendahulukan Allah Ta’ala atas segala sesuatu.
Selanjutnya dikatakan, $·B$tBÎ)úüÉ)FßJù=Ï9 $oYù=yèô_$#ur -- “dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” – Al-Furqaan, 75). Anak-anak jika baik dan mutaki maka itu akan merupakan “imam bagi mereka”, itu juga merupakan doa agar menjadi mutaki.
Semoga Allah Taala memberikan karunia agar kita menjadi orang-orang mutaki, dan semoga keinginan kita akan anak keturunan adalah berdasarkan pada asas itu. Amin.” (Malfuzat, jld. II, hlm., 370-373)
(373-382)
HAKIKAT TENTANG AL-MASIH DAJJAL
Pada tanggal 4 November 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerangkan:
“Sebenarnya Dajjal juga merupakan mau’ud (yang dijanjikan) seperti halnya Masih Mau’ud (Al-Masih yang dijanjikan), namanya adalah Al-Masih-ud-Dajjal. Di dalam surah At-Tahrim, sebagaimana terdapat kabar suka dan nas mengenai Al-Masih-ud-Dajjal, dari nas itu juga secara isyarat terdapat sebuah dalil halus mengenai wujud Dajjal. Yakni sebagaimana seorang Al-Masih telah lahir melalui peniupan ruh pada Maryam, demikian juga sebaliknya adalah penting keberadaan seorang wujud buruk yang kepadanya bukan ditiupkan Ruhulqudus (ruh suci) melainkan ruh khabits (ruh kotor). Permisalannya adalah seperti sebagian perempuan mengalami penyakit rejaa (peut membesar) dan mereka menganggapnya sebagai kehamilan, sampai-sampai mereka juga mengalami gejala-gejala lazim yang dialami oleh orang-orang hamil, dan pada bulan keempat pun mereka merasakan adanya gerakan. Namun akhirnya tidak terjadi apa-apa sedikit pun.
Demikianlah, telah diciptakan sebuah berhala yang ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran mengenai Al-Masih-ud-Dajjal, dan kekuatan pemikiran itulah yang telah menciptakan sebuah wujud, yang akhirnya tampil sebagai suatu wujud asing di dalam akidah orang-orang itu. Inilah hakikat tentang Al-Masih-ud-Dajjal.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 382).
MUKJIZAT-MUKJIZAT RASULULLAH SAW..
Pada tanggal 5 November 1901 pagi hari berlangsung perbincangan mengenai Tanda-tanda (mukjizat-mukjizat), dan dengan memperhatikan ayat, “kamaa ursila awwaluun (sebagaimana telah dikirimkan kepada orang-orang terdahulu – Al-Anbiya, 6), diketahui dengan jelas bahwa Tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) terdahulu tidak berguna pada zaman beliau saw.. Menganl hal itu pada sore harinya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:
Kata awwaluun dengan jelas memberitahukan bahwa masa itu zaman sudah maju, jadi jika Rasulullah s.a.w. memperlihatkan tongkat ular maka tidak akan berpengaruh. Tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) semacam itu memang berfungsi pada zaman-zaman terdahulu.
Seperti halnya baju yang dijahit untuk seorang anak kecil tidak akan berguna lagi ketika ia sudah besar, demikian pula zaman ketika Rasulullah saw. tidak membutuhkan lagi Tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) seperti itu, melainkan masa itu diperlukan keajaiban-keajaiban yang berderajat sangat tinggi. Itulah sebabnya Tanda-tanda (mukjizat-mukzat) Rasulullah saw. mengandung suatu rangkaian ilmu di dalamnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 382-383).
ASAS-ASA DOA
Pada tanggal 3 November 1901, seperti biasanya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pergi keluar untuk jalan pagi. Seth Ahmad Din juga turut menyertai. Maulvi Burhanuddin menyampaikan, “Seorang putera Seth Ahmad Din telah meninggal dunia, mohon Hudhur mendoakannya.” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Ya, saya akan mendoakan, namun semua itu bergantung pada iman. Seberapa Seberapa iman itu kuat, sekuat itu pula akan meraih karunia Allah Ta’ala. Apa yang tidak ada pada Allah? Jika iman tidak kuat maka manusia jadi berburuk-sangka pada Tuhan, dan kemudian manusia mulai beralih pada jimat serta tunduk kepada ghairullah (selain Allah). Jadi hendaknya kalian menjadi mukmin (orang beriman).
