BAIAT, TAUBAT, DAN DOSA
”Hendaknya diketahui apa faedahnya yang terkandung dalam baiat dan mengapa hal itu perlu. Sebab selama faedah dan nilai sesuatu tidak diketahui maka ia tidak memiliki nilai di pandangan mata. Sebagaimana manusia menyimpan berbagai macam harta kekayaan di dalam rumahnya. -- seperti uang rupiah, uang sen, uang, kori (pecahan uang terkecil - pent.), kayu dan sebagainya -- maka pemeliharaan segala sessuatu itu tergantung pada jenis bendanya. Dia tidak akan menyiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa, sebagaimana yang ia harus lakukan untuk uang sen dan rupiahnya.
Bagi kayu dan lain sebagainya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Dia tidak akan menyiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa sebagaimana yang harus ia lakukan untuk uang sen dan rupiahnya. Bagi kayu dan lain sebaginya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Yakni, suatu benda yang kalau hilang akan menimbulkan kerugian lebih besar maka penjagaannya akan lebih ketat.
Demikian pula halnya dalam baiat, masalah yang paling besar adalah taubat, yang berarti rujuk (kembali). Ini adalah suatu kondisi dimana seorang manusia mempunyai hubungan erat dengan dosa dan dia telah menganggapnya sebagai tanah air, seolah-olah ia telah menetapkan tempat tinggalnya di dalam dosa itu, maka arti taubat adalah dia harus meninggalkan tanah air tersebut, sedangkan arti rujuk (kembali) adalah menempuh kesucian.
Meninggalkan tanah-air adalah suatu hal yang sangat berat dan menimbulkan berbagai macam penderitaan. Seseorang yang yang meninggalkan rumahnya, betapa ia merasakan kepedihan. Dan dalam meninggalkan tanah-air, dia terpaksa ia harus memutuskan hubungan dengan segenap handai-taulan dan segala sesuatu – seperti tempat tidur, tanah, lorong-lorong dan pasar-pasar – semuanya harus dia tinggalkan, pergi ke tempat baru, yakni dia tidak akan pernah kembali ke tanah airnya. Itulah yang dinamakan taubat.
Sahabat dosa itu lain dan sahabat takwa pun lain, para sufi menyebut perubahan ini maut (kematian. Barangsiapa bertaubat dia terpaksa menanggung kesusahan yang besar. Dan ketika melakukan taubat sejati dia akan dihadang oleh kesulitan-kesulitan besar, dan Allah Ta’ala Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Selama Dia tidak menganugerahkan ganjaran nikmat atas seluruh hal itu, Dia tidak akan menghantamnya. Hal inilah yang diisyaratkan di dalam ayat "Innallāha yuhibbut tawwābīna – (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat – Al-Baqarah, 223). Yakni setelah orang itu taubat dia akan menjadi gharib (asing) dan miskin. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menyayangi dan mencintainya serta memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang shalih.
Agama-agama lain tidak menganggap Tuhan itu Maha Pemurah ((Ar-Rahmān) dan Penyayang (Ar-Rahīm), oang-orang Kristen menganggap Tuhan sebagai penganiaya dan menganggap anak-Nya sebagai pengasih, sebab sang Bapak tidak mengampuni dosa, melainkan sang anak-lah yang mengorbankan nyawanya untuk memperoleh pengampunan dosa. Sungguh suatu kebodohan yang amat sangat, betapa besarnya perbedaaan antara bapak dan anak, padahal antara bapak dan anak terdapat kesamaan dalam hal akhlak dan tingkah laku.
Seandainya Allah bukan Maha Pemurah maka manusia tidak akan bisa hidup barang sedetik pun. Dia-lah Tuhan yang sebelum adanya amal manusia telah menciptakan ribuan benda untuk keperluan manusia itu sendiri. Oleh karena itu dapatkah Dia dianggap tidak akan mengabulkan taubat serta amal?
Bukanlah hakikat dosa bahwa Tuhan menciptakannya lalu setelah ribuan tahun kemudian barulah Dia teringat akan pengampunan dosa. Sebagaimana lalat memiliki dua sayap -- pada salah satu sayap terdapat penawar racun, sedangkan pada sayap lainnya terdapat racun – demikian pulalah manusia memiliki dua sayap, yang satu adalah sayap dosa, dan yang kedua adalah sayap penyesalan, taubat, dan kedukaan. Ini adalah satu ketentuan. Sebagaimana ketika seseorang menghajar (memukul) budak (hamba sahaya) maka kemudian ia akan merasa menyesal -- seolah-olah kedua sayapnya sama-sama bereaksi -- bersama racun itu terdapat penawar.
Kini, yang menjadi persoalan adalah, mengapa racun itu diciptakan? Maka jawabannya adalah, bahwa walaupun ini merupakan sebuah racun, namun ia juga memiliki potensi sebagai penawar bagi racun yang mematikan. Seandainya tidak ada dosa maka racun kesombongan (keangkuhan) akan merajalela di dalam tubuh manusia, dan dia akan binasa.
