Sabtu, 13 Agustus 2011

TAKDIR

Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar/ukurannya, tempat maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi pasti ada takdirnya, termasuk manusia. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dalam rukun iman. Suatu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia sudah ditentukan sejak zaman azali, seperti masalah kematian, rezeki, keberuntungan, kegagalan, kebagahagiaan dan kesengsaraan di dunia, sebagai ahli surga atau neraka. Kalau demikian halnya apa arti usaha manusia? Apakah kerja keras, usaha yang terus menerus, manajemenn yang teratur dalam berbagai hal ada hubungannya dengan penambahan rezeki? Lalu, apakah hakikat yang sebenarnya dari takdir itu? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan klasik yang sudah sangat popular. Namun bagaimanapun ia tetap menarik untuk diperbincangkan karena telah menjadi suatu permasalahan yang menimbulkan pertentangan di kalangan umat Islam. Oleh karena pertentangan pendapat mengenai masalah takdir ini, maka pemahaman yang muncul menjadi bervariasi. Paham Mu’tazilah mempercayai bahwa alam ini dijadikan Tuhan. Dan bahwa Tuha selalu ada dan lebih dahulu adanya daripada mahluk-mahluk yang dijadikannya. Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi 2 bagian; yaitu perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerak refleks dan lain sebagainya. Perbuatan ini jelas bukan dilakkukan oleh manusia atau terjadi bukan atas kehendaknya. Dan yang kedua adalah perbuatan bebas (free will) dimana manusia bisa menentukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan ‘diciftakan manusia’ dari pada dikatakan ‘diciftakan oleh Tuhan’ karena adanya alasan-alasan akal, logika atau syara. Mu’tazilah menerima hokum kausalitas dan pengaruh-mempengaruhi sebab diantara akibat natural. Akan tetapi seluruh perbuatan manusia disandarkan hanya kepada manusia sendiri. Menurut mereka perbuatan-perbuatan manusia bukan merupakan makhluk Tuhan. Berdasarkan ini Mu’tazilah acapkali disebut sebagai Mufawwidha karena mereka berkeyakinan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan mendelegasikan kebebasan kepada manusia dalam perbuatan. Yang kedua adalah takdir menurut Qadariyah. Menurutnya bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah ta’ala sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan berikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Mengenai adanya kewajiban berikhtiar, ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada zaman nabi Muhammad saw pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang menghadap nabi Saw. Orang itu datang dengan menunggang kuda, setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi saw tanpa mengikat terlebih dahulu kudanya. Nabi menegur orang itu, “kenapa kuda itu tidak engkau ikat?” orang Badui itu menjawab: “biarlah, saya bertawakal kepada Allah”. Nabi pun bersabda: “ikatlah kudamu setelah itu bertawakal kepada Allah”. Menurut pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, berkenaan dengan takdir, selain usaha, doa mempunyai posisi yang amat penting dan dianggap sebagai suatu ibadah. Faedahnya adalah membangkitkan dan menumbuhkan kesabaran dan ketekunan kepada kita. Jika kita berdoa, maka fikiran yang terlintas dalam hati tertuju hanya pada Kekuasaan, Kebesaran dan Kodrat Ilahi. Meskipun kebaikan dan keburukan tidak dapat lepas dari takdir, akan tetapi Hukum dan Kodrat Tuhan telah menciptakan sarana-sarana sedemikian rupa untuk mencapainya sehingga seseorang yang berfikiran sehat akan menganggap penggunaan cara dan ihtiar merupakan suatu hal yang perlu dan benar untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Adapula hubungan yang erat antara hukum sebab akibat. Dalam dunia ini kita mengetahui bahwa tidak ada suatu bendapun yang terlepas dari Kodrat Ilahi yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala semua benda mempunyai khasiat dan pembawaan yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan perkara bahwa Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as menjelaskan bahwa sesungguhnya perintah-Nya apabila Ia menghendaki sesuatu, hanyalah dengan berkata “jadilah, maka terjadilah ia”. Dan Dia telah merubah kalian sebagaimana yang kalian ketahui, dan kalian menyatakan sesunggguhnya kami ini orang-orang yang berserah diri. Belum datang kah saatnya bahwa dalam hati kalian merasa takut dan khusyu terhadap janji Allah. Jadi takdir Tuhan itu adalah tanda dari keagungan dan keadilan-Nya dimana semua tatanan yang telah ditetapkan selaras dengan sifat-sifat-Nya. Jadi kesimpulannya adalah bahwa Takdir Allah merupakan iradah Allah. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir itu sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita bersyukur, karena itu merupakan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Sebaliknya ketika takdir itu tidak sesuai dengan keingingan kita, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Karena kita yakin dibalik semua kejadian itu pasti ada hikmahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar

Ahmadiyah