Terdapat asas-asas bagi doa. Saya sudah menerangkanya banyak sekali, bahwa Allah Ta’ala kadang-kadang ingin agar kemauan-Nya yang dituruti dan kadang-kadang Dia yang menuruti kemauan orang mukmin. Selain itu dikarenakan kita ini bukan maha mengetahui dan kita tidak mengetahui buah-buah akibat dari keperluan-keperluan kita oleh sebab itu kadang-kadang kita memohon hal-hal yang berdampak buruk bagi kita.
Jadi, Dia memang mengabulkan doa, dan yang bermanfaat bagi orang yang memanjatkan doa itu Dia anugerahkan kepadanya. Seperti halnya seorang petani memohon seekor kuda berkualitas tinggi kepada seorang raja, dan raja itu memahami keperluannya lalu memberi petani itu seekor kerbau bagus maka itulah yang tepat bagi dirinya.
Lihat, ibu juga tidak memenuhi setiap keinginan anak. Jika anak ingin memegang ular atau api maka kapan pula ibu akan membiarkannya? Jadi, hendaknya jangan pernah putus asa terhadap Allah Ta’ala, dan hendaknya maju dalam hal takwa serta iman.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 383-384).
PAMER
”Riya (pamer) itu kecepatanya sangat halus, dan lebih halus jalannya daripada semut. Di dalam setiap pujian kebaikan dan penghinaan terdapat celah riya (pamer). Sampai-sampai bagi orang-orang beriman dikehendaki sekiranya dia memperoleh suatu kebaikan atau manfaat dari seseorang, jika sebelum memuji kebaikan itu dia tidak memuji Allah terlebih dulu maka hal itu pun termasuk dalam kategori riya (pamer). Demikian pula pada saat mengalami suatu penderitaan atau keburukan adalah penting untuk memperhatikan hikmah Ilahi.
Keadaan orang mukmin adalah, bahwa hubungan-hubungannya yang dia jalin dengan Allah Ta’ala dia sama sekali tidak suka apabila ada yang mengetahui hal itu. Bahkan, beberapa orang sufi menuliskan bahwa ketika orang mukmin sedang memanjatkan doa-doa di dalam kesendiriannya – karena hubungannya serta kecintaannya yang mendalam dengan Allah Ta’ala – lalu pada waktu itu ada orang yang melihatnya maka dia akan merasa jauh lebih malu dibandingkan dengan orang yang tertangkap basah ketika melakukan zina. Oleh karena itu hendaknya hindarilah dari riya (pamer), dan peliharalah setiap ucapan dan perbuatan kalian dari hal itu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 384).
(hlm. 384-385)
HAKIKAT DAN DAMPAK IMAN
Pada tanggal 13 November 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Iman adalah suatu kekayaan besar, dan yang dimaksud dengan iman adalah percaya dalam kondisi ilmu (pengetahuan) belum mencapai derajat kesempurnaan, dan mulai terjadi suatu pertempuran dengan keraguan serta kebimbangan-kebimbangan. Jadi, dalam kondisi seperti itu seseorang yang menerima (mempercayai) secara kalbu dan menerima (mempercayai) secara lisan dia itu adalah mukmin, dan di sisi Sang Tauhid dia dinamakan shadiq (orang yang benar), dan atas perbuatannya itu kepadanya dibukakan jenjang-jenjang makrifat sempurna sebagai pemberian dari Allah Ta’ala.,
Surga yang sebenarnya bermula dari iman itulah. Di dalam Quran Syarif -- yang tentangnya disinggung masalah surga -- di sana terlebih dulu disinggung tentang iman kemudian tentang amal salih. Dan ganjaran bagi iman serta amal-amal salih itu adalah: " Jannaatin tajri mintahtihal anhaaru – (kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” – Al-Baqarah, 26). Yakni, ganjaran iman adalah surga. Dikarenakan untuk tetap membuat surga ini selalu subur diperlukan sungai‑sungai, karena itu sungai-sungai tersebut merupakan dampak dari amal salih. Dan hakikat yang sebenarnya adalah amal-amal salih itu akan tampil dalam bentuk sungai-sungai yang mengalir nantinya di alam berikut.