Taubat itulah yang menangkalnya. Dosa menghindarkan manusia dari bahaya yang ditimbulkan oleh ketakaburan dan keangkuhan. Tatkala Nabi ma’shum (suci dari dosa) saw. saja melakukan istighfar sebanyak 70 kali [setiap hari], maka apa pula yang harus kita lakukan? Yang tidak bertaubat dari dosa adalah orang yang menyenangi dosa, sedangkan orang yang menganggap dosa itu sebagai dosa, akhirnya ia akan meninggalkan [dosa] itu
Di dalam hadits dikatakan, bahwa tatkala seorang insan berkali-kali menangis di hadapan Allah memohon pengampunan, maka akhirnya Allah akan berfirman, “Kami telah mengampuni engkau, kini apa pun yang dikehendaki hati engkau, lakukanlah”, artinya hati orang itu telah diubah, dan kini baginya dosa merupakan suatu hal yang buruk.
Sebagaimana orang melihat seekor domba sedang makan kotoran, maka ia tidak akan memakannya (memakan dagingnya), nah demikian juga halnya seorang insan yang telah diampuni Allah ia tidak akan berani berbuat dosa. Orang-orang Islam sangta membenci daging babi, padahal mereka melakukan ribuan pekerjaan haram dan terlarang lainnya. Hikmah yang terdapat di dalamnya adalah, telah diberikan contoh kebencian (ketidak-sukaan), dan telah diberikan pengertian bahwa demikian jugalah manusia hendaknya membenci dosa.
Orang-orang yang berdosa sama sekali hendaknya jangan berhenti berdoa karena menganggap banyaknya dosa dan lain sebagainya. Pada akhirnya melalui doa dia bakal menyaksikan betapa dia akan menganggap dosa itu suatu hal yang buruk. Orang-orang yang tenggelam di dalam idosa lalu putus asa atas pengab ulan doa dan tidak kembali pada taubat, akhirnya mereka akan mengingkari para nabi dan pengaruh-pengaruhnya.
Ini adalah hakikat taubat dan mengapa ia merupakan bagaian dari baiat. Masalahnya adalah manusia telah tenggelam dalam kelalaian. Ketika dia baiat, dan melalui tangan seseorang telah dianugerahkan perubahan itu oleh Allah Ta'ala, maka sebagaimana akibat okulas (cangkokan) pada sebuah pohon akan menimbulkan perubahan pada sifat-sifatnya, seperti itu pula melalui okulasi makac berkat-berkat dan nur-nur [yang terdapat dalam diri orang yang telah memperoleh perubahan tadi] akan melekat padanya. Dengan syarat bahwa ia harus benar-benar mempunyai hubungan dengannya. Hendaknya jangan seperti cabang kering, melainkan menyatulah sehingga menjadi cabangnya. Sejauh mana ia menyatu maka sejauh itulah ia akan memperoleh manfaatnya.
Baiat yang hanya sebagai adat (formalitas) belaka tidak akan memberikan manfaat. Orang-orang yang masuk melalui baiat seperti itu akan sulit. Ia akan terhitung masuk tatkala dia benar-benar telah meninggalkan dirinya dan menyatu dengan penuh kecintaan serta keikhlasan dengannya.
Orang-orang munafik -- dikarenakan tidak memiliki hubungan sejati dengan Yang Mulia Rasulullah saw. -- akhimya tetap tidak beriman. Di dalam diri mereka tidak timbul kecintaan dan keikhlasan hakiki. Oleh karena itu ikrar Lā ilāiha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah) secara zahiriah tidak memberikan manfaat pada diri mereka.
Jadi, meningkatnya hubungan-hubungan ini adalah suatu hal yang sangat penting. Jika seandainya dia (pencari) itu tidak meningkatkan hubungan-hubungan tersebut, serta tidak berusaha mencobanya, maka keluh-kesahnya tidak akan berfaedah.
Hendaknya hubungan kecintaan dan keikhlasan itu ditingkatkan. Sedapat mungkin hendaknya sewarna dengan insan mursyid (yang mendapat bimbiingan) dalam segala cara dan itikadnya. Nafsu menjanjikan umur yang panjang, Itu adalah tipuan. Umur tidak dapat dipercayai. Hendaklah segeralah tunduk ke arah kebenaran dan ibadah, serta hendaknya terus menghitung (menghisab) dari subuh hingga petang” (Malfuzat, jld. I, hlm. 2-5).
PENEKANAN PENTINGNYA SHALAT TAHAJJUD
“Jika seluruh umur ini dilewatkan di dalam pekerjaan-pekedaan duniawi, maka apa yang telah dikumpulkan untuk akhirat ? Bangunlah secara khusus untuk tahajud dan dirikanlah dengan penuh minat dan khusuk. Dikarenakan di antara salat-salat itu ada pekerjaan maka akan timbul ujian. Pemberi rezeki adalah Allah Ta’ala. Hendaknya dirikan shalat pada waktunya. Zhuhur dan Asar kadang-kadang bisa dijamak. Allah Ta’ala mengetahui bahwa akan ada orang-orang yang lemah (‘uzur), untuk itulah kelonggaran ini diberikan. Namun kelonggaran ini tidak dilakukan untuk menjamak tiga shalat.
Tatkala di dalam pekerjaan dan hal-hal lainnya menusia mendapat hukuman [dari pimpinan], seandainya menanggung derita itu demi Allah Ta’ala maka betapa indahnya” (Malfuzat, jld I, hlm. 6).
PEKERJAAN PARA NABI DAN PARA SHIDDIQ
“Orang-orang yang menanggung derita serta kerugian demi kebenaran, mereka itu di pandangan orang banyak pun akan disenangi, dan itu adalah pekerjaan para nabi serta para shiddiq.
Barangsiapa menimbulkan kerugian duniawi [atas dirinya] demi Allah, maka Allah Ta’ala tidak akan pernah memikul tanggungjawab akan hal itu, Dia akan memberi ganjaran sepenuhnya” (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 6).
PENTINGNYA MENJAGA “PERASAAN” ALLAH TA’ALA
“[Adalah wajib bagi manusia] untuk tidak bersikap munafik. Misalnya jika ada seorang Hindu (apakah itu penguasa ataupun pejabat) mengataan bahwa Rām (Tuhan orang Hindu -pent.) dan Rahīm (Maha Penyayang) itu satu adanya, maka pada kesempatan seperti itu janganlah bersikap mudahinah (mengiya-iyakan). Allah Ta’ala tidak melarang kita dari peradaban (tata-krama).
Berikanlah jawaban yang sesuai dengan peradaban (tata-krama). Hikmah itu bukanlah berarti supaya kita melakukan pembicaraan tanpa sebab yang menimbulkan amarah serta peperangan. Janganlah sekali-kali menyembunyikan kebenaran, sebab dengan cara mudahinah (mengiya-iyakan)_ manusia bisa mennjadi kafir”:
[Syair:] Yaare Ghaalib syaw keh taa ghaalib
………………….
Hendaknya kita harus menjaga dan memelihara perasaan Allah Ta’ala. Di dalam agama kita tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan peradaban (tata-krama)” (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 6-7).
MENGGUNAKAN SENJATA PENA, BUKAN PEDANG
“Kalian harus memahami betul, bahwa kebutuhan saat ini bukanlah menggunakan pedang, melainkan pena-lah yang harus digunakan. Keragu-raguan terhadap Islam yang telah ditimbulkan musuh-musuh kita, dan serangan yang disebabkan ilmu pengetahuan yang berbeda, telah menunjukkan kepadaku bahwa dengan bersenjatakan pena (tulisan), aku harus turun ke medan pertempuran, dan menjukkan kepada mereka keberanian Islam dan kekuatannya yang menakjubkan.
Aku tidak memiliki kemampuan untuk memasuki medan [pertempuran] ini, tetapi hanya karunia Tuhan yang menolongku, dan benar-benar merupakan rahmat yang besar bagiku, karena Dia menyukai seorang yang rendah seperti diriku untuk menjelmakan ketinggian agama ini.
Satu kali aku menghitung tuduhan-tuduhan yang ditujukan musuh terhadap Islam, dan menurut perkiraanku jumlahnya tidak kurang dari tiga ribu, dan jumlah ini pasti telah bertambah sekarang. Jangan biarkan seorangpun beranggapan bahwa Islam adalah agama yang sedemikian lemahnya sehingga menjadi sasaran tiga ribu tuduhan, Tidaklah demikian. Tuduhan-tuduhan ini diajukan oleh orang-orang bodoh dan tidak mengerti.
Aku ingin menyampaikan, bahwa selain aku menghutung tuduhanp-tuduhan ini, aku juga mempelajarinya, dan sampai pada kesimpulan, bahwa terdapat kebenaran-kebenaran unik yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan ini -- kebenaran-kebenaran ini tidak dapat mereka lihat karena kurangnya penglihatan mereka, dan sesungguhnya hal itu merupakan sunnah Tuhan, bahwa di mana pun penuduh muncul maka di sana terdapat nilai kebenaran yang besar serta rahasia ruhani.
Aku telah ditugaskan untuk mengeluarkan harta tersebut dan menyingkirkan kotoran-kotoran tuduhan dari permata yang berkilauan. Tuhan sangat cemburu pada hal itu, Dia menghendaki agar ketinggian Al-Quran harus disucikan dan dimurnikan dengan menyingkirkan setiap tuduhan yang telah ditimpakan oleh orang-orang yang berhati kotor” (Malfuzāt, jld. I, hlm. 7).
KEANIAYAAN TERHADAP ISLAM
”Islam. Islam selalu teraniaya. Sebagaimana kadang-kadang di antara dua bersaudara terjadi perselisihan, maka saudara yang tua berbuat aniaya terhadap adiknya disebabkan dia lebih besar dan lebih dulu lahir. Oleh karena itu dengan ia terlebih dahulu, ia merasa bahwa bahwa haknya lebih besar.
Seperti itulah halnya keaniayaan yang tengah berlangsung terhadap Islam. Islam datang [paling belakangan] dari sekalian agama lainnya. Islam telah memberitahukan kesalahan segenap agama lainnya. Dan sesuai dengan ketentuan bahwa pihak yang jahil itu selalu menjadi musuh pihak yang bermaksud baik, demikian pula halnya, bahwa segenap agama lainnya marah terhadap Islam. Sebab di dalam hati mereka bernaung (bercokol) rasa keagungan mereka masing-masing
Manusia selalu menjadi takabur disebabkan oleh jumlah bangsanya yang mayoritas, umurnya yang lebih tua, dan karena banyaknya harta. Rasulullah saw. adalah seorang yang miskin, berasal dari golongan minoritas dan baru. Oleh karena itu itu mereka tidak mengakui [pendakwaan] beliau. Kebenaran itu selalu teraniaya.
ISLAM TIDAK MENGIZINKAN MEMBURUK-BURUKKAN
PENDIRI AGAMA MANA PUN
PENDIRI AGAMA MANA PUN
“Islam merupakan suatu agama yang begitu sucinya, ia tidak memberikan izin untuk memburuk-burukkan pendiri agama mana pun. Sebaliknya, para pengikut agama lainnya selalu siap untuk mencaci-maki tanpa kebenaran. Lihatlah betapa hebatnya orang-orang Kristen ini mencaci-maki Yang Mulia Rasulullah saw.. Seandainya Yang Mulia Rasulullah saw. masih hidup pada saat ini, maka dikarenakan keagungan lahiriah beliau, mereka tidak akan berani mengucapkan suatu kalimat pun di lidah mereka. Bahkan mereka akan menghadap pada beliau dengan penuh hormat.
Amir Kabul dan Kaisar Roma merupakan orang biasa jika dibandingkan dengan Rasulullah saw., namun demikian [orang-orang Kristen] tidak berani mencaci-maki mereka, tidak berani bersikap kurangajar terhadap mereka. Namun, kalau disebutkan nama Yang mulia Rasulullah saw. maka mereka langsung melontarkan ribuan caci-maki.
Islam bersikap baik terhadap agama lainnya, yaitu ia telah membebaskan setiap nabi dan kitab lain, sedangkan Islam sendiri teraniaya. Inti [agama] Islam adalah Lā ilāha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah), hal ini tidak ditemukan pada agama lainnya mana pun”. ( Malfuzāt, Jld. I, hlm.7-8).
MAKNA NUZUL
Pada 1896 Hz.Masih Mau’ud a.s. menerangkan:
“Ada suatu kata tentang kedatangan Hadhrat Masih a.s.., kata itu adalah nuzul, bukan ruju’ (kembali).
Pertama-tama, kata yang digunakan bagi orang yang kembali adalag ruju’, sedangkan kara ruju’ (kembali) dimana pun tidak pernah digunakan bagi Nabi Isa a.s..
Kedua, kata nuzul (turun) tidaklah berarti turun dari langit. Nazīl berarti musafir”. (Malfuzāt, Jld. I, hlm. 8).
TUJUAN BERSIKAP KERAS TERHADAP PENENTANG
”Adapun sikap keras (tegas) yang kami lakukan terhadap para penentang di beberapa tempat (tulisan), itu adalah untuk melenyapkan ketakaburan mereka. Itu bukanlah jawaban-jaawaban kasar, melainkan sebagai pengobatan, itu merupakan obat yang pahit: Al-Haqqu murrun -- (kebenaran itu memang pahit).
Namun demikian, tidak dibenarkan bagi setiap orang untuk menggunakan tulisan yang demikian. Jemaat hendaknya berhati-hati. Setiap orang hendaknya menimbang hatinya, apakah dia menuliskan kata-kata demikian itu hanya sebagai rasa anti dan permusuhan, ataukah pekerjaan itu didasari oleh suatu niat yang baik?.
Hendaknya jangan menampakkan sikap permusuhan terhadap para penentang. Justru hendaknya harus memanfaatkan doa serta berusaha melalui berbagai cara” (Malfuzāt, Jld. I, hlm.8).
TIDAK SUKA DIPANGGIL MAULVI
Pada tahun 1987 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
”Aku sama sekali tidak menyatakan diriku sebagai maulvi, dan aku tidak suka kalau ada orang yang menyebutku maulvi. Dari kata itu aku merasa pedih sedemikian rupa sebagaimana seseorang telah mencaci saya”.
Beliau a.s. bersabda:
“Orang-orang akan memberikan kedukaan dan segala macam kesusahan kepada kalian. Namun warga Jemaat kita janganlah menampakkan emosi. Karena emosi diri janganlah mempergunakan kata-kata yang menyakitkan hati. Allah Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang bersikap demikian. Allah Ta'ala ingin menjadikan Jemaat kita sebagai suatu contoh”. (Malfuzat, J1d. I, hlm. 8-9).
PEKERJAAN LANGIT TIDAK BISA BERHENTI
“Ini adalah pekerjaan langit, dan pekerjaan langit tidak bisa berhenti. Dalam masalah ini sedikitpun tidak ada langkah kami di dalamnya…….
Hati kami tidak emosi dikarenakan caci-maki orang. Jangan bersikap amarah yang berlebihan. Janganlah memandang rendah (hina) terhadap siapapun. Jika di dalam Jemaat ini terdapat seorang yang kotor, maka dia akan mengotori semuanya. Jika tabiat kalian cenderung kepada amarah (emosi), maka timbanglah hati kalian bahwa dari sumber manakah amarah (emosi) tersebut timbul? Ini adalah suatu tahap yang sangat sulit (sempit)” (Malfuzāt, JId.I, hlm.9).
”Di dalam diri orang-orang kaya terdapat kesombongan, namun hal itu lebih banyak lagi terdapat di dalam diri para ulama zaman sekarang. Sikap takabur mereka bagaikan sebuah dinding yang telah menjadi penghalang di jalan mereka. Aku ingin meruntuhkan dinding itu. Ketika dinding ketakaburan] ini runtuh, mereka akan datang dengan kerendahan hati.” (Malfuzāt, JId.I, hlm. 9).
SEMUANYA MERUPAKAN HAMBA-HAMBA ALLAH
“Allah Ta'ala menyayangi orang-orang muttaqi (bertakwa). Takutlah semua setelah mengingat akan keagungan Tuhan. Dan ingatlah bahwa semua merupakan hamba-hamba Allah. Janganlah berbuat aniaya terhadap siapapun”.
ANJURAN BERDOA KHUSUS
Desember 1897. Dengan perantaraan kartu-pos telah diterima berita dari Qadian Dārul Āman, supaya warga Jemaat kita banyak-banyak membaca doa berikut ini pada setiap salat di rakaat terakhir setelah rukuk:
!$oY/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$#
("Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" – Al-Baqarah, 202).”
(Malfuzat, JId. I, hlm. 9).
NASIHAT BERKENAAN DENGAN TAKWA
”Untuk kebaikan Jemaatku, hal yang sangat penting adalah agar diberikan nasihat berkenaan dengan takwa. Sebab menurut orang yang berakal hal ini adalah nyata, bahwa Allah Ta'ala tidak akan ridha (senang) terhadap suatu apapun selain daripada takwa. Allah Ta'ala berfirman:
¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÏ%©!$# (#qs)¨?$# tûïÏ%©!$#¨r Nèd cqãZÅ¡øtC
(Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan - An-Nahl, 129).
Bagi Jemaat kita secara khusus diperlukan takwa. Khususnya dengan anggapan bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang yang telah menyatakan diri sebagai rasul, serta masuk di dalam ikatan baiatnya, supaya orang-orang yang sebelumnya mereka tenggelam di dalam kedengkian, kebencian dan kemusyrikan, atau yang benar-benar telah berkiblat kepada dunia, berhasil memperoleh keselamatan dari segala musibah itu.
Kalian mengetahui bahwa jika ada orang yang sakit - tidak peduli apakah sakitnya ringan atau berat - lalu penyakit itu tidak diobati serta tidak dilakukan usaha gigih untuk menyembuhkannya, maka orang yang sakit itu tidak akan sembuh.
Jika sebuah noda hitam timbul di wajah, maka muncul kerisauan, jangan-jangan noda itu semakin berkembang, sehingga membuat seluruh wajah menjadi hitam. Demikianlah halnya bahwa dosa merupakan sebuah noda hitam di dalam hati. Kemalasan-kemalasan kecil (kecenderungan untuk bersenangsenang) dapat berkembang menjadi besar. Hal-hal kecil seperti itulah merupakan noda kecil yang berkembang, sehingga akhirnya ia menghitamkan seluruh bagian wajah.
Allah Ta’ala Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Demikian pula Dia Mahaperkasa dalam menampakkan murka-Nya serta mengadakan pembalasan. Dia melihat sebuah Jemaat yang di dalam pengakuan dan omong-kosong mereka terdapat segala sesuatu, sedangkan amalan mereka tidak demikian, maka amarah dan murka-Nya akan meluap, lalu untuk menghukum Jemaat yang seperti itu Dia mengajukan orang-orang kafir.
Orang-orang yang tahu sejarah mengetahui bahwa beberapa kali orang-orang Islam dikalahkan oleh orang-orang kafir, misalnya Jenghis Khan dan Hulaku Khan telah membinasakan orang-orang Islam. Padahal Allah Ta’ala telah menjanjikan dukungan dan pertolongan bagi orang-orang Islam, namun tetap saja orang-orang Islam kalah.
Peristiwa-peristiwa seperti itu kadang-kadang terjadi. Penyebabnya adalah, tatkala Allah Ta'ala melihat bahwa memang mereka menyebutkan Lā ilaha illallāh (Tidak ada Tuhan kecuali Allah) namun hati mereka berpaling ke tempat lain serta tindak-tanduk mereka benar-benar mengarah kepada keduniawian, maka murka-Nya akan menampakkan diri” (Malfuzat, jld I, hlm 10-11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
“Ini adalah benar, bahwa seseorang yang tidak memanfaatkan amal perbuatan (usaha), dia tidaklah memanjatkan doa, melainkan dia menguji Allah Ta’ala. Oleh karena itu sebelum berdoa adalah perlu menggunakan seluruh kemampuan kita, dan itulah yang dimaksud dengan doa.
Pertama-tama adalah wajib supaya manusia menerapkan keyakinannya di dalam amal-amal, sebab sudah merupakan kebiasaan Alla Ta’ala, bahwasanya ishlah (perbaikan) itu terdapat dalam dalam bentuk unsur-unsur penyebab. Dia tentu akan menciptakan suatu penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya ishlah (perbaikan).” (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
FALSAFAH DOA
“Seseorang bayi yang memekik-mekik dan menjerit dalam keadaan lapar, akan mempengaruhi (membangkitkan) gejolak di dalam susu sang ibu. Bayi tidak mengenal apa itu doa, namun kenapa pekikannya itu menarik air susu ibu? Semua orang mempunyai pengalaman dalam hal ini. Bahkan kadang-kadang kita lihat bahwa para ibu tidak merasakan adanya air susu, tetapi tiba-tiba saja air susu itu tertarik keluar oleh pekik tangis sang bayi.
Nah, apakah Allah Ta’ala tidak dapat mempengaruhi (menarik) apa-apa sekali pun? Dapat! Bahkan dapat menarik segalanya! Namun orang-orang buta ruhani yang duduk sebagai fazil (ilmuwan) dan ahli-pikir (filsuf) tidak akan dapat melihatnya. Sebenarnya hal ini mudah untuk dimengerti apabila kita memahami falsafah yang terkandung di dalam hubungan antara seorang ibu dengan bayinya.
Sifat Rahīm (kasih-sayang) mengisyaratkan, bahwa rasa kasih-sayang itu timbul setelah diminta, oleh karena itu teruslah minta dan kalian akan memperolehnya. Ud'ūnī astajib lakum (berdoalah kepada-Ku, kamu akan Aku kabulkan) bukanlah suatu omong-kosong. Bahkan hal ini merupakan suatu kelaziman di dalam fitrat manusia, bahwa memohon (meminta) adalah sifat manusia, sedangkan mengabulkan adalah Sifat Allah Ta’ala.
Barangsiapa yang tidak memahami tidak mengakui hal ini, orang itu dusta. Permisalan seorang bayi yang saya ungkapkan tadi cukup jelas untuk menerangkan falsafah doa.” (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
PENTINGNYA KESELARASAN UCAPAN DAN PERBUATAN
”Rasa takut terhadap Allah Ta’ala terletak di dalam hal-hal berikut ini, yaitu supaya manusia melihat sejauh mana kesesuaian antara ucapan dan perbuatannya. Lalu jika dia mendapatkan ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatannya maka pahamilah bahwa dia akan menjadi sasaran murka Tuhan. Hati yang tidak suci – betapa pun sucinya kata-kata yang ia ucapkan -- di pandangan Tuhan hati yang seperti itu tidak mempunyai nilai apa-apa, bahkan karenanya kemurkaan Tuhan akan bergejolak.
Jadi, Jemaatku harus memahami, bahwa mereka telah datang kepadaku, untuk ditaburi benih, yang karenanya mereka akan menjadi pohon-pohon yang berbuah. Nah, setiap orang harus menelaah dirinya sendiri, bagaimana keadaan di dalam dirinya, dan bagaimana keadaan batinnya. Seandainya Jemaat kita pun seperti itu – semoga Tuhan tidak menjadikannya demikian, yakni di lidahnya lain dan di dalam hatinya ternyata lain lagi – maka kita akan berakhir dengan tidak baik.
Kalau Allah Ta’ala melihat bahwa suatu jemaat yang hatinya kosong mengeluarkan pernyataan-pernyataan di lidahnya, maka Dia adalah Al-Ghanī (Mahacukup) dan tidak akan mempedulikannya. Sudah turun kabar gaib tentang kemenangan di medan Badar. Berbagai harapan untuk memang pun ada, namun walaupun demikian Yang Mulia Rasulullah saw. tetap berdoa sambil menangis-nangis.
Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. mengatakan, bahwa janji kemenangan sudah ada, maka untuk apa lagi memohon dengan merintih sendu? Yang Mulia Rasulullah saw. menjawab bahwa, “Zat (Allah) itu Al-Ghanī (Mahacukup), yakni mungkin saja terdapat syarat-syarat yang terselubung di dalam janji Ilahi tersebut”. (Malfuzat, jld I, hlm 11 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
TANDA-TANDA ORANG MUTAKI (BERTAKWA)
“Jadi, hendaknya harus senantiasa dilihat sampai dimanakah kita telah meraih kemajuan dalam hal ketakwaan dan kesucian., standarnya adalah Al-Quran.
Dari sekian tanda-tanda orang mutaki (bertakwa), Allah Ta’ala juga menetapkan sebuah tanda, yaitu Allah Ta’ala membebaskan orang bertakwa itu dari kemakruhan (hal-hal yang dibenci-Nya), lalu memberikan kecukupan pada orang itu untuk pekerjaan-pekerjaannya, sebagaimana Dia berfirman:
4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC çmø%ãötur ô`ÏB ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4
(“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar, dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak pernah disangkanya” - Ath-Thalaq: 3-4).
Yakni, orang yang takut kepada Allah Ta’ala, dalam setiap musibah Allah Ta’ala akan membukakan jalan jalan keikhlasan untuknya, dan Dia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan (nafkah) bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, ini pun merupakan sebuah tanda orang yang mutaki, bahwa Allah Ta'ala tidak menjadikan orang mutaki itu butuh akan keperluan-keperluan yang tak bermanfaat.
Misalnya, seorang tukang warung beranggapan bahwa tanpa berkata dusta maka pekerjaannya tidak akan jalan, oleh karena itulah dia tidak berhenti dari berkata dusta. Dan untuk berdusta dia menzahirkan alasan-alasan keterpaksaan. Akan tetapi hal itu sama-sekali tidak benar. Allah Ta'ala sendiri yang menjadi Pelindung bagi orang mutaki, dan Dia menghindarkannya dari kondisi yang seperti itu.
Orang-orang yang menciptakan suasana keterpaksaan atas dasar hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, ingatlah, kalau seseorang telah meninggalkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala pun meninggalkannya. Kalau Sang Maha Pemurah (Ar-Rahmān) telah meninggalkan seseorang maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya.
Janganlah beranggapan bahwa Allah Ta’ala itu lemah. Dia memiliki kekuatan yang sangat besar. Kalau kalian bertawakkal (bertumpu) pada-Nya mengenau suatu hal, maka pasti Dia menolong kalian:
4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4
(Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia memadai baginya - Ath-Thalaq:4)
Akan tetapi, orang-orang yang pertama kali dituju oleh atar-ayat ini adalah orang-orang yang beragama, yang seluruh perhatian (pemikiran) mereka hanyalah untuk hal-hal keagamaan, sedangkan masalah-masalah duniawi mereka serahkan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Allah Swt. mententramkan mereka bahwa, “Aku berserta kalian.”
Ringkasnya, salah satu dari berkat-berkat ketakwaan adalah bahwa Allah Ta'ala menganugerahkan keikhlasan kepada orang mutaki terhadap musibah-musibah yang merupakan penghalang bagi hal-hal keagamaan. Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Demikian pula halnya Allah Ta’ala secara khusus memberikan rezeki kepada orang mutaki. Di sini saya akan menyinggung rezeki-rezeki makrifat (ilmu).
Rasulullah saw. memperoleh rezeki ruhaniah (makrifat-makrifat) sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya. Walau pun Yang Mulia Rasulullah saw. seorang ummī(butahuruf), beliau harus melawan seluruh alam – di mana di dalamnya terdapat ahlikitab, filsuf, orang-orang yang mempunyai selera ilmiah tinggi, serta para cerdik-pandai -- akan tetapi beliau saw. telah memperoleh rezeki ruhani sedemikian rupa, sehingga beliau unggul atas semuanya dan telah membuktikan kesalahan-kesalahan mereka.
Itulah rezeki ruhani yang tidak ada bandingannya. Mengenai orang mutaki (bertakwa) di tempat lain ada dikatakan:
÷bÎ) ÿ¼çnät!$uÏ9÷rr& wÎ) tbqà)GßJø9$#
(Sesungguhnya wali-wali-Nya hanyalah orang-orang yang bertakwa: - Al-Anfāl, 35).
Yakni, sahabat-sahabat Allah Ta’ala itu adalah orang-orang yang bertakwa. Jadi, betapa hebatnya nikmat ini, bahwa dengan kesusahan yang sedikit saja pun dapat dikatakan sebagai orang yang memperoleh kedekatan dengan Tuhan.
Zaman sekarang ini betapa pengecutnya. Kalau ada penguasa atau pejabat yang mengatakan kepada seseorang, “Engkau adalah sahabatku:, atau memberikan kursi kepadanya serta menghormatinya, maka orang itu akan bangga dan menyombongkan diri ke mana-mana. Oleh karena itu betapa mulianya derajat orang orang yang telah dikatakan sebagai wali (sahabat) oleh Allah Ta'ala. Allah Ta’ala berjanji melalui lidah Rasu Mulia saw. sebagaimana tercantum di dalam sebuah Hadits Bukhari:
Lā yazālu yataqarrabu ‘abdī binnawāfi hattā uhibbahū, fa-idzā ahbabtuhū kuntu sam’ahul- ladzī yasma’-u bihī wa basharahul- ladzī yubshiru bihī wa yadahul- latī yabtisyu bihā wa rijlahul- latī yamsyi bihā, wa la-in sa'alanī la-ataituhu wa la-in ista’adzani la-u’idzunahū.
Yakni,
“Allah Ta’ala berfirman bahwa, "Sahabatku menciptakan kedekatan terhadapKu melalui nafal-nafal, sehingga apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar dan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang (memukul), dan menadi kakinya yang dengannya ia berjalan, dan jika ia memohon niscaya aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan niscaya aku melindunginya. "
(Malfuzat, jld I, hlm 12-13 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
DUA BAGIAN KEBAIKAN-KEBAIKAN MANUSIA
“Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh manusia terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah fardu-fardu (wajib). dan kedua adalah nafal-nafal (tambahan/sunat). Fardu-fardu adalah yang telah diwajibkan atas manusia. Misalnya melunasi utang atau membalas kebaikan dengan kebaikan.
Selain fardu-fardu tersebut, bersamaan dengan setiap kebaikan yang melebihi haknya, misalnya, sebagai balasan suatu kebaikan, selain memberikan satu kebaikan, juga melakukan kebaikan lainnya, ini adalah nafal-nafal. Ini merupakan penggenap dan penyempurna fardu-fardu.
Di dalam hadits-hadits tersebut diterangkan bahwa untuk penyempurnaan fardu-fardu diniyyah (keagamaan) para waliullah selalu melalui nafal-nafal. Misalnya, selain zakat mereka pun memberikan sedekah-sedekah. Allah Ta’ala akan menjadi wali (sahabat) orang-orang yang demikian. Allah Ta’ala berfirman, bahwa persahabatan dengan adalah sedemikian rupa sampai-sampai, “Aku menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara.” (Malfuzat, jld I, hlm 13-14 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
MANFAAT KESELARASAN KEHENDAK MANUSIA
DENGAN KEHENDAK TUHAN
“Masalahnya adalah, bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak-gejolak nafsu serta egoisme, lalu berjalan di dalam kehendak-kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatan selaras dengan kehendak Tuhan. Dimana saja orang-orang mengalami cobaan (ujian), di sana selalu timbul hal ini, yaitu perbuatan mereka tidak selaras dengan kehendak Tuhan. Keridhaan (kesenangan) Tuhan bertentangan dengan hal itu. Orang-orang yang demikian berjalan di bawah dorongan hati mereka. Misalnya karena emosi, mereka melakukan perbuatan yang menimbulkan perkara-perkara dan peradilan.
Namun seandainya ini iradah (kehendak) seseorang -- yaitu tanpa terlebih dulu mengambil musyawarah (rujukan/petunjuk) dari Kitabullah -- dia tidak akan bertindak, serta dia akan merujuk kepada Kitabullah dalam segala permasalahannya, maka hal ini sudah pasti bahwa Kitabullah akan memberikan musyawarah, sebagaimana [Allah Ta'ala] berfirman:
wur 5=ôÛu wur C§Î/$t wÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B
(“Dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang terang” - A1-An'ām, 60)
Jadi, seandainya kita beriradah (berkehendak) akan meminta musyawarah dari Kitabullah, maka kita pasti akan memperoleh musyawarahnya. Akan tetapi orang mengikuti kehendak nafsunya, dia pasti akan mengalami kerugian. Kadang-kadang dia disana harus memberikan pertanggungjawaban. Sebaliknya, Allah Ta’ala berfirman bahwa wali (sahabat) yang melakukan pekerjaannya sambil terus bercakap-cakap dengan-Nya, dia itu seolah-olah telah fana (sirna) di dalam-Nya.
Jadi, sejauh mana terdapat kekurangan pada diri seseorang dalam hal fana (kesirnaan), maka sejauh itu pula dia berada jauh dari Tuhan. Akan tetapi jika dia memiliki fana (kesirnaan) seperti apa yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, maka keimanannya tidak dapat dibayangkan. Dalam memberikan dukungan-Nya terhadap mereka Allah Ta’ala berfirman:
Wa man ‘āda fi waliyyan faqad 'āzanttuhū bilharbī”
(”Barangsiapa yang berperang melawan wali-Ku (sahabat-Ku) bererti dia berperang melawan-Ku” - Hadits).
Kini, lihatlah betapa tingginya kemuliaan orang mutaki (bertakwa), serta betapa tingginya derajat yang ia miliki. Seseorang yang memperoleh kedekatan sedemikian rupa di sisi Tuhan -- dimana mengganggunya berarti mengganggu Tuhan -- maka betapa Tuhan itu akan menjadi pendukung dan penolong baginya”. (Malfuzat, jld I, hlm 14-15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
BARANGSIAPA YANG DATANG KEPADA ORANG MUTAKI
IA PUN AKAN DISELAMATKAN
IA PUN AKAN DISELAMATKAN
“Orang-orang terbelenggu di dalam banyak sekali musibah, namun orang-orang mutaki (bertakwa) senantiasa diselamatkan, bahkan barangsiapa yang datang kepada orang mutaki (bertakwa) ia pun akan diselamatkan.
Musibah-musibah tidak mempunyai batas. Lihat saja penyakit-penyakit, ada ribuan jenis penyakit yang cukup untuk menciptakan musibah-musibah. Namun orang yang berada di dalam benteng ketakwaan, dia akan terhindar dari musibah-musibah itu, sedangkan orang yang berada di luarnya, dia tengah berada di dalam hutan belantara yang dipenuhi oleh binatang-binatang buas.” (Malfuzat, jld I, hlm 15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
ORANG-ORANG MUTAKI MEMPEROLEH KABAR SUKA
DU DUNIA INI JUGA
“Bagi orangp-orang mutaki (bertakwa) terdapat sebuah janji lagi:
ÞOßgs9 3tô±ç6ø9$# Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# Îûur ÍotÅzFy$# 4
(“bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat – Yunus, 65).
Yakni, orang-orang mutaki, mereka memperoleh kabar-suka di dunia ini juga melalui mimpi-mimpi yang benar Bahkan lebih daripada itu mereka merupakan ahli-kasyaf (orang-orang yang melihat kasyaf - pent.). Mereka memperoleh kehormatan bercakap-cakap dengan Allah. Pada kondisi sebagai manusia pun mereka dapat melihat malaikat, sebagaimana Dia berfirman:
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qä9$s% $oY/u ª!$# §NèO (#qßJ»s)tFó$# ãA¨t\tGs? ÞOÎgøn=tæ èpx6Í´¯»n=yJø9$#
(Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, malaikat-malaikat akan turun kepada mereka” – Hā Mīm – As-Sajdah, 31).
Yakni, orang-orang yang mengatakan bahwa, “Tuhan kami Allah” serta mereka memperlihatkan keteguhan yaitu pada masa datangnya cobaan, ia memperlihatkan seseorang yang sedemikian rupa dimana ia menyatakan bahwa, "Adapun janji yang telah aku kemukakan melalui mulutku, aku penuhi secara nyata". (Malfuzat, jld I, hlm 15 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar