Sabtu, 04 Juni 2011

MALFUZHAT II


MALFUZĀT

JILID II

                                             Penterjemah: Mukhlis Ilyas Mbsy                                            


MEMPERLAKUKAN ISTRI DENGAN BAIK

     “Selain hal-hal yang amoral (tidak bermoral), segenap sifat yang kurang baik dalam hal yang tidak mengenakkan dari perempuan (istri), hendaknya ditanggung saja Menurut pendapatk saya, termasuk sebagai suatu hal yang tidak bermalu apabila seorang laki-laki berkelahi dengan perempuan. Allah telah menjadikan kita sebagai laki-laki. Sebenarnya atas diri kita terdapat anugerah sempurna. Cara mensyukurinya kita harus memperlakukan kaum perempuan (para istri) dengan lemah-lembut.”
      Satu kali ada pengaduan, bahwa seseorang telah berlaku kasar kepada istrinya. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Orang-orang kita hendaknya jangan berbuat begitu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 1-2).


HIKMAH DI BALIK ARTIKEL-ARTIKEL
YANG TERBAKAR DAN HILANG

      Suatu kali di masa kecil, Hadhrat Mian Mahmud Ahmad ketika bermain telah membakar beberapa artikel yang ditulis oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s., beliau bersabda:
       “Hal itu benar-benar terjadi, mungkin di situ ada hikmah besar dari Allah Ta’ala, dan kini Allah Ta’ala menghendaki untuk mengajarkan isi karangan yang lebih baik kepadaku.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 2).


SIKAP SATTĀRI (MENYELUBUNGI AIB)

     Seorang khadimah (pembantu perempuan) mencuri beras dari rumah dan ketahuan. Seisi rumah menghujatnya. Secara kebetulan Hadhrat Masih  Mau’ud a.s. datang dan hal itu diceritakan kepada beliau. Beliau bersabda:
     “Dia  orang miskin, berilah sedikit, dan jangan dihina-hina.  Terapkanlah oleh kalian sikap Sattaari (sikap menyelubungi)  Allah Ta’ala.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 3).


JEMAAT DAN TUGAS KHIDMAT KHALQ


       Suatu hari perempuan-perempuan kampung datang meminta obat untuk anak-anak mereka. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. cukup lama memeriksa dan memberi obat kepada mereka. Melihat hal itu Maulvi Abdul Karim r.a. menyatakan, “Hazur (Yang mulia), ini adalah pekerjaan yang sangat menyusahkan, dan dengan begini waktu Hazur yang begitu berharga jadi sia-sia.” Menjawab hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
       “Ini juga merupakan tugas keagamaan. Mereka ini adalah orang-orang miskin, di sini tidak ada Rumahsakit. Untuk orang-orang ini aku memesan dan menyimpan obat-obat Inggris (Allopathy) dan  obat-obat Yunani (ketabiban), yang berguna pada saat diperlukan. Ini adalah pekerjaan yang mengandung pahala besar. Orang mukmin hendaknya jangan malas serta tidak   peduli terhadap pekerjaan-pekerjaan seperti ini.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 3).


SIKAP LEMAH LEMBUT

      Suatu kali, Hadhrat Masih Mau'ud a.s. mengalami sakit kepala yang berat. Di sekitar itu anak-anak dan kaum perempuan bermain menimbulkan kebisingan. Maulwi Abdul Karim mengemukakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., “Apakah Hazur tidak terganggu oleh kebisingan ini?” Beliau a.s. menjawab, “Ya, jika mereka diam, aku agk tentram.”
     Maulwi Sahib mengatakan,  "Lalu, mengapa Hazur tidak  perintahkan mereka [untuk diam]?" Hadhrat -Masih Mau'ud a.s. menjawab, “Anda sajalah yang mengatakan kepada mereka, aku tidak dapat mengatakannya." (Malfuzat, jld. II, hlm. 3).


(3-4)


MENDIDIK ANAK

 Menurut saya,  memukul anak-anak adalah suatu bentuk tindakan yang termasuk sejenis syirik (menyekutukan Tuhan). Hakikatnya orang yang penaik-darah menjadikan dirinya sekutu Tuhan dalam memberikan petunjuk, dan membenarkan (?) makhluk ciptaan. Di saat seorang penaik darah menghukum seseorang, dia menjadi begitu terangsang sehingga dia berubah menjadi seorang musuh dan memberi hukuman jauh lebih banyak daripada yang seharusnya.
 Hanya orang yang memiliki harga diri untuk menguasai dan mengendalikan dirinya serta mulia yang berhak menghukum anak-anak dengan sewajarnya, orang macam itulah yang dapat memarahi anak-anak. Tetapi orang yang cepat naik darah, tidak berwibawa dan tidak bijaksana, dia tidak pantas untuk dipercaya mendidik dan membesarkan anak-anak.
 Saya berharap orang-orang akan berdoa untuk anak-anak mereka sebanyak keinginan mereka untuk menghukumnya. Mereka harus menjadi bagian dari tugas mereka untuk berdoa secara khusuk bagi anak-anak. Doa-doa orang tua bagi anak-anaknya secara khusus dikabulkan Tuhan. Ada beberapa doa-doa tertentu bagiku setiap hari:
1.      Saya  berdoa bagi diri saya semoga Tuhan membuat saya  melakukan hal-hal yang dapat menjelmakan kehormatan dan kebesaran-Nya dan Dia menjadikanku betul-betul menyerah kepada kehendak-Nya..
  1. Saya  berdoa bagi istri saya semoga Dia menganugerahkan  anak-anak kepada saya melaluinya yang menjadi penyejuk mata saya  dan yang hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
  2. Saya berdoa bagi anak-anak saya semoga Tuhan menjadikan mereka sebagai hamba dari agama-Nya.
  3. Saya  berdoa bagi sahabat-sahabat saya dengan menyebut mereka satu per satu. Saya berdoa bagi semua yang berhubungan dengan anugerah ini, baik saya  mengenal mereka secara pribadi atau pun saya tidak mengenal mereka.” (Malfuzat, II, jld. 4).


(4-5)


SANGAT MENGHARGAI WAKTU

      Sikap saya adalah, dengan buang air kecil dan buang air besar pun saya merasa menyesal, bahwa sekian waktu telah terbuang. Saya menghendaki bahwa waktu sekian itu pun dapat digunakan untuk tugas keagamaan tertentu. Jika sedang ada kesibukan dan penggunaan waktu untuk pekerjaan-pekerjaan agama, lalu waktu itu terpakai untuk hal lain maka saya sangat tidak suka.
       Jika ada pekerjaan keagamaan yang penting maka saya menahan diri saya untuk tidak makan, minum dan tidur selama pekerjaan itu belum selesai. Saya  adalah untuk agama, dan untuk agamalah saya  menjalani  hidup   ini. Oleh karena itu di jalan agama ini hendaknya jangan sampai ada hambatan apa pun bagi saya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 6).


TAKABUR & PENYEMBAHAN BERHALA

     Orang-orang dengan bebas dapat berbicara kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengenai hal itu beliau a.s. bersabda:
     “Bukanlah cara hidup saya  agar saya  duduk dengan sikap dingin dan menyeramkan, sehingga orang-orang menjadi takut seperti takut kepada binatang buas, dan saya sangat benci menjadi  untuk menjadi berhala. Saya justru datang untuk membasmi penyembahan berhala, bukannya untuk menjadi berhala sehingga orang-orang menyembah saya.
     Allah Ta’ala lebih mengetahui bahwa saya sedikit pun tidak melebihkan diri  saya atas orang-orang lain. Menurut  saya, tidak ada penyembah berhala dan orang kotor yang lebih dari orang takabur. Pelaku takabur tidak menyembah tuhan mana pun melainkan dia menyembah dirinya sendiri.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 6-7).


MENYENDIRI DAN MENAMPILKAN DIRI

       Jika Allah Ta’ala memberikan pilihan kepada saya, yakni: “Mana yang engkau suka, khalwat  (menyendiri) atau jalwat (menampilkan diri di hadapan khalayak)?" maka saya bersumpah demi Dzat Suci itu, saya akan memilih khalwat. Saya secara  paksa telah ditarik keluar di hadapan dunia oleh orang-orang ini.
      Kenikmatan yang saya rasakan dalam menyendiri (khalwat), hanya Allah saja yang mengetahuinya.  Saya tetap menutup diri selama 25 tahun, dan tidak pernah satu detik pun  saya menginginkan agar  saya duduk di kursi ketenaran.  Saya secara  fitrati tidak menyukai hal itu, yakni bercampur-baur  dengan orang-orang. Namun  saya tidak berdaya atas perintah  Sang Pemberi Perintah. Ada pun  saya tampil keluar atau pergi mengadakan perjalanan serta berbicara dengan orang-orang, semua itu adalah dalam rangka memenuhi perintah Allah Ta’ala.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 7).


KHADIM (PENGKHIDMAT) AGAMA 

    Jika ada orang yang mengangkat pena (menulis artikel) untuk memdukung kebenaran, atau ada yang mau berusaha untuk itu, maka Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sangat menghargainya. Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
      “Jika ada yang untuk mendukung agama menuturkan suatu perkataan lalu menyampaikannya kepada saya maka   saya menganggapnya jauh lebih berharga daripada mutiara-mutiara dan sekantung uang emas. Siapa saja yang menghendaki agar aku menyayanginya, dan doa-doaku dipanjatkan ke Langit untuknya sebagaia suatu keinginan dan penuh khusuk, maka ia hendaknya memberikan keyakinan kepada saya bahwa dia memiliki kemampuan kemampuan untuk menjadi khadim (pengkhidmat) agama. Aku menyayangi segala sesuatu hanya untuk Allah, baik itu istri, anak, sahabat, semuanya hubunganku hanyalah untuk Allah Ta’ala,” (Malfuzat, jld. II, hlm. 7-8).


IKATAN PERSAHABATAN

      Prinsip saya adalah, seseorang yang satu kali telah menjalin ikatan persahabatan dengan saya maka  saya mendukung persahabatan  itu sedemikian rupa,  sehingga bagaimana  pun dia serta apa pun yang terjadi padanya,  saya tidak akan memutuskan ikatan itu. Ya, kecuali jika dia sendiri yang memutuskannya  saya tidak berdaya. Jika tidak  adalah, kalau ada dari antara sahabat saya yang mabuk dan dia terjatuh di tengah pasar dan orang-orang mengerumuninya, maka tanpa takut celaan pencela  saya akan menggendongnya dan membawanya pulang.
       Ikatan persahabatan adalah permata yang sangat berharga. Ia hendaknya jangan dengan mudah disia-siakan. Dan betapa pun tidak enaknya hal yang ditimbulkan  oleh sahabat-sahabat hendaknya hal itu diabaikan dan disikapi dengan lembut (kesabaran).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 8).


BERKAT-BERKAT RAMADHAN DI QADIAN
PADA MASA HADHRAT MASIH MAU’UD A.S.

      Seth Abdurrahman Madrasi meminta izin kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk pulang ke Madras karena ada urusan  penting, dan memang ada telegram yang meminta beliau pulang. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
     “Adalah penting bagi Anda untuk menetap di sini pada bulan [Ramadhan] yang beberkat ini.  Saya bersedia memanjatkan doa untuk Anda yang darinya – dengan izin Allah – gunung pun dapat bergeser.  Saya belakangan ini sangat sedikit duduk-duduk bersama rekan-rekan, dan  saya  lebih banyak menyendiri. Hal ini sangat berguna bagi rekan-rekan. Dalam kesendirian itu  saya dengan sangat leluasa memanjatkan doa­-doa. Dan banyak sekali waktu di malam hari yang  saya gunakan untuk  memanjatkan doa-doa.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 8).

(hlm 9-26)


FIRASAT ORANG-ORANG YANG BERIMAN

      ”Saya sangat yakin, bahwa tidak ada kemunafikan  dalam Jemaat saya dan firasat para anggota Jemaat saya  tidak ada yang salah dalam baiat kepada saya, karena  saya adalah orang yang sama dengan orang yang kedatangannya telah ditunggu-tunggu orang yang memiliki firasat.
      Tetapi mereka yang tidak bergabung dengan saya terlepas dari anugerah  ini. Firasat adalah seperti karamat (mukjizat). Kata karamat ini juga dibaca karamit. Jika dibaca karamat  artinya “menunggang kuda”. Seorang yang beriman menunggang kuda melalui firasat dan ketangkasannya. Tuhan menganugerahkan petunjuk kepadanya dan dengan petunjuk ini dia dapat melihat jalan yang harus dilaluinya. Itulah sebabnya Rasulullah saw. bersabda:  Ittaqu firasatal mukmini fa-innahu yanzhuru bi-nuurillahi (takutlah kalian dengan firasat orang beriman karena sesungguhnya ia melihat dengan  nur/cahaya Allah)” (Malfuzat, jld.  II, hlm. 26).


JEMAAT DAN SIKAP MUNAFIK

       ”Dengar dan ingatlah. Allah tidak suka sikap seperti ini – [bermuka dua terhadap pemerintahan yang baik – pent.]. Kalian yang menjalin hubungan dengan saya – dan kalian menjalin hubungan itu hanya demi Allah – berbuat baiklah terhadap orang (pihak) yang berbuat kebaikan, dan maafkan orang-orang yang berbuat keburukan. Seseorang tidak dapat menjadi shiddiq (orang benar/jujur) selama dia belum menerapkan satu corak (warna - tidak munafik). Orang yang bersikap munafik menerapkan dua corak (warna) dan akhirnya dia akan ketahuan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 27).

(hlm 27-31)


PERSAMAAN IDUL QURBAN  DENGAN
RASULULLAH SAW. & MASIH MAU’UD A.S.

      “Hari ini adalah ‘Idul Adha (Idul (Qurban). ‘Id ini diperingati dalam bulan yang merupakan bulan terakhir dari kalender Islam, bulan berikutnya adalah Muharram, dan dengan demikian mulailah tahun baru.    Ada pun bahwa ‘Id ini diperingati dalam bulan yang mengakhiri kalender Islam adalah suatu hal yang sangat penting. Hal itu menunjukkan hubungannya dengan Rasulullah saw.  dan Masih yang akan datang. Apa hubungannya?
      Hubungan yang pertama, Nabi Besar Muhammad saw. adalah Nabi Akhir Zaman, dan wujud beberkat beliau dan kedatangan beliau saw. seolah-olah adalah waktu ‘Idul Adha (‘Idul Qurban). Setiap anak-anak Islam tahu bahwa Rasulullah saw. adalah Nabi Akhir-uz-Zaman, dan bulan ini (bulan Dzulhijjah/’Idul Adha) adalah Akhirusy-Syuhur (bulan yang terakhir). Itulah sebabnya bulan ini memiliki hubungan dengan masa Rasulullah saw..
Hubungan yang kedua adalah dikenal  sebagai bulan pengurbanan.  Rasulullah  saw. juga datang untuk memberikan contoh sempurna mengenai pengurbanan. Sebagaimana kalian menyembelih unta, sapi, dan  domba betina, orang-orang juga disembelih di jalan Tuhan Yang Maha Perkasa 13 abad yang lalu, itulah ‘Idul Adha yang sejati dan hakiki, dan itulah saat ketika sinar Dhuha tampak di dunia.
Pengorbanan yang dilakukan orang-orang sekarang dengan menyembelih binatang bukanlah inti yang penting, itu adalah kulit. Itu bukan jiwa, itu adalah tubuh (daging dan tulang).  Di masa kesenangan dan kemudahan ini ‘Id ini dirayakan dengan penuh kegembiraan, kesenangan dan kemewahan. Para perempuan mengenakan perhiasan, para laki-laki mengenakan pakaian yang terbaik serta menyiampan makanan terbaik yang ada. Hari itu dianggap sebagai hari kegembiraan dan kesenangan, bahkan orang yang paling kikir pun para hari itu makan daging. Sehubungan dengan orang-orang  Kasymir boleh dibilang perut mereka adalah kuburan kambing; yang lain juga tidak ketinggalan.
Pendeknya, makna ‘Id telah menjadi hari bersenang-senang dan kegemaran berolahraga. Ah! Orang-orang itu tidak memperhatikan makna sebenarnya dari hari [Idul Adha/’’Idul Quran) itu.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 31-32).


(hlm 32-45)


KEMENANGAN DAN RAHIMIYAT

“Islam itu seperti seorang anak di pangkuan Tuhan, Dia-lah  yang melakukan segala sesuatu untuknya, Dia menyiapkan keperluan dan memberikan apa-apa yang dibutuhkannya. Tidak ada satu manusia pun yang memikul kewajiban itu.
 Kata  Rahim menunjuk kepada seseorang yang tidak membiarkan usaha menjadi sia-sia, kebalikannya adalah seseorang yang terus berjuang tapi tidak memperoleh hasil dari usahanya. Tuhan Yang Maha Perkasa memperlihatkan Ke-Rahimiyat-an-Nya  kepada Rasulullah saw. dan itu sangat jelas. Tidak ada satu pertempuran pun  yang dialami Rasulullah saw. tidak beliau menangkan. Kenyataan beliau sedikit berjuang  namun beliau mendapat banyak. Kemenangan beliau melesat seperti kilat,  contohnya kemenangan di Syria dan Mesir.
Tidak pernah ada manusia sepanjang sejarah manusia yang begitu berhasil dan memperoleh kemenangan seperti Nabi Muhammad saw.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 45).

(hlm. 45-48)

 PERSATUAN DAN SALING MENCINTAI

        ”Saya telah berulang kali menyatakan tentang persatuan  dan  saling mencintai di antara anggota Jemaat, dan  saya telah mengatakan kepada kalian supaya kalian  tetap bersatu dan saling bersahabat. Inilah yang diperintahkan Tuhan kepada umat Islam. Dia telah memerintahkan mereka supaya seperti satu tubuh, jika tidak maka mereka akan menjadi lemah dan orang-orang akan mengetahuinya.
  Orang-orang Islam telah diperintahkan untuk berdiri  merapatkan bahu saat salat berjamaah, dan hal itu juga berarti untuk memperoleh persatuan. Kebaikan seseorang menembus yang lain seperti aliran listrik. Jika yang ada adalah perselisihan bukannya persatuan, hal itu pada gilirannya akan membawa keburukan. Rasulullah saw. bersabda, “Kalian harus saling mendoakan yang lain yang tidak hadir.  Jika seseorang mendoakan orang lain yang tidak hadir, malaikat berkata, “Jadikanlah agar doa ini dikabulkan juga untuk kepentinganmu. Betapa indahnya hal ini. Jika doa manusia tidak diterima maka doa malaikat akan diterima.
 Saya menasihati kalian untuk tidak berselisih di antara kalian.  Saya datang hanya untuk  dua hal: pertama, kalian harus teguh beriman kepada Tauhid, dan kedua, kalian harus menanamkan terus saling mencintai dan memperhatikan. Kalian harus menjalani  kehidupan yang tidak lain adalah mukjizat. Inilah perubahan yang terjadi dalam kehidupan para sahabat Rasulullah saw.:
÷LäêZä. [ä!#yôãr& y#©9r'sù tû÷üt/ öNä3Î/qè=è%     .
(“kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu” – Aali ‘Imraan, 104).
      Kalian harus ingat,  bahwa menjadikan  perasaan itu dekat satu sama lain adalah suatu mukjizat. Perlu diingat, bahwa sebelum setiap kalian menginginkan bagi saudaranya apa-apa yang dia inginkan, kalian tidak dapat menjadi anggota Jemaat saya. Orang macam ini akan menjalani ujian dan akhir dirinya tidak akan baik.
       Saya akan menulis sebuah buku, di dalamnya akan dipisahkan segenap orang yang tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan [emosi] mereka. Mereka bertengkar (berkelahi) atas masalah-masalaha kecil. Misalnya, seseorang  mengatakan bahwa ada atlit yang telah melakukan lompatan sejauh 10 yard, lalu ada orang lain yang   mempersoalkan hal itu, dengan demikian di dalam diri timbul  kedengkian (permusuhan).
     Ingatlah, terpisahnya (hilangnya) kedengkian adalah tanda  mutaki,   dan apakah tanda itu tidak akan sempurna?  Pasti akan sempurna. Mengapa kalian tidak bersabar. Seperti masalah kesehatan, selama penyakit-penyakit tidak dibasmi, selama itu pula penyakit tidak akan lenyap. Dari wujud saya,   insya Allah, akan tercipta suatu Jemaat salih. Apa yang menyebabkan timbulnya permusuhan di antara sesama?  Yaitu kekikiran, kesombongan, sikap mementingkan diri (egois) dan dorongan-dorongan   emosi.
         Saya sudah mengemukakan bahwa  saya akan menulis sebuah buku, dan  saya akan pisahkan dari Jemaat segenap orang yang tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan  emosi  mereka, dan yang tidak dapat hidup dengan kecintaan serta persaudaraan di antara sesama. Orang-orang yang seperti itu mereka hendaknya ingat, bahwa  mereka adalah tamu [Jemaat] untuk beberapa hari saja, selama mereka tidak memperlihatkan contoh yang baik.
         Saya tidak ingin menanggung kecaman atas diri saya akibat ulah seseorang. Orang yang berada di dalam  Jemaat saya tetapi dia tidak menyesuaikan diri dengan maksud (kehendak) saya,  dia bagaikan ranting kering. Apa lagi yang akan dilakukan oleh penjaga kebun kalaui bukan memotongnya?
        Ranting kering sekali pun hidup berdampingan bersama cabang yang hijau, memang masih menyerap air, namun air tidak dapat membuatnya subur hijau, melainkan cabang itu akan melahirkan cabang yang lain. Oleh karena  itu takutlah. Kalian yang tidak mengobati diri tidak akan tetap bersama saya. Dikarenakan  saya akan menuliskan semua hal itu di dalam buku maka  saya cukupkan di sini dengan menyebutkan beberapa kalimat bahasa Arab.”  (Malfuzat, jld. II, hlm. 48-49).


(hlm. 49-50)


KEADAAN KALBU NABI DAN
PERKEMBANGAN BERTAHAP PENGIKUTNYA

Pada bulan Mei 1900 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
       “Kedatangan nabi itu penting, bersamanya terdapat quwwat qudsi (kekuatan mensucikan). Di dalam kalbunya terdapat gejolak semangat yang membuatnya tidak tenang, yaitu gejolak kepedulian terhadap orang-orang, gejolak untuk memberikan manfaat kepada orang-orang serta gejolak untuk memberikan kebaikan kepada khalayak ramai.
      Mengenai Rasulullah saw. Allah Ta’ala telah berfirman:
y7¯=yès9 ÓìÏ»t/ y7|¡øÿ¯R žwr& (#qçRqä3tƒ tûüÏZÏB÷sãB  
(“Apakah engkau akan membinasakan  jiwa sendiri sebab mereka tidak beriman?” (Asy-Syu’ara, 4).
      Ada dua sisi di situ, pertama mengenai orang-orang kafir; kedua mengenai orang-orang Muslim, yakni mengapa di dalam diri mereka tidak timbul kekuatan ruhani yang berderajat tinggi, yaitu sesuatu yang beliau inginkan.
      Dikarenakan kemajuan itu terjadi bertahap, oleh sebab itu kemajuan-­kemajuan para sahabah juga  berlangsung secaara bertahap. Namun demikian kondisi kalbu para nabi sama sekali dipenuhi oleh rasa kepedulian yang mendalam. Lagi pula  Nabi  kita saw. merupakan himpunan segenap kesempurnaan para  nabi. Rasa peduli itu sangat tinggi di dalam diri beliau. Melihat para sahabah, beliau saw. menghendaki agar mereka  mencapai kemajuan-kemajuan yang sempurna. Namun kejayaan itu memang telah ditakdirkan pada satu saat tertentu. Akhirnya para sahabah telah memperoleh apa yang belum pernah diperoleh dunia sebelumnya, dan mereka telah menyaksikan sesuatu yang tidak pernah disaksikan oleh siapa pun sebelumnya.
     Dasar segala sesuatunya adalah mujahadah (upaya gigih), Allah Ta’ala berfirman:
z`ƒÏ%©!$#ur (#rßyg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏöks]s9 $uZn=ç7ß 4
(“Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” – Al-Ankabut, 70).
     Tanpa mujahadah (kerja keras) tidak ada yang dapat diraih. Orang-orang yang mengatakan bahwa Sayyid Abdul Qadir Jailani hanya dengan satu kali tatap saja telah membuat seorang pencuri menjadi orang suci, merupakan orang-orang yang terkecoh,  dan hal-hal semacam itu telah membinasakan orang-orang. Mereka beranggapan bahwa melalui satu semburan (jampi) seseorang maka  manusia bisa saja menjadi suci.
      Orang-orang yang bersikap terburu-buru terhadap Allah maka menjadi binasa. Di dunia ini setiap sesuatu terhadi secara bertahap. Kemajuan ruhani juga demikian, dan tanpa mujahadah tidak akan berlaku sedikit pun. Mujahadah pun harus dilakukan  dalam Allah Ta’ala, bukannya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Quran Karim, melakukan hal-hal sulit dan menjalani penderitaan-perderitaan seperti yang dilakukan para yogi.
      Inilah tugas yang untuknya Allah Ta’ala telah mengutus saya, yaitu supaya  saya memperlihatkan kepada dunia bagaimana manusia dapat mencapai Allah Ta’ala. Ini merupakan hukum qudrat, yakni tidak semuanya akan mahrum (luput), dan tidak [pula semuanya akan memperoleh petunjuk.” (Malfuzat, jld. II, hlm, 51-52).


JEMAAT DAN KEBERSAMAAN DENGAN ORANG-ORANG SALIH

      “Persoalannya adalah,  saya melihat dengan pandangan sangat benci terhadap orang-orang yang meminta bantuan dari orang-orang mati. Itu adalah pekerjaan orang-orang yang lemah iman, yakni mendekati orang-orang mati dan lari  menjauhi orang-orang hidup. Allah Ta’ala berfirman bahwa orang-orang terus saja mengingkari Yusuf a.s. selama beliau hidup, dan pada hari kewafatan beliau mereka mengatakan bahwa  hari itu kenabian telah berakhir.
       Allah Ta’ala tidak ada memberi petunjuk di mana pun  agar pergi kepada orang-orang mati. Justru Dia memerintahkan “Kūnū ma’ash-shādiqīn – bergaullah bersama orang-orang shadiq (benar)” - At-Taubah, 119),  yakni Dia memerintahkan agar menetap bersama orang-orang hidup. Itulah sebabnya  saya berkali-kali telah menekankan kepada kawan-kawan agar datang dan menetap di sini, Allah Ta’ala benar-benar tahu bahwa hal itu  saya lakukan  semata-mata kasihan terhadap kondisi mereka, serta dengan rasa solidaritas (kepedulian) dan kesetiakawanan.
        Saya katakan dengan sebenarnya, iman tidak akan benar selama manusia belum menetap dalam pergaulan dengan   mukmin (orang beriman hakiki), hal itu dikarenakan sifat-sifat  [manusia] berbeda. Pada satu waktu yang sama dari mulut seorang pemberi nasihat tidak dapat keluar satu nasihat yang sesuai bagi segala macam sifat (pembawaan) yang dimiliki oleh semua orang.
      Ada timbul suatu masa ketkka berlangsung suatu percakapan yang sesuai dengan pemahaman dan pikiran seseorang, yang menimbulkan manfaat bagi orang itu. Dan jika seseorang tidak datang berkali-kali serta tidak menetap untuk beberapa hari yang cukup lama, maka mungkin saja pada satu waktu dia mendengar ucapan (nasihat] yang tidak sesuai dengan perasaannya – dan hatinya menjadi kecewa – dia jadi jauh terlempar dari prasangka baik, dan dia pun binasa.
      Ringkasnya, sesuai kehendak Quran Karim, yang terbukti [bermanfaat] itu adalah menetap dalam pergaulan bersama-sama orang-orang yang hidup. Ada pun mengenai permintaan bantuan hendaknya hal ini harus diingat bahwa Allah Ta’ala-lah Wujud Yang berhak untuk dimintakan bantuan sebenarnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm.  53).
BERIBADAH & MEMOHON PER­TOLONGAN

 Al-Quran telah menjelaskan:
x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS
(“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” – Al-Fatihah, 5).
       Pertama, dia menyebutkan Sifat-sifat Tuhan, yaitu Rabb (Pencipta dan Pengayom), Rahmān (Maha Pemurah - Yang memberi tanpa dimohon), Rahīm (Maha Penyayang – Yang memberikan ganjaran atas amal), Māliki yaumid-dīn (Penguasa Hari Pembalasan), dan kemudian mengajarkan kita untuk berkata:
 x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”   (Al-Fatihah, 5).
Hal  ini  menunjukkan bahwa sesungguhnya hanya kepada  Tuhan-lah seharusnya meminta pertolongan. Jabatan ini tidak dapat diberikan kepada manusia, binatang, ternak atau burung, tidak ada satu pun yang ada di alam semesta, Tentu saja dakan derajat yang lebih rendah hak ini dapat dianggap berasal dari makhluk (ciptaan) Tuhan. Kita tidak boleh mengatur segala sesuatu sekehendak kita, kita harus tetap berpegang kepada apa yang dikatakan Tuhan dan Utusan-Nya. Inilah yang disebut shirāthal-mustaqim (jalan yang lurus).
      Kita betul-betul memahami hal ini melalui kalimat: Kita dapat betul-betul memahami hal ini melalui kalimat: Lā ilāha illallāhu Muhammadur Rasulullāh.  Bagian pertama menunjukkan bahwa hendaknya hanya Tuhan-lah sebagai yang kita cintai, Dia yang kita sembah dan yang kita mohon, dan bagian kedua menunjukkan ketinggian Nabi Besar Muhamma saw..” (Malfuzat, jld. II, hlm. 54).      


PERHATIAN RASULULLAH SAW.

 “(Ada perbedaan antara seorang utusan biasa dengan seorang utusan yang datang dari Tuhan). Sehubungan dengan Rasulullah saw. perbedaan ini dinyatakan dalam bagian kedua “Lā ilāha illallāh Muhammadur Rasulullāh. Utusan biasa cukup hanya meng­antarkan pesan dan mereka menganggap berakhirlah tugas mereka, mereka tidak peduli apakah orang-orang akan bertindak sesuai dengan pesan atau tidak. Dengan kata lain, pesan mereka (atau penyampaian pesan) masuk telinga dan selesai, di pihak lain pesan dari mereka yang diutus oleh Tuhan masuk telinga dan saat itu juga, melalui pengaruh ruhani mereka, juga masuk ke dalam hati.
  Jenis daya tarik dan keberanian ini diberikan kepada manusia hanya apabila ia datang dalam jubah Tuhan, dan kemudian merasakan semacam kenikmatan dalam dirinya untuk memberikan perhatian kepada manusia dan berjuang untuk demi kesejahteraan mereka. Rasulullah saw. memiliki hal tersebut lebih banyak dibandingkan semua  nabi lain. Itulah sebabnya beliau tidak sanggup melihat orang menderita kesusahan. Tuhan berfirman (dalam Al Quran) Azīzun ‘alaihi mā anittum  “Nabi ini tidak dapat melihat kalian dalam kesusahan, itu menyusahkan hatinya, dia sangat ingin  melihat kalian semua penuh kemudahan”.
Dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pertama kali Tuhan menurunkan pertolongan-Nya, dan kemudian giliran orang yang ditugaskkan oleh-Nya Tuhan-lah yang menganugerahkan kepada mereka tekad untuk berbuat baik kepada manusia, mereka berjuang  untuk itu seperti seorang ibu yang menyusui bayinya, bahkan lebih dari itu, karena ibu bukanlah muzzaki (orang yang mensucikan). Mereka itulah yang dimaksud dalam ayat  Kūnū  ma'ash- shādiqīn  -- “jadilah kalian bersama         orang-orang yang benar” (Malfuzat, jld. II, hlm. 55-56).

(56-63)


AGAMA YANG HIDUP


 “Islam adalah agama yang hidup. Tuhan itu Hidup dan Dia Menghidupkan yang lain, jadi bagaimana mungkin Dia mencintai yang mati. Tuhan Yang Hidup dan Menghidupkan ini   memberikan kehidupan kembali dan terus berulang: Yuhyil- ardha ba’da mautiha – Dia menghidupkan  bumi setelah matinya.”
   Apakah Tuhan memberikan kehidupan setelah manusia itu mati [jasmani]? Tidak, Dia tidak berbuat demikian. Tuhan Yang Mahahidup dan Menghidupkan itulah yang bertanggungjawab menjaga Al-Quran dengan berfirman: Innalahu lahāfizhūn – “sesungguhnya Kamilah benar-benar pemeliharanya” (Al-Hijr, 10).
      Dengan demikian di setiap masa agama ini hidup melalui orang-orang yang hidup dan memberi kehidupan kepada yang mati.  Kalian harus ingat bahwa dalam agama ini orang-orang yang hidup tampil setiap saat. Kemudian Dia berfirman: “Tsumma fushshilat – “kemudian itu telah jelas.”
      Satu penjelasan (bukti) terdalam dalam Al-Quran senjdiri, yang lain akan terus diberikan sampai Hari Kiamat.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 63).


MAKNA  IBADAH

 “Tuhan berfirman: Alā ta’budu ilallah – “kalian jangan menyembah selain Tuhan”. Sesungguhnya tujuan penciptaan manusia adalah supaya dia menyembah Tuhan. Di tempat lain Tuhan berfirman: wa mā khalaqtul jinna wal insa illa li'ya'budūn. Arti  sesungguhnya ibadah (penyembahan)  adalah seseorang harus menghilangkan kekerasan hati dan ketidakjujuran serta menjadikan ladang hatinya demikian bersih seperti ladang yang dibersihkan seorang petani [untuk ditanami].
     Ungkapan Arab mur muaddab – menggiling (menggosok) lensa agar cocok untuk mata. Seperti itu juga jika tidak ada batu  atau kerikil dalam hati, dan ladang demikian halusnya seperti tidak ada apa-apa kecuali tanah   maka itu dapat disebut ibadah. Jika cermin seperti ini   kita dapat melihat wajah kita, dan jika sebidang tanah bersih seperti ini kita dapat menanam berbagai macam pohon di dalamnya.
  Manusia yang  diciptakan untuk menyembah Tuhan hanya dapat melihat-Nya dalam hatinya jika dia membersihkan hati dan menyingkirkan ketidakjujuran, kebimbangan dan batu-batu di dalamnya, kecil atau pun besar.
 Saya berulangkali mengatakan bahwa pohon-pohon kecintaan Tuhan akan tumbuh di dalamnya dan berbunga serta memberikan buah-buahan yang manis dan menyehatkan serta mereka akan menggenapkan kebenaran kalimat “ukuluha da’imun – buah-buahnya senantiasa ada”, inilah tahap dimana perjalanan para sufi berakhir, dan ketika mereka mencapainya, mereka mendapati Tuhan ada di mana-mana  dan tidak ada yang lain. Hati seorang salik (orang yang menempuh jalan ini) menjadi ‘Arasy (singasana Tuhan) dan Tuhan turun ke atasnya.
  Semua perjalanan (suluk) berakhir di sini. Inilah derajat dimana upaya peribadahan berada pada jalur yang benar, di sini kebun ruhani mulai berbunga, seseorang dapat bertemu Tuhan seperti melihat dalam cermin. Inilah derajat di mana manusia menemukan surga di dunia ini juga, dan di sinilah dia menikmati hadzal ladzi ruziqnā min qablu wa utū bihī  mutasyābiha – “inilah apa yang telah diberikan kepada kami sebelumnya, dan akan diberikan dalam bentuknya.”
Ringkasnya, derajat sebenarnya dari penyembahan ialah ibadah” (Malfuzat, jld. II, hlm. 64-65).

(hlm  65-68)


MEMOHON PENGAMPUNAN

“Wa anistaghfiru Rabbakum tsumma tubu ilahi  -- dan jika kamu minta ampun kepada Tuhan kamu dan kemudian kamu kembali kepada-Nya”.
Kalian harus ingat, bahwau mat ini diberi dua macam anugerah, yang satu  untuk memperoleh kekuatan, dan yang lainnya untuk mengamalkan kekuatan itu. Untuk memperoleh kekuatan kepada orang Islam telah dianugerahkan istighfar, yang dengan kata lain dapat disebut meminta pertolongan (istimdad dan istianat).
Tasawuf mengatakan bahwa sebagaimana seseorang mendapat kekuatan jasmani melalui latihan, maka dapat disebut bahwa istighfar berarti latihan untuk kekuatan ruhani. Dia memberi kekuatan kepada jiwa dan juga memberi keteguhan hati, siapa pun yang ingin memperoleh kekuatan harus melakukan istighfar..
      Ghafara berarti menutup atau menekan. Dengan istighfar seseorang berusaha menutup atau menekan kelemahan gairat yang menyebabkannya jauh dari Tuhan. Maka makna sebenarnya dari istighfar adalah seseorang harus berusaha menekan [dan menyingkirkan] racun-racun yang menyerang dan merusakan manusia, dan untuk menyingkirkan semua yang menghalangi antara dia dengan Tuhan-nya, dia harus menjalankan perintah-perintah-Nya.
  Perlu diingat, bahwa ada dua hal yang terdapat pada manusia. Satu adalah racun, dan kedua adalah obat pemunah racun. Racun dikuasai oleh  setan. Jika seseorang memperlihatkan sikap bangga dan menganggap dirinya adalah orang yang teramat penting, dan dia tidak meminta pertolongan pada Sumber utama obat pemunah racun, maka racun itu menguasai dirinya. Tetapi jika dia merendahkan dirinya dan menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa dan tidak ada artinya serta memerlukan pertolongan Tuhan, maka sebuah sumber akan mengalir dan jiwanya mencair. Inilah istighfar, dengan kata lain dia mengalahkan racun dengan menerima kekuatan dari Tuhan.
Pendeknya itu berarti bahwa kalian harus terus beribadah kepada Tuhan. Pertama kalian harus mematuhi Rasulullah saw., dan kedua kalian harus selalu memohon pertolongan Tuhan. Tentu saja, pertama dan yang terutama kalian harus memohon pertolongan kepada Tuhan, dan jika kalian sudah mendapatkannya, kalian harus tūbū ilahi  yakni kalian harus kembali kepada-Nya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 68).


(hlm 68-72)


HAKIKAT BAIAT


      “Kalian melihat bahwa di dalam baiat aku meminta pernyataan (ikrar) berupa, “Aku akan mendahulukan agama daripada dunia”. Ini adalah supaya  saya melihat apa yang diamalkan atas hal itu oleh orang yang baiat.
     Seseorang yang memperoleh tanah baru [walaupun] sedikit maka dia meninggalkan keluarganya lalu pergi menetap di sana. Dan dia tinggal di sana memang penting supaya tanah itu berpenghuni…..
      Lalu, adapun kami yang memberikan “tanah baru” dan tanah sedemikian rupa -- yang jika dibersihkan serta diolah dengan rajin  --  akan tumbuh buah-buahan abadi, mengapa orang-orang tidak datang dan membuat rumah di sini? Dan jika ada yang tidak mengambil “tanah” ini dengan sungguh-sungguh serta untuk menetap beberapa hari pun dia merasa susah dan sulit, maka bagaimana mungkin bisa diharapkan matangnya panen dan  berbuah? Allah Ta’ala juga telah menamakan kalbu sebagai tanah (bumi):
(#þqßJn=ôã$# ¨br& ©!$# ÄÓôvä uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB 4 ô
(“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya” – Al Hadiid, 18).
      Bagaimana tanah itu harus diolah? Beli sapi (kerbau), dibajak, ditaburi benih, diairi. Ringkasnya benar-benar kerja-keras. Dan selama seseorang itu sendiri tidak terlibat di dalamnya maka tidak akan ada hasilnya sedikit pun.
     Ada tertulis [cerita]  bahwa seseorang melihat tulisan pada sebuah batu (prasasti): “Pertanian adalah emas dan emas”. Dia memang mulai bertani, namun dia serahkan kepada para buruh. Tetapi tatkala dia hitung, bukannya beruntung, justru dia harus bayar. Maka pada kesempatan itu timbullah keraguan dalam dirinya. Nah, seorang bijak menjelaskana kepadanya, “Nasihat itu memang benar namun engkaulah yang bodoh. Jadilah pengelolanya sendiri, barulah akan  berhasil".
     Persis seperti itulah kondisi “tanah” (bumi) hati. Barangsiapa yang memandangnya dengan hina, dia tidak akan memperoleh karunia serta berkat Allah Ta'ala. Ingatlah,     saya datang untuk mengadakan ishlah (perbaikan) pada manusia. Siapa-siapa yang datang kepada saya dia akan menjadi ahli waris suatu karunia, sesuai dengan kemampuan-kemampuannya.
     Namun  saya katakan  dengan jelas, orang yang  baiat sekedarnya lalu berangkat pergi dan kemudian tidak tahu di mana dia berada serta apa yang dia perbuat, baginya tidak ada [manfaat] sedikit pun. Sebagaimana dia datang dengan tangan kosong, dia pergi dengan tangan hampa pula.
    Karunia serta berkat ini  diperoleh melalui hidup (pergaulan) yang dekat. Para sahabah duduk di dekat Rasulullah saw.. Akhirnya, sebagai dampaknya Rasulullah saw. bersabda, “Allah, Allah fī ashhabī”, seolah-olah para sahabah itu sudah menjadi manifestasi (perwujudan) Wajah Allah.
      Derajat itu tidak mungkin  mereka peroleh jika mereka jauh [dari Rasulullah saw.]. Ini adalah suatu perkara yang sangat penting. Qurub (kedekatan) Allah Ta’ala adalah kedekatan para hamba Allah, dan perintah Allah Ta’ala, “Kūnū ma’ash- shādiqīn (bergaullah  bersama orang-orang benar” – At Taubah, 119) menjadi saksi akan hal itu.
     Ini adalah suatu rahasia yang sedikit orang  memahaminya. Ma’mur minallah (utusan Allah) tidak pernah dapat menerangkan seluruh permasalahan dalam satu waktu, melainkan dengan memeriksa penyakit-penyakit [ruhani] para sahabatnya, dan sesuai  dengan kesempatan saat itu dia terus mengadakan ishlah (perbaikan) pada diri mereka melalui anjuran dan nasihat. Tahap demi tahap dia terus mengobati penyakit-penyakit mereka.
      Kini, sebagaimana pada hari ini  saya tidak dapat menerangkan seluruh perkara, mungkin saja ada beberapa orang yang pada hari ini mendnegarkan ceramah lalu pergi, dan ada beberapa  hal yang tidak sesuai dengan pembawaan serta kemauannya, maka mereka itu menjadi luput. Akan tetapi orang-orang yang terus menerus menetap di sini, dia secara beriringan terus mengadakan perubahan demi perubahan, dan akhirnya dia mencapai maksud tujuannya.
      Setiap orang membutuhkan perubahan sejati, barangsiapa di dalam dirinya tidak ada perubahan  maka dia menggenapi:
`tB           šc%x. Îû ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr&
(“barangsiapa yang buta di dunia ini maka di akhirat pun dia akan buta – Bani Israil, 73).
      Saya selalu risau memikirkan bagaimana supaya di dalam Jemaat timbul suatu perubahan suci.  Adapun gambaran yang terdapat dalam hati saya tentang perubahan di dalam Jemaat saya hal itu belum  terwujud, dan menyaksikan kondisi ini keadaan saya adalah bagaikan:
y7¯=yès9 ÓìÏ»t/ y7|¡øÿ¯R žwr& (#qçRqä3tƒ tûüÏZÏB÷sãB      
(Boleh jadi engkau membinasakan diri engkau dari dukacita karena mereka tidak mau beriman” – Syu’ara, 4)..
      Saya tidak ingin  pada waktu baiat beberapa kata sekedar dihafal, tidak ada manfaat sedikit pun dari itu. Raihlah pengetahuan tentang pensucian jiwa (tazkiyah-e-nafs), sebab itulah yang dibutuhkan. Tujuan saya sama sekali bukan supaya kalian kesana kemari memperdebatkan masalah  mati-hidupnya Al-Masih a.s.. Itu hanyalah sebuah perkara kecil. Jangan  berhenti sampai di situ saja. Yang demikian itu adalah kekeliruan dan telah saya luruskan.
     Tugas saya dan tujuan saya sangat lebih jauh dari itu, yakni  ciptakanlah suatu perubahan di dalam diri kalian, dan betul-betullah menjadi seorang insan yang baru, oleh sebab itu penting bagi setiap orang dari antara kalian untuk memahami rahasia ini, dan ciptakanlah suatu perubahan sedemikian rupa, sehingga kalian dapat mengatakan  bahwa sudah berubah.
      Kembali  saya katakan  dengan seyakin-yakinnya, selama seseorang belum menetap bersama saya  dalam jangka masa tertentu, jangan beranggapan bahwa dia sudah berubah. Dia tidak akan memperoleh manfaat. Raihlah kesucian yang paling tinggi di dalam kondisi fitrat, akal, dan gejolak-hati, barulah itu berarti sesuatu. Jika tidak, berarti tidak ada sedikit pun.
     Bukanlah  saya bermaksud supaya kalian meninggalkan kesibukan-kesibukan dunia.     Allah Ta’ala telah mengizinkan  (membenarkan) kesibukan-kesibukan dunia, sebab dari jalan itu juga timbul ujian, dan karena ujian itulah manusia menjadi pencuri, pemabuk, penipu, perampok, serta menerapkan berbagai macam kebiasan buruk. Akan tetapi segala sesuatu ada batasnya. Terapkanlah kesibukan-kesibukan dunia itu dalam batas yang membuat kalian dapat menciptakan sarana-sarana pendu­kung (pembantu) bagi kalian di jalan  dīn (agama), dan tujuan utamanya disitu semata-mata dīn (agama).
     Jadi,  saya juga tidak melarang kesibukan-kesibukan dunia,  dan tidak  pula  saya mengatakan supaya kalian siang malam tenggelam dalam mengupayakan dan mencari dunia sedemikan rupa, sehingga ruangan Allah Ta’ala pun kalian penuhi dengan dunia. Jika ada yang berbuat demikian berarti dia secara beriringan mengupayakan sarana-sarana kemah­ruman (keluputan), dan yang ada di lidahnya hanyalah dakwa (pernyataan) [kosong] belaka.
     Ringkasnya, tinggallah di lingkungan orang-orang yang hidup, supaya tampak oleh kalian manifestasi (perwujudan) Tuhan Yang Hidup.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 72-73).



 atas semua yang diperbuat Rasulullah saw.. Jika beliau saw. apa-apa yang sesungguhnya beliau saw. lakukan bukanlah sesuatu apa pun,  bagaimana mungkin dikatakan:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÈ  
(Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” – Al-Ahzab, 57).
        Ucapan ini tidak pernah diungkapkan untuk nabi-nabi lain. Inilah wujud yang muncul dngan keberhasilan sempurna dan penghormatan sempurna, namanya adalah Muhammad saw.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 74).
    

(hlm 73-74)


KUNCI PERBUATAN BAIK
SIMPATI MELALUI DOA

“Kalian harus ingat bahwa simpati itu ada tiga macam: satu fisik, dua keuangan, dan tiga dalam bentuk doa. Bentuk ketiga digunakan tanpa membutuhkan uang dan tenaga, tetapi manfaatnya sangat luas. Sehubungan dengan simpati dalam bentuk fisik hanya dapat digunakan jika seeorang memiliki kekuatan yang cukup. Sebagai contoh seorang lemah yang terluka tentu tidak dapat ditolong oleh orang yang fisiknya tidak kuat.
Demikian juga kecuali seseorang itu memiliki uang, dia tidak dapat menolong orang  kelaparan yang miskin dan tak berdaya. Bagaimana mungkin orang macam itu memperlihatkan simpati. Tetapi sehubungan simpati dengan doa dia tidak membutuhkan uang ataupun tenaga. Sepanjang manusia itu adalah manusia, dia dapat berdoa untuk orang lain dan terbukti bermanfaat  baginya. Jangkauan kebaikan yang dapat diperoleh dari jenis simpati ini sangat luas,  dan jika seseorang tidak terbiasa dengan jenis simpati ini  betul-betul malang dirinya.
 Saya telah menyampaikan bahwa simpati berbentuk fisik dan uang adalah terbatas, tetapi tidak demikian dengan doa. Pandangan­ saya sehubungan dengan doa, bahkan musuh-­musuh pun tidak terkecuali darinya. Semakin luas doa tersebut, semakin besar manfaat yang diperoleh orang yang berdoa. Semakin kikir orang itu dalam berdoa semakin jauh dia dari Tuhan.
Sesungguhnya orang yang membatasi kemurahan Tuhan  ­yang sangat luas  adalah orang yang sangat lemah keimanannya. Satu keuntungan besar dalam berdoa bagi orang lain adalah hal itu  memanjangkan hidup. Tuhan telah berjanji di dalam Al Quran,  bahwa dia yang berbuat baik kepada orang lain  akan hidup lebih lama. Dia berfirman: Ammā     yanfa’unāsa fayamkutsu fil- ardi –“apa yang bermanfaat bagi manusia akan tinggal lama di bumi.”
Jenis simpati yang lain adalah terbatas, doalah yang dapat dijadikan amal yang berkelanjutan.  Doalah yang                               paling…………(?)



Sebagian orang, begitu melihat seorang pengemis menjadi cepat marah, dan jika mereka memiliki sifat maulviyat (ilmu agama yang kering), mereka mengatakan kepada pengemis itu tentang ajaran agama mereka mengenai meminta-minta. Memanfaatkan maulviat mereka, mereka bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Alangkah menyedihkannya, orang-orang ini tidak mengerti, dan sesungguhnya mereka sepertinya sama sekali  tidak dapat mengerti.
Pengertian ajaran itu diberikan kepada orang baik dan yang berhati bersih. Mereka tidak menyadari bahwa seorang pengemis – terlepas dari kenyataan bahwa diaadalah orang yang berkecukupan yang pergi untuk mengemis – dia berdosa  kepada dirinya sendiri, tetapi tidak ada dosanya memberikan sesuatu kepadanya. Bahkan hadits banyak meriwayatkan kepada kita bahwa, “Jika seseorang datang meminta kepadamu dan ia menunggang kuda, kamu harus memberikan sesuatu kepadanya.” Al-Quran mengatakan: wa ammaas- saa-ila falaa tak-har – “janganlah kamu memaki pengemis”, di sini tidak disebutkan pengemis macam apa yang jangan dimaki, dan pengemis macam apa yang boleh dimaki.
Kalian harus ingat untuk tidak pernah memaki pengemis, karena dengan berbuat demikian menumbuhkan  pohon keburukan moral, sebab moral yang baik menuntut seseorang untuk tidak tergesa-gesa merasa jengkel kepada pengemis. Setanlah yang ingin menjauhkan kalian dari kebajikan dengan membuat kalian jengkel kepada pengemis, dia ingin membuat kalian mewarisi keburukan.
Kalian perlu memperhatikan hal ini: berbuatlah satu kebaikan dan kalian akan akan mendapati bahwa kalian terdorong meneruskannya dengan amal baik yang lain. Demikian juga jika kalian melakukan satu perbuatan buruk, kalian akan melanjutkannya dengan perbuatan buruk lainnya. Hal itu seperti satu benda menyerap benda lain. Proses penyerapan satu benda oleh benda lainnya terjadi dalam seluruh perbuatan manusia, demikian Tuhan telah menakdirkan.
 Jika manusia menunjukkan kebaikan kepada pengemis dan dengan demikian akan membuat kebaikan moral, dia akan mampu melakukan amal baik lainnya, dan itulah, dia akan mampu memberikan sesuatu kepada pengemis itu. Moral yang baik adalah kunci perbuatan-perbuatan baik, dan mereka yang tidak menjaga moral tetap baik akhirnya menjadi kosong sama sekali dari perbuatan­-perbuatan baik.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 75).


SUATU KEBAIKAN AKAN MELAHIRKAN KEBAIKAN LAIN

     ”Perhatikanlah, dengan melakukan suatu kebaikan akan timbul kebaikan lainnya, dan demikian pula suatu keburukan menimbulkan keburukan lainnya. Sebagaimana suatu benda menarik yang alin, seperti itu pulalah masalah tarik menarik itu tenah ditanamkan Allah Ta’ala di dalam setiap perbuatan.
      Jadi, apabila kalian berlaku  lembut kepada pengemis dan dengan cara demikian kalian memberikan sedekah akhlak, maka kesulitan akan jauh dan kebaikan lainnya pun akan timbul, dan kalian akan memberikan sedikit-banyak kepadanya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 75-76).


AKHLAK MERUPAKAN KUNCI KEBAIKAN

       “Akhlak merupakan kunci kebaikan-kebaikan lainnya. Orang-orang yang tidak melakukan perbaikan akhlak, mereka lambat laun akan kosong dari kebaikan.  Saya berkeyakinan  bahwa di dunia ini segala sesuatu itu bermanfaat. Racun dan kotoran pun bermanfaat. [Racun] sarkonia juga bermanfaat, ia memberikan dampak pada anggota-anggota tubuh.
     Namun manusia yang tidak memberikan manfaat dengan cara meraih akhlak fadhilah maka ia tidak akan berguna untuk apa pun. Dia menjadi lebih buruk daripada hewan mati, sebab hewan mati itu kulit dan tulangnya masih berguna, sedangkan kulit orang itu sekali pun tidak akan berguna. Itulah kondisi dimana manusia menjadi bal hum adhallu – “bahkan mereka lebih buruk dari itu”.
       Oleh karena itu ingatlah, perbaikan akhlak adalah sesuatu yang sangat penting, sebab akhlak itu merupakan induk bagi kebaikan-kebaikan.” (Malfuzat, jld. II, hlm.  76).


 MENINGGALKAN AKHLAK
MERUPAKAN KEBURUKAN DAN DOSA

       “[Bisa] saja seseorang tidak memperoleh kekuatan akhlak, tetapi kepadanya diberikan karunia untuk berbuat banyak kebaikan. Meninggalkan akhlak itu sendiri merupakan suatu keburukan dan dosa. Misalnya, seseorang melakukan zina, dia tidak tahu betapa berat dan mendalamnya kedukaan  yang dialmi suami perempuan itu. Seandainya dia dapat merasakan kedukaan dan kepedihan itu, dan dia meraih unsur akhlak di situ, tentu dia tidak akan melakukan perbuatan buruk tersebut.
     Jika seorang bejad itu mengetahui bahwa akibat perbuatan buruknya akan timbul berbagai macam dampak bahaya bagi umat manusia maka tentu dia tidak akan melakukannya.  Seseorang yang melakukan pencurian, begitu aniaya dan bejadnya sehingga bahan makanan untuk makan malam pun tidak dia sisakan. Kebanyakan yang didapati adalah hasil jerih-payah bertahun-tahun yang dikumpulkan oleh seorang miskn begitu saja dicuri, dan apa saja yang ditemukkan di dalam rumah semuanya diambil.
    Apakah sebenarnya penyebab dari perbuatan bejad seperti ini? Ialah tidak adanya kekuatan akhlak. Sebab jika dia memiliki kasih-sayang dan dia dapat mengerti bahwa anak-anak akan menangis karena kelaparan, dan jerit tangis anak-anak itu pun akan membuat hati musuh menjadi terenyuh, dan dia mengetahui bahwa anak-anak itu kelaparan semalaman serta tidak ada sekerat makanan kering sekali pun maka  dia (pencuri) itu tentu dorongan nafsunya akan terhenti.
      Nah, jika merasakan kondisi tersebut dan dia tidak buta terhadap kondisi akhlak maka mengapa dia mencuri? Kadang-kadang kita membaca berita-berita  kematian yang mengerikan di surat-surat kabar. Yakni ada anak-anak yang dibunuh karena ingin merampas perhiasan anak-anak itu. Di tempat tertentu ada perempuan yang dibunuh  -- aku sendiri pernah mendatangi seorang teman, yakni seseorang telah membunuh seorang anak kecil  demi 12 sen saja.
     Sekarang, pikirkanlah, jika kondisi akhlak tidak benar maka mengapa musibah-musibah semcam itu terjadi? Mungkin ada musibah yang melanda  orang seperti dirinya, tetapi dia sendiri tidak merasakannya. "Yakuluuna ka man takulul- an'aam [orang-orang kafir makan sebagaimana binatang­-binatang  ternak makan” – Muhammad, 13).
       Terdapat beberapa aspek di dalamnya. Pertama, binatang tidak dapat membedakan kuantitas dan kualitas. Apa saja yang tampil di hadapan dan seberapa banyak yang ada dimakannya. Misalnya anjing makan sedemikian  banyak sampai akhirnya muntah.
     Kedua, binatang-binatang tidak dapat membedakan antara yang halal dengan yang haram. Seekor sapi tidak dapat membedakan apa ini ladang tetangga, supaya ia tidak masuk. Demikian pula setiap hal yang perlu dipertimbangkan untuk dimakan, tidak dipertimbangkan oleh binatang. Anjing tidak mempertimbangkan mana yang kotor dan mana yang bersih. Kemudian, binatang-binatang ini tidak menerapkan keseimbangan (aspek kecukupan).
      Orang-orang ini -- yang melanggar kaidah-kaidah akhlak – tidak peduli sedikit pun, seakan-akan mereka itu bukan manusia. Kondisi bersih dan kotor yang ada di Arab saat ini sampai-sampai anjing-anjing mati pun dimakan.   Sampai sekarang di kebanyakan Negara kondisinya  demikian, yakni tikus-tikus, anjing dan kucing-kucing dimakan dengan menganggapnya sebagai makanan lezat.  Di sini pun terdapat kaum-kaum nomad (Gipsy)  pemakan bangkai.
     Kemudian, mereka tidak sungkan-sungkan memakan harta anak­-anak yatim. Bagaikan rumput anak-anak yatim  yang diserakkan di depan kerbau maka tanpa ragu-ragu lagi akan dimakannya. Demikianlah keadaan orang-orang ini. Itulah arti, “Wan-naaru matswal-lahum – tempat tinggal mereka adalah api (neraka)” – Muhammad, 13).
     Ringkasnya, ingatlah ada dua sisi (segi). Pertama, Keagungan Ilahi. Apa yang bertentangan dengan  itu adalah bertentangan juga dengan akhlak. Dan kedua, kasih-sayang terhadap sesama manusia. Jadi, yang bertentangan dengan umat manusia, adalah juga bertentangan dengan akhlak.
      Sangat disayangkan, sedikit sekali orang yang menyimak hal-hal ini, yaitu hal-hal yang merupakan tujuan dan maksud utama kehidupan manusia.” (Malfuzat, jld. Hlm. 77-79).

PERIHNYA DOSA

Pada tanggal 4 Desember 1901 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
      “Ada satu hal penting yang ingin  saya jelaskan. Walaupun kesehatan saya tidak baik, namun dikarenakan besok Nawab Sahib akan berangkat, maka  saya kira tepat apabila  saya jelaskan supaya beliau pun dapat mendengar dan warga Jemaat lainnya juga bisa mendengarkan.
     Hal yang  saya maksudkan adalah sebagai berikut. Seluruh nabi ‘alaihimus-salaam telah datang ke dunia. Walaupun hukum-hukum yang telah mereka perdengarkan kepada dunia secara terinci dan panjang tetapi banyak bagian yang dijelaskan. Hal-hal mengenai  Tauhid, budaya, niaga, dan akhirat. Ringkasnya, sekian banyak perkara yang diperlukan oleh manusia, telah mereka berikan petunjuk-petunjuk serta ajaran berkenaan itu semua.
     Di samping seluruh ajaran dan petunjuk-petunjuk parsial tersebut, tujuan kedatangan nabi yang sebenarnya adalah supaya orang-orang terlepas dari dosa lalu membenci segala macam keburukan dan pekerjaan-pekerjaan tidak baik, dan kemudian  menjadi untuk Allah semata. Inilah tujuan sebenarnya penciptaan manusia, yakni menjadi sepenuhnya untuk Allah. Oleh karenanya tujuan pengutusan para nabi ‘alaihimun-salaam adalah membimbing manusia ke arah itu, supaya manusia menemukan kembali barang miliknya yang telah hilang  serta tujuannya tersebut.
      Dosa itu banyak sekali, banyak cabang dan ranting-rantingnya, sampai-sampai segala macam kelalaian ringan pun termasuk dosa. Akan tetapi berlawanan dengan tujuan agung tersebut dosa besar yang tampil untuk menyesatkan manusia  dari tujuan yang sebenarnya adalah syirik.
      Maksud dan tujuan sebenarnya penciptaan manusia adalah supaya sepenuhnya menjadi untuk Allah semata dan selalu menjauhi dosa serta penyebab-penyebabnya. Oleh karena itu sejauh mana terjeratnya manusia bernasib buruk di dalam hal-hal tersebut, sedemikian  jauh pulalah dia menyimpang dari tujuannya yang sejati, sampai akhirnya dia terjatuh dan terjatuh di tempat hina yang merupakan tempat bercokolnya bala musibah, kesulitan-kesulitan, dan segala macam penderitaan serta kedukaan yang juga dinamakan  jahannam (neraka).
      Lihatlah, jika ada bagian tubuh manusia yang bergeser dari tempatnya yang semula, misalnya, jika lengan terlepas, atau kelingking atau ibu jari terlepas dari tempatnya, maka betapa hebatnya rasa sakit dan perih yang timbul. Kenyataan jasmaniah ini merupakan satu dalil kuat untuk alam ruhani dan ukhrawi, dan merupakan satu bukti keberadaan neraka.
      Dosa adalah sesuatu yang membelokkan manusia menyimpang jauh dari tujuan penciptaannya. Jadi, timbulnya rasa perih akibat bergesernya sesuatu dari tempatnya yang sebenarnya adalah mutlak. Jadi, syirik adalah sesuatu yang menggeser manusia dari tujuannya yang sebenarnya, lalu menjadikannya sebagai pewaris neraka.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 78-79).

BUDI PEKERTI RASULULLAH             SAW.


 “Kehormatan Rasulullah saw.  lebih besar daripada kehormatan orang lain. Beliaulah yang menghidupkan  kembali dunia. Berkaitan dengan [bangsa] Arab, perzinahan, mabuk dan berperang satu sama lain adalah ciri utama mereka. Mereka telah menghapus hak-hak makhluk hidup (mereka telah menghilangkan anggapan bahwa mereka punya tugas atau hak atas  yang lain), simpati dan niat baik telah hilang.
 Tidak hanya hak-hak makhluk hidup yang telah diinjak-injak, bahkan hak-hak Tuhan juga telah tertutup dalam kegelapan yang pekat. Batu-batuan, tumbuh-tumbuhan dan bintang-bintang dijadikan sekutu Tuhan Yang Maha Perkasa.  Berbagai macam atheis merupakan hal yang lazim. Manusia yang lemah – bahkan bagian tubuh yang bersifat pribadi pun – disembah.
  Jika  seseorang yang berhati tulus menyaksikan keadaan ini, dia akan melihat sebuah bentuk tirani yang sangat mengerikan. Hal itu merupakan satu sisi tubuh yang lumpuh, tetapi kelumpuhan tersebut mempengaruhi kedua sisi [tubuh]. Kejahatan total di daerah daerah tersebut, kedamaian dan keamanan tidak terdapat di daratan ataupun di lautan.
Lihatlah Rasulullah saw. pada masa kegelapan tersebut. Beliaulah yang meletakkan kedua bagian itu pada tempatnya. Beliau meletakkan hak-hak manusia demikian juga hak-hak Tuhan pada tempatnya. Seseorang dapat memahami kesempurnaan moral Rasulullah saw. dengan melihat masa kegelapan  di masa hidup beliau. Musuh-musuh beliau menganiaya beliau dan para pengikut beliau – dan penganiayaan  tersebut begitu keras – tetapi ketika beliau memiliki kekuatan untuk memperlakukan mereka sekehendak beliau, beliau memperlihatkan kemurahan hati yang luar biasa.
Tidak ada kesusahan yang tidak ditimpakan Abu Jahal dan teman-temannya kepada Rasulullah saw.. Perempuan-perempuan Islam yang  malang diikatkan pada  unta lalu unta-unta itu dilarikan ke arah yang berlainan, merobek tubuh-tubuh perempuan Islam itu. Kesalahan mereka hanya karena mereka telah beriman kepada Lā ilāha illallāh (Tiada tuhan kecuali Allah). Walau demikian, Rasulullah saw. mendidik kesabaran, dan ketika Mekkah ditaklukkan, beliau memaafkan mereka semua dengan mengatakan:  tashriba ‘alaikumul yauma (tidak ada celaan pada hari ini bagi kalian semua).
  Betapa besar kesempurnaan budi pekerti (akhlak) tersebu, hal itu tidak terdapat pada nabi lain manapun.  Allāhumma shalli ‘alā Muhammadan .... pendeknya kalian harus memiliki budi pekerti  (akhlak) yang tinggi, karena itulah kunci perbuatan­-perbuatan baik”. (Malfuzat, Vol. II, hlm.  79­-80).


(hlm, 80-91)


KEBAIKAN DUNIA INI

 “Janganlah seorang pun menganggap bahwa orang seharusnya tidak berhubungan dengan dunia. Bukan demikian maksud saya, dan Tuhan juga tidak melarang seseorang meraih keuntungan dunua, bahkan Islam melarang umatnya memutuskan hubungan dengan dunia.  Itu adalah pengecut. Semakin luas hubungan orang mukmin dengan dunia, semakin tinggi derajat yang dia peroleh,  karena sasarannya adalah  agama, dunia dan seisinya adalah pengkhidmat agama.
Yang sebenarnya adalah, upaya meraih keuntungan dunia jangan menjadi satu-satunya tujuan, tujuan yang hakiki adalah upaya meraih agama. Seseorang hendaknya meraih keuntungan dunia melalui jalan yang dengannya mereka dapat mengkhidmati agama. Seperti seseorang yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain,  dia membutuhkan kendaraan dan perbekalan untuk perjalanan itu. Semua orang tahu bahwa sasaran (tujuan) orang ini adalah sampai di tujuan dan bukannya kendaraan atau perbekalan [yang menjadi tujuan]. Seseseorang hendaknya meraih keuntungan dunia dengan tujuan untuk menjadikannya pengkhidmat agama.
Tuhan Yang Maha Perkasa telah mengajarkan doa: “Rabbanā ātinā fid-dunyā hasanatan wa fil ākhirati hasanatan. Di sini dunia itulah yang disebut terlebih dulu. Tetapi yang yang dimaksud dengan dunia ini? Yaitu hasanatud-dunya yang menghasillam hasanah (kebaikan) di akhirat.
Doa ini menjelaskan bahwa kebaikan di akhirat harus tetap diperhatikan selagi meraih  kebaikan di dunia. Lebih lanjut kata-kata hasanatud-dun-ya menunjukkan kepada kita semua cara terbaik untuk meraih kebaikan­-kebaikan dunia diharapkan dipakai oleh seorang mukmin dalam urusan-urusan dunianya.
 Kalian hendaknya meraih keuntungan dunia melalui cara yang baik bagi diri mereka dan tidak dengan cara menyusahkan orang lain, cara-cara juga jangan memalukan diri kalian. Upaya meraih keuntungan dunia melalui cara demikian tentu  menghasilkan kebaikan di akhirat.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 91).


JANGAN DUDUK BERPANGKU-TANGAN

  “Kalian harus ingat, bahwa yang membaktikan  dirinya demi Tuhan ia tidak lambat atau  berpangkutangan. Tidak, tidak pernah demikian. Bahkan orang semacam menjadi lebih aktif dan cerdas dibandingkan sebelumnya. Sifat lamban tidak akan menimpanya.
       Amar bin Khuzaina meriwayatkan dalam hadits, bahwa Hadhrat Umar r.a. bertanya kepada ayah beliau, apa yang menyebabkannya berhenti menanam pohon di kebunnya. Ayahnya menjawab  bahwa dia sudah tua dan dia mereka tidak lama lagi akan meninggal. Hadhrat Umar r.a.s mengatakan bahwa ayahnya  harus tetap  menanam pohon, kemudian ia (Amar) menyaksikan bahwa Hadhrat Umar r.a.  membantu ayah beliau menanam pohon di ladang.
     Rasulullah saw. selalu memohon perlindungan Allah terhadap sifat lamban.  Saya berulang kali menyatakan kepada kalian bahwa kalian jangan menjadi lamban. Tuhan tidak mengatakan  bahwa kalian jangan bekerja untuk meraih karunia, bahkan Dia telah mengajarkan doa untuk meminta hasananut- dunya (kebaikan dunia). Tuhan tidak menyukai seseorang duduk berpangku tangan. Dia berfirman: Laisa lil insāni illa masa-ā – manusia tidak akan memperoleh kecuali  apa yang dia usahakan (An-Najm, 40).
     Untuk itu orang mukmin harus bekerja keras. Tetapi  saya berulang kali mengatakan  sebanyak mungkin,  bahwa upaya meraih hal-hal dunia jangan menjadi segala-galanya dan akhir segala-galanya. Agama harus menjadi tujuan sedangkan dunia harus menjadi pengkhidmatnya.
      Sering kali orang-orang kaya dapat berbuat apa-apa yang diluar kemampuan orang miskin. Di zaman Rasulullah saw., orang yang kemudian menjadi   Khalifah  pertama telah memberikan pengkhidmatan tak tertandingi kepada orang Islam setelah beliau masuk Islam. Beliau telah berbuat demikian karena beliau adalah pedagang besar, beliau menjadi sahabat dan Khalifah pertama dan dimuliakan dengan gelar shiddiq.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 92).  


ORANG-ORANG YANG MENUNTUT MAUKJIZAT

     ”Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. tidak membutuhkan mukjizat untuk menerima Islam. Yang menghendaki (menuntut)  mukjizat adalah orang-orang yang tidak mengenal [utusan Allah] secara pribadi, sedangkan seseorang yang mengenal secara pribadi, maka dia tidak membutuhkan dan tidak menginginkan mukjizat. Itulah sebabnya Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. tidak menuntut mukjizat, sebab beliau benar-benar mengetahui kondisi Rasulullah saw., dan beliau benar-benar mengetahui bahwa Rasulullah saw. adalah seorang yang jujur dan dipercaya, bukan penipu dan pendusta, sebab  tatkala seseorang itu tidak pernah berdusta kepada manusia mana pun maka tentu dia tidak pernah mampu berdusta kepada Allah Ta’ala?
     Jadi, hal ini hendaknya diingat, bahwa  menuntut Tanda (mukjizat) itu  karena ada keraguan pada diri orang yang menuntut tersebut bahwa jangan-jangan si pendakwa itu berdusta. Namun tatkala hal ini benar-benar telah diketahui di pendakwa adalah orang yang benar (jujur) dan terpercaya maka tidak diperukan lagi penampakkan mukjizat.
     Hal ini pun hendaklah diingat, bahwa orang-orang yang menghendaki dan bersikeras menuntut Tanda (mukjizat), keimanan orang-orang semacam itu tidak bisa mantap, melainkan keimanan mereka setiap saat berada dalam bahaya. Mereka tidak memperoleh buah-buah iman bil-ghaib (percaya kepada yang gaib), sebab di dalam iman bil-ghaib  itu terdapat suatu perbuatan baik, yakni husnuzh- zhan (prasangka baik), yaitu hal yang tidak pernah diraih oleh orang yang terburu nafsu. Yakni, orang yang terburu nafsu dan bersikeras untuk menyaksikan Tanda (mukjizat).
      Para hawari (murid) Almasih a.s. bersikeras agar diturunkan maidah (hidangan), maka Allah Ta’ala juga telah mengecam mereka dan menegaskan bahwa, “Kami memang akan menurunkan maidah, tetapi sesudah diturunkan apabila ada yang ingkar maka atasnya akan diturunkan azab yang keras.”
     Manfaat diungkapkannya kisah ini di dalam  Quran Syarif adalah untuk memberitahukan keimanan yang paling baik. Dan hal yang sebenarnya adalah Tanda-tanda (mukjizat) Allah Ta’ala itu sangat jelas dan terang. Namun padanya, di satu sisi dimaksudkan agar terjadi  pemenuhan hujjah (dalil/argumentasi), dan di sisi lain merupakan ujian bagi umat.
      Oleh Karena itu di dalamnya terdapat beberapa perkara yang mengandung suatu cobaan, dan ini sudah merupakan suatu ketentuan, bahwa orang-orang yang menuntut mukjizat adalah orang-orang yang terburu nafsu (tergesa-gesa)  dan yang tidak memiliki prangsangka baik.  Di dalam diri mereka terdapat benih yang dapat menimbulkan suatu kebimbangan dan keraguan. Oleh karena itu mereka menunut tanda (mukjizat). Untuk itu ketika mereka menyaksikan Tanda (mukjizat) maka secara nonsense (omong-kosong) mereka mulai mengartikannya sendiri. Kadang-kadang Tanda itu mereka sebut sebagai sihir, dan kadang-kadang mereka sebut dengan nama lain.
     Ringkasnya, sifat mereka yang menimbulkan keraguan membuat mereka jauh dari kebenaran. Oleh karena itu  aku menasihatkan kepada kalian supaya kalian menciptakan keimanan yang merupakan keimanan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. dan keimanan para Sahabah radhiallaahu ‘anhum, sebab di dalamnya terdapat prasangka baik serta kesabaran. Dan keimanan seperti itu  menghasilkan banyak sekali berkat serta buah-buah
      Percaya dan beriman setelah terlebih dahulu menyaksikan Tanda (mukjizat,)serta menjadikan hal itu sebagai syarat bagi iman, merupakan suatu yang lemah dan umumnya tidak menghasilkan buah apa-apa. Ya,  tatkala manusia beriman dengan prasangka baik  maka           kemudian Allah Ta’ala pun memperlihatkn kepada orang mukmin seperti itu Tanda (mukjizat) yang mempertebal keimanannya dan yang membuat dadanya semakin lapang.  Dan bahkan mereka sendiri dijadikan-Nya sebagai Tanda (mukjizat) dan  aayatullaah (Tanda Allah).  Itulah sebabnya nabi mana pun tidak pernah memperlihatkan tanda (mukjizat) yang dipilih-pilih atau yang dituntut kepadanya. Orang Mukmin shadiq (mukmin benar) itu hendaknya tidak mengandalkan (mendasarkan) keimanannya pada pembuktikan Tanda (mukjizat)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 93-95).


                                                                                                               
itu Allah Taala telah menetapkan "Wa mim maa razaqnaahum yunfiquun" (Al-Baqarah, 2:4) sebagai salah satu sifat orang muttaqi.
Di sini tidak khusus hanya uang, apa saja yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seseorang itulah yang oa belanjakan di jalan Allah. Maksudnya, manusia adalah khadim (pengkhidmat) dan solider bagi sesama umat manusia. Dasar syariat AllahTa’ala hanya pada dua perkara saja: Pertama, menjunjung tinggi perintah Allah, dan kedua, bersikap baik  terhadap makhluq Allah. Jadi, di dalam "wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun itu terdapat ajaran untuk bersikap baik  terhadap makhluq Allah. Orang-orang yang kaya-raya memperoleh banyak kesempatan besar untuk mengkhidmati agama.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 95).


HARTA DAN HATI

     “Suatu kali  Nabi Karim saw. mengemukakan akan perlunya uang, maka Hadhrat Abu Bakar r.a. datang membawa seluruh isi rumahnya. Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang engkau tinggalkan di rumah?” Beliau menjawab, “Nama Allah dan Rasul yang akan aku tinggalkan.”
Hadhrat Umar r.a. membawa separuh [harta­ kekayaan beliau]. Rasulullah saw. bertanya, "Umar, apa yang engkau tinggalkan di rumah?” Beliau menjawab, “Separuh”. Rasulullah saw. bersabda, bahwa perbedaan yang tampak pada perbuatan Abu Bakar dan Umar itulah perbedaan derajat mereka
Di dunia, manusia sangat banyak mencintai harta, karena itu di dalam ilmu ta’bir mimpi tertulis, jika seseorang melihat dirinya mengeluarkan hati lalu memberikannya kepada orang lain, maka yang dimaksud di situ adalah harta. Itulah sebabnya untuk memperoleh ketakwaan dan iman yang hakiki difirman-kan:
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4
Kalian sama-sekali tidak akan meraih kebaikan sejati sebelum kalian membelanjakan sesuatu yang paling kalian cintai (Ali’Imran, 93). Sebab, solidaritas dan perlakuan terhadap makhluk Allah, sebagian besar menuntut perlunya pembelanjaan harta.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 95-96).


GEJOLAK SOLIDARITAS

      “Solidaritas (kepedulian)  terhadap sesama manusia dan makhluk Allah adalah sesuatu yang merupakan bagian kedua dari iman, yaitu, yang tanpanya iman ini tidak akan sempurna dan kokoh.
     Untuk memberikan manfaat serta solidaritas kepada orang lain, pengurbanan adalah suatu hal penting, dan di dalam ayat:  
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4
(Kalian sama-sekali tidak akan meraih kebaikan sejati sebelum kalian membelanjakan sesuatu yang paling kalian cintai  - Ali’Imran, 93).
Ini pun yang diberikan adalah ajaran serta anjuran tentang pengurbanan tersebut.
     Jadi, membelanjakan harta di jalan Allah pun merupakan standar serta takaran bagi kebaikan dan ketakwaan manusia.  Takaran serta takaran waqaf Lillāhi yang terdapat di dalam kehidupan Abu Bakar r.a. adalah ketika Rasulullah saw. menyatakan suatu keperluan, dan Abu Bakar r.a. pun membawa seluruh isi rumah beliau.” (Malfuzat, jld II, hlm. 96).


MENGAPA PARA NABI PUN MEMPUNYAI
KEBUTUHAN-KEBUTUHAN

      ”Saya di sini ingin menjelaskan suatu hal penting, yakni  mengapa para  nabi 'alaihinus  salaam memiliki kebutuhan-kebutuhan? Allah Ta’ala berkuasa untuk membuat mereka tidak menghadapi kebutuhan-kebutuhan, namun kebutuhan-kebutuhan itu timbul adalah supaya lillaahi waqaf (waqaf demi Allah) tampil sebagai contoh tauladan, dan supaya waqaf kehidupan Abu Bakar r.a. tetap tegak kokoh, serta supaya di dunia ini timbul keimanan terhadap Tuhan Yang Mahakuasa.  Dan orang-orang yang melakukan lillaahi waqaf seperti itu menjadi aayatullaah (Tanda Allah) bagi dunia, serta  supaya dunia mengetahui tentang kecintaan dan kelezatan terselubung yang  di  hadapannya harta kekayaan yang dicintai dan disukai itu pun dengan mudah dan dengan senang hati dapat dikurbankan. Dan kemudian, sesudah mengeluarkan harta kekayaan tersebut supaya manusia memperoleh kekuatan serta keberanian untuk menyempumakan lillaahi waqaf, sehingga manusia  tidak takut untuk menyerahkan nyawanya di jalan Allah Ta’ala.
       Ringkasnya, tujuan sebenarnya kebutuhan-kebutuhan para nabi ‘alaihimus-salaam  adalah untuk mengajarkan agar berpaling dari kecintaan-kecintaan palsu dan dari benda-benda yang fana (tidak kekal). [Kebutuhan-kebutuhan] tersebut adalah untuk menciptakan keimanan  lezat terhadap Wujud Allah Ta’ala dan untuk menciptakan kekuatan pengorbanan demi kebaikan sesama manusia. Sebab jika tidak [untuk tujuan itu], golongan suci ini [pada hakikatnya] berjalan di bawah penglihatan Pemilik khazanah-khazanah seluruh langit dan bumi, oleh karena itu bagaimana pula mereka itu membutuhkan sesuatu apa pun?
     Kebutuhan-kebutuhan itu ditampilkan adalah untuk menyempurnakan ta’lim (pengajaran) serta untuk memperkokoh akhlak dan keimanan manusia” (Malfuzat, jld. II, hlm. 96-97).


IMAN MERUPAKAN SEBUAH RAHASIA

       ”Namun ingatlah, iman merupakan sebuah rahasia yang ada di antara seorang mukmin (beriman) dengan Allah Ta’ala. Di antara manusia tidak ada yang mengetahui [rahasia] itu selain orang mukmin tersebut. Ini jugalah yang merupakan hakikat ,"Anna `inda zhanni 'abdii bii – (Aku tampil sesuai pemikiran hamba-Ku terhadap-Ku)”.
      Kadang-kadang orang-orang yang tidak tahu menahu ilmu-ilmu sejati dan makrifat-makrifat Ilahi – karena tidak mengetahui hubungan-­hubungan  orang-orang mukmin tertentu dengan Allah Ta’ala --  mereka menyatakan keheranan dan rasa aneh mereka, misalnya dalam hal-hal yang  menyangkut rezeki dan kehidupan orang mukmin tersebut. Dan kadang-kadang rasa aneh tersebut membawa mereka sampai ke tahap prasangka buruk serta kesesatan, sebab pandangan mereka hanya sampai pada sarana-sarana terbatas yang ada pada mereka, dan mereka tidak tahu menahu tentang rahasia yang dimiliki orang mukmin tersebut dengan Allah Ta’ala..
      Saya  menghendaki supaya sahabat-sahabat  saya menjadikan rahasia mereka dengan Allah Ta’ala seperti rahasia para sahabat r.a.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 98).


(hlm. 98-99)


 DEDIKASI PADA TUHAN

 “Suatu hal yang sangat penting, manusia hendaknya membaktikan hidupnya demi Tuhan. Saya  telah membaca dalam beberapa suratkabar bahwa seorang [Hindu] Arya yang tak dikenal telah membaktikan hidupnya demi Arya Samaj. Atau seorang pendeta [Kristen] yang tak dikenal telah membaktikan dirinya demi missi.
 Saya sangat terkejut melihat orang-orang Islam tidak membaktikan hidup mereka untuk mengkhidmati Islam dan demi Tuhan-nya. Lihat masa Rasulullah saw., dan kalian akan menyadari  bagaimana hidup diserahkan untuk mengkhidmati Islam. Kalian harus ingat bahwa ini bukan jual-beli yang merugikan, ini pasti menguntungkan.
Saya  ingin orang-orang Islam mengetahui, bagaimana pengkhidmatan diri demi Tuhan itu bermanfaat dan memberikan keuntungan. Apakah seseorang yang membaktikan dirinya mengalami kerugian? Sama sekali tidak:
ÿ¼ã&s#sù     ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts
(“Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak   mereka bersedih hati” – Al-Baqarah, 113).
Tuhan sendirilah yang mengganjar pengkhidmatan ini. Itu melepaskan (menghindarkan) manusia dari semua  ketakutan dan kesedihan.
 Saya   terkejut ketika mengetahui bahwa walaupun setiap orang ingin dibebaskan dari ketakutan dan kesedihan hidup, mengapa orang-orang tidak memperhatikan obat ini yang telah dicoba dan terbukti memuaskan? Obat ini telah dicoba selama 1300 tahun. Bukankah ia terbukti efektif? Bukankah karenanya para sahabat Rasulullah saw. mewarisi kehidupan abadi? Mengapa sekarang orang-orang meninggalkan obat ini?
Sesungguhnya orang-orang tidak peka terhadap kenyataan dan kenikmatan pengkhidmatan diri. Jika saja mereka memperoleh sedikit darinya, mereka akan berhamburan ke arahnya dengan harapan yang besar dan tak berkesudahan.  Saya sendiri sangat berpengalaman dalam hal ini, dan dengan karunia Tuhan  saya telah menikmati kelezatannya.
 Saya menginginkan bahwa setelah pengkhidmatan diri saya, ketika  saya wafat hendaknya  saya diberikan kehidupan yang lain dan  saya akan berkhidmat kembali, dan proses ini akan berkelanjutan dengan peningkatan semangat diri saya.” (Malfuzat, II, hlm. 99-100).


PENGKHIDMATAN DEMI TUHAN

 “Saya   sangat berpengalaman dalam hal [pengkhidmatan] ini. Bahkan sekiranya Tuhan mengatakan kepada saya bahwa pengkhidmatan ini tidak menghasilkam ganjaran apa pun bagi saya dan tidak memberikan apa pun pada saya, sama sekali tidak mungkin  saya berkhenti mengkhidmati  Islam.
Untuk itu  saya menganggap sudah tugas saya untuk menekankan kepada anggota Jemaat saya,  dan itu hendaknya seperti wasiat dari saya –  baik mereka bertindak menurut hal itu atau pun tidak – bahwa jika mereka mencari keselamatan, mereka harus menyerahkan diri mereka demi Tuhan. Jadikanlah agar setiap orang berjuang keras mencapai derajat dimana dia dapat menyatakan “hidupku, matiku, pengorbananku, shalatku, dan semuanya adalah demi Tuhan”. Jiwanya akan berseru seperti Hadhrat Ibrahim a.s.: Aslamtu li Rabbil ‘ālamīn – “Aku telah menyerahkan diriku kepada Tuhan seluruh alam” – Al-Baqarah, 132).
     Kecuali seseorang itu melebur pada Tuhan dan mati dalam Tuhan, dia tidak dapat memiliki hidup yang baru. Kalian yang bersama saya dapat mengetahui dan menyadari, bahwa  saya memiliki tujuan hidup saya diserahkan demi Tuhan. Kalian hendaknya melihat hidup kalian dan mendapati berapa berapa banyak di antara kalian yang menyukai  perbuatan saya ini, dan berapa banyak dari kalian yang ingin menyerahkan dirinya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 100).


PENYEBAB  KEBANYAKAN MANUSIA MASUK NERAKA
DAN MASALAH WAQAF HIDUP

ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur (
(“Dan sungguh  Kami benar-benar jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia” – Al-A’raf, 180).
     ”Jika manusia tidak mewakafkan  hidup untuk Allah Ta’ala maka dia harus ingat bahwa untuk orang-orang seperti itu Allah Ta’ala telah menyediakan neraka jahannam. Dari ayat ini dengan jelas diketahui, sebagaimana yang dianut (dipahami) sebagian orang yang berpikiran dangkal, bahwa setiap orang pasti akan masuk ke dalam neraka adalah salah. Ya, memang tidak diragukan lagi bahwa sedikit orang yang sama sekali terpelihara (terbebas) dari hukuman neraka. Itu bukan hal yang mengherankan. Allah Ta’ala berfirman, “ Qalilum min 'ibaadiya syakuur – (sedikit dari antara hamba-Ku yang bersyukur” -  As-Sabaa, 14).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 100-101).



            KEHIDUPAN NERAKA

      “Manusia hendaknya mengerti apa itu neraka. Neraka yang pertama adalah yang telah dijanjikan oleh Tuhan [di akhirat], dan neraka yang satu lagi adalah kehidupan itu sendiri  jika kehidupan itu bukan demi Tuhan. Tuhan tidak menjadi Penjaga atas orang semacam itu dan Dia tidak menolongnya dari kesulitan-kesulitan serta tidak memberikannya ketentraman.
     Jangan menganggap bahwa kekayaan, jabatan, kehormatan dan anak yang banyak dapat memberikan ketentraman, kepuasan, dan kedamaian sejati pada seseorang, hal-hal itu juga tidak dapat memberikan kehidupan surga. Kesenangan, kepuasan hati yang merupakan kebahagiaan surgawi tidak dapat diperoleh melalui hal-hal itu, hal-hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui hidup dan mati dalam Tuhan, Inilah wasiat dari semua nabi, khususnya Hadhrat Ibrahim a.s. dan Hadhrat Yakub a. s..
Wasiat mereka adalah: Lā tamutunna ilā wa antum muslimūn – “kalian hendaknya mati dalam keadaan berserah diri” (Al-Baqarah, 133). Kesenangan dunia melahirkan keserakahan kotor dan menambah dahaga untuk memperoleh lebih banyak. Seperti seorang korban penyakit kehausan, haus tidak terobati dan penyakit pun akhirnya berakibat fatal. Dengan demikian api nafsu, ambisi dan ketidakpuasan juga berkaitan dengan neraka, dia tidak membiarkan manusia beristirahat, malah memberi semacam kebingungan dan ketidakpuasan.
Hendaknya sahabat-sahabat saya melihat kenyataan, bahwa seseorang jangan terlalu asyik dalam kecintaan terhadap kekayaan dan istri-istri serta anak-anak, sehingga dia begitu bernafsu, melampaui batas dan berlebihan sehingga hal itu menjadi tabir peng-halang antara dia dan Tuhan Yang Maha Perkasa.
      Itulah sebabnya mengapa kekayaan dan anak­-anak disebut ujian. Mereka juga me-nyiapkan neraka bagi orang itu dan jika dia dipisahkan dari mereka, dia menjadi begitu amat gelisah dan itulah:
â$tR «!$# äoys%qßJø9$# ÇÈ   ÓÉL©9$# ßìÎ=©Üs? n?tã ÍoyÏ«øùF{$#  
(“Api Allah yang dinyalakan, yang sampai ke dalam hati” – Al Humazah, 7-8).  
Yakni, api itu  yang membakar hati manusia seperti daging bakar dan membuatnya lebih hitam daripada arang adalah kecintaan terhadap ghairullah (sesuatu selain Tuhan Yang Maha Perkasa).
     Dengan adanya saling ikat mengikat dan pergesekkan satu sama lain  timbul suatu panas. Demikian pula dengan adanya pergesekkan yang ditimbulkan oleh rasa cinta terhadap manusia dan rasa cinta terhadap benda-benda dunia, maka kecintaan terhadap Allah pun menjadi terbakar, hati menjadi kelam dan menjauh dari Allah serta menjadi sasaran berbagai macam ketidaktenteraman.
     Namun, tatkala hubungan dengan benda-benda dunia itu dibalut di dalam hubungan dengan Allah, dan kecintaan terhadap terhadap benda-benda itu dituangkan dalam kecintaan terhadap Allah, maka pada saat itu pergesekan mereka antara satu sama lain akan mengakibatkan terbakarnya rasa cinta terhadap ghairullah (selain Allah), dan sebagai gantinya akan  muncul suatu cahaya dan nur, kemudian keridhaan Allah menjadi keridhaannya, dan keridhaannya menjadi keridhaan Allah.
     Dengan mencapai kondisi deinikian kecintaan terhadap Allah menjadi seperti nyawa baginya. Dan  sebagaimana untuk hidup diperlukan kebutuhan-kebutuhan hidup maka untuk hidupnya yang diperlukan hanyalah  Allah  dan Allah semata. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa kebahagiaan dan ketentramannnya hanya terdapat di dalam Allah. Kemudian, jika dia memperoleh suatu penderitaan dan kesusahan di kalangan orang-orang dunia, itu memang dia hadapi, namun sebenarnya dalam duka nestapa itu pun dia merasakan kelezatan Ilahi dengan nikmat dan tenteram, yakni suatu hal yang tidak dapat diraih oleh orang-orang dunia yang paling bahagia sekali pun”. (Malfuzat II, hlm 101-102).

(hlm 102-104)



BAGAIMANA BERDAKWAH

“Kenyataan yang jelas, bahwa orang-orang yang dapat menyampaikan kebenaran sangat sedikit, sedemikian sedikitnya sampai-sampai dapat dibilang tidak ada.
 Biasanya seorang da'i (penyeru/pendakwah) menyampaikan (ayat-ayat Tuhan) untuk memperoleh sesuatu dari khalayak. Dan jika tujuan dakwah sudah begitu campur-aduk maka perintah suci dan kebenaran ditutupi kegelapan tujuan duniawi, dan kenikmatannya yang dapat dihasilkan dari bau harum ayat-ayat Tuhan tertutup oleh bau busuk keduniaan maka orang-orang akan mengatakan bahwa da'i itu melakukan (atau mengatakan) semua hal itu untuk keuntungan duniawi pribadinya.
Jelas bahwa kebanyakan da'i (pendakwah) mencari keuntungan dunia, tetapi tidak tidak semua orang seperti itu. Ada beberapa orang memiliki hati yang tulus dan mereka menyampaikan perintah-perintah Tuhan dan Rasulullah saw. kepada orang lain karena mereka menganggap mereka telah ditugaskan Tuhan untuk melakukan hal itu, dan dengan demikian hal itu sudah merupakan tugas mereka. Mereka melakukan itu untuk mencari keridhaan Tuhan.
Berdakwah adalah suatu hal yang besar. Dia semacam keagungan kenabian, tentu saja jika itu dilakukan dengan ketakwaan kepada Tuhan. Da'i memperoleh kesempatan untuk memperbaiki dirinya, karena penting memperlihatkan kepada orang-orang bahwa dia bertindak sesuai apa yang dia katakan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 104).


PERHATIKANLAH KEPADA APA YANG DIKATAKAN, 
BUKAN  KEPADA SIAPA YANG MENGATAKANNYA

      ”Ini memang benar, yakni  ini memang benar, yakni lihatlah pada apa yang dikatakan. Jangan melihat pada siapa yang mengatakan. Jika tidak demikian, maka manusia bisa luput  dari kebenaran, dan [dengan begitu] manusia dari dalam dirinya sendiri menumbuh­-kembangkan suatu benih kesombongan dan takabur. Sebab, jika seseorang murni merupakan  pencari kebenaran dan shadaqat  maka tidak ada urusan sedikit pun dengan masalah kelemahan orang lain.    
      Jika seorang pemberi nasihat melakukan sesuatu bagi [keuntungan] dirinya sendiri, apa urusan kalian dengan itu? Tujuan kalian yang sebenarnya adalah mencari kebenaran. Memang tidak diragukan lagi bahwa orang-orang ini menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan keadaan serta situasi, dan hal-hal yang tidak ada hubungannya sama-sekali. Dan ketika mereka menyampaikan nasihat, mereka tidak menyinggung hal-hal yang memang sangat diperlukan pada waktu itu, dan tidak pula mereka menyentuh penyakit-penyakit yang diidap oleh orang-orang yang menjadi sasaran  nasihat mereka. Mereka terus saja menyampaikan pandangan mereka dari berbagai sudut.
Jika mereka memperhatikan Rasulullah saw., mereka dapat mempelajari cara yang sangat baik dalam berdakwah. Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: amal apa yang terbaik? Rasulullah saw. menjawab, “Bersedekah.” Kemudian orang lain datang dan menanyakan hal yang sama kepada beliau saw. dan beliau saw.  menjawab, “Mengkhidmati orang tua.” Orang ketiga datang dan menanyakan hal yang sama, beliau saw. menjawab hal yang lain lagi. Pertanyaannya mungkin sama tetapi jawabannya berbeda.
      Sebagian orang tergelincir dalam hal ini. Orang-orang Kristen melancarkan banyak tuduhan tentang hal ini. Tetapi orang-orang yang bodoh itu tidak memperhatikan cara berberkat Rasulullah saw. tersebut. Hal yang perlu digarisbawahi dari cara ini adalah, bahwa jawaban harus sesuai dengan keadaan penanya.
      Amal terbaik bagi orang kikir adalah dia harus menyingkirkan sifatnya ini, dan amal terbaik bagi orang yang tidak mengkhidmati orang tuanya adalah mengkhidmati orang tuanya. Dia membutuhkan jenis pelajaran ini untuk menjadikannya seseorang yang lebih baik, yakni ­mengkhidmati orang tuanya.
  Sebagaimana pentingnya seorang ahli medis (pengobatan) untuk membuat diagnose yang baik atas pasiennya, maka penting juga bagi seorang da'i untuk mempelajari manusia  dengan baik. Tetapi malangnya pengetahuan dan penglihatan itu hanya diberikan kepada dai’ (penyeru) dari Tuhan. Itulah sebabnya meskipun kenyataannya ada ribuan dai’ yang muncul, tetapi moral  dari negara ini semakin runtuh. Segala macam kelemahan moral -- dan hal-hal yang berkaitan dengan keimanan -- masuk ke dalam manusia.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 105-106).




PRANGSANGKA BURUK PANGKAL KEKACAUAN

     “Fasad  (kekacauan) timbul dari itu, yakni manusia mulai menggunakan prasangka-prasangka buruk serta kebimbangan-kebimbangan. Jika manusia berprangka baik maka taufik untuk memberi sedikit-banyakpun akan diraih, namun tatkala pada tahap pertama saja sudah melakukan kesalahan  maka untuk kemudian mencapai tujuan adalah sulit. Prangsangka buruk merupakan sesuatu yang sangat buruk, ia membuat manusia luput dari banyak sekali kebaikan, kemudian terus meningkat sampai akhirnya terhadap Tuhan-pun dia berprasangka buruk.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 107).


(107-112)


 JEMAAT DAN ORANG-ORANG YANG TULI, BISU SERTA BUTA


      ”Ingatlah ini, bahwa musibah datang disebabkan  ketakwaan dan kesucian telah hilang. Dan hukum Ilahi adalah bahwa ketika rasa rakut kepada Allah Ta’ala telah hilang dan kepekaan telah lenyap dari dalam kalbu-kalbu serta di dalam ruh sudah tidak tersisa lagi  kelembutan, maka pada waktu itu akan timbul Tanda-tanda yang memberi peringatan.
        Ini merupakan waktu untuk takut, namun orang-orang ini buta dan tuli sehingga meninggalkan Tanda-tanda Ilahi, dan mereka berlalu dalam kondisi shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun (imereka tuli, bisau dan buta, maka mereka tidak akan kembali --  Al-Baqarah, 19).
Jemaat saya yang telah mengenal saya jangan membiarkan Tanda-tanda Tuhan menjadi busuk. Menjaga  Tanda-tanda Tuhan  tetap segar menguatkan  keimanan. Dan untuk itu Jemaat kami jangan menyembunyikan Tanda-tanda ini. Mereka yang telah melihatnya hendaknya menyampaikannya kepada mereka yang belum melihatnya, itu akan menghindarkan mereka dari amal-amal buruk dan akan menyegarkan iman mereka. Tanda-tanda itu harus disampaikan kepada orang-orang dalam cara yang indah.
Kalian harus ingat, bahwa mereka yang tidak memperhatikan bukti yang diberikan Tuhan adalah buta dan mereka tidak dapat melihat kebenaran. Mereka tidak memiliki telinga. Mereka seperti binatang, bahkan lebih buruk daripada binatang. Tuhan bukanlah penjaga mereka. Dia adalah penjaga orang mukmin sejati dan orang mutaki:  Huwa yatawallash-shālihīn – Dia-lah Penjaga orang­orang salih.”.
      Dia bukan Penjaga orang-orang yang telah menyimpang dari jalan-jalan Tuhan dan dengan demikian menjadikan diri mereka seperti binatang. Perhatikanlah, apakah kalian pernah melihat orang-orang menangis atas domba yang disembelih? Dan mereka yang bahkan lebih buruk daripada domba, siapa yang mempedulikan hidup mereka?
Perhatikanlah binatang. Mereka diciptakan untuk bekerja dan mereka disembelih. Seseorang yang memutuskan perhubungan dengan Tuhan tidak mendapat jaminan apa pun:
ö@è% $tB (#àst7÷ètƒ ö/ä3Î/ În1u Ÿwöqs9 öNà2ät!$tãߊ (
(“Katakanlah,  "Tuhan-ku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadat kamu” – Al-Furqan, 78).
Yakni, “Kalian harus ingat, bahwa mereka yang menyembah Tuhan demi dunia, atau bersikap tidak peduli terhadap-Nya maka Tuhan juga tidak mempedulikan mereka.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 112-113).


ALLAH MAHA BERKECUKUPAN

      Pada tanggal 1 September 1900 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan nasihat mengenai sifat Allah Ta’ala Al-Ghaniy (Maha Berkecukupan), sehingga Dia tidah membutuhkan apa (siapa) pun, melainkan yang butuh adalah manusia:
      “Walau pun ada janji Allah Ta’ala, "Innahu aawal qaryak (……………………)"  tetapi Allah Ta’ala tidak ingin diatur (diperintah) oleh siapa pun. Sifatnya Al-Ghaniy (Maha Berkecukupan) juga menuntut agar manusia tidak selalu merasa tenang dan puas, Dia menghendaki agar manusia menjalani waktunya dengan rasa risau dan takut  supaya kondisi sebagai hamba tetap terpelihara.
      [Wabah] kolera juga merupakan pedang Allah Ta’ala. Banyak-banyaklah memanjatkan doa semoga Allah Ta’ala melindungi kampung [Qadian] ini, sebab menurut para penentang orang-orang [yang akan mati] di tempat-tempat lain adalah mati syahid, sedangkan di sini (Qadian) – semoga Allah Ta’ala tidak menjadikannya demikian --  jangan sampai orang mengatakan bahwa kemurkaan Ilahi telah menimpa kawasan ini” (Malfuzat, jld. II, hlm. 114).


(hlm. 114-116)


TIGA CARA ALLAH TA’ALA BERBICARA DENGAN MANUSIA

      Tanggal 8 September 1900, pada malam hari Maulana Nuruddin menanyakan makna ayat berikut, dan beliau mengemukakan bahwa banyak perselisihan tentang ayat tersebut:
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu
(dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan” – Asy-Syurā, 53).
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menjelaskan:
      “Sebelum kita beranjak kepada pembahasan ayat ini, secara amalan kita melihat tiga cara Allah Ta’ala menyampaikan Kalām-Nya (firman-Nya), yang keempat tidak ada, yaitu: 1. rukya (mimpi), 2.  kasyaf, 3. wahyu.
      Maulwi Sahib, maka ayat ini benar-benar terbuka. Yang dimaksud dengan miw­warā'i hijāb (dibalik tabir) adalah sarana rukya (mimpi).  Miw­warā'i hijāb (di balik tabir) artinya ia diliputi kias (tamsilan) yang mengandung corak hijāb (tabir), inilah bentuk rukya. Sedangkan  yursila rasūlā (mengirim utusan) artinya kasyaf. Tamsil  (perumpamaan) rasul pun masuk dalam mukasyafah. Demikiankah hakikat kasyaf (terbuka hijab), bahwa ia merupakan untaian tamsil-tamsil
      Betapa hebatnya Al-Quran  Karim menguraikan ilmu-ilmu yang hakiki dan agung. Cobalah cari yang setara dengan ayat ini di dalam Injil dan Taurat.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 116).  


RAHMAT DI BALIK COBAAN

     Pada tanggal 8 September 1900 Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerima surat dari Syekh Rahmatullah menganai suatu cobaan yang  dialaminya. Mengenai hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
       “Saya banyak sekali memanjatkan doa bagi beliau dalam cobaan itu. Hal itu membuat saya sangat senang. Pada hakikatnya cobaan itu mendatangkan rahmat yang besar. Yakni di satu sisi sang hamba mengalami penderitaan dan terputus hubungan dari segala arah, lalu timbul perhatian penuh ke arah Sang Pembuat sarana (Allah Ta’ala), dan dari sisi itu Allah Ta’ala bergegas datang membawa lasykar karunia-karunia-Nya untuk memberikan ketenteraman kepada hamba tersebut.
        Saya selalu melihat hal ini dalam sunnah para nabi ‘alaihimus- salaam dan dalam sunnah Allah, yakni begitu banyaknya anugerah serta rahmat yang bergejolak terhadap Jemaat yang mulia ini pada saat berlangsung cobaan, yakni mengenai para khadim-Nya,  kondisi anugerah serta rahmat yang seperti itu tidak didapat pada waktu tenang dan sejahtera.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 117).  


BERSABAR ATAS PENDERITAAN
YANG DITIMBULKAN PENENTANG


      Pada tanggal 9 September 1900, sebelum salat Zhuhur Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan nasihat berikut ini sambil menujukannya kepada Maulana Abdul Karim:
       “Segala sesuatu yang sedang berlangsung saat ini adalah sesuai dengan kehendak Ilahi. Adalah  penting bahwa orang-orang ini melalui tangan-tangan mereka memberikam cap (stempel) pada kebenaran Tanda-tanda yang mengenainya tertulis pada masa Mahdi Mau’ud (Mahdi yang dijanjikan) akan timbul kehebohan besar, dan Mahdi Mau’ud akan dituduh sebagai orang yang memaparkan (mengemukakan) hal-hal yang bertentangan dengan akidah-akidah para ulama terdahulu, lalu dia akan dinyatakan sebagai  kafir
      Saat ini warga Jemaat saya hendaknya menerapkan kesabaran seperti yang diterapkan (diamalkan) oleh Nabi Karim kita  saw. dan para Sahabah beliau. Tidak ada satu tindakan mereka pun yang membawa mereka kepada penguasa. Saat ini jangan bertumpu pada siapa pun, yakni bahwa ada orang-orang yang akan menolong kita. Ingatlah, saat ini kecuali Allah Ta’ala tidak ada sahabat dan penolong” (Malfuzat, jld. II, hlm. 117-118).


(hlm 118-122)


 SENJATA AL QURAN

 “Jika kita tidak memiliki Al-Quran, dan hanya kumpulan hadits yang menjadi dasar keimanan dan kepercayaan kita, maka kita tidak akan dapat menghadapi orang-orang dari agama lain dan akan sangat malu.
 Ketika  saya memperhatikan kata Quran, jelas bagi saya bahwa kata beberkat ini penuh nubuwat (kabar gaib). Nubuatan (kabar gaib) itu, bahwa satu-satunya Kitab yang pantas dibaca adalah Al-Quran, dan akan tiba saatnya dimana Kitab-kitab lain juga  ada, tetapi tetap saja hanya inilah Kitab yang pantas dibaca, dan hanya melalui Kitab inilah kemuliaan Islam akan diperoleh kembali, dan semua keburukan akan dimusnahkan, semua kitab lainnya sepantasnya disingkirkan.
Kata Furqān (pembeda) juga menunjukkan hal yang sama. Itu adalah Kitab yang membedakan antara haq (kebenaran) dan batil (kepalsuan). Tidak ada kitab Hadits atau kitab-kitab lainnya yang memiliki kesempurnaan yang sama dengan Al-Quran. Untuk itu kalian harus meninggalkan  kitab lain dan mempelajari Al-Quran siang dan malam.
Orang yang tidak memiliki keimanan, yang tidak memperhatikan Al-Quran, terus sibuk dengan membaca kitab-kitab lain. Para anggota Jemaat saya hendaknya mempelajari Al-Quran dengan penuh ketulusan, mereka jangan terlalu asyik dengan kumpulan Hadits. Sangat menyedihkan orang-orang tidak memberikan perhatian yang cukup atas Al-Quran seperti yang mereka berikan atas Hadits.
 Sekarang kalian harus mengangkat senjata Al-Quran di tangan kalian maka kemenangan akan kalian peroleh. Tidak ada kegelapan yang dapat menghadapi cahaya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 122).

(hlm. 122-124)


DOA YANG PALING BAIK

       ”Doa paling baik adalah yang mengandung segala kebaikan dan menghindarkan segala kemudharatan. Oleh sebab itu doa "An'amta 'alaihim – (orang-orang yang telah Engkau beri anugerah (karunia/nikmat) kepada mereka)  merupakan doa untuk memperoleh  anugerah-anugerah (karunia-karunia)  segenap mun’am ‘alaihim (orang yang telah memperoleh anugerah) mulai sejak Hadhrat Adam a.s. sampai masa Rasulullah saw., sedangkan di dalam “ghairil- maghdhubi  ‘alaihim wa laadh-dhaalliin (bukan jalan orang-orang yang telah dimurkai dan bukan pula orang-orang yang sesat” – Al-Fatihah, 5). (Malfuzat, jld. II, hlm. 124).
 

MASUKAN DARI RASULULLAH SAW.

     ”Sering kali terjadi bahwa Rasulullah saw. memberitahukan sesuatu hal dan  aku mendengarnya tetapi aku tidak melihat wajah beliau saw.. Ringkasnya, ini adalah kondisi antara kasyaf dan ilham” (Malfuzat, jld. II, hlm. 125).


PERBEDAAN ANTARA HIPNOTIS
DENGAN PENGARUH PARA NABI

      ”Perbedaan sangat besar antara hipnotis dan doa para nabi ‘alaihimus-salaam adalah, hipnotis yang dilakukan oleh para ahli mesmerisme adalah suatu hasil latihan gigih, sedangkan pengaruh yang timbul dari doa adalah merupakan suatu anugerah Ilahi. Ketika nabi terpengaruh oleh rasa solidaritas terhadap umat manusia maka Allah Ta’ala menjadikan fitratnya sebagai perhatian semua pihak, dan Dia meniupkan pengabulan di dalamnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 130).  

(hlm. 125-130)


TANDA-TANDA IMAN

      ”Memang ini merupakan pendakwaan setiap umat bahwa mereka menjalin  kecintaan dengan Allah Ta’ala, namun hal yang perlu dibuktikan adalah apakah Allah Ta’ala pun mencintai mereka atau tidak? Dan kecintaan Allah Ta’ala adalah, pertama-tama Dia mencabut hijab (tabir)  dari kalbu-kalbu tersebut, yaitu tabir yang mengakibatkan manusia tidak dapat mempercayai secara benar Wujud Allah Ta’ala serta dengan meraba-raba dan dengan makrifat (pengetahuan) yang gelap mengakui Wujud-Nya. Bahkan kadang-kadang pada saat dilanda cobaan manusia mengingkari Wujud-Nya. Dan pencabutan tabir tersebut tidak dapat terjadi tanpa melalui mukaalamah Ilahiyah (percakapan dengan Allah Ta’ala).
      Jadi, pada hari itu manusia terjun menyelam ke dalam mata air makrifat (pengetahuan) hakiki, yaitu pada hari ketika Allah Ta’ala berkata-kata dengannya serta memberikan kabar suka kepadanya bahwa "Anal maujud – (Aku ada)”, barulah makrifat  (pengetahuan) manusia tidak hanya terbatas pada perkiraan-perkiraan kiasan atau pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada kisah-kisah belaka,  melainkan dia menjadi begitu dekat dengan Allah Ta’ala, sehingga seakan-akan  dia melihat-Nya. Dan ini benar serta sangat benar, bahwa keimanan sempurna diraih manusia pada hari ketika Allah Ta’ala mengabarkan kepada manusia  tentang Wujud-Nya.
     Kemudian tanda kedua bagi kecintaan Allah Ta’ala, Dia tidak hanya mengabarkan tentang Wujud-Nya saja kepada hamba-hamba kesayangan­-Nya, tetapi juga Dia secara khusus menzahirkan tanda-tanda rahmat serta karunia-Nya pada mereka, dan hal itu berlangsung sedemikian rupa, yakni doa-doa mereka -- yang tampaknya tidak mungkin jika dilihat dari harapan-harapan zahiriah --  dikabulkan oleh-Nya, dan hal itu Dia beritahukan kepada mereka melalui ilham dan Kalam-Nya (Firman-Nya). Barulah kalbu mereka menjadi puas bahwa, “Ini adalah Tuhan kita Yang Maha Kuasa, Yang mendengar doa-doa kita, dan Dia memberitahukan kepada kita serta menyelamatkan kita dari kesulitan-kesulitan.” Pada hari itu masalah najat (keselamatan) pun akan dimengerti dan Wujud Allah Ta’ala juga akan diketahui.
     Walaupun pihak-pihak lain juga – untuk membangunkan dan memperingatkan mereka -- kadang-kadang memperoleh mimpi benar, akan tetapi derajat, kemuliaan,  serta corak kondisi  [orang beriman] ini berbeda dari itu. Ini merupakan mukaalamah (percakapan) Allah Ta’ala  yang hanya berlangsung dengan para  muqarrab khas (orang yang memperoleh kedekatan  khusus). Dan tatkala manusia yang telah memperoleh kedekatan itu memanjatkan doa maka Allah Ta’ala akan menampakkan manifestasinya (perwujudannya) pada orang itu dengan keperkasaan Ilahiyah-Nya, dan Dia menurunkan Ruh-Nya pada orang itu, dan dengan kata-kata yang dipenuhi oleh kecintaan  Dia memberikan kabar gembira kepada orang itu tentang pengabulan doanya.
       Orang yang dengannya terjadi mukaalamah (percakapan) ini dalam jumlah besar (sering) dia disebut nabi atau muhaddats. Dan ini juga merupakan tanda agama yang benar, yakni melalui ajaran agama tersebut lahirlah orang-orang baik yang mencapai derajat muhaddats (bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala), yaitu orang-orang yang dengan mereka Allah Ta’ala berkata-kata secara berhadapan, dan ini jugalah yang merupakan tanda pertama hakikat serta kebenaran Islam, yakni di dalamnya senantiasa lahir orang-orang baik yang dengannya Allah Ta’ala berkata-kata:
ãA¨t\tGs? ÞOÎgøŠn=tæ èpx6Í´¯»n=yJø9$# žwr& (#qèù$sƒrB Ÿwur (#qçRtøtrB
(“Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih” – Al-Fushilat, 31).
      Jadi, inilah standar hakiki agama yang benar, yang hidup dan yang diterima [di sisi Allah], dan  saya mengetahui bahwa nur (cahaya) ini hanya terdapat di dalam Islam. Agama-agama lain tidak memiliki cahaya ini. Dan untuk membuktikan kebatilan agama-agama tersebut dalil ini lebih hebat daripada ribuan dalil lainnya, yakni yang mati sama sekali tidak dapat melawan yang hidup, dan tidak pula orang yang buta dapat unggul terhadap orang yang tidak buta (melihat)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 130-132).


TUJUAN PENGUTUSAN MASIH MAU’UD

      ”Hamba yang lemah ini  telah diutus hanyalah untuk menyampaikan amanat (pesan) ini kepada umat manusia, bahwa dari seluruh agama yang ada hanya agama [Islam] inilah yang benar dan yang sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, yaitu agama yang telah membawa Quran Karim. Dan pintu untuk masuk ke dalam daarun-najah (rumah keselamatan)  adalah Laa ilaaha illallaahu muhammadur- rasulullah (Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 132).


MENERAPKAN AKHLAK-AKHLAK ALLAH

      ”Di dalam kalbu saya hal ini timbul, yakni dari ayat ini terbukti bahwa manusia hendaknya menerapkan sifat-sifat berikut:
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇÈ   Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÈ   Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$#
Yakni, untuk Allah Ta’ala segala sifat [yang sempurna] adalah wajib, yaitu yang merupakan Rabbul ‘alamin – “Tuhan seluruh alam”, di dalam nuthfah (embriyo) dan sebagainya, di dalam seluruh alam, ringkasnya di setiap alam. Kemudian Ar-Rahmaan, lalu Ar-Rahiim dan Maaliki yaumid-din.
     Doa yang dipanjatkan, “Iyyaaka na’budu (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah), dalam penyembahan  itu pun manusia hendaknya menyerap bayangan sifat-sifat tersebut di dalam dirinya: Rabbubiyyat, Rahmaaniyyat, Rahiimiyyat dan Maalikiyyat.
      Kemuliaan seorang manusia hamba adalah, “Takhallaqu bi-akhlaqillaah, yakni menerapkan warna-warna (Sifat-sifat) Allah Ta’ala. Selama belum mencapai derajat ini  janganlah penat  dan jangan berhenti. Setelah itu dengan sendirinya timbul suatu magnet dan daya tarik yang menarik ke arah ibadah Ilahi, dan kondisi ini timbul pada diri orang yang: "Yaf’aluuna maa yu­maruun - [mereka mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka” – An-Nahl, 51)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 132-133).

                                                                                                                         
(hlm 132-134)


 RAHMĀNIYYAT DAN RAHĪMIYYAT

 ”Rasulullah  saw. adalah penjelmaan sempurna dari Rahmāniyyat, karena Muhammad berarti “dia yang sangat terpuji.” Rahmān berarti dia yang memberi tanpa adanya upaya untuk itu dan tanpa meminta  [imbalan],  dan dia yang memberi kepada setiap orang tanpa membedakan orang yang beriman atau orang kafir. Dan sudah jelas bahwa orang yang memberikan sesuatu tanpa meminta [imbalan] adalah terpuji. Dengan demikian Muhammad memiliki (merupakan) penjelmaan Rahmāniyyat dalam diri beliau.
 Berkenaan dengan nama beliau  [Muhammad saw.] di dalamnya terdapat penjelmaan Rahiimiyyat, karena Rahiim berarti dia yang tidak membiarkan upaya menjadi sia-sia, dan Ahmad juga berarti “dia yang memuji”. Juga sudah jelas, bahwa siapa saja yang telah berbuat baik kepada seseorang maka yang disebut terakhir akan sangat gembira dan memberi balasan atas apa yang telah dia perbuat, dan lebih jauh dia akan memujinya. Demikianlah Rahiimiyyat dijelmakan dalam Ahmad, dengan demikian Allah adalah Muhammad (Rahmān) dan Ahmad (Rahīm). Dengan kata lain Rasulullah saw. adalah penjelmaan sempurna dari dua sifat agung Rahmaaniyyat dan Rahīmiyyat (Malfuzat, jld. II, hlm. 135).


(hlm. 135-136)


KERETA API DUNIA

      ”Dunia adalah [bagaikan] sebuah  kereta api, dan kepada kita semua telah diberikan karcis umur, di mana saja telah sampai stasiun bagi seseorang maka dia pun diturunkan, yakni dia wafat. Jadi,  untuk kehidupan apa sebenarnya manusia ini mempersiapkan makanan yang tidak nyata serta mengikat harapan-harapan yang panjang?” (Malfuzat, jld. II, hlm. 136).


KEYAKINAN HADHRAT MIRZA GHULAM AHMAD A.S.
TERHADAP WAHYU

      ”Kemarin malam jari saya sakit, begitu sakitnya sampai-sampai aku berfikir bagaimana mungkin bisa tidur malam [itu]. Akhirnya, timbul kondisi ringan antara sadar dan tidak, dan turunlah ilham: "Ya nāru kuwniy bardaw-wa salāma" (hai api, jadilah dingin dan sarana keselamatan). Dan belum lagi kata salama selesai, langsung saja rasa sakit itu hilang seolah-olah tidak pernah terjadi sebelumnya…….
      Terhadap Kalam Allah Ta’ala yang turun kepada kami dalam bentuk wahyu kami begitu yakin dan meyakininya sebagai suatu bashirat yang tinggi, sehingga jika ada [orang] yang mau bersumpah berdiri di Baitullah [menafikannya] silakan bersumpah. Bahkan keyakinan saya sedemikian rupa, jika aku mengingkari hal ini, atau sekedar menganggap ini bukan berasal dari Allah, maka  saya langsung menjadi kafir.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 142-143).

 KEYAKINAN ATAS WAHYU

 ”Saya siap bersumpah di halaman Ka’bah, bahwa wahyu yang  saya terima dari Tuhan adalah benar-benar dari-Nya,  saya siap melakukan berbagai macam sumpah yang kalian minta.  Saya sangat yakin bahwa jika  saya menolak (mengngkari) kenyataan ini atau memiliki keraguan mengenai [kebenaran]nya], saya seketika itu juga menjadi sorang kafir.”  (Malfuzat, jld. II, hlm. 143),


(hlm 143-145)


KERENDAHAN HATI SAAT SALAT

 ”Salah satu arti Al-Fatihah adalah menaklukkan, ia membuktikan seseorang menjadi beriman atau ingkar. Dengan kata lain  ia membedakan  antara yang dua tersebut. Ia membukakan hati dan memberikan pengertian. Itulah sebabnya  surah Al-Fatihah harus dibaca begitu sering, dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusyuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan.   
   Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan mencukupi kebutuhannya.
   Kecuali jika orang   merendahkan dirinya saat salat dan menjadikan salat sebagai permohonannya, maka salat tidak dapat dinikmati dengan sepenuhnya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 145).

(hlm 145-146)


SIKAP TERHADAP ISTRI

 ”Kalian jangan menganggap perempuan (istri) sangat rendah dan tidak ada artinya sama sekali. Tidak demikian. Penuntun sempurna kita, Rasulullah saw. bersabda:  Khairukum khairukum li-ahlihi –  sebaik-baik kamu adalah yang bersikap baik kepada istrinya. Dia (suami) yang tidak memperlakukan istrinya dengan baik tidak dapat disebut sebagai orang salih.
 Seseorang dapat berbuat baik kepada  orang lain hanya jika dia berbuat baik kepada istri. Dia yang bertengkar dengan istrinya dan memaki istrinya karena hal-hal yang kecil (sepele) dan memukulnya, sama sekali tidak dapat [disebut] berbuat baik kepada orang lain.
Kadang-kadang terjadi seseorang begitu marah kepada istrinya dan memukulnya, sehingga beberapa bagian tubuh istrinya yang halus terluka dan ia meninggal dunia. Untuk menghindari hal semacam inilah Tuhan berfirman, “ashiru hunna bil ma'ruf  --  berlakulah kepada istri dengan layak.”
 Tentu saja jika dia (istri) melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya, dia bisa diperingatkan. Tugas laki-laki untuk mengatakan kepada perempuan (istri) bahwa dia (suami) tidak menyukai hal-hal yang bertentangan dengan perintah agama, tetapi juga dia (suami) harus menyampaikan bahwa dia (suami) tidak kasar dan tidak berperasaan, sehingga tidak mempedulikan mengacuhkan kelemahan-kelemahan istrinya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 147).


(hlm 147-1149)


JEMAAT DAN SAHABAH RASULULLAH SAW.

     “Lihatlah keadaan para sahabah radhiallaahu ‘anhum, apa saja yang tidak mereka lakukan untuk dapat hidup dalam pergaulan bersama Rasulullah saw.? Segala sesuatu yang telah para sahabat lakukan, begitu pulalah mutlak  bagi Jemaat saya untuk menciptakan corak demikian dalam diri mereka. Tanpa itu mereka tidak akan dapat meraih tujuan sejati yang untuknya aku telah diutus.
     Apakah Jemaat saya mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan lebih banyak daripada yang dihadapi para sahabat dahulu? Tidakkah kalian melihat betapa hausnya mereka untuk salat bersama Rasulullah saw. dan untuk mendengarkan sabda-sabda beliau?
      Allah Ta’ala telah menganugerahkan derajat ini kepada Jemaat yang bersama Masih Mau’ud, yakni Jemaat ini akan dihubungkan dengan Jemaat para sahabat: Wa aakhariina minhum lammaa yalhaquu bihim – (dan juga golongan lain yang belum pernah bertemu dengan mereka” – Al-Jumu’ah, 4). Para ahli tafsir telah mengakui bahwa ini merupakan Jemaat Masih Mau’ud a.s., dan mereka seakan-akan Jemaat para sahabat.
      Mereka ini tidak bersama Masih Mau’ud a.s. melainkan pada hakikatnya bersama Rasulullah saw., sebab Masih Mau’ud a.s. akan datang sebagai suatu keindahan Rasulullah saw. juga, dan Masih Mau’ud a.s. akan diutus untuk penyempurnaan di bidang tabligh dan penyebaran [Islam/Al-Quran]..
     Untuk itu kalbu saya senantiasa tenggelam dalam kesedihan, yakni semoga Allah Ta’ala mengaruniai Jemaat saya ini dengan anugerah-anugerah para sahabat radhiallaahu ‘anhum . Semoga di dalam Jemaat ini timbul kejujuran, kesetiaan, keikhlasan, dan ketaatan seperti yang dahulu terdapat di kalangan para sahabat. Dan semoga Jemaat ini menjadi suatu kelompok yang tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah. Semoga mereka menjadi mutaki (orang bertakwa), sebab kecintaan Allah Ta’ala itu tertuju pada orang mutaki, “Innallaaha ma’al-muttaqiin  (“sesungguhnya Allah beserta orang-orang bertakwa” – Al-Baqarah, 195)”. (Malfuzat, jld. II, hlm. 150).


KEKUATAN IMAN

     ”Hanya iman yang menggerakkan hati manusia untuk menjalani kesulitan-kesulitan dan menghadapi segala macam bentuk kesusahan. Iman adalah sebuah kekuatan yang memberi keberanian sejati kepada seseorang. Kita  mendapati contoh hal ini dalam kehidupan para sahabah Rasulullah saw.. Ketika mereka mengikuti Rasulullah saw.  nyata-nyata tidak ada yang membuat mereka mengharapkan imbalan, karena Rasulullah saw. saat itu adalah seorang yang lemah dan tak berdaya. Tampaknya mereka hanya menganggap bahwa mereka akan menjadikan semua orang sebagai musuh mereka dan itu akan mengakibatkan kesulitan-kesulitan dan mereka akan disusahkan, dan dihabisi.
      Tetapi ada mata lain yang tidak mempedulikan segala kesulitan ini dan dengan menyerahkan diri untuk kepentingan ini merupakan kegembiraan yang besar. Mata ini melihat hal yang tidak dapat dilihat mata yang lain, yaitu apa yang tersembunyi dan jauh dari penglihatan mata jasmani. Mata itu adalah mata iman, dan kekuatan iman itulah yang membuat semua kesulitan tidak ada artinya.
      Pada akhirnya keimanan akan memperoleh kemenangan dan memperlihatkan mukjizat.  Keimanan mengangkat orang yang dianggap lemah dan tak berdaya  ke kemuliaan yang tak terbayangkan. Ganjaran yang pada awalnya tersembunyi dari penglihatan  menjadi begitu jelas, sehingga setiap orang dapat menyaksikannya dan menyadari bahwa itu adalah buah dari keimanan.
     Karena iman itulah para sahabat tidak merasakan lelah dan tidak menjadi kendor; mereka memperlihatkan perbuatan yang luar biasa melalui kekuatan iman, dan meskipun demikian mereka mengatakan,  bahwa mereka tidak (belum) mampu melakukan apa yang mereka rasa seharusnya mereka kerjakan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 151).


(hlm 151-153)


CONTOH PARA SAHABAT

 ”Sekali lagi  saya perlihatkan kepada kalian contoh dari para sahabat Rasulullah saw.. Setelah beriman kepada Rasulullah saw. mereka menunjukkan dalam kehidupan mereka bahwa Tuhan Yang Gaib – yang tidak terlihat oleh para penyembah berhala -- telah mereka lihat melalui mata mereka. Jika bukan ini, coba katakan, apa yang membuat mereka tidak mempedulikan hal-hal yang lain?
Mereka meninggalkan lingkungan mereka, kerabat mereka dan teman-teman mereka. Mereka menyerahkan semua keyakinan mereka kepada Tuhan, dan setelah menyerahkan semua keyakinan mereka hanya kepada-Nya, mereka melakukan hal-hal yang mengejutkan – terlebih lagi bagi mereka yang melihat sejarah. Iman itulah dan hanya iman sajalah yang membuat mereka melakukan hal-hal tersebut.
Rencana dan tindakan para musuh sangat hebat tetapi tidak ada yang sukses melawan para sahabat Rasulullah saw. Musuh banyak jumlahnya, mereka memiliki peralatan yang lebih banyak dan bagaikan kelompok yang gagah perkasa, tetapi mereka tidak memiliki iman. Dan karena tidak memiliki iman itulah mereka dihancurkan tanpa memperoleh keberhasilan.
Tetapi berkenaan dengan  para  sahabat  Rasulullah saw., mereka memperoleh segala sesuatu melalui iman mereka. Ketika mereka mendengar seruan seseorang – yang meskipun tumbuh sebagai seorang ummiy (butahuruf) namun dikenal jujur dan terpercaya – dan menyatakan bahwa dia telah diutus Tuhan maka mereka mengikutinya. Selanjutnya mereka mengikuti beliau s.a.w. seolah-olah mereka telah tersihir.
Sekali lagi  saya katakan, bahwa iman itulah yang menjadikan mereka seperti itu. Ingatlah, iman kepada Tuhan adalah sesuatu yang sangat penting.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 154).

(hlm 154-157)


 IKUTILAH AL QURAN

 ”Sama sekali tidak mungkin mendapat keberhasilan tanpa mengikuti ajaran Al-Quran. Jika seseorang berpikir sebaliknya, itu hanyalah semata-mata  khayalan, orang-orang (duniawi) mengejar keberhasilan semacam ini. Kalian harus mengikuti contoh para sahabat Rasulullah saw.. Lihatlah mereka, mereka mengikuti Rasulullah saw. dan mendahulukan agama daripada urusan dunia, dan sebagai hasilnya Tuhan memenuhi semua janji yang Dia berikan kepada mereka.
Pada awalnya para musuh mengejek mereka karena mereka tidak dapat keluar secara terbuka, [namun demikian] mereka menyatakan akan menjadi raja dunia. Tetapi setelah mereka larut dalam ketaatan yang sempurna kepada Rasulullah saw.,  mereka dapat meraih apa-apa yang tidak akan pernah menjadi milik mereka selama berabad-abad. Mereka mencintai Al Quran dan Rasulullah saw.  dan mereka sibuk mengikuti keduanya siang dan malam.
Mereka tidak mengikuti orang-orang ingkar bahkan dalam hal kebiasaan mereka. Selama Islam melalui keadaan demikian, dia berada dalam puncak kehebatannya, alasannya adalah: Jika Tuhan bersama kalian, kalian tidak perlu khawatir akan segala sesuatu.
     Kunci keberhasilan dan kemenangan orang-orang Islam adalah iman.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 157).

JANGAN MELUPAKAN TUHAN

 ”Saya tidak menyuruh orang Islam harus menjadi lesu. Islam tidak menjadikan seseorang menjadi lesu. Mereka harus menjalankan perniagaan dan pekerjaan mereka sebagaimana biasa. Tetapi apa yang sangat tidak  saya sukai adalah mereka tidak menyediakan tempat untuk Tuhan. Mereka hendaknya berniaga jika waktunya berniaga, tetapi selama berniaga mereka harus bertakwa kepada Tuhan,  sehingga perniagaan mereka juga menjadi satu bentuk ibadah.
Pada waktu salat, mereka harus melaksanakan salat dan jangan meninggalkannya. Pekerjaan apa pun di tangan, mereka harus mendahulukan agama, sasaran  utama mereka janganlah untuk meraih  keuntungan dunia, melainkan hendaknya untuk meraih keuntungan agama. Dalam hal ini, urusan-urusan dunia mereka juga menjadi urusan-urusan agama.
Lihatlah para sahabat Rasulullah saw., mereka tidak meninggalkan Tuhan bahkan pada saat-saat kesulitan yang terbesar. Kalian mengetahui bahwa medan peperangan adalah tempat yang sukar, smapai-sampai sekedar memikirkannya pun menakutkan orang-orang. Berada di medan perang adalah melalui saat-saat yang menggemparkan tetapi bahkan pada saat semacam ini mereka tidak meninggalkan Tuhan, mereka tidak meninggalkan shalat mereka, mereka luluh dalam berdoa kepada Tuhan.
Masalahnya sekarang, apakah orang-orang berusaha sekuat tenaga, mereka berpidato panjang-lebar, mereka mengadakan rapat terbuka, semuanya, sehingga orang-orang Islam dapat maju. Tetapi mereka melupakan Tuhan, yaitu mereka tidak pernah mengingat Tuhan. Oleh karena apa yang mereka harapkan dari keadaan semacam ini? Bagaimana mungkin upaya mereka akan membuahkan hasil? Semua yang mereka lakukan hanya untuk dunia ini.
Kalian harus ingat, bahwa kecuali Lā ilaha illallāh  meresap  jauh ke dalam hati dan menyebar ke seluruh jaringan tubuh – serta  cahaya  dan ketinggian Islam tampak darinya – tidak akan ada kemajuan yang dapat diperoleh. Jika kalian mencontoh negara-negara Eropa dan beranggapan bahwa sejak mereka mengalami kemajuan maka kalian pun akan maju dengan mengikuti mereka, kalian harus tahu, bahwa itu tidak akan pernah terwujud, sebab keadaan  kalian berbeda.
  Kalian telah diberikan sebuah Kitab dan kebenaran telah dibawa dengan meyakinkan ke hadapan kalian. Mereka (orang-orang Eroa) akan diperlakukan secara berbeda. Berkaitan dengan kalian, jika kalian meninggalkan Kitabullah tersebut maka kalian akan menjumpai neraka kalian di dunia ini juga.
Organisasi-organisasi dibentuk dan berbagai konferensi dilakukan di setiap kota untuk kesejahteraan orang Islam. Tetapi malangnya tidak seorang pun mengatakan bahwa mereka harus menjadikan Al-Quran sebagai pemimpin (imam) mereka dan harus bertindak sesuai dengan ajaran Kitab itu.
Setiap orang berbicara untuk mempelajari bahasa Inggris, mendirikan perguruan tinggi, meraih gelar untuk menjadi ahli hukum. Hal itu jelas menunjukkan bahwa orang-orang tidak memiliki keimanan kepada Tuhan. Padahal, seorang dokter terkemuka pun setelah beberapa hari – karena tidak melihat hasilnya – mengubah resepnya.
Aneh! Orang-orang terus mengalami kegagalan tetapi   tidak juga meninggalkan hal itu. Jika mereka menganggap tidak ada Tuhan, biarlah mereka mencoba sekuat tenaga untuk maju. Tetapi Tuhan ada dan Dia benar-benar ada di sana. Mereka tidak akan pernah meraih kemajuan tanpa Dia.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 158-159).


IMAN YANG HIDUP KEPADA TUHAN

Pendapat saya -- dan mata dapat melihat dan meyakini bahwa hal ini benar -- bahwa  hanya ada satu jalan untuk memperoleh kemajuan, dan itu adalah  orang-orang harus mengenal Tuhan dan memiliki iman yang hidup kepada-Nya.
Jika kita mengatakan kepada sekumpulan orang-orang duniawi, mereka akan menertawakannya. Tetapi kita mengasihani mereka. Kita kasihan karena mereka tidak dapat melihat apa yang kita lihat. Tuhan telah memberi kalian kesempatan melalui jarak yang jauh untuk sampai di sini (Qadian), dan kalian telah mengalami susahnya perjalanan. Menurut saya, jika bukan karena iman kuat yang kalian miliki, kalian tidak akan mampu melalui segala macam kesusahan ini.
 Semoga Tuhan membalas kalian dan meningkatkan keimanan kalian, sehingga kalian memiliki mata yang dapat melihat cahaya yang Tuhan turunkan di zaman ini melalui karunia-Nya”. (Malfuzat, jld. II, hlm. 159).

(hlm 159-165


KEBAHAGIAAN YANG TAK
TERPISAHKAN

 ”Hadhrat Abu Bakar adalah orang yang pada fitratnya memiliki “bahan bakar” (minyak) dan “sumbu rahmat”, sehingga begitu beliau  mendapat ajaran murni dari Rasulullah saw. beliau langsung “menyala”. Beliau tidak membantah Rasulullah saw.,  beliau tidak meminta tanda (mukjizat). Begitu           beliau mendengar tentang pendakwaan  Rasulullah saw., beliau bertanya pada Rasulullah saw.  apakah betul  beliau saw. telah mendakwakan diri sebagai nabi.
 Setelah mendapat penegasan, beliau r.a. menjawab, “Anda menjadi saksi bahwa saya termasuk orang yang pertama beriman kepada anda."  Kejadian ini menunjukkan bahwa orang yang banyak menuntut pertanyaan biasanya mahrum (luput) dari petunjuk. Tentu saja mereka yang menganggap baik orang lain dan sabar, mereka  punya peluang benar untuk mendapat petunjuk.
 Dua macam contoh ini terdapat dalam wujud Hadhrat Abu Bakar r.a. dan Abu Jahal. Hadhrat Abu Bakar r.a. tidak membantah dan beliau tidak meminta sebuah Tanda (mukjizat), malah beliau sendiri menjadi contoh yang sempurna. Abu Jahal melawan, menentang dan tidak berhenti memperlihatkan kebodohannya. Dia menjadi saksi tetapi tidak melihatnya, akhirnya dia menjadi tanda bagi orang lain dan mati sebagai musuh.
        Hal itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka yang memiliki cahaya  keimanan dalam fitratnya tidak butuh banyak penjelasan. Hanya dengan satu hal mereka sampai pada kesimpulan. Mereka memiliki cahaya dalam hati mereka. Begitu mereka mendengar seruan, mereka langsung menyala.  Kekuatan ruhani dalam diri mereka bangkit dengan mendengar seruan [penyeru dari Tuhan].  Dia mulai berkembang, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan ini, mereka mahrum (luput) dan mengalami kehancuran. Ini sudah terjadi sejak jaman awal sekali.
     Hendaklah setiap orang mengetahui dan takut bahwa jika seorang  Mushlih (Pembaharu/reformer) muncul di suatu zaman, mereka yang beriman kepadanya adalah orang yang diberkati, sedangkan dia yang segan dalam hatinya dan dirinya tidak tertarik untuk beriman kepadanya hendaknya mengerti, karena ini adalah tanda dari akhir yang buruk dari kemahruman (keluputan).” (Malfuzat, jld. II, hlm. 165).
(hlm 166-167)


SEKEDAR PERNYATAAN BAIAT
ADALAH KULIT

     ”Janganlah beranggapan bahwa hanya dengan melakukan baiat saja  Allah menjadi ridha (senang). Itu hanyalah kulit, sedangkan inti terdapat di dalamnya. Kebanyakan hukum alam itu adalah terdapat sebuah  kulit  sedangkan  inti  terdapat di dalamnya. Kulit bukanlah barang yang berguna, inti itulah yang diambil.
       Sebagian ada yang di dalamnya tidak ada inti lagi, dan seperti telur ayam yang kosong – yang di dalamnya tidak ada kuning dan putih telurnya – mereka tidak dapat digunakan untuk apa pun, dan mereka dicampakkan bagaikan sampah. Ya, untuk satu-dua menit dapat saja  untuk sarana bermain bagi anak kecil..
      Demikianlah orang yang menyatakan baiat dan iman, jika dia tidak memiliki inti kedua hal itu dalam dirinya maka dia hendaknya merasa takut, bahwa suatu saat  akan tiba dimana dia bagaikan telur kosong menjadi remuk akibat tertekan sedikit saja lalu akan dicampakkan.
     Begitulah orang yang menyatakan baiat dan iman, ia hendaknya menimbang, "Apakah saya ini kulit semata ataukah inti?” Selama inti belum terwujud, pernyataan­-pernyataan  iman, kecintaan, ketaatan, baiat, itikad, menjadi murid, Islam, bukanlah suatu pernyataan yang benar. Ingatlah, ini suatu perkara yang benar, bahwa di hadapan Allah Ta’ala, kecuali inti maka kulit-kulit sedikit pun tidak ada harganya. Ingatlah baik-baik, sebab tidak tahu kapan maut (kematian) itu datang, yang pasti  bahwa maut (kematian) mutlak pasti ada.
      Jadi, janganlah merasa cukup dengan sekedar pernyataan [baiat] belaka, dan jangan menjadi senang, ia sama-sekali dan sama-sekali tidak memberikan manfaat. Selama seorang insan tidak menerapkan banyak maut (kematian) atas dirinya dan tidak melewati banyak sekali perubahan serta revolusi, dia tidak dapat menemukan  maksud tujuan manusia yang sebenarnya”. (Ma1fuzat, jld.II, hlm.l67).


(167-168)


KITA SEMUA MEMBUTUHKAN
CONTOH

 ”Harus diingat bahwa semua manusia membutuhkan sebuah contoh, dan contoh itu diberikan kepada mereka dalam wujud para nabi ‘alaihimus- salaam. Tuhan dapat saja menuliskan wahyu-wahyu-Nya  pada pohon, tetapi Dia tidak melakukan hal itu. Dia mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan wahyu-Nya melalui mereka. Alasan  Dia berbuat demi­kian adalah Dia menginginkan manusia menyaksikan penjelmaan Wujud-Nya melalui para utusan-Nya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 168).


(hlm 168-19)


DUA DAYA TARIK

Setan memanggil ke arah keburukan, pelanggaran, hawa-nafsu, penumpahan darah, harapan sia-sia, keangkuhan dan kebanggaan, sementara Tuhan memanggil ke arah  moral tinggi, kesabaran, menyatu dengan Tuhan, pengkhidmatan, ketulusan, keimanan dan keberhasilan.
Manusia tegak di antara kedua daya-tarik ini  Siapa yang fitratnya terberkati akan berlari ke arah Tuhan, dan dia melakukan ini meski pun kenyataannya ada ribuan ajakan dan daya-tarik dari setan. Orang semacam ini menemukan kepuasan dan kenikmatannya hanya pada Tuhan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 169).


(hlm 169-177)


KHUSYUK DALAM SALAT

      “Ukuran paling besar bagi kehidupan zuhud manusia adalah salat. Seseorang yang selalu menangis merintih di hadapan Allah dalam salat, dia senantiasa berada dalam keadaan aman. Seperti halnya seorang bagi yang menangis menjerit-jerit di pangkuan ibunya, dia merasakan kecintaan dan  kasih-sayang  ibunya. Demikian pula orang yang menjatuhkan diri menangis di hadapan Allah dalam salat dengan penuh tadharu (perendahan diri) dan memanjatkan doa dengan sepenuh hati berarti dia menempatkan dirinya di dalam pangkuan anugerah Ilahi.
      Ingatlah, seseorang yang belum merasakan kelezatan dalam salat berarti dia belum merasakan kelezatan iman.  Salat itu bukanlah sekedar gerakan-gerakan seperti ayam mematuk. Sebagian orang menyelesaikan salat seperti ayam yang mematuk dua atau empat kali patukan, dan kemudian dia mulai memanjatkan doa panjang-panjang. Padahal salat itu sendiri adalah saat untuk memaparkan sesuatu di hadapan Allah Ta’ala. Mereka cepat-cepat mengerjakan salat itu hanya sebagai suatu tradisi saja, dan setelah keluar dari hadapan Allah barulah mereka  memanjatkan doa.
      Panjatkanlah doa di dalam salat. Pahamilah bahwa salat itu merupakan suatu jalan dan sarana untuk memanjatkan doa” (Malfuzat, jld. II, hlm. 145).


MEMANJATKAN DOA DENGAN SEPENUH HATI

    ”Fatihah juga berarti memenangkan. [Fatihah] ini  menjadikan orang mukmin sebagai mukmin, dan menjadikan orang kafir sebagai kafir. Yakni  ia menimbulkan suatu perbedaan antara keduanya. [Surah Al Fatihah] ini  membukakan kalbu dan menimbulkan suatu kelapangan di dalam dada, oleh karena itu, banyak-banyaklah membaca  surah Al-Fatihah, dan penting untuk betul-betul merenungkan doa [Al-Fatihah] ini.
      Adalah wajib bagi manusia untuk menjadikan dirinya seperti seorang peminta-minta dan pengemis yang sempurna. Dan seperti seorang faqir serta pengemis yang menyentuh perasaan kasih pada diri orang lain kadang-kadang melalui wajahnya, dan kadang-kadang melalui suaranya. Seperti itu pulalah hendaknya manusia menyampaikan permohonannya di hadapan Allah Ta’ala dengan penuh tadharru' dan dengan sepenuh hati.
     Jadi, selama belum menerapkan tadharu' dalam salat dan belum menyatakan salat sebagai sarana doa, maka bagaimana mungkin dapat timbul kelezatan di dalam salat?” (Malfuzat, jld. II, hlm. 145-146).


PENTINGNYA MEMANJATKAN DOA
DALAM BAHASA MASING-MASING

       ”Tidaklah mutlak bahwa doa-doa itu harus dipanjatkan dalam bahasa Arab, dikarenakan tujuan sebenarnya salat adalah tadharru' dan kesungguhan, karena itu hendaknya panjatkanlah doa-doa di dalam bahasa ibu sendiri.
      Manusia memiliki suatu kecintaan istimewa terhadap bahasa ibunya, dan selain itu manusia merasa mantap di dalam bahasa itu. Terhadap bahasa-bahasa lain – betapa pun dia mahir dan menguasainya --  tetap saja terdapat semacam rasa asing.  Oleh karena itu panjatkanlah juga doa-doa di  dalam bahasa ibu masing-masing”. (Malfuzat, jld. II, hlm. 146).  

SENANTIASALAH MENGINGAT KEMATIAN


      ”Tidak ada seorang pun yang tahu apakah dia masih hidup sesudah zuhur sampai  saat ashar. Kadang-kadang secara tiba-tiba jantung berhenti dan nyawa pun melayang. Kadang-kadang orang-orang yang sehat dan tegap pun tiba-tiba saja mati. Menteri Muhammad Hasan Khan baru saja pulang dari makan angin (jalan-jalan), dan dengan suasana hati senang dia mulai menaiki tangga.
      Satu atau dua anak tangga telah dilalui,  tiba-tiba dia jadi pusing  lalu terduduk. Pembantu rumahnya mengatakan, :Apakah boleh saya papah?” Dia mengatakan, “Tidak usah.”  Kemudian setelah menaiki dua atau tiga anak tangga kembali ia merasa pusing, dan dalam kondisi pusing  itu pula ia menghembuskan nafas terakhir.
      Demikian pula halnya Ghulam Muhyidin, seorang anggota Kashmir Council, tiba-tiba saja meninggal dunia. Ringkasnya, kita tidak mengetahui kapan maut (kematian) itu tiba. Oleh karena, itu adalah penting untuk tidak mengabaikannya.
     Nah, kepedulian terhadap agama adalah sesuatu yang sangat berarti, yang membuat seseorang itu berhasil penuh pada saat sakratul maut. Di dalam Quran Syarif disebutkan: "Innaa zalzalatas saa'ati syai-un 'azhiim (sesungguhnya gempa saa’ah (kiamat) adalah sesuatu yang sangta dahsyat” – Al-Hajj, 2).
    Memang as-saa’ah  berarti juga kiamat, aku tidak mengingkari hal itu, namun di situ juga bermakna sakratul maut (sdaat menjelang  mati), sebab itu merupakan saat dimana segala hubungan terputus.  Manusia tiba-tiba terlepas dari apa-apa yang dicintai dan disayanginya, dan terjadi semacam gempa (goncangan) yang aneh pada dirinya, seakan-akan dari dalam dirinya sendiri dia berada  pada suatu penyiksaan.
      Oleh karena itu keberuntungan (kebaikan) paling lengkap bagi manusia adalah dia senantiasa memikirkan maut (kematian), dan hendaklah dunia serta barang-barang dunia jangan menjadi hal-hal yang dicintainya sedemikian rupa sehingga menimbulkan penderitaan baginya di saat terakhir ketika berpisah…” (Malfuzat, jld. II, hlm. 146-147).


HARTA DAN ANAK-ANAK MERUPAKAN COBAAN

     ”Masalah ini dipaparkan Quran Karim di dalam ayat: Annamaa amwaalukum wa awlaadukum fitnah (sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian  merupakan cobaan – Al-Anfal, 29). Di dalam kalimat amwaalukum juga termasuk istri-istri. Dikarenakan istri-istri senantiasa berada dalam pardah (tabir), oleh sebab itu di sini nama mereka pun diletakkan di dalam pardah (tabir). Dan juga karena manusia (laki-laki)  memperoleh istri setelah terlebih dahulu membalanjakan harta.
     Kata maal (harta) diambil dari ma-il (condong/cenderung), yakni sesuatu yang ke arahnya timbul perhatian dan kecenderungan secara alami. Dan dikarenakan kecenderungan secara alami timbul ke arah istri (perempuan) maka ia ……… ……………………Di sini kata maal yang telah digunakan adalah supaya tidak terbatas pada hal-hal yang dicintai secara umum saja, sebab jika jamua kata nisaa  (perempuan) yang digunakan maka yang dinyatakan di situ hanya dua hal saja, yaitu anak dan perempuan (istri). Dan jika ditulis di situ rincian tentang hal-hal yang dicintai (maal) maka sampai  sepuluh juz pun tidak akan habis.
      Ringkasnya, yang dimaksud maal adalah kulla maa yamidu ilaihi qalbu (segala sesuatu yang ke arahnya hati condong). Anak-anak disebutkan  terpisah karena manusia menganggap anak sebagai buah hatinya dan sebagai pewarisnya. Secara ringkas ialah, terjadi tarik menarik antara hal-hal yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan manusia. Kedua hal tersebut tidak dapat berkumpul di satu tempat.
     Dari sini kalian jangan beranggapan bahwa para perempuan (istri) merupakan barang-barang yang sangat hina dan rendah. Tidak, tidak demikian. Pembimbing Kamil kita, Rasulullah saw., telah bersabda, “Khairukum, khairukum li-ahlihi (Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istrinya).
        Seseorang yang bersikap buruk dan berperilaku tidak baik terhadap istri, bagaimana mungkin dia dapat diukatakan baik? Seseorang baru dapat berbuat baik dan bersikap baik terhadp orang lain tatkala dia menerapkan perlakuan baik terhadap istrinya serta menggauli istrinya dengan baik. Bukannya bersikap seperti ini, yakni dalam setiap hal yang kecil (sepele) langsung saja bertindak kasar.
        Peristiwa-peristiwa semacam ini memang terjadi, yakni kadang-kadang seorang yang dipenuhi emosi, dan timbul cedera di tempat-tempat vital, sehingga si istri pun meninggal dunia. Untuk itulah bagi mereka Allah Ta’ala telah berfirman, “Wa ‘aasyiruhunna bil-ma’ruufi (dan pergaulilah mereka secara baik – An-Nisaa, 20)..
      Ya, jika mereka melakukan hal yang tidak pantas maka bersikap keras terhadap mereka adalah sesuatu yang penting. Manusia (suami) hendaknya menanamkan di dalam kalbu  para istri bahwa ia tidak menyukai suatu perbuatan yang bertentangan dengan agama. Dan beriringan dengan itu manusia juga hendaknya jangan pula menjadi kejam dan aniaya sedemikian rupa, sehingga suatu kesalahan yang dilakukan oleh istri tidak dapat dia selubungi (maafkan)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 147-148).


(148-151)

TANDA-TANDA IMAN

      ”Menanggung penderitaan di jalan Allah, bersiap-sedia menghadapi musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan merupakan hal yang timbul akibat gerakan iman. Iman merupakan suatu kekuatan yang menganugerahkan keberanian dan asa (harapan)  yang  hakiki kepada manusia. Contohnya tampak di dalam kehidupan para sahabah ridwanullaahi ‘alaihim ajma’iin.
      Ketika mereka menyertai Rasulullah saw., apa yang membuat mereka yakin akan memperoleh pahala dengan menyertai seorang insan yang lemah dan tak berdaya itu? Secara zahir tidak tampak hal lain kecuali bahwa dengan menyertai satu orang ini (Rasulullah saw.) maka seluruh kaum akan menjadi musuh. Akibatnya jelas bahwa musibah-musibah  dan kesulitan-kesulitan akan melandan, dan penderitaan-penderitaan itu nakan mencincang-cincang mereka, dan dengan demikian mereka akan binasa.
       Namun ada juga satu mata yang memandang musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan itu sebagai suatu yang tidak bermakna sama sekali, dan mati di jalan itu ia anggap sebagai suatu ketentraman dan kenikmatan. Mata itu telah melihat sesuatu yang sangat terselubung serta sangat jauh dari mata-mata zahir lainnya. Itulah mata iman dan kekuatan iman yang telah membuktikan bahwa segenap penderitaan dan kesusahan itu sama sekali tidak bermakna.
        Akhirnya, iman itulah yang telah menang, dan iman tersebut memperlihatkan kehebatan sedemikian rupa sehingga orang yang menjadi bahan tertawaan dan orang yang disebut tidak berdaya serta seorang diri itu, melalui sarana iman telah mengantarkan orang-orang lain ke derajat yang tinggi. Ganjaran dan pahala yang tadinya terselubung telah terbuka nyata sedemikian rupa  sehingga dunia melihatnya, dan telah merasakan bahwa memang benar itu merupakan buah [iman] tersebut.
       Dengan adanya iman itu Jemaat para sahabat tidak pernah penat dan letih, melainkan akibat dorongan-dorongan iman tersebut mereka telah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Namun demikian tetap saja para sahabat itu mengatakan bahwa mereka belum melakukan sepenuhnya.
       Iman telah memberikan kekuatan kepada mereka itu sehingga mereka menyerahkan kepala,  dan mengorbankan nyawa di jalan Allah Ta’ala mereka anggap sebagai suatu perkara kecil. Dan ketika belum tampak hasil-hasil yang jelas, lihatlah warga Islam saat itu, betapa orang-orang Islam telah menanggung penderitaan-penderitaan dan bala-musibah di tangan para musuh hanya karena mengucapkan: “Laa Ilaha illallaahu muhammadur- rasuulullaah”.
       Itulah yang pernah terjadi di suatu zaman dahulu, yakni saat itu menyerahkan kepala bukanlah sesuatu hal yang sulit. Dan sekarang ini adalah suatu zaman dimana walaupun memiliki kekuatan iman -- dan pihak penentang pun tidak menimpakan penderitaan-penderitaan semacam itu   bahkan [umat Islam di Hindustan] berada di bawah naungan sebuah pemerintah yang adil, kerajaan tidak memberikan halangan apa pun, segenap sarana  untuk meraih ilmu-ilmu agama pun tersedia, tidak ada  kesulitan untuk menerapkan (menjalankan) rukun-rukun agama  -- ternnyata [bagi umat Islam] terasa sulit untuk melakukan sebuah sujud sekali pun.
        Simaklah dalam-dalam! Bandingkanlah, bagaimana kepala [para sahabah] diserahkan, dan bagaimana sebuah sujud [yang terasa susah]! Dari itu jelas diketahui betapa tipisnya iman pada masa sekarang ini. Dan dalam kondisi bahwa dengan mengerjakan salat dan dengan melakukan wudhu terkandung manfaat-manfaat kesehatan bagi fisik [tetap saja orang-orang Islam enggan melakukannya]” (Malfuzat, jld. II, hlm. 151-152).


(152-154)


KEKUATAN IMAN PARA SAHABAH

     ”Saya  kembali memaparkan kondisipara sahabat sebegai contoh, yakni setelah beriman kepada Rasulullah saw. mereka secara amalan telah menampakkan bahwa Allah Ta’ala -- yang merupakan Wujud Yang Maha Gaib dan yang terselubung serta tersembunyi bagi pandangan orang-orang yang menyembah kebatilan -- telah mereka saksikan melalui mata mereka sendiri.
     Ya, melalui mata, sebab jika tidak demikian, cobalah beritahukan apa yang telah membuat mereka tidak peduli sedikit pun? Yakni, kaum telah mereka tinggalkan, negeri mereka tinggalkan, harta kekayaan mereka tinggalkan, hubungan dengan kaum kerabat telah terputus. Yang ada hanyalah sikap mereka yang bertumpu sepenuhnya kepada Allah semata. Dan dengan bertumpu sepenuhnya kepada satu Tuhan, mereka telah memperlihatkan hal-hal sedemikian  rupa, sehingga jika lembaran-lembaran sejarah ditelaah maka manusia akan terkejut dan terheran-heran dibuatnya.
      Yang ada saat itu ialah iman, dan  hanya iman. Selain itu tidak ada sedikit pun. Jika tidak demikian, yang ada di hadapan mereka ialah rencana-rencana dan tadbir-tadbir   serta upaya gigih  dan kerja keras orang-orang yang gila pada dunia, dan tentu dengan demikian tidak bisa berhasil.
      Orang-orang dunia itu memiliki jumlah yang besar, memiliki kelompok yang besar, memiliki harta yang banyak dan memiliki segala sesuatunya. Namun orang-orang dunia itu tidak memiliki iman, dan hanya karena tidak memiliki iman itulah mereka telah binasa, dan mereka tidak dapat menyaksikan keberhasilan.
     Namun, para sahabah telah memenangkan semuanya melalui kekuatan iman. Ketika mereka mendengar suara (seruan) seorang  [penyeru kepada keimanan], yaitu seseorang yang walaupun dibesarkan dalam kondisi ummiy (butahuruf) ia dikenal sangat jujur, taat menjaga amanat, dan merupakan seorang yang salih. Ketika orang itu mengatakan  bahwa ia datang dari Allah Taala, maka begitu mendengarnya para sahabah ini telah menyertainya, dan mereka mengikut di belakangnya bagaikan orang yang  tergila-gila.
       Saya kembali mengatakan, hanya ada satu hal yang telah membuat kondisi mereka demikian, yaitu iman. Ingatlah, beriman kepada Allah merupakan suatu yang sangat besar.” (Malfuzat, II, hlm. 154).

UPAYA GIGIH UNTUK MENEMUKAN ALLAH

      ”Orang-orang Inggris dan bangsa-bangsa Barat sedang sibuk dalam mengejar dan mencari dunia. Pada awalnya dimulai hanya dengan satu   anggapan dan harapan yang dibayangkan. Ratusan nyawa telah melayang dan ribuan serta ratusan ribu rupees telah  habis, akhirnya mereka menemukan juga suatu hal tertentu.
      Namun sangat disayangkan dan sangat  mengherankan terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak dapat ditemukan. Siapa orang yang telah melakukan upaya gigih serta usaha kemudian dia tidak menemukan Tuhan? Allah itu ditemukan dan dengan sangat cepat dapat ditemukan, namun orang-orang yang berhasil menemukan-Nya-lah yang tidak ada.
     Jika ada yang memaparkan keraguan  ini bahwa Tuhan itu tidak ada maka itu merupakan satu hal yang sangat nonsense (omong-kosong), dan tidak ada kebodohan serta ketololan yang lebih hebat daripada pengingkaran terhadap Tuhan. Di dunia ini  pengadilan menjatuhkan suatu keputusan bersadarkan perkataan  dua orang saksi. Berdasarkan uraian beberapa saksi maka pengadilan dapat menjatuhkan vonis  untuk menghilangkan sesuatu yang sangat mulia seperti nyawa, dan orang-orang terhukum pun digantung di tiang gantungan. Padahal di dalam kesaksian-kesaksian, tidak hanya ada kemungkinan rekayasa dan dibuat­-buat, justru sangat pasti dapat terjadi rekayasa itu.
     Namun mengenai Tuhan, kesaksian yang telah diberikan ribuan dan ratusan ribu insan --  yang di dalam kaun serta di negeri mereka telah diakui sangat terpercaya serta salih – ternyata dianggap tidak mencukupi. Kebodohan dan ketidak-adilan apa yang lebih hebat dari itu? Yakni ada kesaksian ratusan ribu orang suci, kemudian dari kondisi amal-perbuatan mereka sendiri mereka menyatakan dan dengan darah hati mereka sendiri mereka menuliskan kesaksian bahwa Tuhan itu ada dan pasti ada. Terhadap hal itu kalau pun masih ada yang ingkar, berarti dia itu bodoh.  
       Kemudian yang anehnya lagi adalah, untuk memberikan pendapat mengenai suatu permasalahan, adalah mutlak supaya memiliki pengetahuan tentang itu. Seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan dan yang tidak memiliki hak untuk memberikan pendapat maka apakah dia itu tidak akan disebut bodoh dan tolol? Pasti akan disebut demikian. Bahkan orang-orang bijak lainnya akan mempermalukan mereka [dengan mengatakan],. “Bodoh!  Tatkala kamu sendiri tidak tahu sedikit pun maka bagaimana kamu  bisa memberikan pendapat?”
      Demikian pula orang-orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, apa hak mereka untuk memberikan pendapat, sedangkan mereka itu tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang Tuhan? Dan mereja pun tidak pernah melakukan upaya gigih [untuk menemukan-Nya].
      Ya, mereka baru akan berhak jika mereka melangkahkan kaki sesuai dengan yang dikatakan seseorang penyembah Tuhan dan mereka  yang mencari Tuhan. Kemudian, jika mereka tidak menemukan Tuhan maka silakan mereka boleh saja mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Namun, mereka sendiri tidak pernah berusaha dan tidak pernah melakukan upaya gigih [untuk itu], maka mereka itu tidak punya hak untuk mengingkari [Tuhan].
     Ringkasnya, Wujud Tuhan itu ada, dan Dia adalah Sesuatu yang sedemikian rupa, sehingga  seberapa  seseorang itu  memiliki iman maka sebanyak itu pulalah itu akan melaksanakannya, seberapa banyak seseorang itu memiliki iman maka sebanyak itu pulalah orang itu akan memperoleh kekuatan. Dan Wujud Yang Maha Terselubung itu akan mulai kelihatan. Bahkan sampai terlihat secara jelas, kemudian kekuatan itu pun akan semakin meningkat dari hari ke hari.
      Inilah sesuatu yang harus dicari oleh dunia. Namun  kekuatan ini tidak ada lagi di dunia pada masa sekarang.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 155-156).


(156-158)


TIDAK HARUS MENINGGALKAN URUSAN DUNIA

     ”Maksud saya sama sekali bukanlah supaya orang-orang Islam menjadi malas. Islam tidak membuat siapa pun menjadi malas. Kalian harus tetap sibuk dalam perniagaan dan pekerjaan kalian. Namun  saya tidak menyukai hal ini, yakni apabila seseorang tidak punya waktu sedikit pun untuk Allah.
      Ya, sewaktu berniaga, berniagalah kalian, dan saat itu tetaplah timbulkan rasa takut terhadap Allah Ta’ala, supaya perniagaan itu sendiri berubah menjadi peribadahan. Ketika tiba waktu salat, jangan tinggalkan salat. Dalam setiap perkara apa pun dahulukanlah diin (agama), jangan jadikan dunia itu sebagai tujuan utama. Tujuan yang sebenarnya adalah diin (agama), jika sudah demikian maka pekerjaan dunia pun akan menjadi pekerjaan diin (agama).
      Lihatlah para sahabat r.a,, dalam keadaan yang sangat sulit sekali pun mereka tetap tidak meninggalkan Tuhan. Perang dan pertempuran dengan pedang adalah saat-saat  begitu berbahaya, yang jika dibayangkan oleh manusia maka akan menjadi ngeri. Pada masa seperti itu, ketika sedang penuh gejolak dan penuh murka, dalam kondisi demikian pun mereka tidak lalai terhadap Allah. Mereka tidak meninggalkan salat, mereka menggunakan doa-doa.
     Sekarang, malangnya [orang-orang Islam] giat di segala hal, mereka mengadakan  ceramah-ceramah besar, mereka  menyelenggarakan acara-acara pertemuan besar, supaya umat Islam mengalami kemajuan. Namun, mereka begitu lalainya terhadap Allah sehingga mereka lupa dan tidak memberikan perhatian ke arah-Nya. Lalu, dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin dapat diharapkan bahwa upaya-upaya mereka akan menghasilkan buah, tatkala semua itu mereka lakukan hanya untuk dunia?
      Ingatlah, selama laa ilaaha illallaahu belum meresap ke dalam kalbu dan cahaya serta kekuasaan Islam belum menguasai setiap partikel dalam tubuh maka tidak akan pernah bisa maju. Jika kalian mendapatkan  contoh bangsa-bangsa Barat bahwa mereka itu sedang mengalami kemajuan, bagi mereka terdapat persoalan (perlakuan) lain. Kepada kalian telah diberikan Kitab. Hujjah (dalil/argumentasi) telah penuh atas diri kalian. Bagi mereka terdapat persoalan tersendiri dan hari penangkapan tersendiri. Jika kalian meninggalkan   Kitab Allah, maka bagi kalian tersedia neraka jahanam di dunia ini juga.” (Malfuzat, jld.II. hlm. 158-159).


(159-168)


ARTI KATA INSAAN

     [Kata] insaan sebenarnya diambil dari unsaan, yakni yang di dalamnya terdapat dua uns (kecintaan/kecenderungan) hakiki. Yang pertama terhadap Allah  Ta’ala, dan yang kedua terhadap rasa peduli bagi manusia. Apabila kedua uns (kecintaan) ini tercipta di dalamnya saat itulah ia dinamakan insaan, dan ini jugalah yang dinamakan intipati manusia. Pada saat itu manusia disebut ulul-albaab (orang yang bijak/berakal).
     Selama belum begitu ia tidak bermakna sedikit pun. Walaupun dia melakukan  seribu pendakwaan, tetap saja di sisi Allah Ta’ala, di sisi nabi-Nya, dan di sisi  para malaikat-Nya, orang itu tidak bermakna sedikit pun.” (Malfuzat, jld.II, hlm. 168).


PARA NABI MERUPAKAN MANIFESTASI ILAHI

     ”Para rasul merupakan mazhar (manifestasi/penjelmaan) Ilahi dan yang menampakkan Allah. Kemudian, Muslim dan penganut akidah yang sejati adalah dia yang menjadi mazhar para rasul.  Para sahabah benar-benar telah memahami rahasia ini, dan mereka begitu fana (larut) dalam ketaatan kepada Rasul Karim serta  mereka sirna dalam wujud beliau, sehingga tidak ada lagi yang tersisa. Siapa pun yang melihat mereka, mendapatkan mereka dalam keadaan fana (larut/sirna)
      Jadi, ingatlah, di zaman sekarang ini pun, selama belum tercipta kondisi fana dan kesirnaan dalam ketaatan seperti yang timbul di kalangan para sahabat, maka pendakwaan diri sebagai murid dan sebagai  orang yang menganut akidah sejati tidak benar dan sia-sia.
     Camkanlah hal ini baik-baik dalam benak kalian, yakni selama hal ini belum terwujud – bahwa Allah Ta’ala merasuk ke dalam diri kalian dan Tanda-tanda Allah Ta’ala tampil di dalam diri kalian – selama itu pula masih terdapat kegiatan serta campur-tangan pemerintahan setan [di  dalam diri kalian]” (Malfuzat, jld. II, hlm. 168).



(168-174)


NAMA MUHAMMAD KHUSUS BAGI RASULULLAH SAW.

      ”Ringkasnya, sejauh mana kalian menelaahnya maka akan diketahui bahwa tidak ada seorang nabi pun  yang berhak menyandang nama [Muhammad] ini, hingga akhirnya tibalah masa Nabi Karim kita saw., dan itu  merupakan kawasan yang penuh duri, yang di atasnya Nabi Karim kita saw. telah melangkahkan kaki, dan saat itu sedang terjadi puncak kegelapan.
     Akidah saya adalah, jika Rasulullah dipisahkan dari satu sisi, dan segenap nabi yang telah berlalu hingga saat itu berkumpul menjadi satu, lalu ingin melakukan pekerjaan dan ishlah (perbaikan) yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. maka sama sekali mereka tidak akan mampu melakukannya. Di dalam diri mereka tidak terdapat kalbu dan kekuatan yang dimiliki Nabi kita saw..
      Jika ada yang mengatakan bahwa [akidah] itu merupakan -- ma’adzallaah – kelancangan (ketidak-sopanan) terhadap para nabi tersebut, berarti orang jahil (bodoh) itu melontarkan kedustaan  atas  diri saya. Menghargai dan menghormati para nabi  saya anggap sebagai bagian dari iman saya. Namun  keunggulan Nabi Karim saw. atas segenap nabi lainnya merupakan bagian  paling besar dari keimanan saya, dan hal itu sudah merasuk ke dalam darah-daging saya, bukanlah ikhtiar saya untuk mengeluarkannya [dari diri saya].
     Para penentang yang malang dan yang tidak memiliki mata silakan mengatakan apa saja semaunya. Nabi Karim kita saw. telah melakukan pekerjaan yang sama sekali tidak dapat dilakukan oleh siapa pun, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bergotong-royong. Dan ini merupakan fadhal (karunia) Allah Ta’ala: Dzaalika fadhlullaahi man-yasaa-u --  “ini adalah karunia Allah dan Dia berikan kepada siapa yang Di kehendaki”.
      Jika seseorang mengetahui peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah saw, dan ia benar-benar mengetahui bagaimana kondisi dunia [saat itu] dan apa saja yang telah diperbuat oleh beliau s.a.w., maka manusia serta-merta akan bangkit mengatakan:  "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad”.
        Saya katakana dengan sebenarnya, bahwa itu bukanlah sesuatu yang berupa khayalan atau mimpi. Quran Syarif serta sejarah dunia memberikan kesaksian penuh akan hal itu, yakni apa yang telah dilakukan oleh Nabi Karim saw.. Jika tidak demikian maka apa yang telah membuat difirmankan-Nya secara khusus hal ini bagi beliau:
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@  
(“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” – Al-Ahzab, 57).
      Firman seperti ini tidak pernah diperuntukan bagi nabi lain. Hanya inilah isan satu-satunya yang telah datang ke dunia ini dengan penuh kejayaan penuh serta dengan pujian penuh, yaitu yang dinamakan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam” (Malfuzat, jld. II, hlm. 174-175).


(hlm. 175-176)


 KARUNIA TUHAN

“Bukti terbesar dari kebenaran pendakwaan Rasulullah saw. adalah kehidupan yang beliau jalani. Tidak seorang pun yang dapat menuduh beliau saw. dengan tuduhan. Beliau saw. diutus ke dunia di saat kegelapan melingkupinya dari segala sisi dan beliau saw.  hidup sampai saat beliau saw.  mendengar wahyu:
4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu” – Al-Maidah, 4).
Beliau saw.  tidak wafat sebelum melihat manusia masuk Islam dalam jumlah besar.
Sesungguhnya banyak sebab beliau saw. dipanggil Muhammad. Beliau saw. juga memiliki nama lain, Ahmad. Inilah nama yang dinubuatkan oleh Al-Masih  mengenai kedatangannya:
#MŽÅe³t6ãB                          5AqßtÎ/ ÎAù'tƒ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿôœ$# ßuH÷qr& (
(Memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad” – Ash-Shaf, 76).
      Nama ini merujuk kepada Tuhannya melebihi kepada orang lain. Kalimat ini menjelaskan – dan hal itu benar – bahwa orang-orang memuji orang  yang  mereka akan mendapat sesuatu, dan semakin banyak yang mereka peroleh jika semakin banyak mereka mendoakan. Dia yang diberi satu rupee hanya akan mendoakan sebesar penerimaannya. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menerima karunia Tuhan lebih banyak dari orang lain.
      Sesungguhnya nama [Muhammad/Ahmad] itu   mengandung nubuwatan (kabar gaib) bahwa orang ini akan menjadi penerima karunia terbesar dari Tuhan.”  (Malfuzat, jld. II, hlm. 177).


(177-179)

 MENGAPA COBAAN JUGA MENIMPA PARA UTUSAN ALLAH?

     “Ini merupakan Sunnatullah bahwa para utusan (rasul) Allah diganggu dan diberi penderitaan-penderitaan Kesulitan demi kesulitan menghadang mereka. Hal itu bukan supaya mereka binasa, melainkan supaya mereka menarik nushrat (pertolongan) Ilahi. Itulah sebabnya kehidupan beliau (Rasulullah s.a.w. --pent.) di Mekkah jauh lebih lama dibandingkan kehidupan beliau di Madinah.
     Di Mekkah beliau saw. melalui masa selama 13 tahun, sedangkan di Madinah 10 tahun.  Dari ayat ini  – ["Was taftahuu wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka" Ibrahim, 16] -- diketahui bahwa memang demikianlah  yang terjadi  pada setiap nabi dan utusan Ilahi.
     Yakni, pada awalnya mereka dibuat menderita. Mereka dituduh sebagai pembuat makar, pendusta dan penipu. Tidak ada sebutan buruk yang tidak dilontarkan terhadap mereka. Nabi dan utusan (rasul) itu menanggung semua hal tersebut serta merasakan setiap penderitaan. Namun tatkala sudah mencapai puncaknya maka tampillah kekuatan kedua untuk (berupa) kepedulian terhadap umat manusia.
       Seperti itu pula kepada Rasulullah saw. telah diberikan segala penderitaan. Segala macam sebutan buruk dikenakan kepada diri beliau. Akhirnya perhatian beliau saw. terpusatkan dengan kuat serta telah mencapai puncaknya, sebagaimana hal itu didapati dari kata istaftahu (mereka memohon kemenangan). Dan akibatnya adalah: "Wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka."  Rencana segenap orang yang bejad dan jahat itu telah hancur. Perhatian (konsentrasi) ini merupakan puncak dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan para penentang, sebab jika sejak semula sudah demikian maka pasti mereka sudah hancur [terlebih dahulu].
     Pada masa kehidupan Rasulullah saw. di Mekkah, beliau sering menjatuhkan diri dan menangis di hadapan Sang Ahad (Allah Ta’ala), dan kondisinya sampai sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang menyaksikan serta mendengar hal itu akan gemetar tubuh mereka.   Namun akhirnya, lihatlah keperkasaan pada kehidupan beliau saw. di Madinah. Yakni orang-orang yang dahulunya gencar melakukan kejahatan-kejahatan dan sangat sibuk untuk membunuh serta mengusir beliau saw. [dari Mekkah], kesemuanya mereka telah binasa, sedangkan yang tersisa terpaksa mengakui kesalahan-kesalahan mereka dengan sangat  merendahkan diri di hadapan beliau saw. serta terpaksa memohon pengampunan.
      Lihatlah Hadhrat Umar r.a., betapa besar manfaat yang diperoleh Hadhrat Umar r.a.. Dahulu pada suatu masa beliau  tidak beriman. Hal itu berselang sampai empat tahun. Allah Ta’ala benar-benar memahami akan maslahatnya, yakni apa rahasia yang terdapat dibaliknya. Abu Jahal waktu itu mencari orang yang dapat membunuh Rasulullah saw.. Pada masa itu Hadhrat Umar  dikenal gagah perkasa dan sangat berani serta sangat ditakuti.
     Mereka berdua berembuk, lalu melakukan upaya-upaya untuk membunuh Rasulullah saw. Dan sudah terjadi kesepakatan antara Hadhrat Umar r.a. dan Abu Jahal, serta telah ditetapkan jika Umar berhasil membunuh beliau saw. maka akan memperoleh sejumlah uang.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 179-180).


HADHRAT UMAR R.A.

      ”Merupakan kudrat Allah Ta’ala, yakni Uamr r.a. yang pada satu masa ingin mensyahidkan (membunuh) Rasulullah saw., ternyata pada masa lain Umar itu sendiri yang telah mati syahid di dalam Islam. Betapa menakjubkan masa itu.
      Ringkasnya, saat itu sudah terjadi kesepakatan bahwa Umar akan melakukan pembunuhan [terhadap Rasulullah saw.]. Setelah kesepakatan itu Umar terus mencari dan memata-matai Rasulullah saw.. Di malam hari ia keluar dan mencari peluang kalau beliau saw. seorang diri maka langsung akan ia bunuh.
       Umar menanyakan kepada orang-orang kapan biasanya Rasulullah saw. sedang sendirian? Orang-orang mengatakan biasanya setelah lewat tengah malam beliau pergi ke Ka’bah dan biasanya melakukan salat di sana. Mendengar hal itu Umar pun sangat senang. Umar lalu datang ke Ka’bah dan bersembunyi.
       Tidak berapa lama kemudian dari kegelapan terdengar suara “Laa Ilaaha illallaahu”, dan itu merupakan suara Rasulullah saw.. Mendengar suara itu Umar pun mengetahui bahwa beliau sedang datang dari arah [suara] tesebut. Umar pun hati-hati dan menyembunyikan diri. Umar bermaksud ketika Rasulullah saw. sedang sujud maka ia akan memenggal kepada beliau dengan pedang sehingga terlepas dari badan.
      Begitu Rasulullah saw. tiba beliau saw. langsung memulai salat. Kemudian peristiwa selanjutnya diterangkan sendiri oleh Hadhrat Umar r.a.: “Rasulullah saw. sedang menangis-nangis memanjatkan doa di dalam sujud, dan saya mulai merasa gemetar, sampai-sampai Rasulullah saw. juga mengatakan: `Sajada laka ruuhii wa janaanii – wahai Junjungan-ku, ruhku dan  kalbuku juga bersujud kepada-Mu.”
      Hadhrat Umar r.a. mengatakan: “Mendengar doa-doa itu hati saya luluh. Akhirnya karena kehebatan kebenaran itu pedang pun sampai terlepas dari tangan saya. Dari kondisi Rasulullah saw. itu saya pun mengerti bahwa beliau  itu benar dan pasti akan berjaya. Namun nafsu Ammarah itu memang sangat buruk, sehingga ketika beliau saw. sudah selesai salat dan keluar maka saya mengikuti beliau  dari belakang.
       Dari suara langkah saya beliau mengetahui. Saat itu malam gelap, Rasulullah saw. bertanya, “Siapa itu?” Saya pun menjawab, “Umar!” Beliau saw. bersabda, “Wahai Umar, engkau tidak menyia-nyiakan malam maupun siang [untuk mengejarku].”  Saat itu saya mencium aroma wangi ruh Rasulullah saw., dan ruh saya merasakan bahwa Rasulullah saw. akan memanjatkan doa buruk bagi saya, maka saya pun mengatakan, “Yang Mulia, janganlah panjatkan doa buruk.”.
     Hadhrat Umar mengatakan: “Saat dan detik itu merupakan saat dan dan detik Islam-nya saya, sampai akhirnya Allah Ta’ala memberi taufik kepada saya sehingga saya menjadi orang Islam” (Malfuzat, jld. II, hlm. 180-181).


(hlm. 181-182)


TUJUAN PENGUTUSAN RASULULLAH SAW.

       ”Maksud dan tujuan kedatangan Rasulullah saw. ke dunia ini adalah supaya beliau menzahirkan kepada dunia keperkasaan Tuhan yang telah terselubung dari penglihatan-penglihatan dan kalbu manusia. Berhala-berhala dan batu-batu tak berguna telah menggantikan tempat keperkasaan Ilahi itu. Dan tujuan itu baru mungkin terlaksana apabila Allah Ta’ala menampakkan Wujud-Nya dalam kehidupan jamaali (kelembutan) dan kehidupan jalaali (keperkasaan) Rasulullah saw. serta memperlihatkan kehebatan Tangan Qudrat-Nya (Kekuasaan-Nya).
    Jadi, Rasulullah saw. merupakan satu contoh sempurna sebagai manusia yang meraih keridhaan Allah Ta’ala dan yang menjadi kekasih Ilahi. Oleh karena itu dengan kata-kata yang jelas Allah Taala telah berfirman:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ    
(Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu." – Ali ‘Imran, 32).  
Yakni,  "Katakan kepada mereka, `Jika kalian ingin menjadi kekasih Ilahi dan dosa-dosa kalian diampuni, maka hanya ada satu jalannya, yaitu taatlah kepadaku (Muhammad)."  Artinya, mengikuti Rasulullah saw. adalah sesuatu yang membuat manusia tidak putus asa terhadap rahmat Ilahi, dan yang mengakibatkan terjadinya pengampunan terhadap dosa-dosa serta menjadikan manusia sebagai orang yang dicintai Allah Ta’ala. Dan pendakwaan kalian – bahwa kalian mencintai Allah Ta’ala – baru akan terbukti benar apabila kalian mengikuti Rasulullah saw..  
       Dari ayat ini diketahui dengan jelas bahwa manusia tidak bisa menjadi orang yang dicintai Allah Ta’ala dan tidak berhak atas qurub (kedekatan) Ilahi  hanya melalui upaya-upaya dan cara-cara yang ia temukan sendiri. Dan nur-nur serta berkat-berkat Ilahi tidak akan turun kepada siapa  siapa pun selama ia belum mabuk (asyik) dalam ketaatan  terhadap Rasulullah saw…
      Seseorang yang mabuk (asyik) dalam kecintaan terhadap Rasulullah saw.  serta yang memberlakukan segala macam maut (kematian) atas jiwanya dalam mentaati dan mengikuti beliau saw., maka kepada orang itu akan diberikan nur (cahaya) iman, kecintaan dan kasih, yang membuatnya terlepas dari wujud-wujud selain Allah, dan hal itu membuatnya terhindar dari dosa-dosa serta membawakan najat (keselamatan) baginya.
     Di dunia ini juga orang itu memperoleh suatu kehidupan suci, dan orang itu dikeluarkan dari dalam kuburan-kuburan gelap serta sempit dorongan-dorongan nafsu. Ke arah ini jugalah hadits ini memberikan isyarah, yakni: "Anal haasyirul ladzii yahsyarun-naasa 'alaa qadami," Yakni, "Aku akan membangkitkan orang-orang mati di atas telapak kakiku."
        Ringkasnya, ilmu-ilmu yang merupakan  landasan najaat (keselamatan) ini secara pasti tidak dapat diraih kecuali melalui kehidupan yang diperoleh manusia dengan perantaraan Ruhulqudus. Ayat Quran Syarif ini dengan jelas dan dengan nyaring meneriakkan bahwa kehidupan ruhani hanya dapat diraih melalui ketaatan terhadap Rasulullah saw..  
     Segenap orang kikir dan – yang karena kedengkian (permusuhan) menolak untuk mengikuti Nabi Karim saw.. – mereka berada di bawah bayangan setan. Di dalam diri orang itu tidak terdapat ruh kehidupan suci ini, yaitu orang yang secara zahir disebut hidup tetapi sebenarnya dia mati, sebab setan menungangi kalbunya. Disayangkan bahwa orang ini tidak ingat akan maut (kematian).
     Maut (kematian) itu tidak jauh. Seseorang yang umurnya sudah mencapai 50 tahun, jika dia itu hidup, maka paling tidak dia akan memperoleh waktu dua atau empat tahun lagi. Atau paling banyak 10 tahun, dan akhirnya dia akan mati. Maut (kematian) adalah sesuatu yang pasti, dan tidak seorang pun dapat terhindar darinya.
      Aku melihat, orang-orang begitu teliti menghindari kesalahan-kesalahan dalam menghitung uang, namun mereka tidak pernah menghitung umur. Malanglah orang yang tidak memberikan perhatian terhadap  hitungan umur. Sesuatu yang paling penting dan paling pantas untuk dihitung justru adalah umur. Jangan-jangan maut (kematian) tiba dan insan meninggalkan dunia ini dengan penuh penyesalan” (Malfuzat, jld. II, hlm. 182-184).

PERGAULAN BURUK

     ”Di antara hal-hal yang membinasakan manusia, salah satunya adalah pergaulan buruk.  Lihat Abu Jahal,  dia sendiri telah binasa, namun dia pun turut membawa serta banyak sekali orang lain dalam kematian, yaitu orang-orang yang biasa duduk bergaul bersamanya. Di dalam pergaulan dan lingkungannya tidak ada hal lain kecuali perolok-olokkan dan ejekan. Inilah yang mereka katakana, “Inna haadzaa la-syai-un- yuraad (sesungguhnya ini adalah suatu yang dikehetidaki – Shaad, 7), yakni, “Ini adalah penipuan yang mengada-ada." (Malfuzat, jld. II, hlm. 185).


(185-187)


JEMAAT DAN MUSLIM SEJATI

      ”Sekarang, lihatlah keadaan dunia. Nabi Karim kita saw. telah membuktikan melalui amal perbuatan beliau, bahwa hidup dan mati beliau seluruhnya adalah untuk Allah Ta’ala. Sekarang di dunia banyak terdapat orang-orang Islam. Tanyakanlah kepada seseorang, “Apakah engkau Muslim?” Maka dia menjawab, “Alhamdulillaah.” Orang yang membaca  Kalimah [Stahadat] prinsip-prinspnya adalah untuk Allah, namun orang ini hidup untuk dunia dan mati untuk dunia. Sampai datang sakaratul maut hanya dunialah yang mereka tuju, yang mereka cintai, dan yang mereka mintakan, maka bagaimana mungkin [orang seperti itu] dapat mengatakan bahwa, “Aku mengikuti Rasulullah saw.”?
     Ini adalah suatu hat yang sangat perlu diperhatikan. Jangan anggap enteng hal ini. Menjadi Muslim tidaklah mudah, jangan kalian puas selama di dalam diri kalian belum terbentuk ketaatan terhadap Rasulullah saw. dan belum terbentuk suri teladan Islam.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 187).  


 FILSAFAT BARAT PENUH KESESATAN

      “Ingatlah, filsafat Eropa dipenuhi oleh kesesatan. Ia menarik manusia kepada kebinasaan.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 194).


PENGABULAN DOA

 ”Doa (permohonan) adalah suatu hal yang penting. Sayang orang-orang tidak mengetahui apa hal itu sesungguhnya. Sebagian mereka menganggap bahwa apa pun yang diminta harus diberikan (dikabulkan). Itulah sebabnya mengapa ketika mereka meminta sesuatu dan tidak diberikan Tuhan kepada mereka maka mereka menjadi putus asa dan berpikiran buruk terhadap Tuhan. Sedangkan sifat  orang mukmin adalah sekali pun dia tidak diberikan  apa yang dia minta melalui doanya dia tidak menjadi putus asa, sebab dia tidak diberikan karena kasih-sayang Tuhan menganggapnya tidak bermanfaat baginya.
Perhatikanlah! Jika seorang anak ingin memegang arang yang membara maka sang ibu akan lari menahan tangannya, dan mungkin sang ibu akan memukulnya atas perbuatannya itu. Ketika  saya memahami hakikat doa dan menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Tahu mengetahui apa yang baik dan yang buruk bagi            manusia, hal  itu benar-benar memberikan kenikmatan bagi saya.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 195).
  

PANJATKANLAH DOA

     ”Doa adalah sesuatu yang sangat berguna. Namun sangat disayangkan bahwa orang-orang tidak memahami apa doa itu. Sebagian orang memahami bahwa setiap doa – dalam cara dan kondisi apa pun  dipanjatkan – hendaknya dikabulkan. Oleh sebab itu ketika mereka memanjatkan doa kemudian mereka tidak mendapatkan hasilnya seperti yang mereka tentukan (inginkan) maka mereka menjadi putus asa dan putus harapan lalu berprasangka buruk terhadap Allah Ta’ala.
      Padahal orang mukmin itu hendaknya seperti ini,  yakni jika secara zahir dia tidak berhasil di dalam doanya maka hendaknya dia tidak berputus asa, sebab rahmat Ilahi menetapkan bahwa doa itu tidak bermanfaat bagi dirinya. Lihat, jika seorang anak kecil ingin memegang sebuah bara maka sang ibu akan berlari untuk menangkapnya, bahkan jika atas kebodohannya itu anak tersebut  ditampar sekali pun hal  itu tidaklah mengherankan.
      Seperti itu  pulalah  saya merasakan suatu kelezatan dan kenikmatan tatkala  saya merenungkan falsafah doa ini, dan aku melihat bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui itu sungguh tahu mana doa yang bermanfaat [bagi seseorang dan mana yang tidak bermanfaat].” (Malfuzat, jld. II, hlm. 196).


TIDAK BAIK MENETAPKAN SUATU SYARAT DALAM DOA

      ”Aku sering menyesalkan, yakni ketika orang-orang mengirimkan surat-surat permohonan doa, dan bersamaan dengan itu juga mereka menuliskan bahwa, “Jika doa ini tidak dikabulkan maka kami akan menganggap Anda pendusta.”
      Sangat disayangkan, betapa orang-orang ini tidak tahu sama sekali mengenai adab (tata-cara) berdoa. Mereka tidak tahu syarat-syarat bagaimana untuk orang yang berdoa dan untuk orang-orang yang memohon doa. Sebelum doa dipanjatkan orang-orang ini terlebih dulu sudah menjadi korban prasangka buruk, dan mereka ingin mengungkit budi baik mereka  kalau mereka beriman [kepada pendakwaan saya], dan mereka mengancam tidak akan  beriman dan akan  mendatangkan tuduhan sebagai pendusta.
     Dengan membaca surat seperti ini aku merasakan  bau busuk, dan terpikir oleh saya bahwa bahwa lebih baik jika mereka tidak menulis surat sama-sekali untuk memohon doa.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 196).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar

Ahmadiyah