Di dunia juga kita menyaksikan, seberapa banyak manusia maju dalam hal amal-amal salih dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang melawan Allah Ta’ala serta menjauhkan diri dari kedurhakaan serta dari sikap melanggar batas-batas (hukum) Allah, maka sebanyak itu pula imannya bertambah.
Setiap amal salih yang baru maka suatu kemantapan bertambah di dalam kepercayaannya (keimanannya) serta suatu kekuatan (keteguhan) bertambah di dalam kalbunya. Dia mulai merasakan kelezatan dalam makrifat Ilahi, sampai-sampai di dalam kalbu orang mukmin itu timbul suatu kondisi kecintaan Ilahi serta kemabukan kepada Allah sedemikian rupa, yang berasal dari pemberian dan karunia Allah Ta’ala juga, sehingga sebagai akibatnya seluruh wujudnya akan seperti mangkuk yang penuh oleh kecintaan serta kebahagiaan. Dan nur-nur Ilahi sepenuhnya menyinari kalbu orang itu serta mejauhkan segala macam kegelapan dan kesempitan serta sesak.
Dalam kondisi ini, segala musibah dan kesulitan yang menghadang mereka di jalan Allah Ta’ala, satu detik pun tidak mampu membuat keimanannya rusak serta sesak. Justru sebaliknya, mereka merasakan kelezatan-kelezatan. Ini merupakan jenjang terakhir keimanan.
Tingkatan keimanan ada tujuh, dan ada lagi yang merupakan jenjang terakhir yang diberikan melalui anugerah Ilahi. Oleh karena itu surga juga memiliki tujuh pintu, dan pintu kedelapan terbuka melalui fadhal (karunia).
Ringkasnya, hal ini perlu diingat bahwa surga dan neraka yang akan ada di alam nanti bukanlah suatu surga dan neraka yang baru melainkan merupakan bayangan dari iman serta amal-amal manusia, dan inilah falsafah hakiki mengenai hal itu. [Surga dan neraka] itu bukanlah sesuatu yang datang dari luar dan diraih oleh manusia, melainkan itu muncul dari dalam manusia sendiri.
Bagi orang mukmin, dalam setiap kondisi di dunia ini juga terdapat surga. Di alam ini juga terdapat surga maujud (surga yang sudah ada), dan di alam berikut baginya terdapat surga mau'ud (surga yang dijanjikan). Jadi, betapa ini merupakan suatu hal yang benar dan jelas, bahwa surga bagi setiap orang adalah iman dan amal-amal salihnya. Kelezatan akan [iman dan amal-amal salih] itu sudah bermula sejak di dunia ini juga, dan iman serta amal-amal salih ini jugalah yang dalam corak lain tampil sebagai kebun-kebun dan sungai-sungai.
Saya katakan dengan sebenamya serta saya katakana berdasarkan pengalaman saya, bahwa di dunia ini juga kebun-kebun dan sungai-sungai itu kelihatan, dan di alam berikutnya kebun-kebun serta sungai-sungai itu akan dirasakan secara jelas. Demikian pula neraka merupakan dampak yang ditimbulkan oleh ketidak-berimanan dan amal-amal buruk manusia.
Sebagaimana di dalam surga diberikan tamsilan berupa anggur, delima dan buah-buah suci lainnya, demikian pula di dalam neraka diberikan tamsilan mengenai keberadaan pohon zaqum ( (sejenis pohon berduri). Dan sebagaimana di dalam surga akan terdapat terdapat sungai-sungai salsabil, zanjabil, dan kafur, demikian juga di dalam neraka akan terdapat sungai-sungai air mendidih dan nanah.
Dengan menelaahnya dapat diketahui, bahwa sebagaimana keimanan timbul melalui sikap rendah hati dan melepaskan kemauan diri sendiri, demikian pula ketidak-berimanan itu timbul dari takabbur dan kesombongan. Sedangkan amal-amal buruk dan kesombongan yang timbul dari takabbur dan keangkuhan akan berbentuk air mendidih serta nanah yang akan diperoleh orang-orang (penghuni) neraka.
Sekarang, betapa ini merupakan suatu hal yang jelas, yakni sebagaimana kehidupan surga di mulai sejak di dunia ini juga, demikian pula kehidupan neraka pun dibawa oleh amnesia dari dunia. Sebagaimana telah difirmankan mengenai neraka:
â$tR «!$# äoys%qßJø9$# ÇÈ ÓÉL©9$# ßìÎ=©Üs? n?tã ÍoyÏ«øùF{$#
(api Allah yang dinyalakan yang sampai ke hati” – Al-Humazah, 7-8).
Yakni neraka adalah api yang bersumber dari kemurkaan Allah, dan ia timbul dari dosa serta pertama-tama ia menguasai kalbu (hati).
Dari ayat ini diketahui dengan jelas mengenai api ini, bahwa itu adalah duka cita dan dorongan-dorongan keinginan yang mengepung manusia, sebab segenap azab ruhani bermula dari hati, sebagaimana sumber kelezatan-kelezatan ruhani adalah hati. Dan memang seharusnya bermula dari hati, sebab hati merupakan sumber tempat munculnya iman maupun ketidak-berimanan. Pucuk bunga keimanan maupun ketidak-berimanan pertama-tama muncul dari hati, kemudian barulah dia bereaksi ke seluruh badan dan anggota tubuh lainnya, dan akhirya meliputi seluruh tubuh.
Jadi, ingatlah, surga dan neraka dibawa oleh manusia dari dunia ini juga. Dan hendaknya hal ini jangan dilupakan bahwa surga dan neraka tidaklah seperti dunia jasmani ini, melainkan sumber dan pangkal keduanya itu adalah hal-hal yang bersifat ruhani.
Ya, memang benar, bahwa di alam mi’ad (janji) (???) itu ia akan tampak tampil dalam rupa-rupa jasmani. Ini adalah suatu hal yang penting. Seluruh umat telah terkecoh mengenai hal ini, dan akibat tidak memahami hakikatnya maka sampai ada yang mengingkari Tuhan. Ada yang sampai menganut akidah reinkarnasi (penitisan kembali), ada yang memaparkan hal tertentu, dan ada yang memaparkan hal lainnya.
Jika Allah Ta’ala memberi kesempatan kepada saya maka saya bermaksud untuk membahasa masalah ini secara luas. Hal itu bergantung pada kehendak dan taufik dari-NYa. JIka tidak, satu kata pun tidak dapat saya ucapkan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 386-389).
(hlm.389-399)
TAMPILNYA TANDA (MUKJIZAT) RASULULLAH SAW.
Pada tanggal 17 Nopember 1901, petang hari, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Pendakwaan saya adalah, silakan kalian memaparkan seseorang di dunia ini yang memiliki Tanda (mukjizat) yang begitu banyak yang disaksikan oleh jutaan orang. Lebih dari seratus nubuatan agung telah dicantumkan dalam buku saya, Tiryaqul-Qulub.
Tatkala orang-orang ini tidak mampu memaparkan (mengemukakan) satu orang pun, kemudian mereka mengatakan bahwa saya mengaku memiliki kelebihan daripada Rasulullah saw.. Mereka tidak tahu bahwa ini bukanlah melebihi Rasulullah saw., kesucian dan keagungan ini justru milik beliau saw., sebab di luar Rasulullah saw. tidak ada artinya sedikit pun. Justru dalam warna beliau saw. itulah dan dari jubah kenabian beliau saw. Tanda (mukjizat-mukjizat) ini tampil, dan ini berlaku melalui tangan beliau saw..
Sebenarnya, sarana-sarana dan perlengkapan tabligh serta penyebaran yang saya peroleh dan yang telah tersedia pada zaman sekarang ini belum ada pada zaman dahulu, dan tidak pula di masa lalu agama-agama memiliki kekuatan begini hebat.
Ringkasnya, Tanda (/mukjizat-mukjizat) ini tidak ada tandingannya. Nubuatan-nubuatan Ilahi Bakhs, sama sekali tidak ada hakikatnya” (Malfuzat, jld. II, hlm. 400).
(hlm. 400-402)
JEMAAT YANG BENAR SENANTIASA DITENTANG
”Sunnatullah yang berlaku adalah, bahwa berapa pun keaniayaan yang terjadi, itu terjadi pada diri orang-orang yang benar. Untuk menentang mereka telah dikerahkan seluruh kekuatan. Lihatlah, betapa hebatnya penentangan yang dilakukan terhadap Rasulullah saw., sebaliknnya Musailamah al-Kadzdzab langsung saja diterima.
Demikian jugalah yang terjadi di masa Hadhrat Musa a.s., dan sekarang pun terjadi demikian, orang-orang terus saja menyerang. Demikian jugalah yang terjadi di masa Hadhrat Masih a.s., dan sekarang pun terjadi demikian. Para pendusta sedikit pun tidak ada yang memperkarakan. Orang-orang terus saja menyerang dan menyerang dan menyerangi orang yang benar, dan semuanya bersatu untuk menentangnya” (Malfuzat, jld. II, hlm. 402).
TABLIGH KEPADA SANAK KELUARGA
Pada tanggal 18 Nopember 1901, sekembali dari jalan pagi, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. bersabda kepada Nawwab Sahib:
“Saya selalu mendengar bahwa Anda dari waktu ke waktu selalu bertabligh kepada sanak keluarga Anda. Itu suatu hal yang sangat baik. Manusia hendaknya setiap saat berpikir, sejauh kemungkinan yang ada hendaknya menyampaikan perintah Ilahi ini kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Di dalam hadits dikatakan pimpinan suatu qabilah (suku) akan dipertanyakan sebagaimana nabi dari suatu umat akan dipertanyakan [tanggungjawabnya]. Ringkasnya, kapan saja ada kesempatan hendaknya jangan disia-siakan, hidup ini tidak dapat dipegang (diandalkan)..
Ketika Rasulullah saw. menerima perintah, "Wa-ndzir 'asyiratakal aqrabiin (berilah peringatan kepada kaum kerabat) maka beliau menyampaikan amanat Allah kepada mereka satu persatu. Demikian pula saya telah menyampaikan tabligh sering kali kepada kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam berbagai kesempatan, dan sekarang pun saya kadang-kadang menyampaikan nasihat di dalam keluarga.
Saya bermaksud untuk menulis segenap hal dalam kata-kata yang mudah dalam bentuk tanya-jawab, berupa kisah bagi kaum perempuan, namun saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk itu. Jika ada orang yang mau menulis demikian maka akan banyak sekali manfaat yang diarih oleh kaum perempuan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 402-403).
JALAN TENGAH
“Orang-orang kaya banyak sekali melakukan pekerjaan yang sia-sia dan akhirnya mereka mengalami kerugian. Jika mereka menjalani hidup mereka dengan jalan tengah, maka tentu tidak akan apa-apa. Malapetaka uang bunga yang telah membuat umat Islam menjadi sangat lemah, orang-orang kikir ini mengambil bunga uang di atas bunga, lalu akhirnya seluruh harta kekayaan disita.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 403).
(403-406)
KEDUDUKAN HUJJATULLAH
“Apabila manusia berada pada kedudukan Hujjatullah maka Allah Ta’ala sendiri menjadi kaki-tangan bagi dirinya. Dan ini benar, yakni ketika manusia sepenuhnya telah melakukan perdamaian dengan Allah Ta’ala, dan menyerahkan kepada-Nya segala kehendak, segenap keinginan dan kekuatannya, maka yang menjadi seluruh kekuatannya adalah Allah.
Tamsilnya seperti besi yang dimasukkan ke dalam api, dan dengan betul-betul dipanaskan maka besi itu menjadi merah seperti api, dan sifat-sifat yang ada pada besi tersebut saat itu hanyalah sifat-sifat api.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 406-407).
ARTI “KHAIRUL MAAKIRIIN”
”Saya memperhatikan bahwa kata makar digunakan bagi Rasulullah saw. dan bagi Al-Masih a.s. di dalam Al-Quran. Dan bagi saya pun kata ini tampil di dalam buku Barahin Ahmadiyyah. Yakni suatu rencana terselubung telah dilakukan untuk membunuh Al-Masih, dan hal itu juga dilakukan terhadap Rasulullah saw.. Di sini pun rencana-rencana telah dilakukan, dan dari pihak mereka sendiri sekarang pun hal itu tidak dapat dibedakan. Namun makar Allah Taala mengungguli semua itu.
Makar adalah upaya terselubung dan halus. Lekh Ram telah menulis dalam suratnya, “Mintalah suatu Tanda untukku dari [Tuhan] Khairul-Maakiriin.” Tatkala Allah Ta’ala melalui sarana-sarana halus membinasakan atau menghinakan orang yang bersalah dan melindungi hamba-Nya yang benar dari rencana-rencana dan kejahatan-kejahatan para musuh, maka pada waktu itu dipaparkan nama-Nya yang merupakan Khairul Maakiriin. Yakni Dia mengetengahkan sarana-sarana sedemikian rupa untuk menghukum orang yang bersalah itu, yaitu sarana-sarana yang dipaparkan (digalang) untuk tujuan lain.
Jadi, sarana-sarana yang tadinya untuk kebaikan (keuntungan) orang itu, teryata telah berubah menjadi penyebab kebinasaannya. Itulah sebabnya Masih a.s. telah diselamatkan dengan cara demikian, yakni sarana-sarana yang telah digalang untuk kebinasaan beliau ternyata terbukti sebagai faktor keselamatan hidup beliau.
Demikian pula bagaimana Rasulullah saw. telah diselamatkan dari rencana para kafir Mekkah, dan seperti itu juga janji-Nya di sini. Mungkin ada saja yang mengatakan bahwa mengapa tidak di sana (Mekkah) saja beliau itu langsung di selamatkan? Maka jawabannya adalah itu bukanlah merupakan Sunnatullaah, melainkan Allah ingin memperlihatkan ilmu-Nya, karena itu Dia mengeluarkan beliau dari sana (Mekkah).
Batas makar adalah sampai sebatas tadbir (upaya) manusia, namun tatkala telah keluar dari corak-corak rencana-rencana manusia maka hal itu telah menjadi mukjizat yang di luar kebiasaan tertentu. Jika ada iman sebesar dzarrah sekali pun maka hal-hal ini dapat dipahami dengan jelas. Tidak ada nabi yang tidak melakukan hijrah.” (Malfuzat, jld, II, hlm. 407-408).
(408-430)
GOLONGAN WUJUDI & SYUHUDI
Seseorang bertanya mengenai golongan Wujudi (Wihdatul Wujud), Hadhrat Masih Mau;ud a.s. menjelaskan:
“Menurut saya, hal ini perlu direnungkan yakni Wujud dan Syuhud. Pendapat saya adalah, dimana saja manusia tidak berhak melangkahkan kaki maka melangkahkan kaki ke sana adalah suatu kesalahan dan kelancangan. Golongan Wujudi memaparkan pendakwaan corak falsafah, dan mengatakan bahwa sebagaimana dokter memotong-motong mayat lalu memeriksa bagian dalamnya, seperti itulah mereka telah melihat Tuhan. Mereka juga mendakwakan: “Alhamdulillaahil- ladzii khalaqal asyia-a wa huwa ‘ainuhaa” (segala puji bagi Allah Yang menciptakan sesuatu dan dia kekal (???)” itu adalah pendakwaan besar.
Golongan Syuhudi merupakan golongan yang tenggelam dalam kecintaan yang mendalam [kepada Allah Ta’ala]. Seperti halnya besi yang dijadikan merah di dalam api, maka dalam kondisi demikian orang yang melihatnya apabila menyebutnya sebagai api, dalam bentuk tertentu memang dapat dimaafkan, sebab api telah mendominasi besi tersebut.
Ringkasnya, paham golongan Syuhudi adalah bahwa manusia dapat memperoleh banyak manfaat dari Wujud Tuhan. Tatkala kecintaan Tuhan dan makhluk berkumpul menyatu di dalam satu kalbu maka manusia menjalani suatu corak baru, dan di dalam kondisi itu manusia melihat bahwa dirinya benar-benar tenggelam di dalam Tuhan dan dirinya telah lenyap serta yang tampak hanyalah Tuhan. Sedangkan golongan Wujudi menghendaki suatu fakta [secara wujud/fisik]. Mereka sedikit pun tidak ada hubungannya dengan cinta, sebagaimana pengakuan para penganut faham Wujudi masa sekarang ini bahwa mereka adalah Tuhan.
Golongan Syuhudi mengatakan bahwa manusia adalah manusia, dan Tuhan adalah Tuhan. Yakni, secara syuhud (penyaksian/kesaksian) mereka mendapatkan diri mereka itu sebagai pencari dan telah tenggelam di dalam Tuhan. Jika [benar] manusia [dapat] menjadi Tuhan maka di dunia ini dia harus menjadi Tuhan, dan di akhirat pun tetap menjadi Tuhan, tetapi terbukti bahwa di dunia ini pun manusia tetap manusia dan di akhirat pun demikian. Tampak bahwa status [manusia] itu tidak terlepas dari diri manusia.
Saya mengatakan, setiap orang memiliki corak tersendiri. Banyak sekali orang yang merasakan kelezatan dalam quwwali (nyanyian yang memaparkan nuansa-nuanas sufi). Namun saya melihat bahwa itu bukanlah sumber air kebijakan. Jadi, jika [golongan Wujudi] memiliki bukti di dunia ini, mereka hendaknya mengemukakan seseorang yang memiliki sifat-sifat Tuhan.
Bualan orang-orang duniawi ini dapat diadukan dengan Tuhan serta dengan hamba utusan Tuhan seperti ini. Yakni Al-Masih telah diakui sebagai Tuhan, sedangkan Muhammad Rasulullah saw. diakui sebagai seorang utusan (rasul) Tuhan. Nah, sebagai perbandingan lihatlah, Al-Masih ditangkap, sedangkan orang yang ingin menangkap Muhammad Rasulullah saw. justru dia sendiri yang telah mati.
Jadi, bersikaplah adil, yakni satu orang disebut manusia dan pekerjaannya dia serahkan kepada Allah. Orang yang ingin menangkapnya sendiri yang telah terbunuh. Orang-orang Yahudi yang mengenai mereka dikatakan: "Dhuribat 'alaihimudz dzillatu wal maskanah – (ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan” – Al-Baqarah, 62), dalam satu jam saja mereka berhasil menangkap manusia yang disebut “Tuhan” itu lalu siap untuk membunuhnya. Renungkanlah wahai orang yang berakal!
Jika ada yang mengatakan, “Itu hanyalah sifat ketuhanan, sudahlah biarkan saja.” Sejauh yang saya perhatikan, Tuhan itu berkata-kata dengan kita dan Dia memperlihatkan hal-hal luar biasa serta mukjizat-mukjizat, namun demikian kita tetap saja manusia. Wujud suatu dinding adalah tersendiri, sedangkan wujud bayangannya adalah lain lagi.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin, ar-Rahmaanm ar-Rahiim, Maaliki yaumid-diin” dan seterusnya, ini semua menghendaki adanya Rabb (Tuhan) dan juga menghendaki adanya wujud makhluk (yang diciptakan). Jadi, kemukakanlah bukti Ketuhanan mereka itu kepada kami. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk, dan dunia pun Dia jadikan sebagai makhluk (yang diciptakan), lalu bagaimana mungkin kita dapat mengakui bahwa bulan, matahari, dan lainnya sebagai Tuhan? Seluruh nabi selalu menampakkan rasa takut. Jika di dalam diri mereka terdapat warna Tuhan maka mengapa ada rasa takut t itu?
Di dalam Jemaat saya juga dahulu terdapat seorang penganut paham Wujudi, yaitu Maulvi Ahmad Jaan. Dia tidak pernah membicarakan masalah ini dengan saya. Baru-baru ini dia telah meninggal dunia, dan di dalam itu dia menghabiskan seluruh usianya. Saya bukanlah budak belian seseorang. Saya justru memilih jalan yang paling selamat dan paling terang. Saya tidak memiliki permusuhan dengan orang-orang Wujudi. Saya justru melihat mereka sebagai orang-orang yang patut dikasihani.”
Orang yang bertanya kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengemukakan ayat berikut ini sebagai bukti masalah Wihdatul Wujud: “Wa huwal awwalu wal- aakhiru – Dia-lah Yang Awwal dan Yang Akhir” – Al-Hadid, 4). Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Ayat-ayat Allah Ta’ala itu sedemikian rupa, yakni sebagian ayatnya menjelaskan sebagaian ayat lainnya. Tafsir mengenai kata awwal itu adalah: "Kaanallaahu wa lam yakum ma'ahuu syai-un (sAllah itu berdiri/tegak atas Dzat-Nya sendiri dan tidak disertai oleh benda apa pun), sedangkan arti aakhir adalah: "Kullu man 'alaihaa faanin – (segala sesuatu yang ada di bumi ini binasa – Ar Rahmaan, 27).
Jadi, makna-makna yang dipaparkan oleh Tuhan itulah yang saya sukai. Disayangkan bahwa orang-orang Yahudi di zaman sekarang ini tidak salat dan tidak berpuasa serta mereka tidak pernah membuka mempelajari Alquran. Ya, saya berbicacara mengenai negeri ini, yakni yang mencakup Jalandhar, Batala, Hosyiarpur, Sialkote dan sebagainya. Saya melikat kebanyakan orang [Wujudi] ini tenggelam dalam kebiasaan bermabuk-mabukan dan mengisap marijuana serta bercampur dengan orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan.
Kebanyakan mereka mengatakan bahwa Wujudi adalah orang yang tidak pernah menyebut nama Tuhan, melainkan segala sesuatu yang ada adalah makhluk. Jadi, orang-orang ini adalah mereka yang disebut Atheis oleh orang-orang.
"Kaanallaahu wa lam yakum ma'ahuu svai-un (Allah itu berdiri alas Dzat-Nya sendiri dan tidak disertai oleh benda apa pun) adalah sebuah hadits, dan dari hadits serta Taurat terbukti bahwa Tuhan itu tersendiri (mendiri), sedangkan di bumi terdiri atas …………………disertai oleh 3 buah hadits. ……………… bahwa di bumi serta langit dan sebagainya tidak ada apa-apa. Ini adalah suatu hal yang telah diakui oleh segenap Ahli Kitab. Jadi saya tidak punya ikhtiar untuk membelokkannya lalu menampilkan suatu nama lain.
Sebagian orang suka bergurau, namun gurau pun semacam racun. Kita hendaknya jangan menyukai makna-makna yang bersifat gurauan, melainkan hendaknya Taurat Al-Quran dan Hadits diperiksa, dan semuanya mengatakan bahwa terdapat suatu Kekuatan yang tidak ditemukan pada benda-benda yang berwujud (makhluk).
Saya berpendapat bahwa Wihdatul Wujud pun muncul dari gurauan. Makna yang seperti di atas itulah yang terbukti dari segenap kitab terdahulu, dan rinciannya terdapat di dalam Al-Quran serta Taurat. Pertama-tama hal ini tidak perlu diperdebatkan. Bagi manusia hal paling pertama yang penting adalah mengimani Tuhan secara garis besar. Tatkala keimanan tersebut telah timbul maka dengan sendirinya hakikat-hakikat akan terbuka atas diri seseorang.
Lihat dalam satu serangan penyakit, maka potensi rasa pun hilang. Rasa asam, manis, pahit, asin dan sebagainya semuanya hilang. Jadi, telah diketahui bahwa indera perasa ini sangat berguna. Satu indera terdapat pada hidung. Seseorang yang tidak memiliki indera [penciuman] ini disebut akhsyam. Sebagian lagi yang indera [pendengaran] telinganya hilang.
Jadi, tatkala sebagian indera ini dapat tidak berfungsi, demikian pula kadang-kadang potensi-potensi ruhani pun menjadi tidak berasa, dan manusia pun – seperti Sayyid Ahmad Khan – jadi beranggapan bahwa pengabulan doa dan hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 430-433).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar